Ilmu yang
didapat dari training, kalau tak dipakai sehari-hari, bisa terlupakan, bahkan
hilang tanpa kesan. Kalau sayang ilmu,
sayang dengan waktu yang sudah terpakai untuk training, sayang dengan uang yang
sudah dibayar untuk biaya training, maka sering-seringlah mengamalkan
ilmunya. Mengamalkan ilmu membuat hidup
lebih baik, lebih nyaman. Ilmunya
pun nancep dalam diri kita, tidak hilang
percuma.
Ilmu apa sih
yang didapat dari training, yang sehari-hari dipakai oleh Emak-emak dasteran
macam aku? Hehe..Salah satunya keterampilan berdialog dengan self talk dengan menggunakan
kalimat kalimat berbentuk milton model dan meta model. Hal ini aku peroleh dari training
Transforming Behavior Skill-nya Mbak Okina Fitriani.
Berdialog dengan self talk sangat
membantu aku mengatasi potensi baper, malas, takut, enggan, tak percaya diri
dan jenis emosi tak memberdayakan lainnya. Salah satunya baru saja aku gunakan
untuk mengugurkan keenggananku menjahit, akibat limiting belief “Aku tak bisa
menjahit” yang sudah lama kupelihara.
Jadi ceritanya, sejak kenal pelajaran prakarya, khususnya jahit menjahit di bangku SMP, aku banyak menemui kesulitan. Seingatku
di zaman SMP dulu diajarkan berbagai macam jenis jahit tangan, misalnya tusuk
jelujur, tusuk tikam jejak, tusuk
feston, tusuk flanel, tusuk silang dan lain-lain.
Bagi
teman-temanku, pelajaran menjahit itu
bukan masalah. Aku mengagumi karya mereka. Jahitan tangan mereka begitu rapi, simetris, presisi. Bagiku menjahit adalah beban. Beban yang berat karena hal itu tak ubahnya kegiatan yang membuat aku merasa tertekan. Ketika
melihat hasil karya sendiri, perutku mules-mules. Tusuk jelujur yang paling
sederhana sekalipun jauh dari rapi. Ada yang panjang, ada yang pendek, mencong
sana, mengot di sini. Padahal sudah beberapa kali aku ulang, hasilnya ya
begitulah.
Tiap pelajaran
prakarya, aku tersiksa. Merasa stress, dan frustasi. Kelihatan juga
dari perolehan nilai prakaryaku yang tak jauh dari angka 6. Itu pun karena Bu
Guru kasihan. Mestinya aku pantas dapat nilai 5.
Kalau boleh
memilih, aku lebih senang disuruh mengerjakan soal matematika, fisika, atau
disuruh main musik, menari dan menyanyi
ketimbang menjahit.
Di SMA ketidaksukaanku
pada kegiatan menjahit makin menjadi-jadi. Aku ingat, Bu Guru memberi tugas membuat rok
putih sederhana. Aku sudah tersiksa
sejak awal membuat pola, menggunting, dan puncaknya ketika disuruh menjahit, dengan
tangan maupun dengan mesin.
Beberapa
hari sebelum hasil karya dikumpulkan, drama
terjadi. Kukoyak-koyak rok putih
itu dengan emosi memuncak. Marah dan
kesal sekali rasanya melihat rupanya yang tak karuan. Padahal sudah
kuhabiskan banyak waktu mengerjakannya. Setelah menumpahkan emosi, melihat rok
yang sudah terburai tak jelas lagi bentuknya, aku menangis.
Bingung mau bagaimana. Akhirnya pilih jalan pintas. Salah seorang teman
yang kasihan padaku meminta Kakak perempuannya menjahitkan rok untukku. Dan
dengan perasaan kacau balau, aku kumpulkan rok itu sebagai hasil karyaku ke Ibu Guru prakarya. Hiks... Maafkan aku Bu
Guru. Aku sudah berdusta.
Rupanya bertahun
tahun kemudian, sebagai Emak-emak dasteran masih saja aku tak bisa menghindar
dari kegiatan menjahit.
Aku seringkali
diselamatkan oleh si Akang. Ya, suamiku tersayang yang hobi fitness dan
olahraga angkat beban itu ternyata pandai pula menjahit! Sering dia memotongkan
celana panjangku, celana dan rok anak-anak, lalu menjahitkannya. Hasilnya rapi.
Memang dia tak ahli layaknya penjahit profesional, tapi untuk urusan
memperbaiki pakaian di kondisi kepepet, dia cukup jago. Hehehe...
Perkara menjahit
ini pun kerap membuat aku kagum pada Tuhan. Sungguh elok Dia membuat rencana
hidupku. Perempuan yang tak pandai menjahit, dijodohkanNya dengan lelaki yang
bisa menjahit. Ibarat panci dengan tutupnya, pas sekali. Bukan main!πππ
Tapi ada-ada
saja kejadian yang memaksa aku
berhubungan dengan jarum dan benang jahit, dua benda yang membuatku alergi.
