Laman

Selasa, 31 Januari 2017

CARA MEMBANGUN KEMESRAAN SUAMI ISTRI DENGAN 5 PILAR KOMUNIKASI



Setelah menikah dan memiliki anak, apakah kisah hidup kemudian  berjalan seindah dongeng Cinderella atau Putri Salju, “live happily everafter”?  Nyatanya tidaklah sama.  Setidaknya itu yang aku rasakan. Aku membayangkan rumah tangga yang romantis sepanjang pernikahan. Peluk, cium, belaian sayang, kata-kata manis, dan tatapan mata mesra penuh cinta menggelora. Ah sungguh indah!  

Pernikahan semacam itu hanya akan menjadi impian bila tak ada upaya mewujudkannya.  Butuh kemauan kuat, dan konsistensi, termasuk juga harus tabah menghadapi drama-drama yang menyertai upaya itu.

Mari simak perjuanganku menerapkan 5 pilar komunikasi yang kupelajari dari training Transforming Behaviour Skill  berdasarkan ilmu Neuro Linguistic Programming (NLP), untuk mencapai tujuan, membangun kemesraan dalam rumah tangga.


Dulu, di masa sebelum menikah, si Akang begitu gigih dengan perhatiannya. Kami bertemu saat sama-sama bekerja membangun corridor block gas milik salah satu oil and gas company di tengah belantara Sumatera tahun 1997. Surat-suratnya mengalir lancar. Goresan hati si Akang  dikirim lewat  office boy merangkap kurir surat cinta . Kata-katanya lugas menggambarkan perasaan rindu, sayang, cinta dan hasrat untuk selalu bersama. Mesranya  tingkat dewa! Sikapnya juga sangat manis saat kami bertemu.

Ketika kami telah menikah, punya anak-anak, kehidupan yang nyaman dan segalanya tampak baik-baik saja, aku merasa ada yang kurang.  Kemana perginya kemesraan itu?

Bertahun-tahun, aktivitas sehari-hari berjalan rutin. Si Akang bekerja 2 minggu di lapangan dan dua minggu di rumah. Sikapnya yang dulu  sangat romantis, perhatian dan mesra kemudian menjadi cuek. Bila aku mengajak berbincang masalah pernak-pernik rumah tangga, Akang tak terlalu menanggapi, karena menurutnya itu bukan masalah besar.  Sementara aku sebagai ibu rumah tangga,  tak punya “masalah besar” yang bisa kujadikan alasan untuk terlibat perbincangan hangat dengan Akang. Rasanya tak enak, tidak bisa curhat dengan nyaman pada suami sendiri. 

Dia sibuk dengan hobinya, aku sibuk dengan anak-anak. Kami tidak bertengkar, tapi juga tidak mesra. Biasa-biasa saja. Aku merasa  hubungan kami  hambar.

Aku mengagumi cara Tuhan membentuk diriku. Di alam pikiran, ada sosok-sosok  yang perkataannya mempengaruhi aku dalam merespon peristiwa. Tiga sosok itu aku visualisasikan sebagai Iwed yang sensitif, Neng yang logis, dan Dewi yang ceriwis. Semuanya bagian dari diriku, selalu bersama, sehingga selalu terlibat dalam seluruh peristiwa dalam hidupku. Dalam Neuro Linguistic Programming, perdebatan sisi- sisi diri itu disebut “self talk”.

Self talk “ramai” berdebat dalam pikiran ketika aku merasa tak nyaman dengan kondisi hubungan yang hambar ini.

Dewi yang ceriwis mulai  mengoceh. “Kenapa ya si Akang sekarang berubah. Kok jarang peluk-peluk lagi. Peluknya cuma kalo lagi ada maunya saja. Gak pernah bilang I love you lagi.  Sibuk sendiri saja dengan kamera dan motor-motornya. Apa karena penampilanku sudah tidak menarik lagi ya. Jangan-jangan dia sudah tak cinta lagi.”

Neng menanggapi.”Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Dia betah kok di rumah. Kalau gak cinta lagi pasti sudah sering kelayapan.Kenapa gak tanya saja sama orangnya?”

 Maka aku pun bertanya pada Akang. 

“Kenapa sih Akang sekarang berubah? Gak mesra lagi. Apa sudah gak sayang lagi ya sama Neng?  “  Kalimat yang terlempar dari mulutku disertai  ekspresi wajah cemberut itu langsung menusuk Akang. Dia  meradang.

“Apaan sih, Neng. Kurang baik apalagi Akang ini. Semua penghasilan Akang buat Neng. Sekarang malah dituduh-tuduh nggak sayang. Maunya apa? “ Sahut Akang keras. Duh…

Bukan sekali dua kali pembicaraan sejenis itu terjadi. Sering. Hasilnya bukan kemesraan, malah menjadi bara yang membakar hati.

