Laman

Selasa, 03 Januari 2017

Anak Trauma pada Guru? Ini Solusinya



Aku sedang  duduk di ruang makan, baru saja menghabiskan semangkuk sop ayam  ketika si sulung Anin masuk.

“Sudah pulang, sayang?” Sapaku.

Anin tak menjawab. Dihempaskan tubuhnya di kursi makan. Tas kecilnya diletakkan sembarangan  di atas meja. Pandangan mataku menangkap raut wajah Anin  kusut. Rahangnya mengeras. Sudut-sudut bibir tertarik ke bawah. Ketajaman inderaku menangkap kemarahan dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh Anin.

“Lha, ada apa ini?” Batinku.

“Anin sebal banget! Ingat Guru Anin  marah tempo hari. Dia bilang percuma saja Anin pintar kalau akhlaknya buruk!” Kalimat itu terlontar dari mulut Anin disertai tatapan mata  dingin menusuk.


“Mama mengerti Anin marah. Bagaimana kejadiannya, Nak? Coba Anin cerita dulu.” Aku mengatur nada suaraku setenang mungkin, meskipun ada rasa panas menjalar di hati. Mau tak mau mendengar kalimat yang diucapkan Guru Anin itu, emosiku terpengaruh. Terasa reptilian brainku yang ingin memuaskan nafsu amarah  mulai mencolek-colek minta dimanjakan. Tapi aku  menahan keinginan itu.

“Beberapa hari yang lalu, Anin kelaparan. Terus Anin makan di kantin. Memang sih, sudah masuk jam pelajaran, tapi Anin lapar. Ada salah satu guru Anin yang melihat. Lalu dia bilang, Anin cepat masuk ke kelas. Sudah waktunya belajar. Anin bilang, iya sebentar, Bu. Anin masih meneruskan makan. Terus dia marah. Dia bilang kamu itu percuma saja pintar, kalau akhlaknya buruk. Nyebelin banget kan, Ma?!!” Intonasi Anin tinggi, berapi-api. Bibirnya manyun.

“Oh begitu.” Aku mengangguk-angguk, berusaha mengatur ekspresi wajah tetap tenang. Kalau mau memperturutkan emosi pasti aku sudah memuntahkan omelan yang bunyinya kira-kira begini.

“Sebagai Guru harusnya tidak boleh bicara begitu. Kalimat seperti itu efeknya membuat murid merasa upaya belajarnya sia-sia saja.  Lalu dibilang buruk akhlaknya itu seperti tak ada harapan lagi untuk menjadi lebih baik. Kalau tujuannya ingin membangkitkan semangat dan motivasi murid untuk berubah,  bukan seperti itu cara bicaranya. “

 Tapi aku tahu, tak ada gunanya berkata demikian di depan Anin. Aku malah akan menjadi contoh yang tidak baik.



5 Pillar dalam berkomunikasi. Itulah yang langsung terpampang di kepalaku ketika aku memikirkan apa yang harus kulakukan. Baiklah.

Point pertama adalah selesaikan emosi. Emosi siapa? Tentu emosi  aku dan emosi Anin. Dalam The Secret of Enlightening Parenting, Mbak Okina Fitriani mengajarkan berbagai teknik menyelesaikan emosi. Aku tinggal memilih  cara yang paling pas untuk setiap permasalahan. Dalam hal ini aku memilih untuk menyelesaikan emosi dengan Re-framing, karena cara ini bisa sekaligus digunakan untuk diriku dan Anin, bersama-sama.

Reframing adalah mengubah makna yang diletakkan pada sebuah peristiwa dengan makna baru. Makna baru ini gunanya untuk membuat respon Anin dan aku sendiri menjadi lebih baik.

“Anin, menurut Anin apa yang menyebabkan Guru Anin bilang begitu?”

“Dia itu tidak perduli perasaan Anin. Yang dipikirkan cuma Anin harus nurut. Jadi, prestasi akademik Anin sia-sia  saja dong, dibilang percuma. Males ah belajar!” Anin bersungut-sungut.

“Kalau Anin memaknai seperti itu, reaksi Anin sudah pasti marah dan kesal. Mungkin kecewa juga. Bagaimana kalau kita kasih makna baru pada peristiwa itu, supaya Anin tidak marah lagi, atau berkurang kesalnya.” Aku berucap dengan santai, kemudian meneguk air digelasku.

“Maksud Mama apa?”

“Anggap saja Guru Anin belum belajar ilmu parenting. Dia belum tahu tentang Enlightening Parenting. Dia belum bisa mengelola emosinya. Coba bayangkan kalau Anin jadi dia. Ada anak muridnya yang disuruh masuk kelas, tapi tidak segera masuk, padahal jam belajar sudah dimulai. Emosinya naik, dia marah, sehingga kata-katanya tidak terkontrol. Makanya yang keluar kalimat seperti itu. Nah, kalau Anin mendengar kata-kata orang yang sedang emosi, lalu Anin tahu dia juga belum belajar ilmu parenting, dia belum bisa memilih kata-kata yang baik untuk membuat muridnya termotivasi. Menurut Anin, apakah perlu kata-katanya membuat Anin marah, kesal, bahkan sampai berhari-hari masih kesal, terus dibawa-bawa dalam pikiran Anin. Perlu nggak, Nak?”

