Kalau kita punya
keyakinan yang tidak memberdayakan terhadap diri sendiri, terhadap anak, suami
atau orang lain, jangan di pelihara ya.. Mending pelihara kucing atau ayam J
Keyakinan-keyakinan
yang tidak memberdayakan sering disebut limiting
beliefs atau mental block.
Keyakinan ini jika disematkan kepada diri sendiri akan menghambat kita
bertumbuh menjadi lebih baik. Jika
disematkan pada orang lain menjadi label negatif yang selain tidak baik bagi
orang tersebut, juga mengganggu emosi kita sendiri saat menghadapi orang
tersebut.
Contohnya apa
sih limiting belief itu? Kalau ada yang bilang begini,
“Aku itu
pemalas.”
“Anakku yang bungsu itu lemot.”
“Suamiku nggak
pernah mendengarkan aku.”
“Aku nggak bisa
bicara di depan orang banyak.”
Limiting belief
atau label buruk yang kita sematkan pada diri sendiri maupun orang lain membuat
kita tidak punya respon yang luas,
sehingga merugikan diri atau orang-orang
terdekat yang kita beri label itu. Kok bisa merugikan?
Contohnya
pengalamanku sendiri. Dulu, aku pernah diberi label pemalas oleh Mamiku. Karena
Mami bilang aku pemalas, sedangkan Mami adalah orang yang mengasuh aku sejak lahir
hingga dewasa, dan aku anggap Mami adalah orang yang paling kenal diriku, maka
aku percaya bahwa aku memang pemalas.
Suatu ketika aku pernah ditawari ikut
mengerjakan sebuah proyek bersama teman-teman.
“Ini proyek
pakai deadline lho! Jadi harus rajin dikerjakan.” Ujar temanku.
Aku yang tadinya
semangat ingin ikut, tiba-tiba merasa tak sanggup. Dalam hati aku berkata,
“Lha, harus
rajin dikerjakan? Aku kan pemalas. Mana bisa? Nanti aku bakal keteteran
mengejar deadline. Mending dari awal saja aku nggak usah ikutan.”
Karena pemikiran
itu, akhirnya aku memutuskan tak jadi ikut mengerjakan proyek. Padahal setelah
proyek itu berjalan, aku banyak punya waktu luang. Seandainya aku jadi ikut,
pasti bisa mengerjakan pekerjaan itu. Akhirnya, teman-temanku yang mengerjakan
proyek memperoleh keberhasilan,
sementara aku cuma gigit jari. Menyesal.
Apakah aku harus
marah pada Mamiku? Ya nggaklah. Mami kan dulu belum pernah belajar ilmu
parenting sehingga dia tidak mengerti kalau melabel anak itu efeknya tidak
baik.
Di kelas
Enlightening Parentingnya Mbak Okina, aku dibantu melepaskan label pemalas dengan
menggunakan meta model chunk down.
Apa itu meta
model ? Meta model atau pertanyaan klarifikasi adalah bentuk serangkaian pertanyaan yang
digunakan untuk memperoleh informasi lebih lengkap, sehingga berguna untuk
memodel dunia lebih luas. Sedangkan
chunk down artinya mencacah informasi sehingga tampak detailnya. Manfaat
mencacah informasi adalah untuk membangkitkan kesadaran, dan mengembalikan persepsi ke realita yang
sesungguhnya.
Okina : “Mbak Iwed, bagaimana tepatnya Mbak Iwed
merasa bahwa Mbak Iwed itu pemalas? Apakah 30 hari sebulan, 7 hari seminggu, 24
jam sehari Mbak Iwed selalu malas?
Iwed : “Iya
nggak juga. Tapi aku suka kadang malas mengerjakan suatu pekerjaan.”
Okina : “Biasanya
kalau malas mengerjakan sesuatu itu dalam keadaan apa?
Iwed : “Kalau
capek, atau sedang nggak enak badan.”
Okina : “Mbak
Iwed pernah merasa rajin, nggak?
Iwed : “ Pernah.”
Okina : “Coba
ceritakan apa saja kegiatan Mbak Iwed dalam satu hari.”
Iwed : “Aku bangun subuh, shalat, menyiapkan sarapan
anak dan suami, mengantar anak ke sekolah, menulis, masak, jemput anak dan
antar mereka les, antar anak pulang ke
rumah, menemani mereka, menemani suami, lalu tidur.”
Okina : “Lha pekerjaan sebanyak itu dikerjakan tiap
hari, kira-kira itu pekerjaannya orang pemalas apa bukan?”
Iwed : (Cengengesan).
Okina : “Saat
Mbak Iwed mengerjakan pekerjaan-pekerjaan itu apa yang dirasakan?”
