Papi hanya tersenyum kalau kutanya kenapa
tidak beli mobil yang lebih bagus. Pertanyaan retoris yang tak perlu dijawab.
Tentu saja, karena aku sendiri sudah mengerti bahwa inilah mobil yang mampu
dibeli Papiku, seorang pegawai negeri jujur yang memegang teguh prinsip
idealismenya, dengan beban satu orang
istri dan 5 orang anak perempuan yang
semuanya sekolah.
Hubungan kami dengan si Jando Beraes ini pasang surut,
sering kuibaratkan “ benci tapi terpaksa rindu”. Yah... terpaksa rindu, karena inilah satu-satunya
kendaraan yang kami miliki saat itu.
Waktu itu selepas shalat subuh kami
sekeluarga berangkat dari Palembang menuju rumah nenek di Lampung. Jalanan
masih sepi. Papi yang duduk dibelakang kemudi serius menekuri jalan lintas
Sumatera. Mami duduk di depan, sementara aku dan keempat adikku berdesakan di bangku belakang. Hebat sekali, 5 orang
anak perempuan bisa muat di bangku belakang sedan tua itu. Tak anehlah, karena
kami dulu bertubuh kecil kurus.
Hari beranjak siang, aku dan
adik-adikku terangguk-angguk di bangku belakang. Mata kami terpejam dibuai
kantuk. Sesekali tubuh kami condong ke kiri atau ke kanan seirama tikungan yang
dilewati.
Tiba-tiba aku terbangun. Jando beraes
tak bergerak.
“ Waduh, mogok.” Ujar Papi sambil
beranjak turun dari mobil lalu membuka kap mesin.
Aku ikut turun. Kami di tengah jalan.
Di belakang kami pasar yang padat pengunjung. Jando Beraes yang ngambek di
tengah jalan jelas mengganggu lau lintas.
Cepat-cepat aku bangunkan
adik-adikku. Satu persatu mereka turun dengan wajah mengantuk. Kami pun bersiap
mendorong mobil ke pinggir.
Beberapa pria yang berdiri di pinggir
jalan terusik hatinya melihat 5 anak
perempuan mendorong mobil bobrok.
“ Sudah, Dik. Duduk saja di sana.
Biar kami yang dorong. “ Ujar salah seorang lelaki.
“ Terimakasih, Pak!” Ucapku, antara
berterimakasih dan malu.
Kami berlima duduk berjejer dipinggir
jalan. Mami duduk agak jauh dari kami,
sementara Papi mengambil air untuk mengisi radioator.
Apa yang terjadi pada Jando Beraes?
“ Mesinnya terlalu panas. Sepertinya
radiator bocor. Kita harus menunggu sampai mesinnya dingin.” Kata Papi.
Olalaa... Jadi tak ada yang dapat
kami lakukan selain menunggu hati si Jando Beraes kembali dingin. Ternyata dia
gampang emosi . Terbukti dalam perjalanan mudik itu total 4 kali si Jando
ngambek. Sehingga kami harus rela 4 kali duduk menunggui mesinnya dingin.
Oh...kejaam!
Jando Beraes kadangkala tak memandang
tempat dan waktu untuk ngambek. Dia berlaku semaunya saja. Pernah waktu itu dia
mogok persis di pusat kota Palembang. Di depan mesjid Agung yang ramainya bukan
kepalang. Sambil mendorong mobil aku
berdoa semoga saja tak ada teman-temanku yang melihat aksiku. Jando Beraes,
teganya dikau!
Namun adakalanya Jando Beraes berbaik
hati. Aku bahkan tak menyangka dia bisa begitu perkasa. Seperti hari itu..
Sinar keemasan matahari pagi di bulan
April 1997 menghamburkan kehangatan di
penjuru bumi. Dari balik deretan pohon
karet, matahari mengintip malu-malu laksana gadis muda yang diam-diam menebar pesonanya.
Aku
duduk pasrah di jok Jando Beraes. Di belakang kemudi, Papiku terlihat serius
menyusuri jalan lintas Sumatera menuju arah Jambi. Sesekali setir mobil dibelokkannya dengan gerakan zig-zag
hingga sedan tua itu meliuk-liuk menghindari lubang menganga di
aspal .
