Di kelas komunikasi Suami Istri -Enlightening Parenting,Jakarta 2 Februari lalu, salah seorang peserta bertanya tentang kiat menghadapi berbagai situasi dan kondisi sehubungan dengan perannya yang berbeda-beda di berbagai komunitas. Mbak Okina Fitriani, Mas Ronny Gunarto dan Akang Sutedja E Saputra membagikan tips, landasan ilmu, dan sharing pengalaman mereka untuk menjawab pertanyaan ini.
Nara Sumberr dan panitia Kelas Komunikasi Suami Istri- Enlightening Parenting |
Kelas Komunikasi Suami Istri Enlightening Parenting, Jakarta 2 Februari 2019, Amaris Hotel Tebet |
Tanya :
Bagaimana
cara berinteraksi dalam lingkungan yang
berbeda-beda.
Misalnya, kalau
di rumah saya kan seorang suami, juga seorang ayah bagi anak-anak, dan juga
seorang menantu. Sedangkan di tempat kerja saya harus berperan sebagai leader.
Kemudian di
komunitas sosial, lingkungan teman-teman lama, teman-teman sekolah saya, mereka
itu kan tahu benar siapa saya.
Masing-masing peran itu ritmenya berbeda-beda.
Akhirnya saya
merasa harus memasang “topeng” yang
berbeda-beda. Masalahnya, kadang-kadang di kantor, rekan kerja suka bertanya
hal-hal yang remeh pada saya. Sehingga saya berpikir, kok hal yang seperti ini
ditanyakan ke saya? Nah, masalah harus pasang-pasang topeng ini membuat saya cukup stress. Bagaimana
menyikapinya?
Jawab :
Okina Fitriani :
Respon kita
tergantung makna yang kita pilih. Anda menjadi stress karena memilih makna
“memakai topeng”.
Orang yang
paling efisien, orang yang paling berhasil, adalah orang yang paling fleksibel.
Orang
yang fleksibel maksudnya apa? Yaitu orang yang mampu me-manage state
yang berbeda-beda.
Kalau anda baca
buku Tonny Robbins, bagaimana menjadi orang yang powerful, kita harus bisa
punya state yang berbeda dalam berbagai situasi dan kondisi.
Nah, kalau anda
maknai, “Aku ini pakai topeng.” Maka respon emosi anda tidak memberdayakan.
Tapi coba kalau
anda maknai, “Aku ini orang yang paling efektif dan fleksibel.”State emosi anda
akan berdaya.
Ya memang harus
beda. Contohnya, kalau ada atasan di kantor ngomong sama anak buahnya,
“Haii.. bikinin aku dong... simulasi..” Dengan nada
manja-manja minta alem. Yaaah... 😂😂😂itu namanya gatel 😜😜😜
Tapi kalau di
rumah dia ngomong sama istrinya,” Ma, bikinin kopi dong..” Dengan nada manja
dan tatapan mesra. Ini cocok👌👍👍.
Padahal sama
saja kan kondisinya : minta sesuatu, tapi harusnya dilakukan dengan state yang
berbeda.
Contoh lainnya,
seorang pria di rumah ditanyai istrinya,
” Sayang, hari ini teh-nya mau manis atau kurang manis?” (Padahal istrinya sudah tahu kegemaran suami).
” Sayang, hari ini teh-nya mau manis atau kurang manis?” (Padahal istrinya sudah tahu kegemaran suami).
Suami
menjawab dengan lembut,
”Mau yang kurang manis, sayang..”
”Mau yang kurang manis, sayang..”
Tapi kalau di kantor,
sebagai atasan, dia ditanya oleh office boy,
“Pak, hari ini teh-nya mau pakai gula 1 sendok atau 2 sendok?”
“Pak, hari ini teh-nya mau pakai gula 1 sendok atau 2 sendok?”
Pantas kalau dengan tegas dia menanggapi,
”Tujuh tahun lho kamu sudah membuatkan saya teh manis tiap pagi. Masak nggak hafal kesukaan saya?”
”Tujuh tahun lho kamu sudah membuatkan saya teh manis tiap pagi. Masak nggak hafal kesukaan saya?”
