Banyak orangtua yang bertanya,
bagaimana sih caranya menahan amarah ketika berhadapan dengan perilaku anak
yang tak sesuai harapan?
Banyak orangtua sudah paham bahwa melepaskan
amarah yang meledak-ledak tak baik akibatnya bagi anak. Selain bisa merusak fitrah kasih sayang anak, perilaku
marah-marah berpotensi merusak hubungan kedekatan dengan anak. Yang lebih parah lagi, bisa menimbulkan trauma
pada anak.
Sadarkah orangtua, bila mereka kerap
melakukan tindakan keras, berkata dengan intonasi tinggi, berteriak, memaki,
mencela dan sebagainya, kemungkinan
besar kelak anak akan berperilaku sama persis seperti orangtuanya ketika mereka
marah. Ingat, orangtua itu teladan bagi anak-anaknya. Anak bisa salah mendengar, tapi tidak akan salah
meniru.
Hanya saja ketika orangtua dihadapkan
pada kondisi yang membuat emosi terpicu, lagi-lagi mereka terjebak dalam pola
perilaku itu-itu saja. Marah-marah, lalu menyesal. Tapi besok marah-marah lagi,
kemudian menyesal lagi. Adakah orangtua
yang kalau marah-marah sampai memukul atau melakukan kekerasan fisik pada anak?
Kasihan anak, sang tamu istimewa titipan Tuhan, harus menjadi korban ketidakmampuan
orangtua mengelola emosinya.
Dalam Enlightening Parenting dan
Transforming Behavior Skill-nya Mbak Okina Fitriani, amarah itu bukan ditahan,
tapi diselesaikan. Apa bedanya menahan dengan menyelesaikan?
Menahan amarah itu diibaratkan menahan pintu yang didorong kuat
dari arah luar. Pintunya bisa saja tertahan tidak sampai terbuka, tapi capek kan
ya? Harus terus menahan pintu itu agar tidak terkuak. Lalu kalau sudah tidak
kuat menahan, pintunya bisa jebol karena desakan dari luar.
Berbeda halnya kalau amarah diselesaikan. Emosi marah bila diibaratkan ban mobil yang menggelembung mau meledak, lalu dicoblos
pakai paku. Blessss....kempes. Tak jadi meledak, sekaligus lega. Logika pun naik, bisa berpikir langkah apa yang
tepat untuk mengatasi keadaan.
Nah..enak mana, menahan marah atau
menyelesaikannya?
Salah satu teknik dasar untuk
menyelesaikan emosi berdasarkan Neuro
Linguistic Programming yang aku dapat dari training Enlightening Parenting dan
Transforming Behavior Skill adalah assosiasi- dissosiasi. Teknik ini merupakan skill yang sangat penting dilatih,
dipakai dan dibiasakan untuk modal menyelesaikan emosi. Bukan cuma untuk
mengatasi marah saja, tapi bisa juga untuk mengatasi berbagai emosi lainnya
seperti kecewa, sedih, kesal, khawatir, malas dan lain-lain.
Assosiasi-Dissosiasi ini adalah skill yang mendasar, skill yang perlu dimiliki karena merupakan prasyarat melakukan berbagai teknik menyelesaikan emosi lainnya seperti reframing, anchor, perceptual position, self coaching dan lain-lain.
Kalau rajin dilatih, orang yang menguasai teknik dissosiasi bisa menyelesaikan emosi dalam hitungan detik.
Assosiasi-Dissosiasi ini adalah skill yang mendasar, skill yang perlu dimiliki karena merupakan prasyarat melakukan berbagai teknik menyelesaikan emosi lainnya seperti reframing, anchor, perceptual position, self coaching dan lain-lain.
Kalau rajin dilatih, orang yang menguasai teknik dissosiasi bisa menyelesaikan emosi dalam hitungan detik.
Assosiasi adalah kondisi dimana diri
sendiri sedang mengalami sebuah kejadian, sehingga bisa melihat, mendengar, dan
merasakan langsung. Kalau diibaratkan sebuah film, maka assosiasi adalah keadaan
ketika kita menjadi bintang filmnya.
Kalau diibaratkan naik roller
coaster, Assosiasi itu kondisi di saat kita sendiri yang duduk di kursi roller
coaster. Merasakan bagaimana wahana itu membawa kita naik tinggiiii sekali, kemudian
tiba-tiba meluncur turun dengan derasnya, menukik tajam, meliuk-liuk berbelok dengan
kecepatan tinggi, berputar 180 derajat, sehingga kita terdorong untuk berteriak,
merasa takut, adrenalin terpacu, merasa ngeri, ngilu, berdebar-debar tak karuan.
