Pagi itu, aku,
si emak dasteran, sedang bersenandung riang di dapur, membolak-balik tempe
mendoan di kuali berminyak panas mendesis-desis.
Tiba-tiba aku
teringat Anin. Seharusnya dia sudah turun dari kamarnya di lantai dua untuk sarapan.
Jam delapan pagi ini dia akan ikut try out di tempat bimbingan belajarnya.
Khawatir Anin lupa, aku berlari meninggalkan kuali tempe mendoan, menuju
kamarnya di lantai atas.
Kukuakkan pintu
kamar hingga terlihat anak gadis
sulungku sedang duduk di lantai. Di hadapannya
berserakan kertas-kertas, buku, dan alat tulis. Sejak tadi malam kulihat dia
menekuri tumpukan kertas dan buku-buku. Tapi pagi ini ada yang aneh.
“Anin, kok belum
siap-siap berangkat, Nak? Try out-nya jam 8 kan? “ Tanyaku.
Anin menangkupkan
kedua telapak tangan di wajahnya. Sedetik kemudian dengan suara tertahan dia
menjawab.
“Enggak, Ma.
Anin nggak mau ikutan try out. “ Lalu bulir-bulir air mata mulai mengalir di
pipinya. Dua tangannya sibuk menghapus air mata, dadanya naik turun menahan
gejolak rasa.
“Lho, kenapa,
Nak? “ Aku bengong menatapnya.
“Anin nggak
bisa. Anin nggak bisa ngerjain soal-soal ini. Sudah dari tadi malam belajar,
tapi tetap nggak bisa. Anin nggak usah ikut try out.” Ujarnya sambil
terisak-isak. Ditepisnya tumpukan kertas soal ujian hingga makin berantakan di lantai .
“Kalau Anin
nggak bisa mengerjakan soal-soal ini ya nggak apa-apa. Yang penting ikut saja
dulu try out-nya.” Aku beringsut ke lantai, duduk di sampingnya.
“Nggak mau!
Nanti Anin nggak masuk 10 besar lagi!” Nafas Anin naik turun, air matanya kian
deras.
“Ya, nggak
apa-apa nggak masuk 10 besar. “ Sahutku membujuk.
Anin menggelengkan
kepala keras-keras. Tiba-tiba dia bangkit dan berlari ke kamar mandi.
Ditutupnya daun pintu hingga berdebam, lalu terdengar bunyi pintu dikunci.
Aku bingung
harus bagaimana. Apakah ada yang salah dengan tindakanku, hingga Anin bersikap
seperti ini? Sementara itu bayangan tempe yang sedang digoreng muncul di
kepalaku.
“Wah, jangan-jangan gosong nih..”
Aku lari ke
dapur. Untung tempenya tidak gosong. Aku
menitipkan tempe itu pada Dea, anak gadis nomor dua yang sedang menikmati
sarapan di meja makan.
“Dea, Mama minta
tolong jagain tempe goreng ini ya. Kalau
sudah agak garing, tolong diangkat dan matikan apinya. Mama mau bicara sama
Teteh Anin. “
Dea mengangguk.
Pikiranku
kembali sibuk mencari-cari solusi mengatasi sikap Anin. Sudah dua kali Anin
menyodori pengumuman hasil try out di bimbingan belajarnya. Pertama kali dia
menduduki ranking 8 . Kedua kalinya, dia juga menduduki rangking 8, tapi
nilainya meningkat.
Seingatku, aku
memujinya dengan bahasa non verbal. Kupasang wajah riang gembira, senyum paling
lebar, mata mengerjap-ngerjap, dua jari jempol kujulurkan ke hadapannya.
“Duh, salah apa
ya aku? Apa gara-gara ekspresi lebay itu, Anin jadi beranggapan dia harus masuk
10 besar tiap kali ikut try out. . " Batinku.
Aku naik ke
lantai atas. Anin masih mengunci diri di kamar mandi. Perlahan terdengar
isaknya. Aku berdiri di depan pintu kamar mandi, menimbang-nimbang kata-kata paling tepat untuk diucapkan.