Coba bayangkan
kalau si pria menanggapi pertanyaan office boy dengan state yang sama dengan
ketika menanggapi pertanyaan istrinya,
”Mau yang satu sendok, sayang..”
”Mau yang satu sendok, sayang..”
Wk..wk..wk..wkk...😂😂😂😂😜 Gak cocoook.
Jadi bukan
plin-plan. Kita memang harus berganti gaya di mana-mana, tergantung situasi dan
kondisi yang dihadapi.
Contoh lain. Anda
sedang memimpin rapat penting di kantor. Anda mengarahkan anak buah dengan
tegas dan serius. Di tengah rapat, tiba-tiba ada kabar dari satu unit kerja bahwa ada musibah kebakaran. Maka anda harus berubah state, menanggapi
dengan wajah penuh empati. Bertanya kepada
lembut, menghibur korban.
Lalu saat pulang
ke rumah, bertemu anak. Maka berubah lagi state-nya, anda bersikap playful pada anak. Ada haditsnya kan..
Suami bersikap
berwibawa, disegani dan bisa diandalkan di luar rumah, baik itu ketika bekerja
atau bermuamalah. Tetapi di dalam rumahnya, seorang suami ramah, akrab dan
bermain-main dengan istri dan anak-anaknya.
Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Perhatikan riwayat berikut,
Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Perhatikan riwayat berikut,
عن ثابت بن
عبيد رحمه الله قال
: مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَجَلَّ إِذَا
جَلَسَ مَعَ الْقَوْمِ ،
وَلاَ أَفْكَهَ فِي بَيْتِهِ ،
مِنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِت
Dari Tsabit
bin Ubaid, “Aku belum pernah melihat seorang yang demikian berwibawa saat
duduk bersama kawan-kawan namun demikian akrab dan kocak saat berada di rumah
melebihi Zaid bin Tsabit”
Baca
selengkapnya di https://muslim.or.id/35637-suami-berwibawa-di-luar-rumah-ramah-dan-akrab-di-dalam-rumah.html
Nada suara pun
berbeda, intonasi dan ekspresi wajah harus manis dan menyenangkan.
“Hallo sayang...💕💖 Mau main apa? Main bola? Main lego? Yuk
main sama Papa..😄😄😄💞”
Coba bayangkan
kalau anda itu bicara seperti itu pada boss anda. 😵😳😳
Nah. Segala
stimulus itu netral. Tergantung bagaimana kita memberi makna.
Jadi, ganti frame anda. Bahwa menjadi orang yang fleksibel bukanlah berganti-ganti topeng. Orang yang paling fleksibel adalah orang yang paling berhasil.
Di training Enlightening Parenting diajarkan bagaimana memanage state dengan beragam teknik. Salah satunya dengan anchor. Kalau anda sudah mahir, anda bisa berganti-ganti state dalam hitungan detik.
Jadi, ganti frame anda. Bahwa menjadi orang yang fleksibel bukanlah berganti-ganti topeng. Orang yang paling fleksibel adalah orang yang paling berhasil.
Di training Enlightening Parenting diajarkan bagaimana memanage state dengan beragam teknik. Salah satunya dengan anchor. Kalau anda sudah mahir, anda bisa berganti-ganti state dalam hitungan detik.
Ronny Gunarto :
Memang benar apa
yang dikatakan istri saya. Saya misalnya, ketika sedang meeting dengan Vice
President atau atasan saya. Tiba-tiba
istri menelepon dan menceritakan sesuatu yang sangat berbeda dengan urusan
kantor. Yang saya lalukan ya “switch/beralih” saja. State saya berubah,
intonasi saya berubah,padahal beberapa detik sebelumnya saya presentasi dengan
intonasi yang keras. Itu sebenarnya sesuatu yang sangat mudah dilakukan.
Dalam konteks
komunikasi suami istri, ada hal penting yang ingin saya ingatkan. Banyak orang
ketika bersikap kepada orang lain, baik itu tetangga, kenalan, rekan kerja,
bahkan orang yang baru kenal, bersikap sangat baik, sopan, lembut, senyum. Tapi, ketika berhadapan dengan istri, atau
suami bersikap “jutek”😒😠.