Dissosiasi adalah kondisi dimana diri
sendiri melihat sebuah kejadian sebagai
observer/ pihak ketiga yang tidak terlibat dengan kejadian itu. Kalau diibaratkan sebuah film, maka
dissosiasi adalah keadaan ketika kita menjadi penonton film.
Dalam hal roller coaster tadi, Dissosiasi adalah kondisi ketika kita sedang
menonton video waktu kita naik roller coaster. Sebagai penonton kita tak
merasakan perasaan ngeri dan takut. Kita bisa melihat bagaimana bentuk lintasan
roller coaster. Kalau pun bisa mendengar orang-orang berteriak, kita akan
menilai hal itu sebagai reaksi yang wajar dilakukan orang yang sedang naik
roller coaster.
Supaya jelas mengenai assosiasi dan dissosiasi, aku gambarkan dengan
sebuah kejadian ya. Misalnya begini.
Aku melihat anakku sedang duduk-duduk
santai. Lalu aku bilang,
”Nak, belajar dong! Besok kan ulangan.”
Yang diajak ngomong tetap saja nyantai,
lalu menjawab,” Gak mau ah!”
Jreeng.... Self Talk didalam kepala
langsung bereaksi. “ Eh, disuruh belajar
gak mau, kurang ajar ini anak!”
Self talk yang demikian membuat hati
panas, napas memburu, jantung deg-degan, gemes, pengen ngomel.
Kondisi itulah yang dinamakan Assosiasi,
yaitu kondisi ketika mengalami langsung sebuah kejadian, melihat ,mendengar dan
merasakan lengkap dengan emosi yang kuat.
Dulu sebelum belajar EP dan TBS,
langsung saja aku ngomel panjang pendek. Kalau perlu aku seret anak ke meja
belajar, sambil dipelototin, tolak pinggang, dan marah-marah.
Anak belajar apa nggak? Tampilannya
sih dia baca buku, tapi mukanya cemberut, bahasa tubuhnya malas-malasan. Dia melakukannya
bukan karena butuh belajar, tapi semata-mata karena tidak mau Mamanya makin
meradang. Tepatkah tindakan si Mama? Kalau ada terompet harusnya dibunyikan “TETOOOOT...”
Elo salah, Maaak!
Bagaimana supaya Mama tidak terjebak
dalam pola perilaku reaktif yang tidak memberdayakan seperti itu?
Emosi dan logika hubungannya seperti
timbangan. Ketika emosi naik, logika turun. Demikian juga sebaliknya, ketika
logika naik, emosi turun. Supaya terlepas dari emosi, dan membuat logika naik, lakukan
dissosiasi.
Disaat hati panas, napas memburu,
jantung deg-degan, gemes dan pengen ngomel tadi, aku lakukan dissosiasi. Langkahnya seperti ini :
Aku katakan pada diri sendiri, “ Aku tinggalkan emosi ini di sini.” Lalu mundur satu langkah, keluar dari diri yang sedang emosi itu. Aku bayangkan aku melihat diriku sendiri sebagai si Iwed sedang berdiri dihadapanku, sedang mengalami emosi. Sedangkan aku sekarang ini adalah observer/penonton/ orang lain yang tidak terlibat dalam peristiwa itu. Jadi akunya ada dua, sebagai si Iwed yang sedang emosi , dan sebagai si Neng yang menjadi observer.
Aku katakan pada diri sendiri, “ Aku tinggalkan emosi ini di sini.” Lalu mundur satu langkah, keluar dari diri yang sedang emosi itu. Aku bayangkan aku melihat diriku sendiri sebagai si Iwed sedang berdiri dihadapanku, sedang mengalami emosi. Sedangkan aku sekarang ini adalah observer/penonton/ orang lain yang tidak terlibat dalam peristiwa itu. Jadi akunya ada dua, sebagai si Iwed yang sedang emosi , dan sebagai si Neng yang menjadi observer.
“Ada ibu menyuruh anaknya belajar.
Anaknya tidak mau. Apa yang harus dilakukan si Ibu ya? Oh..menurut si Ibu ini
anak kurang ajar. Lha kalau anaknya kurang ajar, selama ini yang ngajarin anak
itu siapa? Si Ibu sendiri kan ya? Artinya ibunya kurang banyak ngajarin, atau
kurang pinter ngajarin anak. Oalaah pantes aja anaknya nggak mau disuruh
belajar. Lihat coba cara si Ibu ngomong. Mukanya kenceng, suaranya tinggi,
nyebelin banget ekspresinya. Siapa coba yang mau disuruh-suruh pakai cara
begitu. Artinya si Ibu harus cari cara lain yang kreatif dan menyenangkan supaya
anak mau belajar.”