Iwed : “Semangat.
Karena cinta sama anak dan suami.”
Okina : “Artinya
Mbak Iwed bisa rajin kan? Bagaimana caranya supaya bisa rajin terus?”
Iwed : “Menjaga semangat, menjaga cinta pada
keluarga, dan juga menjaga fitalitas dan kesehatan badan.”
Okina :“Jadi Mbak Iwed itu pemalas apa bukan?”
Iwed :“Hehehe... bukan.”
Maka gugurlah
limiting belief itu.
Contoh lain cara
menggugurkan limiting belief pernah aku lakukan terhadap Rafif yang melabel
Bapaknya sebagai “tukang marah”. Hal ini terjadi karena pada saat marah, si Bapak
nada bicaranya tinggi,suaranya keras, ekspresi wajah menyeramkan, sehingga
heboh dan tertanam kuat di ingatan Rafif.
Berhubung
Bapaknya Rafif sudah berkomitmen untuk berubah, berupaya menjadi teladan yang
baik bagi anak-anaknya, maka aku merasa perlu membantu Rafif menggugurkan
limiting belief atau label negatif yang terlanjur disematkannya. Tujuanku,
dengan menggugurkan limiting belief , proses membangun kembali kedekatan yang
diupayakan si Bapak pada Rafif bisa berjalan lebih lancar.
Rafif : “Bapak
itu tukang marah.”
Mama : “Rafif yakin Bapak tukang marah? Memangnya
dalam 30 hari sebulan, setiap hari, setiap saat Bapak itu selalu marah?”
Rafif : “Ya
enggak sih...”
Mama : “Coba,
dalam sehari saja. Dalam 24 jam. Berapa kali dan berapa lama Bapak marah, Fif?”
Rafif : “Yaa..
nggak tiap hari sih..”
Mama : “Nah, di hari saat Bapak marah, berapa lama
sih Bapak marahnya? Berapa jam atau berapa menit?”
Rafif : “Ya..
kira-kira 10 menitlah.”
Mama : “Sepuluh
menit dalam 24 jam ya?”
Rafif : “Ya
kira-kiranya segitu.”
Mama : “Oke. Yuk kita hitung presentasinya ya. Dalam
24 jam itu kan Bapak tidur kira-kira 7 jam. Jadi sisanya 17 jam. 10 menit dibagi 17 jam ya. Supaya
enak kita jadikan menit semua. 10 menit dibagi 1020 menit itu sama dengan 0.98
%. Presentasi Bapak marah adalah 0.98 %. Artinya presentasi Bapak nggak marah
adalah 99.02%. Benar nggak, Fif?”
Rafif : “Iya.”
Mama : “Nah,faktanya
Bapak marah cuma 0.98% sedangkan tidak marah 99.02%. Lha kok bisa Rafif bilang
Bapak itu tukang marah? Jadi sebenarnya, Bapak itu tukang marah apa bukan?”
Rafif :
Cengengesan, lalu menggelengkan kepala.
Maka gugurlah
sudah keyakinan Rafif kalau Bapaknya tukang marah. Alhamdulillah.. sekarang
Rafif kalau ditanya kapan terakhir melihat Bapaknya marah, dia sudah tak ingat
lagi. J
5 komentar:
Hi.mb iwed, saya meluncur kesini dr fb BP. Inspiratif dan membantu skali metode cacah mencacahnya #eh. Iya yah...sadar ga sadar sering bgt kasih label negatif ke diri sendiri maupun org lain. Tfs mba :)
waah ilmu banget nih mba. Saya pun termasuk yang melabeli diri pemalas. Padahal kalau pakai metode di atas saya rajin kok pagi2 udah bebenah nyiapin urusan anak dan siap2 ke kantor. Label diri juga bisa jadi sugesti yang dampaknya ke kehidupan sehari-hari ya. Bismillah jangan sampai lagi saya mengucapkan label buruk ke diri sendiri dan anggota keluarga.
Dulu suka baperr kalau ada komen negatif orang, tapi terus mikir2 sendiri dan ngomong ke diri sendiri
Yaelah paling cuma berapa sih yg gitu, masih banyak yg g gitu xixixi
Kadang kita eh saya kalii suka fokus ke bagian negatifny sih g
Iya sih, labelling itu kebiasaan yang tidak baik. Jadi untuk mengubahnya perlu kebalikannya ya berpikir positif :)
Labelling memang dahsyat efeknya, ya, Mbak. Apalagi kalau negatif. Tips yang terakhir boleh juga. Kayaknya saya bakal mencoba. Terima kasih :)
Posting Komentar