Padahal,
pasangan adalah orang yang sangat
penting dalam kehidupan kita. Mengapa cara kita berkomunikasi dengan dia lebih buruk dibandingkan dengan orang lain?
Coba saja, kalau
bertanya pada orang yang tidak kita kenal, ketika dijawabnya, lalu kita balas
dengan sopan, lembut, senyum😃😄,
“ Terimakasih, Pak. Terimakasih, Bu..”
“ Terimakasih, Pak. Terimakasih, Bu..”
Tapi pada
pasangan kita yang setiap hari memenuhi kebutuhan kita, apakah kita sopan,
lembut tersenyum dan mengucapkan terimakasih?
Inilah yang
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik dengan
keluarga, istri dan anak-anak beliau. Beliau bersabda,
ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﻷَﻫْﻠِﻪِ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﻷَﻫْﻠِﻲ
“Sebaik-baik
kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang
paling baik bagi keluargaku”.
Di riwayat yang
lain,
وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“dan
sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”
Jadi, mari kita
tanamkan, bahwa ketika istri atau anak kita membutuhkan, prioritaskan mereka untuk memperoleh state
kita yang terbaik.
Sutedja E Saputra :
Saya ingin menambahkan pengalaman saya
sehubungan dengan apa yang disebutkan sebagai “memakai topeng” tadi.
Suatu hari saya
meeting dengan rekan-rekan lama. Kami dulu pernah bekerja di satu perusahaan
yang sama, tapi sekarang masing-masing di perusahaan yang berbeda. Setelah
meeting, saya masih ngobrol-ngobrol dengan rekan-rekan saya. Saya ingat, di
kantor itu, ada salah seorang alumni training Enlightening Parenting. Maka saya
telepon dia saya ajak bergabung dan ngobrol juga. Ketika dia datang, saya
perkenalkan pada rekan-rekan saya.
Salah satu rekan
lama, dengan suara lantang dan logat Batak yang sangat kental, langsung
berkomentar.
“Kenal dimana
kau dengan Sutedja ini? “
Alumni itu menjelaskan
bahwa dia kenal ketika ikut training
Enlightening Parenting.
“Pak Sutedja
ngasih materi waktu training Enlightening Parenting, Pak.” Jawabnya.
“Kok kau percaya
sama Sutedja ini😝? Kau tau gak, aku kenal sama dia ini sejak tahun 1997. Kalau ngomong kencang
sekali dia. Kerjanya marah-marah dan
mukulin orang saja✊😈!”
Apakah saya
marah ketika rekan saya bicara begitu?
Bisa saja saya malu, di depan
alumni training kan pantesnya jaga
wibawa. Tapi saya tidak marah. Saya berkata pada alumni itu,
“Apa yang
dikatakan Bapak ini benar. Saya dulu seperti itu. Tapi sejak 2016 saya
berubah.”
“Iya, Pak. Saya
tau. Hal ini juga sudah Bapak disampaikan saat training.”
Apakah saya
malu? Tidak. Di facebook itu kan banyak kawan-kawan kecil saya yang tau benar
kelakukan saya dulu yang bandel luar biasa. Tukang maling buah tetangga, tukang berantem mukulin anak
orang, tukang ngadu ayam. Lalu sekarang
facebook saya penuh dengan kegiatan-kegiatan parenting. Saat bertemu teman-teman
bertanya.
“Apa betul kau
berubah begitu?”
Ya saya jawab
bahwa saya berusaha menjadi lebih baik saja.
Jadi bukan
pasang topeng. Kalau kita memang sudah punya komitmen untuk menjadi lebih
baik, toh itu yang kita lakukan.
Seringkali saya
bicara dengan nada tegas dan keras saat memberi arahan dalam meeting di kantor,
sedetik kemudian bicara lembut ketika istri menelepon, lalu senyum-senyum baca
WA dari anak-anak.
Fleksibel,
berganti-ganti state sesuai kondisi dan situasi, itu skill yang bisa dilatih,
untuk menjadi orang yang efektif dan efisien.