Aku melihat perubahan ekspresi yang jelas pada wajah Anin. Seperti terkejut, lalu  sedikit lega.

“Iya, ya. Nggak perlu ya.” Ucap Anin.

 Hatiku bersorak.  Emosiku sudah sejak tadi surut. Anin tampaknya sudah merasa lebih baik. Sejenak Anin terlihat tenang, tapi kemudian emosinya naik lagi.

“Tapi suaranya waktu bilang itu nyebelin banget, Ma, kedengarannya.” Bibir Anin mengerucut.

Kembali ke 5 pillar berkomunikasi. Tampaknya aku harus menerapkan point “fleksibel dalam bertindak” untuk  meredakan emosi Anin. Cara satu belum berhasil dengan maksimal, coba cara yang lain.

Kalimat Anin yang terakhir menjelaskan bahwa dia terganggu dengan suara gurunya saat mengucapkan kalimat yang dianggap menyebalkan itu.

“Anin, kalau begitu kita main-main yuk. Anin tahu nggak, kalau manusia ini menyimpan memory dalam pikirannya berupa gambar atau visual, suara atau auditori, dan rasa atau kinestetis. Sekarang karena Anin bilang suara guru Anin nyebelin, artinya Anin menyimpan memori itu dalam bentuk auditori. Nah, coba di dalam pikiran Anin, suara guru itu Anin ganti dengan suara Sponge Bob. Anin tau Sponge Bob kan? Tokoh film kartun yang suaranya konyol dan lucu itu? “Kutatap mata Anin sambil memperhatikan raut wajahnya.
Anin mengangguk.

“Nah, coba bayangkan Anin mendengar guru Anin bicara kalimat yang tadi tapi suaranya diganti suara Sponge Bob.” Mengganti suara ini secara teknik disebut auditory submodalities editting.

Anin terdiam. Aku menunggu reaksinya. Tiba-tiba dia tertawa.

“Hahaha.. iya ya. Jadi lucu. “ Ujar Anin. Ketegangan di wajahnya mengendur.

Aku menghembuskan nafas lega. Tapi kelegaan itu tak berlangsung lama. Anin mulai lagi.

“Tapi ekspresi mukanya itu juga nyebelin, Ma. “ Anin menarik bibirnya menjadi garis datar. Jari-jarinya iseng mengetuk-ngetuk meja makan seolah menyalurkan kekesalannya.

Wah, lengkap ini.  Rupanya Anin menganggap peristiwa itu sebagai ingatan yang tidak menyenangkan (trauma). Lagi-lagi aku harus mengandalkan jurus fleksibel dalam bertindak. Anin butuh mengubah gambaran visual juga rupanya.



“Anin, tadi Mama sudah bilang kalau manusia menyimpan memory di pikirannya dalam bentuk visual, auditori dan kinestetis. Coba Anin ingat-ingat lagi peristiwa itu. Seperti nonton film. Anin ingat bagaimana wajah Guru Anin saat peristiwa itu?”

Anin mengangguk.

“Di skala 1 sampai 10, seberapa besar rasa tidak nyaman yang Anin rasakan kalau mengingat peristiwa itu?”

“Sepuluh!” Serobot Anin penuh keyakinan.

“Oke. Sekarang  coba Anin bayangkan peristiwa itu.  Apakah Anin bisa melihat gambarnya?”

Anin mengangguk.

“Gambarnya bergerak seperti film atau diam seperti foto?”

“Kayak film, Ma.”

“Kalau kayak film, Anin merasa mengalami peristiwa itu, atau Anin merasa sedang menonton peristiwa itu?”

“Sedang mengalami.”
“Sekarang, bisa nggak Anin  kasih bingkai film itu. Lalu Anin bayangkan sedang menonton film, yang bintang filmnya Anin sendiri dan Bu Guru itu. Bayangkan Anin nonton film itu dilayar laptop.  Layar laptopnya  berteknologi “touch-screen”ya.”

Aku menunggu beberapa saat.

“Bisa, Nak?”

Anin mengangguk.

“Oke, sekarang coba Anin capture screen layar yang ada filmnya itu. Anin potret sehingga filmnya menjadi  foto atau gambar yang diam. Mama bantu ya.“

Aku meraih dua telapak tangan Anin.  Kurentangkan dua telapak tangannya berhadapan, kira-kira selebar layar laptop.

“Nah, kira-kira seukuran inikah gambarnya?” Tanyaku.

Anin mengangguk.

“Sudah di capture screen? Kalau belum lakukan sekarang sehingga filmnya menjadi gambar yang diam. Klik!”

