Saat pertama
kali diperkenalkan tentang Neuro Lingusitic Programming (NLP) oleh CikGu Okina
Fitriani, beliau menjelaskan tentang NLP Presupositions. Buat Emak-emak dasteran yang pikirannya
simple, aku cukup pusing dengan belasan macam NLP Presuposition itu. Kalimat-kalimatnya
singkat, tapi punya makna yang dalam. Untuk mudahnya, aku menganggap bahwa NLP
Presuppositions itu adalah prinsip berpikir, sikap dalam memandang dunia dan prinsip
berperilaku dalam ilmu NLP.
Salah satu NLP
Presupposition yang kemudian dalam perjalanan hidupku terbukti bermanfaat
adalah yang satu ini :
Atau
Ketika mendapat
sebuah pemahaman, sebagai muslim aku merasa perlu mencari landasan dalam agama Islam yang aku
anut. Karena sejatinya, jika ilmu berasal dari Allah, pasti dalam Al Quran juga ada
landasannya. Di dalam Al Quran ada ayat yang membuat aku yakin bahwa pemahaman
ini cocok dengan value yang aku yakini. Ayat-ayat Al Quran itu menyebutkan
bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, sebagai berikut :
Al Quran Surat At-Tin [95] : 4
Perkara sudah
punya sumber daya dari dalam diri sendiri sebagai makhluk yang diciptakan dengan bentuk
sebaik-baiknya, seperti puzzle yang dulu
cukup membuat aku pusing, baper dan galau. Lalu masalahnya menjadi lebih jelas
ketika CikGu Okina bicara tentang self talk.
Self talk itu
adalah percakapan yang berlangsung di dalam diri kita sendiri yang dampaknya
sangat besar mempengaruhi kondisi emosi diri sendiri dan respon kita terhadap
berbagai peristiwa yang dihadapi.
Aku baru
mengerti kenapa aku bisa sedih, lalu menangis. Atau marah yang menyebabkan aku
teriak, tapi bisa juga membuat aku duduk, menarik napas panjang, kemudian
berpikir.
Aku baru sadar kenapa
kadang-kadang kepala rasanya penuh. Ternyata self talk didalam kepalaku penyebabnya. Hingga
akhirnya, aku menamai self talk-ku menjadi tiga karakter yang berbeda.
Yang pertama
namanya Iwed. Perasaannya halus,
mudah tersinggung, pemalu, mudah tersentuh, mudah kasihan, penyayang, suka baper-baper
nggak berdaya.
Kemudian si Dewi, pemberani, curigaan, emosional,
suka ngamuk, protes, marah-marah, ambisius, tidak gampang menyerah.
Dan Neng, si bijak, logis, sabar,berdaya.
Bagaimana peran
mereka bertiga? Akan lebih mudah dimengerti kalau aku jelaskan dengan contoh, sebagai
berikut :
Jadi ceritanya
di tahun 2015, ketika itu aku dan sahabat-sahabat team inti Enlightening Parenting sudah
beberapa kali “ngintilin” Mbak Okina Fitriani mengadakan training-training EP.
Suatu hari CikGu bicara.
“Mbak Iwed, aku
nggak mau Mbak Iwed cuma ngurusin training begini-begini saja. Sekarang saatnya
meningkat. Mbak Iwed harus bisa menyampaikan materi ke peserta training EP. Harus
bisa ya!”
Waduh...Lututku
mendadak lemas, perut mules. Aku terlihat tegang terus, sampai Mbak Okina membantuku
dengan terapi supaya bisa lebih santai. Terapi itu mengurangi kecemasanku tapi tidak cukup
membuat aku bisa melakukan sharing ilmu
dengan baik di depan peserta training. Penampilan pertamaku saat menyampaikan
materi training, hiks... banyak sekali kekurangannya. Gugup, suara gemetaran,
napas ngos-ngosan menahan tegang, banyak lupanya sehingga materi yang disampaikan
kurang lengkap.
Sampai di rumah
bayangan tentang penampilan pertama itu makin membuat aku terpuruk. Aku merasa
tidak pantas berada di depan para peserta training. Aku cuma ibu rumah tangga. Nggak
keren.