Self talk-ku ribut lagi.
“Kenapa jadi begini? Inginnya mesra kok malah jadi marahan..” Suara Iwed membuatku merasa sedih.
“Cara bertanyanya itu  salah. Salah pilih kata-katanya. Salah ekspresi mukanya. Kamu kan sudah cukup tahu kalau adatnya si Akang itu nggak bisa dikerasin. “ Si Neng berkata bijak. 

“Harusnya dia mengerti dong. Istri minta dimesra-mesrain, kok malah dibalas marah.” Ucapan Dewi bagaikan kompor.

“Sekarang masalahnya apa?  Si Akang toh tidak macam-macam. Kalau dibilang dia tidak cinta lagi, dia masih tetap menunjukkan tanggung jawab yang besar terhadap keluarga. Dua minggu libur di rumah dia tidak kelayapan sendiri,kok. Dia tetap ada di rumah. Jadi apa maumu sebenarnya? Kau tidak cukup puas dengan keadaan ini?” Neng berkata dengan jalan pikirannya yang logis.

“Tidak. Aku tidak terima. Rumah tangga ini akan berlangsung selamanya, seumur hidupku.  Dan aku tidak mau menjalani hari-hari yang biasa-biasa saja bersamanya. Aku ingin dipandang dengan mesra, dibelai lebih sering, dicium lebih banyak, aku membutuhkan perhatian yang konsisten. Aku rindu pada romantisme seperti yang  pernah dirasakan saat jatuh cinta dulu. Aku ingin dipuji, dimanja, sedikit dicemburui, dan  diperhatikan bahkan untuk hal-hal kecil.” Sahut Dewi sengit.

“Jadi bagaimana? Sudah beberapa kali bicara tapi hasilnya nihil.” Iwed terdengar lesu.

"Aku harus atur strategi untuk membuat si Akang mesra lagi. Mari  tentukan langkah-langkahnya.” Ujar Neng mantap.

Ketiga sisi diriku telah sepakat untuk berupaya mewujudkan tujuan bersama. Untuk mencapai tujuan itu, aku menerapkan metode dalam training Transforming Behaviour Skill yang berdasarkan ilmu Neuro Linguistic Programming (NLP).

Menurut arti kata, Neuro itu adalah hal-hal yang menyangkut sistem syaraf manusia. Bagaimana manusia menyimpan pengalaman yang di tangkap melalui panca inderanya, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa dan pengecapan. Sedangkan Linguistic  mengacu pada bagaimana manusia menuangkan perasaan, pendapat, dan reaksinya terhadap sesuatu dalam bentuk bahasa. Dalam hal ini bisa bahasa verbal, bahasa tubuh, ekspresi wajah, dll. Sementara Programming adalah proses pembelajaran atau bisa juga diartikan membuat program.

Jadi definisi NLP  adalah bagaimana manusia memprogram sebuah cara yang tepat dan efisien  berdasarkan  neuro dan linguistic untuk mencapai tujuannya.  Dengan kata lain, NLP adalah ilmu atau seni kepiawaian berkomunikasi  (baik berkomunikasi dengan diri sendiri atau orang lain)  untuk menciptakan hasil sesuai  tujuan. 

MENENTUKAN TUJUAN

Sebelumnya tentu saja aku harus menentukan terlebih dahulu tujuan yang akan dicapai. Tujuan ditentukan dengan rumus sebagai berikut : 
  1. spesifik, jelas, kapan, dimana, bagaimana
  2. hasilnya bisa dirasakan, dilihat dan didengar
  3. menggunakan kalimat positif
  4. selaras dengan tujuan yang lebih tinggi
  5. ekologis, tidak bertentangan dengan keyakinan atau lingkungan
  6. sukses atau tidaknya berada ditanganku, tidak tergantung pada orang lain

Untuk lebih jelasnya, dalam hal ini aku menentukan tujuanku yaitu : Menemukan cara yang tepat untuk mempengaruhi suami agar  bersikap mesra selama bersamaku .Yang dimaksud dengan mesra wujudnya dengan belaian, ciuman, pelukan, kata-kata manis, tatapan mesra, yang menimbulkan rasa nyaman baik bagi diriku maupun bagi suami.  Ukuran keberhasilan adalah bila suami sudah membalas perlakuan yang sama, atau menunjukkan kebutuhan untuk diperlakukan demikian. 

Apakah hal ini selaras dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu menciptakan rumah tangga  yang penuh dengan sakinah( tentram), mawaddah (cinta), warrahmah ( kasih sayang) ? Tentu saja. 

Apakah tujuan itu ekologis, tidak bertentangan dengan keyakinan? Tentu saja sejalan dengan keyakinan.  Seorang istri adalah pasangan syah, dan halal bagi suaminya. Jadi tujuan itu tidak bertentangan dengan syariah Islam yang kuyakini. 

Sukses atau tidaknya upaya ini berada di tanganku. Bila respon Akang belum sesuai tujuan, yang harus aku lakukan adalah menemukan cara lain yang lebih  tepat untuk mempengaruhinya. 

Bila keberhasilan mencapai tujuan divisualisasikan sebagai sebuah bangunan, maka untuk mewujudkan bangunan itu berdiri tegak dan kokoh dibutuhkan pilar-pilar penyangga. 

Dalam training Transforming Behaviour Skill, pilar-pilar kesuksesan berkomunikasi  itu adalah sebagai berikut :
  1. Selesaikan Emosi
  2. Fokus pada tujuan
  3. Bangun kedekatan
  4. Gunakan ketajaman indera
  5. Fleksibel dalam bertindak.

MENYELESAIKAN EMOSI DENGAN RE-FRAMING

Yang kulakukan selanjutnya  adalah menyelesaikan emosi. Tapi nyatanya berminggu-minggu kemudian emosiku tak kunjung usai.  Perasaanku  terombang-ambing antara sedih, sebal, dan  marah. Hal itu timbul karena sikap Akang yang cuek kuberi frame atau kumaknai sebagai “ tidak peduli perasaan istri”, “tidak sayang”, atau “cinta sudah luntur”. Akibatnya rasa tidak nyaman itu makin menjadi-jadi.

“Mungkin karena kurang ilmu. Coba cari referensi. Tanya pada orang-orang yang sudah lebih berpengalaman dalam berumah tangga. Atau cari pengetahuan dari buku, artikel atau materi lainnya tentang rumah tangga bahagia.” Usul si Neng.

Bertanya pada teman-teman yang lebih senior dalam berumah tangga tak juga membuahkan hasil  memuaskan. Kebanyakan mengatakan bahwa memang demikianlah kehidupan berumah tangga.  Tak semanis masa pacaran dan bulan madu. Bahkan ada teman yang berkata dengan sengit. 

“Kamu itu terlalu banyak keinginan!   Harusnya ya sudah, terima saja keadaan ini. Toh suamimu tetap bertanggung jawab, tidak selingkuh, tidak macam-macam. Kurang apa lagi?”

Pencarianku akhirnya  menemukan titik terang ketika aku membaca sebuah artikel. Menurut artikel itu, pria yang sudah menikah berada dalam  zona nyaman. Dulu sebelum punya istri, pria harus berusaha keras memikat hati gadis incarannya. Salah satunya dengan memberi perhatian dan bersikap romantis supaya sang gadis terpikat dan mantap memilih sang pria  menjadi suami. Ketika sudah berumah tangga, para suami  merasa tak perlu berupaya lagi, tak perlu bermanis-manis, bersusah-susah merayu, atau bermesra-mesra. Toh gadis idamannya sudah ada disisinya, sudah dalam genggamannya. Dia sudah merasa nyaman dengan kondisi ini. Suami tak lagi disibukkan dengan upaya mencari pendamping hidup,karena itu mereka lebih fokus pada hal-hal lain seperti pekerjaan dan hobinya.

Membaca artikel itu membuat hatiku lega bukan kepalang!  Akhirnya aku menemukan makna yang memberdayakan. Artikel itu sangat membantu aku  me-reframe atau  meletakkan makna baru pada sikap Akang yang cuek. Prosesnya sebagai berikut: 

Frame atau makna awal yang kuletakkan pada sikap cuek Akang adalah “Akang tidak perduli, tidak sayang, cinta sudah luntur”.  Akibat dari memaknai yang demikian itu emosi yang timbul adalah emosi yang tidak memberdayakan seperti  marah, sedih, kecewa dan sebal. Ketika pikiran dipenuhi emosi negatif, yang terjadi adalah respon yang terbatas pada ungkapan kekesalan dan protes yang berujung ribut dengan Akang. Frame ini aku singkirkan. 

Kemudian  aku  me-reframe atau mengganti makna sikap cuek Akang sebagai “pria yang tengah berada di zona nyaman”, maka emosiku langsung reda. Self talk-ku, si Dewi,  yang tadinya ribut meneriakkan tuduhan-tuduhan negatif,  kini  tenang . Akhirnya aku  bisa menerima bahwa sikap cuek itu wajar bagi pria yang sudah merasa nyaman dengan istrinya.

Aku   mencatat sebuah pelajaran, bahwa untuk menyelesaikan emosi, aku harus mengganti frame atau makna yang tidak memberdayakan menjadi frame yang memberdayakan. Dan untuk menemukan frame yang memberdayakan, aku butuh  informasi, ilmu,  dan pengetahuan. Informasi bisa datang  dari mana saja. Fungsi dari berbagai informasi itu adalah untuk membuka wawasan yang lebih luas, peta mental yang lebih lengkap sehingga aku punya pilihan yang lebih banyak  dan lebih baik dalam memaknai sebuah peristiwa.

FOKUS PADA TUJUAN

Setelah emosi selesai, self talk-ku diwarnai perbincangan yang lebih nyaman.

“Sekarang mari kita pikirkan tindakan apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan. Bagaimana membuat Akang jadi mesra lagi.  Komunikasi verbal tampaknya belum berhasil.” Iwed membuka percakapan. 

“Menurutku, yang harus kita lakukan bukan mengajaknya bicara. Toh sudah berkali-kali bicara hasilnya malah ribut. Kita harus FLEKSIBEL DALAM BERTINDAK. Cari cara lain. “ Dewi menyahut.

“Ingat prinsip emosi itu menular. Kenapa tidak kita pakai cara ini? Emosi yang dimaksud adalah perasaan jatuh cinta. Bangkitkan saja perasaan jatuh cinta yang menggebu-gebu, lalu tularkan  pada dia. Caranya dengan melakukan tindakan lewat bahasa tubuh, sentuhan, ekspresi wajah. Kalau perlu dengan kata-kata. Nah, mulai saja melakukan kemesraan seperti yang ingin kau dapatkan dari dia.” Usul Neng.

“Baiklah, jadi upaya  menularkan bahasa cinta pada Akang pesannya  kira-kira seperti ini : Hai, sayang. Aku memperlakukanmu seperti ini karena aku ingin kau perlakukan aku seperti ini.” Dewi menegaskan.

Kemudian si Neng mulai merumuskan langkah-langkah yang diambil, dan satu persatu langkah-langkah itu kulakukan.

Yang pertama adalah memeluk  dan menciumi Akang saat dia akan berangkat  beraktivitas ke luar rumah.  

Aku ingat pertama kali melakukan hal ini, seperti drama yang menyedihkan. 

Dengan hati berdebar aku menunggui Akang bersiap-siap. 

“Pergi ya. “ Ujarnya.

Kemudian aku memeluknya dan menghujaninya dengan ciuman, seolah-olah ini adalah pertemuan terakhir kami. Akang kaget.

“Apa-apan sih Neng?!” Serunya. KETAJAMAN INDERA-ku menangkap ekspresi tegang dan kaget di wajah Akang. Tangannya refleks mendorong tubuhku menjauh. 

Duh.. rasanya campuk aduk. Perih dan terhina, ditolak suami sendiri. Marah, karena upayaku merendahkan diri menuai reaksi penolakan. Rasanya ingin menangis dan berteriak. 

Untung saja Neng mengambil alih kendali. “ Hei, sabar! Marah boleh, sedih juga boleh. Tapi nanti. Sekarang senyum dulu. Senyum!”

Maka aku tersenyum melepas Akang pergi, walau  hati rasanya nyut-nyut-an. Ketika Akang sudah berlalu, kutumpahkan tangisku di kamar.  Sepanjang tangis itu, selftalk-ku ribut . 

“Kenapa reaksinya seperti itu? Kenapa dia menolakku?” Jerit Iwed.

“Dulu di awal pernikahan, dia yang menghujani aku dengan peluk dan cium. Sekarang kurendahkan diriku laksana pengemis cinta, tapi dia  mendorongku. Laki-laki tak punya perasaan!” Pekik Dewi penuh amarah.

“Hai, kau pikir apa yang diperjuangkan ini akan langsung berhasil? Ini baru langkah awal! Namanya juga usaha, wajar saja kalau langkah awal belum sukses. Coba  pikir apa yang dilakukan tadi. Kau memeluknya terus langsung nyosor menciumnya. Harusnya ada pendahuluan . Katakan sesuatu yang manis dulu. Lakukan dengan lembut, bukan mendadak-mendadak. Pantas saja dia kaget. “ Neng menganalisa, membuka kesadaran.

Ucapan Neng tadi meredakan kesedihan Iwed. Tapi Dewi masih protes.

“Tapi berat rasanya menekan ego. Apakah pantas merendahkan diriku sampai segitunya?”

“Lha, kau ini ingin meraih tujuan atau tidak sih? Letak salahnya dimana kalau kau merendahkan dirimu? Dia itu suamimu. Pasangan halalmu. Dari sudut manapun tak ada salahnya kau mengemis  perhatian dan cintanya.  Kau yang paling berhak memperoleh perhatian dan perlakuan paling manis dari dia. Upaya ini butuh pengorbanan! Lakukan saja. Katakan pada dirimu, tidak apa-apa kau merendahkan dirimu, demi hasil yang diharapkan. Mengerti? Jadi bagaimana ini? Mau berhenti sampai di sini, atau kita lanjutkan? Alangkah kecil nyali dan semangatmu kalau mau berhenti sampai di sini. Mulai sekarang, mari bersepakat. Seburuk apa pun reaksi  Akang, tampilkan senyum dan bersikaplah santai. Masalah nanti mau sedih, mau nangis, mau marah, bahkan ingin mengamuk, lakukan dibelakang si Akang. Setelah menumpahkan emosi, kita susun kekuatan lagi, kita cari cara lain yang lebih efektif. Ingat ya,  FOKUS PADA TUJUAN! Emosi apa pun jangan sampai mengalihkan perhatian kita dari tujuan. Setuju??”  

Ucapan Neng itu membuat tangisku usai, hatiku jadi mantap dan lega. 


MEMBANGUN KEDEKATAN

Hal yang penting dilakukan demi mencapai tujuan adalah kembali membangun kedekatan dengan Akang. Proses membangun kedekatan ini aku mulai melalui kegiatan penyamaan dalam berbagai aspek. Sebisanya aku berusaha menyukai  atau minimal  terlibat dalam kegiatan yang disukai Akang. 

Hasil jepretan si Akang


Akang suka fotografi. Maka meskipun pengetahuanku tentang fotografi sangat payah, aku menyediakan diriku menjadi objek foto si Akang, atau minimal jadi asisten Akang saat hunting foto. Usulnya untuk hunting foto kusambut dengan semangat. Aku bersedia menemaninya memotret berbagai objek. Biarpun perananku cuma memegang reflektor  di tengah sengat matahari untuk menghasilkan foto yang lebih baik, aku jalani dengan senang. Yang penting aku punya kegiatan bersamanya. 

Akang suka nonton. Kegiatan itu sebenarnya tak terlalu kuminati. Apalagi selera Akang tidak cocok dengan seleraku. Akang suka film action, kadang-kadang malah film “jotos-jotosan” sampai berdarah-darah.  Aku? Sukanya film drama romantis, yang dinilai Akang film picisan. Mana mau dia nonton film kegemaranku. 

Demi terbangun kedekatan, aku rela menemani dia nonton baik di bioskop maupun di rumah. Kalau ada adegan yang tak kusukai, aku menguatkan diriku.

“Hei, kau disini bukan buat nonton orang berantem. Jangan hiraukan filmnya. Kau di sini dalam rangka membangun kedekatan dengan belahan jiwamu. Nikmati saja kebersamaan dengannya.”

Bila ada adegan yang tak kusukai, kualihkan pandanganku dari layar ke wajahnya.  Bila perlu aku memeluknya, membenamkan wajah di lengannya, membelainya, bermanja-manja dan berharap aksiku mendatangkan perasaan nyaman buat Akang.

Kadangkala aku melakukan apa yang disebut  “Gorilla Unconditional Love “. Kalau Akang terlihat sibuk, menatap serius layar laptopnya, aku berusaha tetap berada di dekatnya meski tidak bicara. Sesekali aku  lewat di dekatnya, membelai punggungnya, atau mencium kepalanya. Atau menyodorkan teh panas.  Dalam hati aku berkata,” Hai sayang. Aku ada di sini untukmu dan kau boleh sibuk dengan gadgetmu.”

Dalam hal berbicara mengungkapkan perasaan pun aku menghilangkan “tirai pembatas” dengan Akang. Aku berharap dengan cara ini terbangun kedekatan yang mendalam diantara kami. Aku mengatakan dengan lugas apa yang kurasakan selaras dengan apa yang kupikirkan, meskipun kadang-kadang terdengar vulgar, bodoh, bahkan konyol. Kusingkirkan semua  rasa malu, dan rasa untuk menjaga image, atau gengsi.  Aku mengatakan kalimat yang tak pernah kuucapkan pada orang lain. Aku menampilkan diriku apa adanya pada Akang. 

Setiap Akang akan  berangkat keluar rumah, baik ke kantor, ke lapangan,  atau pun hanya mau ke tempat fitness, aku memeluk, mencium dan mendoakannya. Kadang-kadang disertai kata-kata manis. “ Cepat pulang ya, Neng kangen.”

Hal ini  terus aku lakukan meskipun pada saat aku sedang marah.  

Si Neng yang sibuk mengingatkan tentang hal ini. “ Hei, kalau suami mau pergi, peluk, cium dan doakan dia. Siapa tahu ini adalah pertemuan terakhir dengannya. Umur di tangan Allah. Singkirkan dulu marahmu, sakit hatimu. Nanti kita selesaikan emosi, setelah dia berangkat. Alangkah baiknya bila dia berangkat setelah memandang senyum dan merasakan peluk-cium, diiringi doa-mu kan?”

Ah, aku bersyukur ada si Neng dalam diriku.

Akang suka motor besar. Dia senang touring ke tempat-tempat yang jauh. Tentang hal ini, kutantang diriku sendiri untuk terlibat dengan kegiatan ini. 

Touring 


“How far can you go to reach his heart? Berani nggak  ikut touring juga? Kalau usaha jangan setengah-setengah. ” Tantang si Neng.

Yang protes duluan si Iwed.“Kan perjalanannya jauh, nanti capek. Mana panas lagi. Kulit bisa rusak terbakar matahari.”

“Pake sun block dong…Dilapis lagi pake balaclava, dan full face helm. Aman kok ” Sergah Neng.

“Coba dulu saja sekali, ikut touring. Nanti kita putuskan bagaimana selanjutnya.” Usul Dewi.

Maka ketika pertama kali ikut  touring menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan, selanjutnya aku melakukan dengan senang hati. Kami melakukan touring ke Jogja, Dieng, Baturaden, Guci Tegal, Bangka, Palembang, Jawa Timur dan lain-lain. Kegiatan touring ini sangat besar efeknya dalam membangun kedekatan dengan Akang.


KETAJAMAN INDRA dan FLEKSIBEL DALAM BERTINDAK

Dengan berjalannya waktu, aku makin mengenal Akang. Aku bisa mengenali ekspresi wajah, intonasi suara, dan bahasa tubuhnya bila dia marah,  senang, kecewa, kesal, dan sebagainya. 


Ketajaman indra ini membantu aku  mengenali respon Akang yang menjadi feedback dalam memperbaiki tindakanku. Aku bisa lebih fleksibel, mengganti-ganti cara bicara atau perilakuku dengan melihat respon Akang, sehingga aku bisa mencapai tujuanku. Ketajaman indra dan flesibel dalam bertindak ini banyak membantu aku dalam upaya membangun kedekatan, dan tentu saja untuk mencapai tujuan.

Caranya bagaimana? Bila aku mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu  pada Akang, aku memperhatikan responnya. Dengan ketajaman indera aku bisa tahu apakah respon Akang mendekatkan aku pada tujuan atau menjauhkan aku dari tujuanku.  Kalau wajahnya jadi berubah ekspresi, misalnya jadi manyun, alias garis bibir tertarik ke bawah, itu tandanya dia tak setuju, tak suka, atau sebal.Kalau aku teruskan dengan upaya yang sama, bisa gagal mencapai tujuan.


Maka aku ganti cara bicaraku, atau ekspresi wajahku, atau pilih kata lain yang kedengaran lebih nyaman di telinganya. 

Aku catat : Kalau gaya bicaraku begini, respon si Akang nggak oke. Jadi ya jangan bicara seperti itu lagi. Ganti nada bicaranya,  perbaiki ekspresi wajah, atau bisa juga ganti cara menyampaikan topik yang ingin dikemukakan, yang penting pesannya sampai.

Contoh : 

Aku ingin mampir ke sebuah candi saat touring ke Dieng. Jadi tujuanku : mencari cara yang tepat mengajak Akang mampir ke candi.  Lalu aku bilang pada Akang,

"Kang, sebelum pulang ke Bogor, kita mampir ke Candi Arjuna dulu  ya?

Ekspresi wajah si Akang langsung "kencang". Garis bibirnya datar . Nada bicaranya tegas.

"Enggak. Langsung pulang aja. Nanti kita kesiangan, bisa terjebak macet di jalan. Cepetan sekarang mandi, wudhu, shalat, packing dan berangkat pulang."

Dalam hati aku kecewa. Dada rasanya bergemuruh. Panas. Self talk ribut.

"Kenapa sih Akang nggak mengerti keinginanku? Kan aku suka bangunan kuno, yang membangkitkan eksotisme sejarah penuh misteri berusia ratusan hingga ribuan tahun. Itu kan hebat. Kenapa sih Akang tidak sudi meluangkan sedikit saja waktu hanya karena takut macet? Alasan yang sulit diterima! "

Nah.. Self Talk yang demikian itu bikin emosi naik. Inginnya  protes keras tapi aku ingat kunci utama 5 pillar komunikasi : selesaikan emosi, supaya bisa memikirkan solusi.

Salah satu cara menyelesaikan emosi bisa dengan sub modality editting. Dalam hal ini aku mengolah sub modality kinestetik (rasa).  Tarik napas dalam-dalam. Rasakan panas di dalam dada, bayangkan panas itu bentuknya seperti asap berwarna merah menyala,  buang dan lepaskan asap itu   seiring dengan hembusan napas. Fiuuuh.... Setelah merasa lebih nyaman,  baru berpikir.

Aku sudah hafal ekspresi, nada suara si Akang dan bahasa tubuh si Akang yang demikian itu. Ketajaman inderaku mengatakan bahwa itu artinya : Jangan coba-coba membantah! 

Dari catatan dataku, dulu kalau aku berkeras membantahnya dengan bahasa verbal dan perbedatan frontal, maka efeknya ya wassalam๐Ÿ˜ก๐Ÿ˜ฉ๐Ÿ˜•. Kami akan ribut, dan bisa ditebak pemenangnya siapa lagi kalau bukan si Akang. 

Jadi bagaimana? Di sinilah jurus FLEXIBEL DALAM BERTINDAK harus diberdayakan. Satu cara tidak berhasil? Lakukan cara lain!

Dari pengalaman hidup bersama si Akang, aku tahu kalau si Akang hatinya lembut dan baik. Orang yang hatinya baik akan mudah kasihan๐Ÿ˜.

Maka dengan patuh aku lakukan perintahnya. Mandi, wudhu, shalat subuh, dan packing. Tapi aku melakukannya dengan wajah sedih dan tak banyak bicara. Aku pasang dengan maksimal ekspresi  wajah memelas. Wajah memelas ya.. bukan wajah cemberut. Jangan salah...Wajah memelas itu semacam wajah orang yang menderita banget tapi nggak melawan, sejenis wajah tak berdaya๐Ÿ˜ฅ.

Selesai berkemas, aku duduk lesu menanti Akang. Dia mengenakan sepatu dan  pelindung lutut, duduk di dekatku. Sesekali dia mencuri pandang menatapku. Aku pura-pura tak tahu, tetap memasang wajah menderita tapi pasrah.

"Kita lihat dulu ya Neng. Kalau candinya sudah buka, kita ke sana. Oke, Neng? " Ucap Akang lembut..

Nah.. itulah ampuhnya jurus FLEKSIBEL DALAM BERTINDAK.๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜ 

MENUAI HASIL

Setiap malam sebelum tidur, biasanya dia  akan berbaring di sisi kirinya,  membelakangiku. Lalu terdengar dengkur halusnya. Sementara aku tenggelam dalam kekesalan, berharap ada sedikit kemesraan sebagai pengantar tidur. Kemudian kebiasaan itu aku ubah. 

Ketika dia sudah bersiap tidur membelakangiku, aku memeluk punggungnya. Aku ajak bicara dengan lembut sambil membelai. Lalu sebelum dia terlelap, aku menciumnya dan meminta dia membalas ciuman itu.  Sekali dua kali reaksinya datar saja. Tak jarang dia malah mengeluh.

“Akang sudah ngantuk Neng..” Ujarnya setengah terpejam.

Maka si Neng akan tampil menguatkan diriku. “ Hei, sabar. Fokus pada tujuan. Jangan terpengaruh!” 

Kemesraan menjelang tidur ini aku lakukan dengan intens setiap malam. Aku sudah tak ingat lagi berapa lama waktu berlalu, hingga suatu malam aku ingin mengetahui apa reaksinya bila kebiasaan memeluk dan mencium tak kulakukan.

Akang berbaring di sisi kirinya. Aku berbaring terlentang menatap langit-langit kamar. Beberapa menit berlalu tanpa kata. Aku sudah mulai gelisah. 

“Yaah… percuma kayaknya membiasakan peluk dan cium sebelum tidur. Kok, tidak ada efeknya ya..” Iwed berkata dengan nada pesimis.

Sejurus kemudian, Akang membalik tubuhnya, berbaring menghadapku. Lalu tangannya bergerak, meraihku dalam peluknya. 

Wow… Rasanya bahagia sekali!! Usahaku sudah mulai tampak hasilnya.



5 Pillar dalam upaya mewujudkan tujuan sudah aku lakukan. Sudah banyak kemajuan bila aku bandingkan dengan tahun-tahun yang lalu.  Ukuran keberhasilanku adalah Akang sudah merespon sesuai keinginanku. 

 Akang akan bertanya kalau sebelum dia  berangkat aku tak menunjukkan gelagat mencium, memeluk dan bermanja-manja. 

“ Kenapa, Neng? Marah ya?” Tanyanya. Lalu Akang akan memeluk dan merayu aku.

Dengan berlalunya waktu,  upayaku  terus menerus menggempurnya dengan kemesraan telah mendatangkan perasaan nyaman bagi Akang. 

Setiap malam sebelum tidur, dia sekarang yang meminta sesi bermanja-manja. Akang sering memintaku  memijat-mijat, menggaruk-garuk punggungnya, atau minta dibelai. Pillow talk dengan canda dan kemesraan juga sering kami lakukan. Dan ketika salah satu “ ritual” kemesraan tak dijumpainya, dia  merasa ada yang kurang. Harapanku untuk melalui hari-hari manis dalam kehidupan pernikahan, bukan hari yang biasa-biasa saja, sudah menampakan hasil.

Benarlah bila ada pepatah mengatakan bahwa hasil tak  mengkhianati usaha. Meskipun tidak ada jaminan bahwa upayaku akan berhasil membuatku menggenggam hati Akang. Adalah Allah yang menentukan segala upaya manusia. Teringat nasehat guruku tercinta, CikGu Okina Fitriani,  bahwa Allah tidak   menilai manusia dari hasilnya, tapi Allah menilai upaya hambaNya. Sedangkan hasil berada didalam kuasaNya. Biarlah semua upayaku ini menjadi catatan amal yang akan membantu aku kelak di pengadilanNya. Insya Allah…




24 komentar:

  1. Tfs ya Teh, semoga bahagia selalu^^ dalam menikah emang harus saling menghargai ya supaya teteup romantis hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Sandra Hamidah :sama2 mbak. aamiin.. terimakasih doanya

      Hapus
  2. kadang aku jg ngerasa suami ga semesra pas pacaran dulu :).. tp aku cendrung nerima aja sih mba.. mungkin lain kali perlu diterapin cara begini ya... kyknya memang harus yg perempuan dulu untuk memulai supaya para suami ini bisa lbh care lagi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. @fanny f nila : iya, kadang suami gak ngerti harus bagaimana mulainya, jadi ya istri saja dulu menunjukkan kemesraan. nanti pasti ada efeknya ke suami. semangat ya Mbak..