Kupandangi Papi dengan perasaan
bercampur-aduk. Sebenarnya hatiku tak tega membiarkan Papi mengantarku. Belum
terbayangkan bagaimana dan di mana sebenarnya
lokasi yang di tuju itu. Yang aku tahu
hanyalah bahwa aku harus datang untuk wawancara penerimaan karyawan, sehubungan
dengan surat lamaran pekerjaan yang pernah
kukirimkan.
Kemarin sore, seseorang menelpon,
menanyakan apakah aku sudah bekerja atau belum. Lalu dia menanyakan apakah
benar aku pernah mengirim surat lamaran pekerjaan ke sebuah perusahaan Jepang
bernama Penta Ocean. “ Ya, benar.” Jawabku. Padahal sebenarnya aku tidak ingat
pernah mengirim surat lamaran ke perusahaan itu. Sudah ratusan surat lamaran
disebarkan kemana-mana untuk menggenapkan usaha mencari pekerjaan setelah
menjalani wisuda sebagai sarjana teknik sipil beberapa bulan yang lalu.
“Kamu besok siang di tunggu di kantor Penta Ocean di Grissik. Besok pagi
kamu berangkat dari Palembang lewat jalan lintas Sumatera ke arah Jambi. Nanti
cari Desa Peninggalan, kecamatan Tungkal Jaya, Musi Banyu Asin. Letaknya di
pinggir jalan sekitar 3 jam perjalanan dari Palembang. Di desa Peninggalan itu
ada mess karyawan Penta Ocean. Tanya saja disana, bagaimana caranya menuju
kantor Penta Ocean. Besok temui Mr. Tsano untuk wawancara. “
Grissik? Desa Peninggalan? Nama-nama
tempat itu terasa asing, bagaikan negri antah berantah. Belum pernah aku
dengar atau lihat lokasinya di peta
sebelumnya. Maklumlah aku benci pelajaran geografi, menggambar peta, apalagi ujian peta buta.Nilai-nilaiku untuk pelajaran
itu lumayan jeblok dibandingkan nilai Matematika dan IPA.
Bagi
seorang pencari kerja seperti aku, tawaran untuk interview selalu terasa
menarik, meskipun lokasinya belum jelas di mana. Papiku dengan semangat
langsung menawarkan diri untuk mengantarku, tentu bersama jando Beraes.
Meskipun hal ini terasa menambah beban moral di pundakku, aku tak punya pilihan
lain.
Aku, anak pertama yang menjadi
tumpuan harapan kedua orangtua tentulah mengerti akan tanggung jawabku, melihat
beberapa tahun ke depan Papi yang seorang pegawai negeri akan pensiun sementara
ke-empat adikku masih sekolah dan kuliah.
Aku melemparkan pandangan ke sisi
jalan yang ditumbuhi pohon-pohon dan semak.
Sesekali terlihat beberapa rumah panggung kayu berdiri di atas rawa dan
perkampungan penduduk. Selebihnya hutan
Sumatera yang senyap. Perasaanku campur aduk antara harap-harap cemas dan
penasaran. Berharap bisa memperoleh pekerjaan hingga memenuhi harapan kedua
orang tua dan adik-adikku. Cemas pada jando beraes. Semoga hari ini dia berbaik hati, tidak mogok dan
bertingkah akibat penyakit tuanya.
Penasaran karena aku ingin segera mengetahui perusahaan macam apa yang
telah memintaku hadir hari ini.
Sekitar 3 jam perjalanan sudah kami
lalui, ketika mataku akhirnya menangkap sebuah papan bertuliskan “ Mess
Karyawan Penta Ocean” berdiri tegak di depan dua buah rumah bercat putih. Dua
rumah itu bersebelahan tetapi berada dalam satu pagar. Papi memarkir Jando Beraes
di halaman rumah itu.
Aku menghampiri pintu rumah yang
terbuka. Seorang ibu setengah baya sedang duduk
sambil memangku baskom berisi kacang panjang. Kepalanya tertunduk
menekuni pekerjaannya memotong-motong kacang panjang, sementara lagu dangdut Melayu meratap-ratap pedih terdengar
dari sebuah radio-tape butut yang teronggok di meja. Aku mengucapkan salam. Ibu
itu agak terkejut melihat kedatanganku. Dia segera menghampiri setelah
mengecilkan volume radionya.
“Waalaikum salam. Adik mau cari siapa
ya?” Tanyanya.
“ Saya dari Palembang, Bu. Kemarin
saya ditelpon disuruh datang ke kantor Penta Ocean untuk bertemu Mr. Tsano.
Kalau ke kantor lewat mana ya, Bu?’’.
“ Wah, sayang sekali. Baru saja tadi
mobil yang mengantar makan siang karyawan berangkat ke kantor. Mestinya Adik
ikut mobil tadi. Tapi kalau mau pergi sendiri ke sana bisa juga.” Mata si Ibu tertumbuk
pada mobil bobrok yang terparkir di halaman. Dari ekspersi wajahnya, aku tahu
si Ibu meragukan kemampuan Jando Beraes.
“Hati-hati ya, Dik. Semoga tidak hujan. Jalan
kesana belum di aspal. Kalau hujan turun, jalan tanah merah itu tak bisa
dilalui mobil yang tidak dilengkapi double gardan. Jalannya jadi
berlumpur dan licin. Banyak terjadi kecelakaan di jalan itu, mobil terjungkal
karena tak sanggup melalui tanah licin berlumpur
saat hujan. “
Hatiku dilanda kekhawatiran , namun aku tidak bisa mundur
lagi. Setelah memperoleh penjelasan dari si Ibu, aku dan Papi berpamitan dan
mengucapkan terimakasih.
Sebelum masuk mobil, kubelai kap
Jando Beraes. “ Tolong bantu aku.” Bisikku. “ Ini hari yang penting.”
Sejurus kemudian kami melanjutkan
perjalanan menuju kantor yang dimaksud.
Sekitar 3 km dari mess
Peninggalan, Jando Beraes berbelok masuk ke sebuah jalan tanah lebar yang
membelah belantara Sumatera. Jalan itu
mengepulkan debu tebal tanah merah ketika roda mobil melewatinya. Hatiku tak
henti-henti melantunkan doa, mengusir
segenap gundah dan rasa bercampur aduk di dada.
Jalan tanah itu kadangkala menanjak, menurun serta berliku. Dikiri-kanan jalan
terbentang hutan belantara. Sesekali terlihat kawananan monyet bergelantungan
di pohon. Seekor rusa kecil berlari menyeberang jalan lalu menghilang di balik
semak. Lalu ular berukuran lumayan panjang tampak melintas cepat di hadapan kami.
Beberapa saat kemudian mulai tampak
bangunan-bangunan semi permanen,
dikelilingi pagar kawat di sisi kiri-kanan jalan. Gundukan pasir dan
koral tertumpuk di pinggir jalan. Sebuah
kompleks mess karyawan yang luas dijaga
petugas keamanan terlihat di depan mataku, hingga akhirnya kami tiba di sebuah
areal luas terbuka berbatas pagar kawat yang kokoh. Setelah melapor pada
petugas keamanan di pos penjagaan, kami dipersilahkan melewati gerbang.
Mataku segera menangkap berbagai
aktivitas di sana. Di bawah teriknya matahari yang terasa membakar kulit,
tampak alat berat seperti crane, loader, excavator dan roller tengah beroperasi
di beberapa titik. Gundukan tanah galian, pasir, koral dan batu pecah
(split) terlihat dimana-mana.
Beberapa kelompok pekerja kasar
tengah melakukan pekerjaan diawasi
mandornya. Container-container bercat merah tampak berderet di sisi
kanan. Sebuah bangunan batching plant
dengan mobil pengaduk semen tengah beroperasi di sudut sana. Aku menebarkan pandangan ke penjuru tempat itu. Terpesona. Tak menyangka di tengah hutan
belantara Sumatera ada tempat seperti ini. Apakah yang sedang di kerjakan
orang-orang ini? Akan dibangun apakah tempat ini? Tentu aku akan dapat banyak
pengalaman hebat bila bisa bergabung di sini.
Aku turun dari mobil, meninggalkan
Papiku yang menunggu di dekat pos satpam.
Aku berjalan menuju sebuah bangunan bercat putih berbentuk segi empat
memanjang. Seorang pria setengah baya berpakaian seragam dari bahan Japan drill
berwarna cream dengan logo Penta Ocean di dadanya, mengenakan sepatu boot hijau, dan helm putih tiba-tiba muncul di
pintu.
“ Permisi, Pak. Saya diminta datang
ke kantor Penta Ocean untuk bertemu Mr. Tsano. Apakah ini benar tempatnya? “
Tanyaku.
“ Oh, ya benar. Silahkan masuk, Dik.
Mari saya antar. “ Tangan si Bapak meraih gagang pintu dan mendorongnya hingga
terbuka. Udara sejuk dari pendingin udara merayap keluar membelai wajahku,
sungguh berbeda suhu di luar dengan di dalam ruangan. Aku melangkah masuk.
Mataku menyapu ruangan luas memanjang dengan deretan meja
kerja tersusun berbaris-baris, lengkap
dengan karyawan-karyawati yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Jendela-jendela kaca terpasang di dinding
menampilkan pemandangan lapangan di luar.
Seperangkat peralatan radio
komunikasi SSB terdengar mendesis-desis di sudut ruangan. Deretan meja yang
lebih besar tersusun sepanjang dinding.
Di belakang meja-meja besar itu duduk pria-pria bermata sipit dan berkulit
putih. Beberapa diantara mereka tengah terlibat pembicaraan dalam bahasa yang
tidak kumengerti. Kedengarannya bahasa Jepang.
Kehadiranku disitu menarik perhatian
beberapa orang . Mereka memandangku dengan rasa ingin tahu. Aku membalas
tatapan mereka dengan melemparkan senyum paling manis.
Aku dipersilakan menemui Mr. Tsano,
seorang Jepang berusia sekitar 30-an dengan wajah datar tanpa ekspresi dan Mr.
Tasaki yang kutaksir usianya sekitar 40-an dengan wajah yang lebih ramah.
Setelah perkenalan seperlunya dan
menjelaskan proyek corridor block gas yang tengah dikerjakan, dua orang Jepang
itu silih berganti menanyaiku dengan
pertanyaan seputar pengetahuan yang berhubungan dengan latar belakang
pendidikanku.
Setelah aku selesai mengerjakan beberapa soal
hitungan yang diberikan, mereka
menjelaskan apa-apa saja yang menjadi tugasku bila aku diterima bekerja
berikut jumlah gaji yang menggiurkan.
Harapanku melambung tinggi saat
mereka menyebutkan jumlah gaji dan
fasilitas yang akan aku terima bila bekerja di perusahaan ini. Jumlahnya
beberapa kali lipat dari gaji pegawai negri lulusan sarjana saat itu.
Mereka menanyakan persetujuanku,
apakah tidak keberatan menerima gaji sejumlah itu.
“Aku setuju!” Sergahku cepat. Manalah
mungkin aku menolak tawaran bagus ini. Tak apalah bekerja di tengah hutan jauh
dari rumah, aku yakin di sini pasti akan mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman
yang berharga.
Mr. Tasaki tersenyum. “ Masalahnya,
kapan bisa mulai bekerja?”
Serasa tak percaya aku mendengarnya
berkata seperti itu. Alhamdulillah... Semudah ini jalannya.
Hari itu aku tidak bisa mulai
bekerja. Seorang karyawan mengatakan kepada Mr. Tasaki bahwa kamar untukku
sedang dipersiapkan. Aku diminta mulai bekerja minggu depan.
Setelah menyatakan setuju, aku pamit
pulang.
“Sayonara. Sampai jumpa minggu
depan!” Ujar Mr. Tasaki sambil tersenyum dan membungkuk memberi hormat ala
Jepang.