Setelah kurenungi,
dan bertanya-tanya mengapa aku merasa seperti ini, ingatan membawaku ke
beberapa tahun lalu ketika aku sudah berhenti bekerja. Saat itu salah seorang
teman lama mampir ke Bogor dan kami bertemu. Setelah ngobrol beberapa lama, dia
berkata,
“Halaah Iwed.
Aku kira dirimu sudah jadi wanita karier yang hebat. Dulu waktu sekolah kan
kamu aktif banget. Ternyata sekarang cuma jadi ibu rumah tangga doang. Yang
bener aja?!Apa kerjamu sekarang? Ngabis-ngabisin duit suami?” Kalimat itu
ditutupnya dengan tawa berderai. Sementara aku cuma bisa manyun.
Rupanya
peristiwa itu melukai konsep diriku. Aku benci dia mengatakan kalimat itu tapi
kok aku malah kemudian menerima anggapannya. Bahwa ibu rumah tangga itu ya
nggak keren.
Kepalaku terasa
penuh dan rasanya sungguh tak nyaman. Aku lalu masuk kamarku, membawa dua buah
kursi. Pintu kamar kukunci supaya tidak ada yang mengangguku.
Kursi A dan kursi B kuletakan agak berdampingan tapi membentuk sudut. Aku
bertekad menyelesaikan masalah ini, dengan cara sungguh-sungguh berdialog
dengan diri sendiri.
IWED |
NENG |
Rencananya, aku
akan menjadi si Iwed yang duduk di kursi A. Lalu menjadi si Neng, yang bertindak
sebagai coach, saat duduk di kursi B. Mula-mula aku duduk di kursi A, kemudian
pindah ke kursi B, demikian terus menerus berganti-ganti posisi sambil
berdialog. Percakapannya sebagai berikut :
Iwed : “Aduuh... gimana ini. Masak aku disuruh
ngomong di depan peserta training EP. Aku kan cuma ibu rumah tangga. Peserta
training itu kan keren-keren. Mereka
psikolog, Doktor, pemimpin perusahaan, orang-orang yang jabatannya sudah tinggi
di perusahaannya. Nggak panteslah aku yang nyampein materinya..Aku ini nggak emak-emak dasteran. Nggak keren."
Neng :“Ooh begitu ya. Sebagai ibu rumah tangga kamu
kerjaannya ngapain aja?”
Iwed : “Ya biasalah. Kerjaan emak-emak dasteran itu
ya ngurusin rumah, masak, ngurus suami, ngurus anak.”
Neng : "Kalo kamu ngomong di depan kelas training
itu, kamu nyampein materi apa?”
Iwed : “Ya bicara tentang Enlightening Parenting.
Ilmu Parenting yang didapat dari Mbak Okina.”
Neng : “Gunanya ilmu parenting itu apa?”
Iwed : “Gunanya supaya bisa jadi orangtua yang baik,
yang tercerahkan, supaya bisa ngurus anak dengan baik.”
Neng : “Lha itu.. Supaya bisa ngurus anak dengan
baik kan ya? Ngurus anak itu kerjaanmu apa bukan?”
Iwed : “Ya iyalah.. Aku ya ngurus anak tiap hari.”
Neng : “Orang yang kerjanya ngurusin anak, terus
disuruh ngomong di depan kelas tentang bagaimana cara ngurusin anak. Menurutmu itu wajar apa nggak?”
Iwed : “Eh.. iya ya. Wajar ya. Aku sudah ngerti
ilmunya. Sudah melakukan sendiri. Sudah
nulis artikel menceritakan pengalamanku di buku dan blog. Sudah ada hasilnya
juga.”
Neng : “Lha terus masalahnya apa kalau disuruh
ngomong di depan kelas? Kan ngomongnya bukan tentang ilmu-ilmu canggih
teknologi terbaru atau hitung-hitungan calculus rumit yang kamu gak paham. Masalahnya
apa?”
Iwed :” Iya ya.. Nggak ada masalah ya.”
