Banyak orang
berpendapat ilmu parenting hanya cocok
untuk anak-anak usia balita hingga mencapai baligh saja. Kalau anak sudah lebih
dewasa, sudah telat menerapkan ilmu parenting. Pendapat ini sungguh tak
berdasar.
Kenyataannya, ilmu
parenting tetap sangat dibutuhkan di semua tahap perkembangan anak. Masalah
yang dihadapi anak pun terus berkembang. Maka tugas orang tua menerapkan pengasuhan tetap berlanjut hingga
nyawa terpisah dari raga. Tak terkecuali saat sang anak yang sudah menjadi
mahasiswi tiba-tiba galau.
Pesan Whatsapps masuk ke telepon selular-ku, dari
si sulung.
- Anin : Mama, Anin mau kuliah di Taiwan aja, kayak kawan Anin.
- Mama : Lho? Maksudnya bagaimana?
- Anin : Anin pindah kuliah aja.
- Mama : Nanti kita bicarakan ya, Nak..
- Anin : Ok
Percakapan Whatsapps
itu sempat tak terlalu aku hiraukan. Kupikir Anin sedang iseng. Tapi keesokan
harinya..
- Anin : Ma, Anin mau belajar sambil magang aja. Pindah kuliah.
- Mama : Sebenarnya ada masalah apa, Nak?
- Anin : Anin gak ngerti apa-apa sama sekali.
- Mama : Apanya yang Anin gak ngerti? Materi kuliah?
- Anin: Iya. Materi gak jelas. Anin gak ngerti. Sudah baca ,materinya benar-benar nggak ada yang masuk otak. Sudah nggak ngerti lagi Anin. Emang bukan bakatnya di sini.
- Mama : Mata kuliah yang mana, Nak?
- Anin : Semua mata kuliah Ma. Kan Anin pernah kirim ke Mama apa saja mata kuliahnya. Nah, semuanya Anin gak bisa. Sampai sekarang, masuk kuliah nggak dapat ilmu apa-apa. Sejarah Hubungan Internasional saja Anin belum mengerti. Definisinya saja nggak tahu. Jadi tahun depan mau kuliah jurusan yang lain aja.
- Mama : Anin, tenang dulu ya Nak. Nanti Mama telpon.
Aku segera
menghubungi suamiku, si Akang. Dia sedang di kantornya di Jakarta. Kujelaskan
isi percakapan dengan Anin.
“Kita cari hotel
dekat tempat kos-nya Anin. Kita menginap bertiga dengan Anin malam ini, Neng.”
Ujar si Akang. Aku setuju dengan keputusan Akang untuk menunjukkan keseriusan kami menanggapi kegundahan Anin.
Maka setelah
berkoordinasi dengan Anin, Emak dasteran
pun cepat-cepat berganti kostum, lalu nyetir dari Bogor ke Jakarta.
Akang dan Anin
lebih dulu sampai di hotel. Sementara menunggu aku yang terjebak macet parah,
Akang mengajak Anin berbincang-bincang. Kesempatan itu digunakan Akang untuk
membangun kedekatan, agar Anin merasa nyaman menyampaikan uneg-unegnya. Dia
juga berusaha menanamkan belief lewat kisah-kisah pengalaman hidupnya supaya
Anin tergugah.
Anin dan Bapak |
Ketika aku
akhirnya sampai di hotel, kami ngobrol bertiga dalam suasana santai sambil
makan sate. Wajah Anin terlihat cerah. Tampaknya sesi berduaan dengan
Bapaknya sangat membantu dia merasa lebih nyaman meski pun sedang menghadapi masalah.
Pagi hari,
ketika si Akang sudah berangkat ke kantor, aku mulai membuka percakapan tentang
permasalahan Anin. Rencanyanya aku ingin menerapkan metode parental coaching untuk membantu Anin
menemukan solusi masalahnya.
“Anin nggak
bisa, Ma. Anin sudah belajar, sudah baca berkali-kali tapi tetap nggak bisa.
Makanya Anin mau pindah saja. Tahun depan Anin mau ikut seleksi masuk perguruan
tinggi negeri lagi ya.” Ujar Anin dengan tampang kusut.
Ketika aku membantu
orang lain, meski ia membawa berbagai masalah yang jauh lebih pelik, rumit bin
ribet, meski pun dia mengadukan masalahnya sambil menangis, marah-marah, bahkan
histeris, aku bisa dengan mudah
mengelola emosiku. Aku bisa menjaga emosi dalam kondisi netral, tidak terhanyut
atau terpengaruh.
Namun melakukan
parental coaching terhadap anak sendiri, ternyata ada tantangan
yang lebih. Mau tak mau, ada
ikatan rasa yang sangat kuat dengan anak. Dia adalah bagian dari diriku. Masalahnya
adalah masalahku juga. Lalu ada ekspektasi yang tinggi terhadap anak. Semua
itu menambah beban emosiku.
