Apa yang sebaiknya dilakukan orangtua bila anak kecewa dengan nilai ulangannya?
Mau pilih marah, menghakiminya,
atau
mencekoki dengan solusi misalnya langsung disuruh les ?
Mencekoki anak dengan
solusi tampaknya seperti perilaku orangtua yang sayang anak. Padahal, orangtua
yang sedikit-sedikit memberi solusi pada permasalahan anaknya tanpa sadar
membunuh kreativitas anak, menjadikan anak tidak tangguh, dan mudah menyerah.
Maka apa yang sebaiknya
dilakukan? Jadilah orang tua yang keren buat anak-anak. Mari bimbing anak untuk
menemukan sendiri solusinya.
Lakukan parental coaching
yang berpegang pada 5 pilar komunikasi. 5
pilar komunikasi adalah :
1.
Selesaikan emosi
2.
Tentukan tujuan dan fokus
pada tujuan itu.
3.
Bangun kedekatan.
4.
Gunakan ketajaman indera.
5.
Kreatif atau fleksibel
dalam bertindak.
Supaya lebih jelas, simak
aplikasinya berikut ini.
Kalau anak datang pada
Mamanya dengan wajah kusut, lalu dia berkata
“Mama, aku kesal! Nilai ulangan
matematikaku jeblok. Dapat 4, Maaa!”
Apa yang dilakukan Mama?
Kalau ada Mama yang
bilang,
“Tuh kaaan! Mama bilang
juga apa?? Makanya belajaaar!!” Sambil mukanya ikutan kusut juga.
Kira-kira apa yang
terjadi?
Saat anak datang dengan
rasa kesal, marah, dan kecewa, sebenarnya apa yang dibutuhkannya? Dia butuh
dimengerti, butuh dihibur, dan dibimbing menemukan solusi.
Apa sebenarnya yang
terjadi pada sang Mama yang berkata
demikian tadi? Emosi itu menular. Tanpa sadar sang Mama sudah ketularan emosi
negatif anak. Akibat emosi, responnya
menjadi negatif. Respon negatif biasanya
membuahkan hal yang negatif juga.
Sudah bagus anak datang
kepada Mamanya untuk mengadukan permasalahan. Di saat anak dirundung masalah,
sang Mama yang tidak bisa mengelola emosi malah memilih mengambil posisi
sebagai hakim yang memarahi dan mengadili anak.
Kalimat “Tuh kaan! Mama
bilang juga apa?? Makanya belajaaar” itu
seperti mengatakan bahwa Mama benar dan kamu salah. Itu akibatnya, itu
hukumannya karena kamu tidak belajar. Padahal belum tentu anak tidak
belajar. Bisa saja cara belajarnya
kurang tepat, atau sudah belajar tapi belum mengerti, sehingga hasilnya tidak
sesuai harapan.
Didorong emosi negatif,
sang Mama memilih posisi berseberangan dengan anak. Tanpa sadar hal ini merusak
kedekatan dengan anak.
Tak heran bila anak
berpikir,
“Wah, ternyata nggak asyik
mengadu ke Mama. Aku malah kena marah.
Lain kali kalo ada masalah aku nggak mau bilang sama Mama lagi ah!”
Nah, repot kan kalau begini 😟
Dari pengalamanku sendiri
sebagai Mama 3 anak, permasalahan paling mendasar dalam menjalin komunikasi
dengan anak adalah pengelolaan emosi. Komunikasi tidak berjalan lancar, masalah
jadi ruwet sebagian besar karena sang
Mama tak mampu menyelesaikan emosi. Karena alasan itulah, guru sekaligus
trainerku, Mbak Okina Fitriani, meletakkan point “Selesaikan Emosi” diurutan pertama
dalam 5 pilar komunikasi.
Jadi sebaiknya yang
dilakukan pertama kali adalah menyelesaikan
emosi. Emosi siapa? Ya emosi Mama.
Caranya bagaimana? Dalam training the Secret of Enlightening
Parenting, diajarkan beberapa cara menyelesaikan emosi. Salah satunya dengan
metode assosiasi - dissosiasi.
Saat anak datang dengan
kekesalan dan kemarahan, lalu sang Mama merasakan hal yang sama, artinya Mama mengalami
assosiasi, yaitu menjadi dirinya
sendiri yang terlibat dalam sebuah peristiwa. Segera kenali emosi itu, tahan
mulut agar tidak bicara dalam kondisi emosi tak memberdayakan. Mama mundur dulu satu
langkah. Lakukan disossiasi, yaitu
sang Mama membayangkan “keluar” dari
dirinya sendiri, menjadi sosok yang tidak terlibat dalam peristiwa itu.
Bayangkan ada dua sosok
Mama. Untuk lebih jelasnya, dissosiasi
itu seperti menonton film. Dalam hal ini film yang aktornya adalah Mama dan
anaknya. Lalu, penontonnya adalah Mama yang tak terlibat dalam peristiwa itu.
Mama yang menjadi penonton itu bisa melihat permasalahan yang terjadi tanpa
terlibat atau terpengaruh emosinya. Bila
emosi tak terlibat, logika akan berjalan dengan baik.