Di titik ini aku
merasakan sangat lega. Beban emosi yang
mengganjal mendadak hilang, lepas. Sehingga aku merasa yakin bisa tampil lebih
baik ketika menyampaikan materi di kelas-kelas training EP selanjutnya.
Teknik ini dalam
NLP yang namanya Perceptual Position. Kenapa harus pakai dua kursi? Sebenarnya
tidak harus pakai kursi, tapi saat aku melakukan dialog, aku ingin benar-benar
berpindah kondisi emosinya, dari kondisi emosi tak berdaya, ke kondisi emosi
yang netral sehingga mampu berpikir menemukan pencerahan. Kalau sudah sering
melakukan, tak perlu kursi lagi. Bisa dilakukan dengan melakukan percakapan di dalam kepala saja.
Pemberdayaan
diri dengan Self talk sering aku lakukan,
terutama di saat kondisi emosi negatif melanda.
Suatu hari Anin,
anak sulungku menelepon. Dia baru beberapa bulan kuliah di jurusan yang sesuai
dengan minatnya. Tapi percakapan di telepon membuat aku galau. Anin mengatakan
bahwa dia tidak bisa melanjutkan kuliah. Dia tidak mengerti materi kuliahnya,
dan ingin pindah saja kuliah di tempat lain. Emosiku terpicu, kemudian setelah
menutup telepon aku lakukan dialog dengan self talk sebagai berikut :
Iwed : “Ini
anak nggak konsisten. Dia sendiri yang ingin kuliah di Hubungan Internasional.
Sudah lolos seleksi perguruan tinggi negeri, sudah didukung sepenuhnya, lha
sekarang mau pindah ?” (kecewa).
Dewi :“Menghadapi
satu masalah saja langsung menyerah? Mau jadi apa anak ini??!” (marah).
Iwed :“Waduuh... ini dia anak hasil
didikanku selama ini. Gagal dong aku jadi ibu yang baik..” (sedih).
Neng : “Kalau
memang sekarang dia nggak konsisten, bisa nggak membuat supaya dia kembali
fokus pada tujuannya?Nah, bagaimana caranya supaya dia nggak menyerah? Oke, ini
memang hasil didikanku. Aku akui , 14 Tahun aku menerapkan pola asuh yang
salah, baru hampir 4 tahun belakangan ini menerapkan Enlightening
Parenting. Jadi wajarlah kalau masih ada sisa-sisa kesalahan pengasuhan yang
harus aku tuai. Nah, sekarang mau diapakan anak ini? Dimarah-marahi atau
diperbaiki?Inilah kesempatan praktek parental coaching! “
Kata-kata si Neng itu membuat emosi
negatifku hilang seketika. Aku jadi semangat membantu Anin. Silakan baca cerita
lengkapnya di website atau di IG.
Judulnya“MENGHALAU GALAU DENGAN PARENTAL COACHING”
Pemberdayaan diri dengan self talk ini juga
bisa dibaca di tulisanku ketika aku berhadapan dengan si Akang, suami tercinta.
Bisa dibaca kembali ditulisan-tulisanku di link ini :
Tiga Self talk sangat menentukan responku
dalam menghadapi berbagai peristiwa. Meskipun Neng tampaknya paling positif
tapi tidak selamanya dia unggul dalam mengambil
keputusan. Kadang-kadang perubahan dalam hidup terjadi karena ambisi Dewi. Aku tidak akan memutuskan terus berupaya
membangun kemesraan dengan si Akang kalau tidak menuruti kemauan Dewi yang
pantang menyerah.
“Sudahlah. Suamimu baik kok. Terima saja. Bersyukur
saja. Kan dia juga nggak aneh-aneh. Nggak mesra ya nggak apa-apa. Yang penting
dia bertanggung jawab.” Begitu pendapat si Neng.