Anin mengangguk. “ Sudah, Ma. “

“ Sekarang, apakah Anin bisa melihat gambar itu? Ada apa di situ?”

“Ada Anin dan  Bu Guru.”

“Anin pakai baju apa?”

“Baju seragam hijau.”

“Oke. Sekarang, kita kecilkan gambar itu ya.” Aku menggerakkan dua telapak tangan Anin perlahan saling mendekat, ujung-ujung dua jari telujuk dan dua jempolnya kutautkan sehingga hanya ada celah kecil diantara jari-jari itu.

“Gambarnya jadi kecil sekali. Seukuran celah di jari  Anin ini. Sekarang, gambar itu mau Mama beri cahaya. Mama beri cahaya yang terang sekali, sangat terang  menyilaukan mata. Makin terang,makin terang, makin terang. Gambarnya hilang tertelan cahaya.”

Aku menggerakkan tangan kananku mendekat ke jari-jari Anin.  Anin kemudian melepaskan jari-jarinya.

“Gambarnya kemana, Nak?”

Anin bengong. “Hilang, Ma.” Jawabnya lirih. Dia tampak  heran.

“Kita ulangi ya. Coba Anin bayangkan peristiwa itu sekali lagi “

 “Kok susah ya, Ma. Gambarnya buram .” Ucap Anin.

“Oke, sekarang gambar itu kita kira-kira seukuran layar laptop ya. Kita kecilkan lagi.”

Anin mendekatkan telapak tangannya, lalu menautkan dua jari telunjuk dan dua jari jempol.

“Sekarang Mama bakar gambar itu.  Mama beri api, gambarnya terbakar, terus terbakar, habis. Arang hitam sisa pembakarannya hilang ditiup angin”

Anin melepaskan tautan jarinya.

“Coba Anin  bayangkan lagi peristiwa itu.”

Anin mengerutkan keningnya, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
“Susah, Ma.”

“Kalau Anin membayangkan peristiwa itu lagi, di skala 1 sampai 10, seberapa besar rasa tidak nyaman yang Anin rasakan?”

Anin memandangku dengan tatapan heran,  lalu menjawab,” Nol, Ma.”

“Oya? Yakin? Artinya kalau ingat peristiwa itu Anin merasa baik-baik saja?”

“Iya. Kok bisa ya?”

Jangankan Anin, aku pun heran. Campuran dari berbagai teknik mengubah-ubah submodalities baik visual, auditif maupun kinestetis di kelas training parenting diberikan dengan istilah  mild trauma healing. Cara   yang sederhana dan tampak seperti main-main ini bisa manjur menghilangkan kekesalan Anin terhadap peristiwa tak menyenangkan. Ingatan atau memory yang disimpan dalam bentuk visual, auditory dan kinestetis ternyata bisa dimanipulasi, diubah,  dirusak,  dikaburkan, dihilangkan dan sebagainya . Lalu efek dari tindakan itu membuat muatan emosi yang melekat pada ingatan itu pun ikut berubah. 

Alhamdulillah emosi negatif yang timbul akibat peristiwa itu sudah berhasil diselesaikan. Sekarang saat yang tepat untuk installing belief baru yang memberdayakan.

“Anin sudah bagus prestasi belajarnya. Kenaikan kelas lalu Anin dapat ranking pertama, dan nilai-nilai Anin sekarang Mama lihat juga bagus. Anin sudah bisa jadi role model dalam hal meraih prestasi akademik bagi teman-teman Anin. Coba bayangkan bagaimana ya rasanya   kalau Anin  menjadi role model juga dalam hal taat pada peraturan sekolah. Rasanya bagaimana, Nak?”

Anin tak menjawab, hanya tersenyum lebar.

“Anin bisa?” Tanyaku.

“Bisa.” Jawab Anin mantap.

Aku menepuk-nepuk pundaknya.  Anin berlalu ke kamar, dengan wajah cerah. 

7 komentar:

  1. Mantep mba, terimakasih sharing ilmunya manfaat banget ^_^

    BalasHapus
  2. lengkap banget....mba..
    wah jadi tau..tahapan2,
    kalo gak paham...emak bisa nyeletuk pedes...anak malah jadi makin emosi..
    kayak gini..anak emosinya jadi berbalik...

    BalasHapus
    Balasan
    1. @nova violita : terimakasih sudah mampir dan baca tulisanku,Mbak😍

      Hapus
  3. Sebagai emak, kita bener2 harus bijak menyikapinya ya, Mba Iwet. Ga gampang juga ngadepin kasus kaya gini. Kalau anak ngambek ga mau sekolah dan dia bilang gara2 kesel ma gurunya.

    Siiplah, simpen tips nya, Mba Iwet

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Anggarani Ahliah Citra : semoga bermanfaat,Mbak.. terimakasih sudah mampir ke sini

      Hapus
  4. Keren wi...mau coba ah.tks ya ilmunya

    BalasHapus