Jangan tanya
bagaimana perasaanku. Yang jelas ada rasa kecewa, keinginan untuk marah,
sekaligus sedih. Ini jelas emosi yang tidak memberdayakan. Bagaimana bisa timbul perasaan itu? Seperti
ini self talk yang ribut di kepalaku.
“Ini anak nggak konsisten. Dia
sendiri yang ingin kuliah di Hubungan Internasional. Sudah lolos seleksi
perguruan tinggi negeri, sudah didukung sepenuhnya, lha sekarang mau pindah ?”
(kecewa).
“Menghadapi satu masalah saja
langsung menyerah? Mau jadi apa anak ini??!” (marah).
“Waduuh... ini dia anak hasil
didikanku selama ini. Gagal dong aku jadi ibu yang baik..” (sedih).
Menyadari
timbulnya emosi negatif itu, aku mengerahkan self talk yang memberdayakan,
dengan me-metamodeli diri sendiri. Hal ini kulakukan sesuai dengan prinsip 5 pillar
komunikasi, dimana langkah menyelesaikan
emosi sangat krusial sebagai syarat untuk bisa berfikir jernih menemukan
solusi.
“Kalau memang sekarang dia nggak
konsisten, bisa nggak aku buat supaya dia kembali fokus pada tujuannya?”
“Nah, bagaimana caranya supaya dia
nggak menyerah?”
“Oke, ini memang hasil didikanku.
Aku akui , 14 Tahun aku menerapkan pola asuh yang salah, baru hampir 4 tahun belakangan ini menerapkan Enlightening
Parenting. Jadi wajarlah kalau masih ada sisa-sisa kesalahan pengasuhan yang
harus aku tuai. Nah, sekarang mau diapakan anak ini? Dimarah-marahi atau
diperbaiki?”
Self talk yang
demikian itu dengan cepat menyelesaikan emosiku. Rasa tak nyaman akibat kecewa,
marah dan sedih segera surut, berganti semangat untuk melakukan parental
coaching. Lalu aku mulai dengan building rapport (membangun kedekatan) dengan teknik pacing-leading yang di dalam materi Enlightening Parenting disebut dengan "pahami dulu, lalu arahkan".
Pacing adalah
upaya untuk menyamakan berbagai aspek terhadap seseorang (dalam hal ini, Anin)
dengan tujuan untuk membangun kedekatan.
Hal ini aku butuhkan agar Anin merasa dipahami, dimengerti dan merasa
nyaman curhat pada Mamanya. Setelah Anin merasa nyaman, proses leading yaitu mengarahkan Anin pada tujuan akan lebih mudah.
“Anin, Mama
mengerti Anin menemui kesulitan. Bukan
cuma Anin lho yang mengalami hal seperti
ini. Mama juga. Dulu, waktu awal-awal kuliah, nilai Mama sempat
hancur-hancuran. Anin kenal Bunda Okina
Fitriani kan? Nah, orang secerdas dia
juga ternyata pernah kewalahan saat semester awal kuliahnya. Sahabat Mama, Tante
Gita Djambek juga begitu. Ini masalah umum, Nak. Masa penyesuaian dari cara belajar
anak SMA lalu berubah jadi mahasiswa. Jadi jangan khawatir, Anin nggak
sendiri,lho . Sekarang coba ceritakan
bagaimana cara Anin belajar.”
“ Ya Anin
baca. Tapi nggak ngerti. Berkali-kali
baca juga nggak ngerti.”
“Oke. Anin baca
sendiri materinya? “
“Ya iyalah.”
“Menurut Anin,
ada nggak cara lain, supaya Anin bisa mengerti?”
Anin diam.
Wajahnya rusuh, seolah pikirannya buntu.
“Oke. Tadi Anin
bilang kalau Anin belajar sendiri, terus nggak mengerti materinya. Nah kalau
belajar sendiri nggak bisa, lalu apa yang mungkin bisa dilakukan supaya Anin
mengerti materinya?” Aku menatap wajah Anin, menunggu reaksinya.
“Belajar sama
teman yang pintar. “
“Siapa itu teman
yang pintar?”
Anin menyebutkan
nama salah satu sahabatnya.
“Nah.. berarti
kita dapat satu cara ya. Belajar sama sahabat Anin. Selain itu siapa lagi?”
“Ada kakak tingkat
Anin, Ma. Tapi dia kayaknya perlu uang transport kalo harus ngajarin Anin. “
“O ya, nggak
apa-apa. Wajar saja, kita menghargai dia kalau dia mau jadi mentor Anin. Jadi
apa yang bisa Mama bantu?”
“Paling nanti
Mama tambahin ya, uang untuk ganti transport dan fee kalau Anin jadi minta
tolong Kakak tingkat.” Anin menopangkan tangan didagunya, bibirnya tertarik ke
atas membentuk seulas senyum.
“Siaaap.. Jadi
sudah ada dua alternatif ya. Belajar sama sahabat, atau belajar sama Kakak
tingkat. Bisa dilakukan? “
Anin mengangguk.
Wajahnya sudah berubah cerah. Artinya sekarang aku sudah bisa mulai menanamkan
keyakinan yang positif (installing belief dengan Milton Model).
“Anin, Mama ingin mengingatkan kembali tentang tujuan
Anin. Mama masih ingat ketika Anin bilang ingin kuliah di jurusan Hubungan
Internasional. Lalu selain itu, Anin
juga memilih 2 jurusan lain. Mama dan Bapak mendukung sepenuhnya apa yang
menjadi keinginan Anin. Ingat nggak Mama bilang bahwa Mama mendoakan Anin? “
Tanyaku.
Anin mengangguk.
“Mama berdoa
bukan minta pada Tuhan supaya Anin diterima di jurusan Hubungan Internasional
(HI), lho Nak. Ya Allah, pilihkanlah mana yang terbaik untuk anakku. Begitu doa
Mama. Lalu ketika ternyata Anin diterima di HI, bukan di dua pilihan yang lain, apakah mungkin Allah SWT
asal-asalan saja memilihkan jurusan kuliah untuk Anin? “
Anin tersenyum.
Wajahnya jauh lebih cerah. Ada ekspresi kelegaan di wajahnya.
“Artinya apa,
Nak? Insya Allah ini adalah jalan yang dipilihkanNya. Jalan yang terbaik untuk
Anin. Jadi kalau diperjalanan ini Anin menemukan masalah, apa yang akan Anin
lakukan? Masalahnya di hindari, didiamkan saja, atau dihadapi?"
Anin menatapku.
“Dihadapi, Ma. “
Jawabnya mantap.
“ Hehehehe...
Toss dulu dong kita.” Ujarku,menyodorkan lima jari. Anin menyambut dengan
senyum. Telapak tangan kami bertemu.
Ah... Leganya.
Proses coaching selesai.
Kegalauan Anin
itu terjadi di bulan Oktober 2017 ketika dia baru 2 bulan kuliah. Di akhir
semester pertama, ketika Index Prestasi Kumulatif (IPK) dibagikan, Anin mendapatkan IPK 3.5. Cukup
baik untuk mahasiswi yang dulunya galau.
“Anin, bagaimana
cara Anin belajar sehingga hasilnya sebaik ini? “ Tanyaku.
“ Anin belajar
sendiri.”
“Wah, sudah bisa
ya Nak? Tidak jadi dimentori Kakak tingkat?”
“Anin bisa
belajar sendiri. Hanya saja tempo hari sedang galau. Belajar sambil galau ya
bedalah hasilnya dengan belajar tanpa beban. “ Sahut Anin riang.
Oh, begitu. Ternyata
masalahnya sederhana saja. Selesaikan kegalauan anak, sehingga dia bisa menemukan sendiri solusi permasalahannya. Alhamdulillah...
21 komentar:
Anak yang hebat lahir dari ibu yang hebat. Inspiratif sharenya mba. Tq
Mama yg hebat jd contoh aq nih bt anak2 bujangku thanks juli...
Mamah yang hebat..harus seperti jadi teman ya bunda
Mama yang hebat (3) :D
Aku setuju dg pola asuh yg menempatkan org tua sbg teman bagi anaknya dan semua masalah dibicarakan dg baik dan demokratis. Aku suka gemes klo liat org tua yg malah memojokkan si anak bkn membantunya keluar dr masalahnya.
mbak salam kenal ya. Ijin share ke suami ya...walopun anakku masih kecil2 banget semua, insya Allah ilmu ini bermanfaat.
Thx informasi yang bermanfaat sekali.
https://bacakomik.web.id
Bagussss bangettt mbaaa
Sama-sama Mbak@Abby Onety
Sama-sama Anty @snaptralala channel
@Dunialingga : jadi teman, jadi coach juga😁
Hehe twrimakasih @Mayuf
Siiip... toss dulu ✋@Dewi Nuryanti
Boleh Mbak @imelda silakan di share
Sama2 @asran redfield
Terimakasih Mbak @Nurul Rahmawati
Perlu ada waktu buat self talk juga ya Mbak. Jadi ibu bisa ngambil tindakan yang tepat dibanding langsung ngomel terbawa emosi. Saya masih seringnya gitu. Karena nggak meluangkan waktu buat self talk. Semacam tau yang bener tapi tetep nurutin emosi karena tekanan dari orang2 sekitar. Kalau anak rewel jadi ada yang ikut rewel juga dan saya sering kepancing emosinya apalagi kalau capek. Makasi ya sharingnya.
Kereeeeen mbak pendekatannya...two thumbs up buat anin..
Anin hebat. Ibunya juga hebat. Semoga ke depan semakin sukses ya, Mbak...
Mama yang benar-benar hebat. Sangat menginspirasi salut buat mama nya . Sukses terus mb.
Ibu anaknya cantiik
Posting Komentar