Misalnya di pagi yang heboh saat Rafif sudah
akan berangkat sekolah, tiba-tiba dia teriak.
“Yaah... Mama..
Kancing baju Afif lepas! Jahitin ya Ma!”
Mau bagaimana
lagi? Tak mungkin aku lari ke tukang jahit. Mana bisa minta tolong si Akang,
dia sudah berangkat kerja. Si Mbak
sedang cuci pakaian di lantai atas. Ya terpaksa dengan perut mules aku lakukan tergesa-gesa.
Entah karena
kondisi emosi yang tidak nyaman,
kegiatan menjahit berlangsung tegang.
“Aww!”
Cepat-cepat aku menarik jariku. Ini sudah kesekian kalinya jarum jahit kecil
itu menancap di ujung jari manis sebelah kiri.
Sebelumnya jempolku yang kena.
Lanjut lagi.
Kutusukkan jarum lewat bagian bawah lubang kancing, tusukan selanjutnya menancap
di lubang sebelahnya. Keringat bercucuran. Kuulangi beberapa kali, di bagian
lubang kancing berikutnya. Setelah membuat simpul, akhirnya selesai. Aku meraih
gunting. Kuangkat baju seragam Rafif, tapi.. Ya Tuhaan. Rokku ikut terangkat!
Aku tanpa sadar sudah menjahitkan rokku ke baju Rafif. Bongkar lagi! Huaaaaa!
Akhirnya keluar
jurus terakhir.
“Mbaaak...
Tinggalkan dulu kerjaannya. Tolong jahitkan kancing Rafif. Saya mules!”
Itu dulu.
Sebelum ikut training Transforming Behavior Skill.
Hari ini,
aku bertekad menjahit lambang-lambang
dan label nama Rafif di baju seragam pramukanya yang baru. Biasanya dulu, hal ini selalu aku serahkan ke
tukang jahit di pasar Sukasari, atau pasar Bogor.
Kali ini aku sengaja ingin menaklukan kondisi emosi
tegang, stress, dan mules yang selalu menyertai kegiatan menjahit.
Aku sadar sudah memelihara
limiting belief “Aku tidak bisa
menjahit” sejak bertahun-tahun. Padahal, dalam melakukan kegiatan menjahit,
tidak ada perilaku yang benar-benar baru, yang sebelumnya tidak pernah aku
lakukan. Menjahit itu kan kumpulan dari menggerakkan jari-jari tangan,
menusukkan jarum ke kain dengan jarak tertentu, menyimpulkan benang, dan
sebagainya.
Setelah
kupikir-pikir, masalahku sebenarnya bukan pada skill menjahitnya. Tapi pada
pengelolaan emosi saat melakukan kegiatan ini. Dulu zaman SMP dan SMA, ada
target waktu, target nilai yang harus dicapai, ditambah lagi ada tekanan emosi
karena membandingkan hasil karyaku dengan karya teman-temanku, ada aroma
persaingan, ditambah lagi dengan keyakinan bahwa menjahit itu sulit , dan
sebagainya yang semuanya membuat aku stress. Kenangan akan kondisi tidak nyaman
ini ternyata terbawa sampai sekarang. Tak heran aku selalu mules kalau harus
berhubungan dengan jarum jahit dan benang.
Ketika meraih
benang, memasukkan ujungnya ke lubang jarum, aku sudah mulai merasa tertekan dan
tak nyaman. Untuk menyelesaikan emosi ini aku mulai bicara pada diri sendiri.
Berdialog dengan self talk. Perbincangan ini melibatkan 2 self talkku, Neng dan
Iwed.
“Okelah Iwed..
Sekarang kondisi sudah berbeda. Kamu bukan lagi pelajar SMP atau SMA. Kamu tak
perlu lagi khawatir tentang nilai. Tak ada guru yang akan menilai kerapian
hasil jahitanmu. Target pun sederhana saja : menjahit lambang-lambang dan label nama
di baju seragam pramuka Rafif sesuai dengan ketentuan sekolah. Tak ada target
waktu harus selesai sekian menit. Santai. Simple. Kamu bisa. “ Kata si Neng.
Kata-kata yang
aku ucapkan sendiri pada diri sendiri itu rasanya sudah melenyapkan sebagian
besar rasa tak nyaman. Meski masih ada khawatir..
“Bagaimana kalau
jariku ketusuk lagi?”Sahut Iwed.
“Kalau ketusuk
resikonya apa? Mati apa nggak? Tetanus nggak? Cuma sakit sedikit aja kan ya?
Resiko megang jarum itu ketusuk jarum. Wajar nggak?” Neng memberondong dengan
pertanyaan berbentuk meta model.