“Anin, siapa
yang membuat aturan bahwa Anin harus masuk 10 besar tiap kali try out?” Aku
bicara dengan nada lembut.
Tak terdengar
jawabannya.
“Mama tidak
mengharuskan Anin masuk 10 besar, lho. Jadi siapa yang menetapkan aturan harus
masuk 10 besar, Nak?”
Masih saja Anin
tak menjawab. Rencananya aku akan menerapkan teknik parental coaching untuk
membantu Anin menemukan sendiri solusinya, tapi kalau Anin tak menjawab,
bagaimana bisa? Aku bahkan tak bisa menggunakan ketajaman indera untuk melihat gestur,
ekpresi wajah dan bahasa tubuh Anin, karena terhalang pintu kamar mandi.
“Oke. Seandainya
yang membuat aturan itu Anin sendiri, maka Anin tentu bisa mengubah aturannya,
kan? You are the master of your mind,
Nak. Kalau Anin membuat aturan yang efeknya malah membuat Anin merasa
terbebani, artinya ada yang salah.”
Aku merasa
bicara pada daun pintu, diam membisu. Anin adalah alasan terbesarku untuk
belajar ilmu parenting. Aku banyak menemui kesulitan dalam menjalin komunikasi yang
baik dengan anak sulung ini. Sebelum menerapkan teknik-teknik
Enlightening Parenting yang diajarkan Mbak Okina Fitriani, begitu banyak drama
terjadi di rumah ini. Terbayang dulu, pola komunikasiku dengan Anin adalah
teriak balas teriak. Aku dengan nafsu besarku, nafsu ingin dituruti, sementara
Anin sangat reaktif dengan bentakanku.
Keadaan membaik
setelah aku belajar menyelesaikan emosi dengan teknik-teknik yang diajarkan
dalam training The Secret of Enlightening Parenting. Aku menggunakan ketajaman indera untuk mengenali
reaksi Anin terhadap tindakanku. Dari beberapa kejadian, aku mengamati bahwa
Anin sangat terpengaruh pada vocal atau nada atau intonasi bicaraku. Dia juga
sangat terpengaruh dengan bahasa non
verbal, yaitu gestur. Kalau aku bicara dengan nada tinggi dan ekpresi wajah
rusuh, dia akan menyambut dengan reaksi yang sama, bahkan seringkali lebih
heboh. Tapi ketika aku bicara dengan nada rendah, agak lambat, dengan
penekanan-penekanan di kata-kata tertentu, ekspresi wajah penuh keyakinan,
reaksi Anin jauh lebih baik. Dia lebih bisa menerima pendapatku.
Aku termangu,
menatap pintu kamar mandi. Sunyi. Usahaku belum ada kemajuan. Prinsip fleksibel
dalam bertindak harus diterapkan. Kalau tak bisa dengan parental coaching, aku
harus ganti cara.
Sepertinya re-framing lebih cocok untuk menyelesaikan emosi Anin. Re-framing adalah mengganti makna yang dilekatkan pada sebuah peristiwa dengan makna yang lebih memberdayakan, atau makna yang membuat reaksi terhadap peristiwa itu menjadi lebih baik.
Anin memaknai try out sebagai ajang untuk adu kepintaran, adu kemampuan memperoleh nilai tertinggi. Maka ketika dia merasa tak bisa mengerjakan bentuk-bentuk soal yang baru, timbul rasa takut, cemas dan putus asa, bahwa dia akan gagal meraih peringkat tinggi. Rasa tak nyaman itulah yang membuat Anin enggan menjalani try out. Tapi makna baru apa yang harus kuletakkan pada peristiwa ini sehingga reaksi Anin menjadi lebih baik? Aku tak punya data apa-apa.
Sepertinya re-framing lebih cocok untuk menyelesaikan emosi Anin. Re-framing adalah mengganti makna yang dilekatkan pada sebuah peristiwa dengan makna yang lebih memberdayakan, atau makna yang membuat reaksi terhadap peristiwa itu menjadi lebih baik.
Anin memaknai try out sebagai ajang untuk adu kepintaran, adu kemampuan memperoleh nilai tertinggi. Maka ketika dia merasa tak bisa mengerjakan bentuk-bentuk soal yang baru, timbul rasa takut, cemas dan putus asa, bahwa dia akan gagal meraih peringkat tinggi. Rasa tak nyaman itulah yang membuat Anin enggan menjalani try out. Tapi makna baru apa yang harus kuletakkan pada peristiwa ini sehingga reaksi Anin menjadi lebih baik? Aku tak punya data apa-apa.
“Anin, Mama
lihat dari semalam Anin sudah belajar. Yakin saja Anin bisa, Nak.”Dengan nada
lembut namun setengah putus asa aku berujar.
“Anin nggak
bisa, Ma. Ini kan materinya belum diajarin!” Sahut Anin.
Ahaaa… akhirnya,
aku melihat peluang untuk meletakkan makna baru.
“Oh, begitu.
Tempat bimbingan belajar Anin itu sudah
punya program. Tidak mungkin mereka asal-asalan saja memberikan try out atau
uji coba. Mereka sengaja memberi ujian dulu pada siswanya sebelum materi
dijelaskan. Mereka ingin melihat kemampuan siswa sebelum diajari. Nah, nanti
setelah para guru bimbingan belajar menjelaskan trik-trik mengerjakan soal-soal
itu, mereka akan memberikan try out lagi. Hasil try out hari ini akan menjadi patokan
awal, dan hasil try out selanjutnya akan menunjukkan sejauh mana pencapaian
siswa. Kalau Anin nggak ikut sekarang, bagaimana mereka bisa mengukur kemajuan
Anin? Try out itu untuk latihan, Nak.Untuk mengukur kemajuan Anin, bukan ajang adu kepintaran” Sahutku penuh keyakinan.
Sejenak masih tak
ada suara. Aku berdiri dengan sabar, menghadap pintu kamar mandi.
“Ya oke-lah,
Anin ikut try out.” Suara Anin yang samar itu membuat hatiku girang. Alhamdulillah..
“Sebelum berangkat, sarapan dulu ya, sayang. Mama
tunggu di ruang makan ya. Mama yang akan antar Anin. “
Anin akhirnya
turun. Matanya masih sembab, tapi wajahnya sudah lebih cerah.
Di mobil, aku
berniat mengajaknya bicara lagi. Installing belief yang memberdayakan adalah
hal penting yang harus kulakukan pada
Anin. Kuatur nada suara dan intonasiku sebaik mungkin, agar nyaman didengar
Anin. Dia mungkin tak bisa melihat jelas wajahku, karena aku tengah menyetir
mobil. Tapi kuupayakan gestur gerak tangan, dan bahasa tubuh mendukung
ucapanku.
“Anin, Mama
senang lihat Anin sudah belajar. Mari kita luruskan niat. Anin ikut bimbingan
belajar kan untuk menguasai materi pelajaran dan trik-trik mengerjakan soal
untuk ujian masuk kuliah, bukan untuk masuk 10 besar tiap kali try out. Kalau pun Anin sudah belajar dengan sungguh-sungguh,
sudah berdoa, sudah rajin ikut bimbingan belajar, lalu nanti ketika ikut ujian
masuk kuliah ternyata Anin tidak lulus, Mama
dan Bapak tidak akan marah.” Intonasi bicaraku sengaja aku kuatkan pada
anak kalimat yang terakhir. Lalu aku lanjut bicara.
“Kuliah di
universitas negri seperti keinginan Anin boleh
saja menjadi target, tapi tujuan utama yang harus Anin niatkan adalah tempat
kuliah terbaik yang ditentukan oleh Allah
Yang Maha Besar, sayang. Allah lah yang tahu tempat mana yang terbaik nantinya untuk Anin. Dia
sudah punya rencana. Bisa saja rencana Allah sejalan dengan rencana Anin, tapi
bila tidak sejalan, yakinlah bahwa Dia selalu memilihkan yang paling baik buat Anin. Jangan takut
tidak lulus kalau Anin sudah maksimal berupaya. Nah, karena otak membutuhkan
kondisi emosi yang optimal untuk bisa bekerja menerima pelajaran dengan baik, maka
lakukanlah belajar dengan riang, senang, tanpa beban.”