“Nggak bisa. Aku nggak mau. Rumah tangga ini
akan berlangsung selamanya, seumur hidupku. Dan aku tidak mau menjalani
hari-hari yang biasa-biasa saja bersamanya. Aku ingin dipandang dengan mesra,
dibelai lebih sering, dicium lebih banyak, aku membutuhkan perhatian yang
konsisten. Aku rindu pada romantisme seperti yang pernah dirasakan saat
jatuh cinta dulu. Aku ingin dipuji, dimanja, sedikit dicemburui, dan
diperhatikan bahkan untuk hal-hal kecil.Aku mau keadaan berubah!” Sahut Dewi
sengit.
Pendapat si Dewi inilah akhirnya yang menggerakkan aku
untuk mencari cara mempengaruhi si Akang hingga dia akhirnya jadi mesra lagi.
Bagaimana si Iwed? Apakah dia ada gunanya?
Tentu saja. Si Iwed kan gampang baper. Kalau melihat orang susah, dia yang
menggerakkan aku untuk sedekah, atau membantu orang. Si Iwed pula yang membuatku
bersabar melakukan upaya bermesra-mesra ke Akang, berlembut-lembut ke
anak-anak, demi membangun kembali kedekatan dengan orang-orang tercinta.
Manfaat berdialog dengan self talk adalah :
1. Dengan
Self talk kita bisa mengenal diri sendiri. Bahwa di dalam diri ini kita punya
banyak potensi, misalnya semangat, kasih
sayang, ambisi, pikiran logis dan
lain-lain. Tinggal pintar-pintar kita memilih self talk yang mana yang tepat untuk
diberdayakan, sesuai dengan masalah yang tengah dihadapi. Self talk juga
membuat kita tidak mudah dipengaruhi pikiran negatif atau ide yang tidak sesuai
dengan value yang kita yakini.
2. Sarana
untuk mengambil keputusan terbaik.
Kalau sedang bingung memutuskan mana yang
terbaik diantara beberapa pilihan, berdialog dengan self talk bisa mendorong
kita menemukan pilihan terbaik.
3. Self
talk membuat kita mampu memilih respon terbaik, mampu mengendalikan diri dengan
baik dalam menghadapi peristiwa apa pun. Self talk bisa membantu kita
me-reframe sebuah kejadian.
Misalnya, salah seorang teman di FB
men-share sebuah artikel bernada “menghakimi”.
Judulnya misalnya :
PAMER KEMESRAAN DI FACEBOOK TANDA HUBUNGAN YANG TIDAK
BAHAGIA.
Komentar-komentar yang tertulis di postingan
itu isinya “cakar-cakaran” debat kusir antara emak-emak yang sering posting
foto mesra dengan pasangan melawan emak-emak yang setuju dengan isi artikel.
Frame dari si Dewi : “Wah.. kurang ajar. Artikel ini
ngejekin aku, secara aku sering posting foto mesra. Kayaknya perlu nih nulis
komentar, klarifikasi kalo artikel ini gak benar.”
Re-Frame dari Neng : “Lha, sudah baca artikelnya, ini
penulisnya nggak jelas siapa. Ada dasar
penelitiannya nggak? Ada surveynya nggak? Datanya mana? Nggak ada kan ya?
Ngapain amat buang-buang waktu cakar-cakaran mengomentari tulisan hoax model begini. Hahaha... Nggak usah dipikirin. Selesai!”
Coba renungkan. Setiap perbuatan yang kita lakukan, sebenarnya
didorong oleh self talk kita sendiri.
Kalau melihat dua macam frame di atas, mau
pilih self talk yang mana? Pilih terjun ke kancah cakar-cakaran, berdebat
menumpahkan ego dan amarah, atau mau meninggalkan perilaku memperturutkan emosi?
Maka kembali lagi ke topik di awal tulisan
ini, sebagai manusia sebenarnya kita sudah dikaruniai Allah potensi di dalam
diri untuk menjadi makhluk yang berdaya. Allah sudah menciptakan kita dengan
sebaik-baiknya penciptaan. Maka, mau berubah menjadi lebih baik, lebih percaya
diri, lebih meningkat dan mampu mempengaruhi orang-orang menjadi lebih baik,
bisa dilakukan asal kita bisa memanfaatkan potensi diri, salah satunya dengan rajin
berdialog dengan self talk.
Yuk, mari berdayakan diri dengan self talk kita !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar