Makan bukan
hanya sekedar kegiatan memasukkan makanan ke dalam mulut kemudian mengunyah dan
menelannya. Makan juga bukan hanya untuk menghilangkan lapar dan memperoleh
nutrisi bagi tubuh. Lebih dari itu.
Kegiatan makan ternyata bisa
menjadi pengalaman yang mengesankan. Seperti menikmati sebuah karya seni. Bahkan makan juga bisa menumbuhkan rasa
nasionalisme, cinta tanah air. Lho, kok bisa? Bagaimana ceritanya? Hehe..
Aku mendengar
cerita dari salah seorang sahabat, katanya ada sebuah rumah makan di sebelah
Sarinah Thamrin. Tempatnya agak tersembunyi,
di Jalan Sunda no.7 Menteng.
Menurutnya masakan di situ enak. Harga makanannya pun untuk ukuran Jakarta
Pusat termasuk murah.
“Makanan dan minumannya ditambahi rempah. Jadi
bukan cuma rasa, tapi juga aroma. Nikmatnya cetarr
! ”Ujarnya melafalkan huruf r yang bergetar-getar. Ekspresi wajahnya saat mengucapkan kalimat itu kok “makjleb”.
Aku jadi penasaran.
Di suatu
kesempatan, akhirnya aku mengunjungi tempat makan itu. Memang benar, tempatnya
agak tersembunyi. Pintu masuknya terdapat di bagian samping. Namun ada baliho
terpasang di bagian depan gedung yang menandakan keberadaan rumah makan ini.
Namanya Rempah
Iting. Aku tergelitik dengan nama yang
unik ini. Rempah adalah bumbu andalan yang menjadi ciri khas resto ini dibanding rumah makan masakan Indonesia
lainnya. Dan kata Iting ternyata adalah plesetan dari kata “eating” dalam
bahasa Inggris.
Memasuki ruangan
resto, rasanya teduh. Berbeda sekali
suasananya dengan hiruk pikuk di luar sana. Apalagi siang itu matahari Jakarta tengah mengerahkan segenap sengat panasnya.
Lantai bermotif
kayu memberi efek hangat dan alami pada ruangan. Kursi makan rotan berwarna
coklat tua tersusun rapi, sementara mejanya bermotif kayu, senada dengan
lantai.
Di sudut ruangan
terdapat sofa-sofa empuk dengan bantal kursi
bermotif garis putih dan biru.
Sebagian dinding menampilkan bata ekspos dengan aksen kayu yang disusun
vertikal – horizontal, berfungsi sebagai rak. Lampu-lampu ditata menghasilkan
pencahayaan yang sedikit redup. Secara keseluruhan ruangan ini menghadirkan
kesan hommy. Hangat, menenangkan.
Pelayan yang ramah
menyambutku, menyodorkan menu. Terdapat
cukup banyak varian masakan Indonesia yang tertera di daftar menu.
Pada daftar menu
terdapat beberapa yang ditandai dengan
gambar jari jempol. Rupanya untuk memudahkan pengunjung resto memilih, menu
favorit sengaja ditandai.
Aku memilih
beberapa menu favorit yaitu sop konro, gurame mangut, dan nasi iga iting.
Hatiku tergelitik memilih dua menu lain, yang tidak termasuk favorit. Ayam
presto penyet dan minuman teh rempah.
Tidak lama
kemudian, teh rempah dihidangkan. Aroma rempah yang berasal dari peka, jahe,
jinten, kapulaga berbaur menyatu dalam uap panas mengepul.Warna minuman ini
pekat. Menghirup harumnya terasa seperti aroma terapi. Kuraih sendok kecil, kucicipi sedikit. Rasa rempah sangat kental, sedikit pahit. Kubuka tutup
cangkir berbentuk batok kelapa yang dihidangkan bersama cangkir teh rempah.
Isinya butir-butir gula batu. Kutambahkan secukupnya ke cangkir teh, lalu kuaduk
perlahan. Cangkir itu kuraih, uap panas dihirup, cairan pekat itu kuseruput
perlahan. Nah.. ini baru pas. Gula batu yang manis menjadi penyeimbang rasa
kental rempah. Hangat dan segar di badan. Kubayangkan suasana hujan di Bogor.
Duduk di dekat jendela memandang rintik hujan sambil menyeruput teh rempah.
Rasanya seperti “me time”-nya putri-putri keraton. Hehehe…
Kemudian nasi
iga iting, sop konro, gurame mangut dan ayam presto penyet terhidang satu
persatu.
Nasi iga iting
penampilannya mirip nasi bakar timbel.
Ketika bungkus daun pisangnya kubuka, terlihat nasi putih dengan aroma bumbu
yang sedap. Dengan sendok kubelah bagian tengahnya. Diantara butir-butir nasi
bertekstur lembut kenyal itu muncul potongan iga, jamur dan bumbu-bumbu, di antaranya
daun kemangi. Satu sendok nasi beserta sedikit iga dan jamur menghantarkan rasa yang gurih sementara uap
panas mengepulkan aroma bumbu berempah.
Harum, membangkitkan selera. Wajar saja kalau menu ini menjadi salah
satu menu favorit pengunjung.
Selanjutnya,
gurame mangut. Masakan ini adalah gurame goreng yang di siram kuah kental kuning bersantan dengan potongan-potongan bumbu yang sekaligus mempercantik
penampilannya. Ada potongan tomat hijau dan cabe dalam kuah berwarna kuning.
Satu sendok daging ikan berlumur kuah bumbu itu membuat lidahku bergetar. Agak sulit mendefinisikan rasa lezat masakan ini. Sebelumnya aku pernah makan ikan mangut, tapi yang ini jauh lebih nikmat. Pengalaman terakhirku makan mangut adalah rasa “eneg” akibat bumbunya yang terlalu berani. Nah, gurame mangut ini tidak menimbulkan rasa seperti itu. Tidak ada satu jenis bumbu yang terasa kuat. Aku tak bisa bilang ada wangi jahe, kunyit, atau apa, karena tampaknya bumbu-bumbu ini telah diracik sedemikian rupa sehingga berbaur sempurna membentuk konfigurasi rasa dan aroma baru yang nikmat sekali. Sekali lagi aku mengakui kalau masakan ini pantas jadi menu favorit.
Satu sendok daging ikan berlumur kuah bumbu itu membuat lidahku bergetar. Agak sulit mendefinisikan rasa lezat masakan ini. Sebelumnya aku pernah makan ikan mangut, tapi yang ini jauh lebih nikmat. Pengalaman terakhirku makan mangut adalah rasa “eneg” akibat bumbunya yang terlalu berani. Nah, gurame mangut ini tidak menimbulkan rasa seperti itu. Tidak ada satu jenis bumbu yang terasa kuat. Aku tak bisa bilang ada wangi jahe, kunyit, atau apa, karena tampaknya bumbu-bumbu ini telah diracik sedemikian rupa sehingga berbaur sempurna membentuk konfigurasi rasa dan aroma baru yang nikmat sekali. Sekali lagi aku mengakui kalau masakan ini pantas jadi menu favorit.
Dari
penampilannya saja, sop konro sudah membangkitkan selera. Potongan konronya
besar-besar. Kuah panasnya menebar harum rempah. Apalagi ketika dimakan.
Dagingnya lembut, tak sulit mengunyahnya. Potongan daging menyatu dengan saliva
di lidahku menyentuh simpul syaraf perasa yang mengantarkan informasi ke otak.
Efeknya aku bisa mengenali rasa ini sebagai “enak sekali”. Gurih, tapi bukan
gurih yang datang dari zat additive seperti MSG. Ini kolaborasi sempurna campuran bumbu-bumbu dan rempah Indonesia
yang diracik dengan komposisi cermat. Aku jadi ingin kenalan dengan Chef-nya.
Menu yang
terakhir kucicipi adalah ayam presto penyet. Aku sengaja memilih menu ini meski
tidak termasuk menu favorit, karena ayam penyet adalah menu umum yang
keberadaannya merambah ke mana-mana,
baik di mall, foodcourt, restaurant, atau tempat makan
lainnya. Aku punya cukup banyak pengalaman makan ayam penyet. Jadi kali ini aku
ingin membandingkan rasanya.
Yang pertama
aku cicipi adalah sambal yang melumuri
ayam. Eh, kok enak. Rasa pedasnya tak menyakiti lidah meski terdapat butir-butir biji cabe yang tampak utuh. Meski
sambal ini tampak seperti topping, tapi ternyata rasanya meresap kedalam daging
ayam yang lunak. Yang aku maksud lunak itu bukannya lembek, tapi lembut dan
masih terasa kenyal tekstur dagingnya. Kenyal tapi tidak sulit dikunyah. Ini
tak seperti ayam penyet yang umum dijual di resto-resto di mall. Tulangnya bukan saja lunak, rasa lezat bumbunya pun meresap sampai ke
tulang. Jadi , makan ayam ini tidak akan bersisa. Daging dan tulangnya, berikut
sambel ludes semua pindah ke perut.
Bagaimana dengan harga? Untuk ukuran Jakarta
Pusat, harga di Rempah iting tidak mahal. Harga berkisar dari Rp.5.000,- hingga
yang termahal Rp. 100.000,- Enaknya di
resto ini pengunjung bisa memilih
makanan sesuai budget karena ada juga pilihan menu paket mulai harga Rp. 27.000,- hingga Rp.
75.000,-. Kalau di rata-rata, satu orang yang makan dengan menu lengkap
berkisar Rp. 75.000,-. Cukup murah jika kubandingkan dengan pengalaman makan di
sebuah pusat perkantoran yang menyatu dengan mall di Jakarta Pusat, di mana
satu orangnya harus merogoh dompet sekitar Rp. 150.000,- dengan kualitas
makanan yang standar saja.
Karena
masakannya enak, aku jadi ingat anak-anakku. Lalu 4 menu yang sama yang sudah terbukti enak kubungkus dan kubawa
pulang ke Bogor.