Langkah selanjutnya, dengan membawa
kebijaksanaan dan hasil analisa si Neng (observer), kembali lakukan assosiasi, menjadi
si Iwed . Menghadapi anak dengan kebijaksanaan itu, dijamin Iwed akan merespon
dengan berbeda. Tidak akan ngomel, menyeret anak ke meja belajar,
melotot, tolak pinggang dan marah-marah.
Apakah mundur satu langkah adalah
satu-satunya cara melakukan dissosiasi? Enggak dong... Sahabatku, Mbak Ilmia
Lasmita (Mbak Mita) melakukan dissossiasi dengan membayangkan dirinya terbang.
Lalu melihat kebawah, melihat dirinya sedang menghadapi sebuah kejadian. Dia
menganalisa masalah dari atas, istilahnya menggunakan helicopter view.
Ada cara lain lagi? Aku sarankan
setiap orang mencoba mempraktekan dissosiasi lalu menemukan sendiri cara yang
paling nyaman untuk dirinya.
Ada yang nyaman dengan berpindah
tempat duduk untuk melepaskan emosinya, ada yang cukup bilang “dissosiasi” pada
dirinya untuk “berpindah” menjadi observer. Ada juga yang memilih berdialog
dengan self talk untuk melakukan dissosiasi dan menemukan solusi. Misalnya dengan
bilang pada diri sendiri,
“Lho kok aku marah ya? Self talku
bilang apa ini sampai aku marah begini? Harus diubah jadi apa ini supaya aku nggak
marah lagi?”
“Kenapa aku sedih ya? Apa yang harus
aku lakukan supaya nggak sedih lagi?”
Berpikir seperti itu membuat kita
berada dalam kondisi Dissosiasi.
Nabi Muhammmad SAW sebenarnya sudah
mengajarkan tentang dissosiasi untuk menyelesaikan emosi sejak belasan abad
yang lalu. Pernahkan teman-teman mendengar atau membaca hadits berikut ini :
Dulu waktu pertama kali aku membaca
tentang hadits ini, aku berpikir bagaimana mungkin pindah posisi bisa membuat
emosi reda? Alhamdulillah penjelasan detailnya aku dapat dari kelasnya Mbak
Okina Fitriani. Betapa Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan ilmu yang sangat bermanfaat.
Tinggal kita saja, mau atau tidak berpikir untuk memahami, lalu melatih dan mempraktekannya
untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Manfaat Assosiasi :
- 1. Merasakan atau menikmati sebuah pengalaman baik saat ini atau pengalaman dari masa lalu.
- 2. Mengakses kondisi emosi memberdayakan yang kita butuhkan, misalnya dalam proses membuat anchor, atau dalam mengaktifkan anchor.
- 3.Melatih keterampilan dengan cara membayangkan (assosiasi) secara berulang ulang seolah sedang melakukan keterampilan itu.
Manfaat Dissosiasi :
- Melepaskan emosi yang tidak memberdayakan
- Melakukan analisa masalah dengan logika hingga menemukan solusi
- Mengevaluasi masalah
Lalu mana yang lebih bermanfaat,
assosiasi atau dissosiasi? Ya semuanya bermanfaat, tergantung kebutuhan kita.
Contohnya, kalau teman kita sedang
mengalami musibah, misalnya salah satu anggota keluarganya meninggal.
Pantes-pantesnya sebagai teman kita ikut merasakan kesedihannya, ya kan? Tapi kita tak kenal sama yang meninggal
itu, bagaimana bisa sedih ?
Supaya bisa merasakan kesedihannya,
lakukan saja assosiasi. Apalagi kalau kita hadir di rumah duka, melihat sanak
saudara menangisi almarhum, lebih mudah
bagi kita melakukan assosiasi, membiarkan diri kita ketularan emosi sedih dari dari si teman dan orang-orang di sana.
Menurut pengalamanku, assosiasi itu
bermanfaat sekali saat menuliskan kembali pengalaman, misalnya jalan-jalan,
atau touring bersama si Akang.
Saat touring, pengalaman melihat
pemandangan indah aku rekam dalam ingatan, lengkap dengan unsur visual,
auditory dan kinestetik. Ketika akan menuliskan pengalaman itu, rekaman atau
memory-nya aku buka lagi dengan cara melakukan assosiasi. Dalam kondisi
assosiasi aku menuliskan pengalaman itu, sehingga aku bisa menggambarkan dengan
detail,bagaimana indahnya gunung-gunung bertautan dengan jajaran bukit, lautan
biru dengan pantai berpasir putih dan
ombak yang menggulung, bagaimana bau air laut, bagaimana suara burung camar dan
terpaan angin yang membelai wajah dan segala yang aku alami.