“Iya sih.. “
“Terakhir kamu
ketusuk jarum itu kenapa?”
“Karena
buru-buru. Tegang harus cepat menyelesaikan jahitan. Nah sekarang bagaimana
supaya nggak ketusuk
jarum lagi?”
“Pelan-pelan. Lakukan
dengan tumakninah. Seperti dalam shalat, tumakninah itu rileks, tidak
tergesa-gesa dalam melakukan gerakan dan pikiran fokus pada apa yang
dikerjakan. Mulai dengan menarik nafas yang dalam dan teratur, kemudian
lakukan. “
Kata-kata si
Neng itu manjur membuatku tenang. Aku meraih label nama Rafif. Melipat pinggirannya. Meletakkan di bagian atas
kantung seragam, mengira-ngira posisi yang tepat. Kusematkan jarum pentul di
label nama agar posisinya tak berubah. Lalu mulai menjahit. Aku tak tahu model
jahitan apa yang aku pakai, sepertinya perpaduan antara tusuk jelujur dengan
tikam jejak. Mulai dari sudut label nama, kutusukkan jarum dari bagian dalam
baju, kemudian di lubang yang hampir sama jarum kutusuk kembali. Lewat bagian
dalam baju, benang membentuk garis jelujur. Selanjutnya kutusukkan ke bagian luar, hingga dari luar yang tampak hanya titik-titik kecil
simpul benang mengelilingi sisi label nama. Akhirnya selesai. Ah lega.
Ketika membalik
baju, betapa kagetnya. Ternyata lipatan
baju di bagian dalam ikut terjahit!Aaaaarghhh! Emosiku terpicu lagi.Hampir saja
kubanting baju seragam itu. Tapi si Neng bereaksi.
“Tenang...
kondisi emosimu sudah bagus tadi. Mengerjakannya juga sudah tumakninah. Hanya
kurang teliti saja. Apa sih resikonya melakukan kesalahan? Tak apa-apa, kan? Ini
mudah. Tinggal dibongkar sedikit bagian yang kena lipatan baju bagian dalam,
tak perlu seluruh jahitannya dibongkar. Bisa dilanjutkan lagi jahitannya,
sebentar juga selesai.” Kata si Neng.
Baiklah. Tarik
nafas. Mulai lagi. Kubongkar jahitan yang mengikat lipatan baju. Lalu mengulang
lagi jahitannya. Perlahan. Hati-hati. Alhamdulillah selesai.
Kupandangi
hasilnya. Memang belum rapi, tapi lumayanlah. Si Neng kembali beraksi. Dia
mengucapkan kata-kata sakti yang membuat aku nyaman.
“Selanjutnya
untuk memasang tanda pandu dunia, tanda pelantikan, tanda lokasi dan badge
daerah, kamu hanya perlu mengulang perilaku yang sama dengan yang kamu lakukan
saat menjahit label nama. Kali ini hati-hati, jangan sampai terjahit bagian
dalamnya. Artinya kamu tidak perlu menusukkan jarum terlalu dalam. Mudah kan?”
Tenang,
tumakninah, hati-hati, teliti, santai, nikmati prosesnya.
Alhamdulillah
akhirnya selesai. Aku tak terlalu bangga
dengan hasil jahitanku. Tentu saja mengendalikan emosi dengan memberdayakan
self talk tidak serta merta menjadikan aku ahli menjahit. Tapi setidaknya aku
jadi mampu bersabar menjalani prosesnya. Rasa tak nyaman, mules-mules dan tegang pun
hilang. Dan tujuanku tercapai.
Lambang-lambang itu sudah terpasang di baju pramuka Rafif. Gugur
sudah keyakinan bahwa aku tak bisa menjahit. Aku bisa. Hanya saja butuh latihan
lebih banyak supaya hasilnya lebih rapi. Tinggal tergantung diri sendiri, mau atau
tidak menyediakan waktu latihan menjahit
hingga mahir?
Penyemangat
paling hebat sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Kalau kita punya kemampuan
menasehati dan memotivasi orang lain, mengapa tak kita gunakan kemampuan
itu untuk menyemangati, menasehati dan memotivasi diri kita sendiri?
4 komentar:
Kalau untuk kancing saya bisa jahit sendiri dengan jahit tangan, namun kalau yang lebih kompleks seperti simbol2 seperti itu saya serahkan ke tukang jahit agar lebih rapi.
Mbak beruntung memiliki suami yang cukup telaten ya
Saya juga nggak suka jahit sih, kalau ada baju bolong biasanya saya biarin aja. Bukan trauma atau apa tapi, cumaaa males masukin benang ke jarum.
Saya sih serahin aja ke tukang jahit. Biar rapi
Saya susah lait lobang jarumnya
Posting Komentar