“Satu hal lagi,
Nak. Kata yang kita ucapkan pada diri sendiri sangat powerful. Kalau Anin
bilang pada diri sendiri; ‘Aduh, capek banget, harus belajar terus, les terus,
banyak tugas, bla..bla..bla..’ maka efeknya tubuh dan perasaan Anin akan lemas
tidak bersemangat dan timbul emosi kesal, tidak memberdayakan. Tapi coba Anin
rasakan sendiri, kalau Anin katakan seperti ini.”
“Ya Allah, lelah
ini adalah upayaku memantaskan diri mendapatkan tempat belajar terbaik menurutMu.
Maka kuatkanlah aku.”
Anin
mengangguk-angguk. Dalam hati aku berharap kata-kataku tersimpan dalam
benaknya.
Sesaat sebelum
Anin turun dari mobil, aku membelai tangannya.
“Nak, lain kali,
kalau Anin merasakan emosi tidak nyaman, cepat-cepatlah beri tahu Mama. Kita
selesaikan emosinya sama-sama. Mama bantu re-framing ya.”
Anin mengangguk
sambil terseyum. Dia turun, melangkah ringan masuk ke ruang bimbingan belajar.
Mba, pas anak remaja kadang butuh waktu untuk menyendiri dan kadang tak ingin diganggu. Padahal ya orangtua kan pasti ingin membantu anaknya :)
BalasHapuskeren.... banyak belajar dari mba...
BalasHapusbagaimana membuat anak tenang.. memberi pengertian dan pemahaman...
tanpa crewet....bla..bla... kamu harus ikut..nanti klo nggak..kamu gak lulus...nyinyir gitu...
tapi mba..sabar..dan bijak...
harus belajar sabar sama mba iwed. siap2 ngadepin anaku yg mau abege nanti
BalasHapusBeruntung Anin punya mama papa seperti mbak, dulu orangtuaku nggak kayak gini, mereka menasehati ada tapinya, itu yang aku sebalkan!
BalasHapusgapapa nilai kamu jelek tapi alangkah lbh baik kalau nilai kamu bagus, itu nasehat bukan namanya -_-'
Masya Allah jadi motivated lagi saya karena sekarang sedang mendampingi si bungsu di masa2 kritis masuk PT. Beda dg si kakak yg mulus tanpa kendala, si bungsu ini banyak liku2nya. Saya takut dia merasa kalah dg si kakak sebelum berjuang. Semoga bisa mendapat celah utk masuk ke hatinya utk terus menjadi penyangga semangatnya.
BalasHapusKeren. Mudah mudahan saat anakku mulai remaja, aku bisa begini.
BalasHapusDaaan, aku merasa sangat beruntung membaca tulisan ini. Nggak tahu kenapa, kok tiba-tiba jari bergerak klik blog-nya Mbak Juliana ini. Salam kenal ya, Mbak. Tentunya Allah yang menggerakkan, ya. Anak-anakku masih kecil, usia 9 dan 7 tahun. Belum menemukan masa mereka lelah belajar seperti Teh Anin. Jadi penasaran juga nih sama Enlightening Parenting-nya Mbak Oki.
BalasHapusDulu sempet ngerasa kaya gini juga, pas masih jaman-jamanya kerja dari pagi sampe sore, di lanjut kuliah sampe malem, kaya ada rasa jenuh karena setiap hari mengulang rutinitas, tapi alhamdulillahnya disaat kaya gitu ga pernah sakit. Terima kasih ilmunya Mbak, salam kenal, jadi bekal aku kalo nanti punya anak nih hehehe,
BalasHapusTerima kasih sudah berbagi ilmu mb, saya juga lagi mendampingi dua anak yang sudah remaja. Salam kenal.
BalasHapus