Hasil tulisan menurut para pembaca,
seolah mereka dibawa ikut jalan-jalan juga. Jadi para pembaca mengalami
assosiasi juga saat membaca tulisanku.
Contoh lainnya. Kalau kita didatangi sahabat yang sedang ada
masalah, merasa menderita, lalu nangis-nangis, butuh dicarikan solusi
masalahnya, maka JANGAN lakukan assosiasi. Kalau kita melakukan assosiasi, maka
kita akan larut dalam kesedihan sama seperti si sahabat. Kalau dua-duanya sama-sama
menangis, sama-sama larut dalam emosi, lalu siapa yang memikirkan solusi?
Dalam kondisi seperti itu, dimana
pikiran logis dibutuhkan, maka yang perlu dilakukan adalah dissosiasi. Dalam
kondisi dissosiasi, diri kita akan mampu menganalisa permasalahan, dan kemudian
menyarankan langkah-langkah solusi pada sahabat.
Kesimpulannya :
Ketika kita ingin merespon dengan
emosi yang kuat, lakukan assosiasi.
Ketika kita ingin merespon dengan
analisa dan observasi yang kuat, lakukan dissosiasi.
Selanjutnya, bagaimana cara berlatih
assosiasi-dissosiasi?
Salah satu cara melatih assosiasi – dissosiasi
sekaligus memberdayakan diri dengan self talk, bisa dilihat di sini http://www.julianadewi.com/2018/07/cara-memberdayakan-diri-dengan-self-talk.html
Cara lain, berlatih assosiasi-dissosiasi dengan menonton
film.
Pernah nonton film yang ceritanya
bikin nangis bombay? Nah, kalau kita
menonton film, terus menangis karena ceritanya sedih, itu artinya kita menonton
sambil melakukan assossiasi. Biasanya sih kita tidak sadar. Ya kan? Nah coba
sekarang tantang diri untuk nonton film dengan cara dissosiasi, sehingga tidak
terlibat secara emosi.
Jadikan diri sebagai pengamat saja.
Dalam kondisi dissosiasi, kita akan tetap tahu jalan ceritanya, tapi tidak ikut
larut dalam cerita itu. Bahkan kita bisa melihat hal-hal lain dengan lebih
detail. Misalnya, kita jadi bisa menilai kualitas akting bintang filmnya, bagus
atau tidak. Kita bisa melihat kostum para pemainnya, cocok atau tidak, atau
hal-hal lain yang mungkin luput terlihat kalau nonton sambil assosiasi.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk beralih dari kondisi emosi marah, ke kondisi emosi netral dengan melakukan dissosiasi? Kalau sudah mahir, anda hanya butuh beberapa detik,
bahkan sepersekian detik saja bagi mereka yang sudah expert.
Bisakah menyelesaikan emosi memakai cara assosiasi? Tentu bisa juga dong...Sama juga, hanya butuh satu detik saja untuk berpindah dari kondisi emosi tak memberdayakan ke kondisi tenang atau sabar, dengan mengaktifkan anchor tenang. Tapi hal ini aku bahas lain kali ya..
Mbak Anggraeni Septi, seorang mom
blogger yang hits, yang juga salah
seorang alumni training Enlightening Parenting dan Transforming Behavior Skill
melakukan latihan dissosiasi dengan menonton film horror. Dia sengaja
melakukannya supaya tidak takut, dan supaya bisa menilai film itu dengan lebih
objektif. Mau tau bagaimana cara latihannya? Simak sharingnya Mbak Anggraeni
Septi berikut ini :
Siapa disini yang takut hantu-hantuan ? Ok
untuk menaklukkan rasa takut hantu khayalan, dan LATIHAN dissosiasi maka saya
tantang diri saya nonton film Suzanna, Bernapas Dalam Kubur .
Kalo kata mb Iwed Juliana Dewi, latihan dissosiasi bisa
lewat nonton film. Nah coba nonton film horor takut apa gak?
Sebelum nonton saya udah nonton
trailernya, ok saya punya asumsi.
Ini setannya Luna Maya yang
cantik. Dan saya di sini sebagai pengamat film. Jadi kalo pengamat film yang
menentukan best aktris dan aktor gak boleh ikut ketakutan.
Pas nonton :
Selalu sugesti saya pengamat,
setannya Luna maya yang cantik.