Foto kenangan saat bekerja di Penta Ocean |
Bersama rekan kerja di Penta Ocean |
“ Sampai jumpa. Terimakasih.” Sahutku
sambil membungkuk juga.
Keluar dari kantor itu, rasanya aku
ingin berteriak gembira. Senang tak terkira rasanya akan segera bekerja di
perusahaan itu. Semua yang ada disana tampak begitu hebat dan menakjubkan di
mataku. Tak sabar menunggu minggu depan!
Kegembiraanku langsung surut dengan
cepat tatkala aku melihat ke atas. Awan
mendung telah bergantung di sana. Aku
berlari kencang menghampiri pos satpam tempat Papi menungguku.
“ Papi, ayo cepat kita pulang. Bahaya
kalau hujan!” Teriakku.
Tanpa banyak bicara, Papi menginjak
pedal gas Jando Beraes. Jalan tanah yang kami lalui masih sekitar 4,5 km lagi.
Hatiku berdebar melihat warna kelabu yang makin menebal di langit.
Debu tanah merah berhamburan. Jando
Beraes beraksi, berlari dengan kekuatan penuh menyusuri jalan membelah hutan.
Aku memandang ke belakang. Astaga! Di kejauhan terlihat hujan sudah mulai
turun. Aku memejamkan mata sambil berdoa,” Ya Allah... tolonglah kami.”
“Jando Beraes, berbaik hatilah
padaku. Jangan mogok dan teruslah berlari kencang. Kalau terjebak hujan kita
semua bakal susah.” Bisikku.
Di tikungan si Jando melesat
mengeluarkan bunyi berdecit-decit. Tubuhku condong ke kiri dan ke kanan
mengikuti alur jalan menikung. Sedikit
lagi... Ya Tuhan! Aroma tanah kering tersiram hujan telah menyelinap di indra
penciumanku. Itu artinya hujan deras mengejar di belakang kami.
“ Cepat! Cepat!” Teriakku tanpa
sadar.
Papi menginjak pedal gas makin dalam. Jando Beraes mengamuk, melesat bagai panah.
Untung saja tak ada kendaraan lain yang melintas sehingga si Jando bebas
berzig-zag sesukanya.
“ Aaaaahhhh! “Aku dan Papi memekik
tanpa sadar ketika akhirnya hujan deras menerjang kami. Tapi itu teriakan lega.
Tepat di saat roda Jando Beraes menyentuh aspal jalan lintas Sumatera, hujan
berhasil menyusul kami. Alhamdulillah...
Sensasi kebut-kebutan bermandi debu tanah merah dan kejaran hujan
setelah diterima bekerja bukanlah pengalaman yang sering ketemui. Sangat
berkesan. Akan ku kenang seperti aku
mengenang almarhum Papiku, yang selalu mendukung dengan penuh cinta.
Terimakasih Jando Beraes, ternyata
dirimu bisa juga berbaik hati di saat yang tepat, di salah satu hari yang penting dalam
hidupku. Hari yang menjadi awal terbentangnya pintu
rezeki, untuk membantu kedua orangtuaku, untuk mendukung empat orang adikku
yang masih utuh biaya sekolah hingga mereka meraih bahagia. Hari itu pun
menjadi awal skenario indah menemukan jodohku. Aku akan mengenangmu Jando Beraes,
menggambarkanmu sebagai bagian kisah
hidupku, di sini.
3 komentar:
seruu mbak ceritanya Jando Beraes...
Jando beraesjagoo
Ya ampun mbaaa, aku bacanya mulai dari ngakak bayangin jando beraes tiap mogok, terharu ama papi mu yg luar biasa, sampe ikutan happy banget pas bisa keterima kerja :) .. Bisa kebayang gmn rasanya :)
Masyaa Allah, cerita mbak Iwed seruu dan bikin haru. Papi, ayah, abah, bapak selalu bikin jatuh cinta anak perempuannya. Kenangan manis yang tak terluoakan. AlFatihah untuk papi mbak Iwed. Semoga kelak kita dikumpulkan kembali dengan orang-orang tercinta, terkasih, tersayang di surga-Nya. Aamiin
Posting Komentar