“Anin, Dea,
Rafif! Ke sini, Nak. Mama bawa oleh-oleh.” Seruku ketika sampai di rumah. Tiga
buah hatiku turun dari kamar mereka di lantai dua.
“Oleh-oleh apa,
Ma?” Rafif tampak paling antusias.
Aku
menghidangkan 4 menu di atas meja. Mula-mula mereka tampak tak bergairah. Tak heran, ketiga
anakku memang kurang menggandrungi masakan Indonesia sejak mereka kenal masakan
Jepang dan Italia.
“Kok nggak bawa
spaghetti, Ma? Ini apa? Nasi timbel?” Tanya Rafif sambil menunjuk nasi iga
iting. Bibirnya manyun.
“Bukan. Ini bukan nasi timbel. Coba dibuka. Ada kejutan di dalamnya. “ Bisikku.
Rafif penasaran. Dengan jari dirobeknya daun
pisang yang membungkus nasi. Dia menyendok bagian tengah nasi, hingga daging
iga dan potongan jamur tersembul keluar.
“Coba dicicip,
Nak.”
Rafif menyuap
satu sendok nasi iga. Aku memperhatikan perubahan raut wajahnya. Sejurus
kemudian dia tak berhenti lagi memasukkan suapan demi suapan nasi ke mulutnya.
Sebentar saja ludeslah nasi iga iting, pindah ke perutnya.
“Kurang, Ma. “
Ujarnya.
“Kurang enak?”
Sahutku.
“Kurang banyak.
Enaaak.” Tukas Rafif.
Aku tergelak.
Dea menyantap
sop konro, sementara Anin makan ayam presto penyet.
“Tumben. Kalian
kok suka masakan ini? Biasanya malas kalau diajak makan masakan Indonesia.
“Ini beda, Ma.
Beli di mana sih?” Tanya Anin.
“Di Rempah
Iting. Di Jakarta. Bedanya apa dengan masakan yang biasa?” Tanyaku ingin tahu.
“Rasanya enak.
Baunya enak. Dagingnya empuk. Nggak bikin mual.” Kali ini Dea yang menjawab.
Aku
memperhatikan tiga buah hatiku makan dengan lahap. Terakhir, mereka bertiga
menyerbu gurame mangut. Biasanya tak pernah mereka begitu bernafsu makan ikan,
apalagi disiram santan. Tapi kali ini nasib gurame mangut itu selesai “hingga
titik darah penghabisan”. Hehe… Sekarang
kesempatanku menanamkan sebuah keyakinan pada mereka.
“Nak, Mama ingin
kalian meresapi benar-benar rasa masakan ini. Ingat baik-baik ya, Nak. Rekam
dalam memori kalian. Rasa nikmat dan
aroma sedap yang kalian rasakan ini berasal dari bumbu-bumbu dan rempah asli
Indonesia. Rempah adalah bahan yang
ditambahkan untuk mempertegas rasa dan aroma. Kalian tahu, ratusan tahun negara kita di
jajah oleh Bangsa Belanda, Jepang dan lainnya, ya karena ini. Para penjajah itu
“ngiler” pada eksotisme rempah Indonesia, sehingga mereka merampas dan
menguasai bangsa kita. Sekarang Mama mau tanya. Enakan mana, masakan Indonesia,
atau yang lain?”
Mereka tak
menjawab, hanya tersenyum-senyum sambil terus menggerogoti daging ikan gurame,
menjilati ujung -ujung jari yang berlumur bumbu.
“Nah, Mama ingin
kalian mencintai Indonesia. Suatu saat kalau kalian ditakdirkan tinggal jauh di
negeri orang, Mama ingin nikmat masakan Indonesia menjadi salah satu pengikat
cinta pada Indonesia. Jaga negara kita ya, Nak. Siapa tahu suatu saat nanti
kalian yang akan maju berperan di negara kita.” Ucapku sambil menatap tiga buah
hati.
“Jadi, kapan
Mama mengajak kami makan di Rempah Iting?” Rafif menarik garis bibir hingga
pipi gembilnya tertarik ke atas. Matanya dibelalakan dengan ekspresi jenaka.
Aku tergelak.
Baru sekali ini anakku meminta diajak makan masakan Indonesia.
Rempah iting telah berhasil menyajikan racikan tradisional dalam kemewahan rasa. Sehingga siapa pun yang mencobanya merasa jatuh cinta pada masakan Indonesia.
Rempah iting telah berhasil menyajikan racikan tradisional dalam kemewahan rasa. Sehingga siapa pun yang mencobanya merasa jatuh cinta pada masakan Indonesia.
5 komentar:
Ku kira iting itu nama masakan.. ternyata... dari "eating..
Wah enak nih, bikin ngiler end laper, pengen nasi iga itingnya 😊
Baca tulisan ini dan lihat foto-foto makanan, benaran bikin ngiler ^_^
Semoga ada kesempatan mampir di restoran ini :)
Waaah komplit infonya. Makasih ya mbak...
Makananya enak tapi sayang porsinya sedikit ya mak, ga sepadan sama harganya
Posting Komentar