      Hapus
  3. maaksih tipsnya,menag sih pada saat anak2 kecilkadang kita repot dg uusan anak shg suka lupa merhatiin suami, shg suami agak cuek juga sih. Krn aku sekaarng tinggal berdua saja dg suami dan anak2 sdh merantau kedekatan kembali lagi dan aku lebih punya banyak waktu untuknya. maka sesibuik apapun suami dan istri harus menyempatkan berdua

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Tira Soekardi : iya, waktu berdua itu penting untuk menumbuhkan ikatan yg kuat

      Hapus
    2. @Tira Soekardi : iya, waktu berdua itu penting untuk menumbuhkan ikatan yg kuat

      Hapus
  4. Tipsnya sangat bermanfaat mbak :) saya masih baru menikah ..sudah 4 tahun :) masih harus banyak belajar :)

    Mbak itu kece banget touring pake motor gede begitu...kereeen

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Dewi Nielsen :terimakasih Mbak Dewi. Di usia pernikahan berapa pun kita akan terus belajar, karena pada dasarnya manusia dan kehidupan itu penuh dinamika.

      Hapus
    2. @Dewi Nielsen :terimakasih Mbak Dewi. Di usia pernikahan berapa pun kita akan terus belajar, karena pada dasarnya manusia dan kehidupan itu penuh dinamika.

      Hapus
  5. Aku ngefans sama dirimu & tulisanmu Mb Iwed...lup u....

    BalasHapus
  6. Aku ngefans sama dirimu & tulisanmu Mb Iwed...lup u....

    BalasHapus
  7. Semoga bahagia selalu teh. Sweet sekali.

    BalasHapus
  8. Komunikasi penting bngt emang, hal sekecil apa juga kalau nggak dikomunikasikan bakalaan hancur jdnya

    BalasHapus
  9. Awww mbak iwed ๐Ÿ˜๐Ÿ˜. Terimakasih udah share detail banget, jadi semakin mudah kalau mau di-model... ๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜

    BalasHapus
  10. wah, makasih sharingnya, bermanfaat banget nih karena memang rumah tangga butuh lima pilar ini ya

    BalasHapus
  11. Mbaaaaa aq lagi menerapkan 5pilar
    Belom blajar NLP karna emang blom ikutan TBS, tapi Insyaallah sudah kebaca gimana gambarannya karna postingan mbak yg ini niih hehehe
    Alhamdulillah mbaaaa kubaca berulang ulang ben masuk masuk masuk
    Kalo terhenti juga ngintip kesini lagi☺
    Terimakasih banyak yaaa
    Semoga selalu menginspirasi mbakku

    BalasHapus
  12. Tergugah baca tulisan ini, ini tahun jalan ke 4 setelah ada baby peraaaan si eneng sama kyk yg aku rasain skrg, mgkn krna ego ak jg tinggi dan g mau kalah jadinya ya sama2 g ada yg mau mulai dlan mewujudkan situasi hangat seperti dl, mgkn cara si ineng ini saya mau coba, semoga hasilnya bs sesuksea si eneng.
    Thank you very inspiring :*

    BalasHapus
  13. Saya sdg mengalami ini tapi masih canggung menerapakan.malu takut ditolak...gimana ya cara mengumpulkan keberanian utk memulai

    BalasHapus
  14. Mbaaaak.. Ini saya mau jalan tahun ke 4 berumah tangga, sungguh sama seperti yg mbak iwed alami sblm berhasil melakukan ini.
    Aku mau coba ah, tp nanti klo sudah baikan, karna sudah dua malam ini ku rasa kesal sekali sama suami, dia jauh lebih nyaman dg teman2nya daripada dg istri dan anaknya. Dia hanya bermain dg anak kurang lebih 30mnt. Tp dg temannya hampir setiap malam sepulang kerja sampe tengah mlm dia ngobrol, dg istri hanya mau tidur saja, saya hanha seperti teman tidur saja mbak iwed,,

    BalasHapus
  15. Maasyaa Allah.. terimakasih mbak atas sharingnya..jazakillah khair agak mbrebes mili di bagian akhir karena ikut terharu senang. Bagian terberatnya adalah menghilangkan gengsi dan rasa malu untuk melakukan hal diluar kebiasaan. Tapi saya mau coba semua mba, selama ini baru beberapa aja yg dilakukan.. bismillah, semoga bisa :)

    BalasHapus
  16. Mbaa.. jazaakillah tulisannya.. baguss.. lucu.. ngakak aku bacanya, berasa baca salahsatu sisi dari diri aku.. insya Allah nanti pengen ikut training ep, TBS nya..

    BalasHapus
  17. Klo suami suka marahnya nde block wa dan plg kermh ortunya gmn kita menyelesaikan masalah...

    BalasHapus