Sejujurnya musik2nya bikin kaget
(fitrah sih) tapi saya ingat lagi saya yg nentuin best actris dan actor dan
analisa film.
Di dalam bioskop saya selalu bertanya
dalam diri (biar logika jalan), ini koh gini, ini kok gitu, misalnya
:
kenapa makhluk yg beda dimensi dg kita,
beda ruang dan waktu bisa membunuh?
Kenapa dukunnya jadi ikut-ikutan mati?
Kenapa rumah sundel bolong udah
dibakar massa tapi tetep bisa seperti semula?
Kenapa untuk liat bu Suzanna itu
hantu sundel bolong (makhluk laen) harus pakai kain kafaan (gak logis
banget kan?) ingat arwah orang yg sudah meninggal kembali pada Allah.
Sandal Suzanna ketinggalan di atas
kuburannya, kenapa 3 pembantunya bisa gak tau, bukannya pembantu tugasnya
bersih-bersih pekarangan rumah?
Saya takut sama cacing. Pas punggung
suzanna penuh dengan binatang yg kluget2 saya bilang wah mirip banget
sama suzanna jaman dulu.
Wajah luna maya? Top banget tim make
up artisnya bisa menyulap luna maya mirip alm Suzanna.
Di akhir film kok suaminya malah jadi
sundel bolong jugak
Dan sepanjang film diputer saya terus
berdialog dengan diri
Ok. Sebagai pengamat saya menentukan
:
Aktris terbaik : Luna Maya
Aktor terbaik : Mbah Turu (yang jadi
dukun)
Pemeran pembantu pria terbaik : ada 2
yakni dua pembantu luna maya laki-laki
Pemeran pembantu wanita terbaik : Asri
Welas
Analisa pengamat (amatiran)
kenapa film Suzanna, Bernapas Dalam Kubur bisa booming
1. Orang kangen sama ratu horror
Indonesia, alm Suzanna.
Apalagi disebut2 film ini memakan
biaya setara Tenggelamnya Kapal Van Der Wijct
2. Orang penasaran sama acting Luna Maya, dari berita untuk mempermak wajahnya mirip alm Suzanna butuh make up
selama 3 jam setiap mau acting
Tapi :
Film ini tidak logis, cenderung
tahayul. Mungkin orang dulu suka film Suzanna karena orang dulu suka
klenik. Jadi untuk kelogisan alur cerita saya nilai C.
Kesimpulan :
Lah ngapain takut sama film horor lah
itu ada sutradaranya.
Nyampe rumah udah gak kebayang blas
setan Suzanna terbang-terbang. Bahkan langsung tidur nyenyak dengan lampu redup.
"Janganlah kalian takut
kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (QS Al-Maidah: 44)
Sekian tanggapan pengamat film
(dadakan) hari ini.
Setan sama dengan serem yo mbok
pikir2 dewe. Saya adalah TUAN ATAS PIKIRAN SAYA SENDIRI.
SELAMAT BERLATIH DISSOSIASI.
7 komentar:
MashaAllah mba Iwed dituliskan dengan detail mengenai asosiasi disosiasi bikin refresh lagi ilmunya Bu Okina.
Nah itulah emak2, tukang marah, tapi 5 menit kemudian nyesel, marah lagi sampe jadi lingkaran yg gak memberdayakan.
Dan ternyata menyelesaikan emosi itu bisa sesingkat itu ya :)
Terimakasih ngangkut cerita Suzanna disini haha :D
Kalo aku bertumbuh, esok aku juga akan jadi 'sakti' self talk dan disosiasinya kayak mbak Iwed :)
Terimakasih Mbak Anggraeni Septi😍😍😍. Sudah melengkapi tulisan ini dengan contoh latihan yg kreatif bangeet❤❤❤
Keren mbak iwed...
Izin mau tengok2 tulisan mbak Iwed yg lain yoo...
@Vla Radiansyah : monggo silakan dibaca baca tulisan lainnya😊
Mba Iwed, tulisannya bikin nambah lagi ilmuku masya Allah... saya bakalan sering baca2 ke sini nih hehe. Trims atas sharing ilmunya dan salam kenal yaa mbak
Baru nemu tulisan ini biz liat2 mb eti, alhamdulilah sambil baca sambil dibayang2 dan drasa2 jd berasa. Jazakumullah mb dewi
Masyaa Allah, dapat link ini dari Sahabat, bermanfaat sekali. Jazakillahu khayr mbak. Mbak, aku jadi ingin mahir asosiasi disosiasi ini, baru sadar apa yang Rasulullah perintahkan untuk mengubah posisi itu teknik asosiasi disosiasi.
Posting Komentar