Lalu mulailah menganalisa
peristiwa itu dari sudut pandang observer atau penonton.
“Ini ada kejadian, anak
datang pada Ibunya, mengadukan kekesalannnya, kekecewaannya, kemarahannya
karena nilai matematikanya jeblok. Lalu apa yang seharusnya dilakukan sang Ibu?
Sebagai Ibu harusnya dia
tidak marah. Dia harus memahami anaknya, menghiburnya supaya emosinya selesai,
lalu membimbing anak mencari solusi. Jadi, tujuan Ibu adalah membimbing anak menemukan sendiri
solusinya.(menentukan tujuan dan fokus
pada tujuan itu)”
Sampai disini, sang Mama
yang jadi penonton dengan membawa kebijaksanaannya, masuk kembali ke sosok dirinya, sehingga
terjadi proses assosiasi. Setelah ini
bisa dipastikan kondisi emosi Mama sudah baik, tidak marah lagi, tidak
terdorong untuk menghakimi anaknya.
Selanjutnya yang harus
dilakukan adalah menyelesaikan emosi
anak.
Bagaimana caranya? Be Creative!
Katakan bahwa Mama
memahaminya.
“Mama mengerti Adek kesal.
Yuk sini.. Mau Mama peluk nggak?”
Menawarkan pelukan adalah
upaya membangun kedekatan.
Seandainya anak menolak,
lalu bagaimana?
“Nggak mau! “ Teriaknya.
Apakah Mama menyerah? Ini
saatnya mengeluarkan jurus yang ke 5, kreatif atau fleksibel dalam bertindak.
Ingat baik-baik, bahwa tidak ada kegagalan,
yang ada adalah feedback. Kalo satu cara tidak berhasil, cari cara lain
sampai berhasil. Jangan mudah menyerah.
“Adek, Mama tadi beli ice
cream. Enak banget lho. Yuk kita makan berdua. Sini, Dek..
Ajak anak makan berdua. Bangun kedekatan sambil terus diperhatikan bagaimana ekspresi
wajahnya, bahasa tubuh, intonasi suaranya. Gunakan ketajaman indera untuk mengenali apakah emosinya sudah reda atau
belum.
Ketika raut wajahnya sudah
kelihatan ceria, baru sang Mama bisa mengajak anaknya berdiskusi. Mulai lakukan
parental coaching.
“Adek, coba Mama lihat
ulangan matematikanya. “
“Ini Ma, dapat 4!”
“Oo.. Ini Adek sudah benar mengerjakan 4 soal lho… (Mama fokus pada hal baik). Tinggal 6 soal lagi yang perlu
diperbaiki.” (Pemilihan kata “tinggal 6”
membuat anak merasa permasalahannya tidaklah terlalu parah. Hati-hati memilih
kata. Kalau Mama memilih berkata “ masih 6 lagi” maka efeknya akan berbeda.
Ingat padanan kata “tinggal- sedikit” dan “masih- banyak”)
“Oh iya ya.”
“Coba, Adek lihat. Enam
soal itu tentang apa saja?”
“Tentang luas lingkaran,
keliling lingkaran, volume limas, volume kerucut, volume tabung, dan volume
bola.”
“Oke. Jadi 6 subjek itu ya
yang perlu Adek pelajari. Kapan ada ulangan lagi, Nak?”
“Minggu depan, Ma.”
“Jadi Adek masih punya
waktu 1 minggu ya untuk belajar. Supaya cukup waktunya untuk belajar 6 subjek
itu, bagaimana Nak?”
“Ya dibagi-bagi waktunya.
Aku ingin menguasai dalam 2 hari, jadi satu hari aku akan belajar 3 subjek.”
“Bagus, Nak. Menurutmu bagaimana
caranya supaya bisa menguasai 6 subjek ini?”
Biarkan anak yang mencari
sendiri solusinya. Jawaban harus datang dari anak. Jawabannya bisa saja belajar lewat internet, atau minta diajari
temannya yang pandai, atau anak minta dicarikan guru les.
Yakinkan bahwa apa pun
solusinya, hal itu adalah keputusan dia sendiri, bukan Mama yang menyuapi
solusi.
Bila anak memilih belajar
lewat internet, Mama sebaiknya mendampingi dalam proses belajar. Bila anak
memutuskan minta diajari temannya, izinkan dia melakukannya. Bila anak meminta
dicarikan guru les, Mama tinggal memfasilitasi.
Solusi yang datang dari
keputusan sang anak, akan membuat anak lebih berkomitmen melaksanakannya.
Apa sih sebenarnya yang
dilakukan orang tua dalam mendidik anak? Prinsip pengasuhan anak adalah menjaga
fitrah atau potensi baik anak yang sudah ada dalam dirinya sejak lahir.
Melakukan parental coaching adalah salah satu upaya orang tua untuk menjaga
fitrah baik anak. Fitrah baik yang mana? Fitrah untuk bertahan hidup, fitrah tanggung jawab dalam hal ini untuk menemukan solusinya sendiri ketika menghadapi masalah.
Ingin punya anak tangguh yang mampu menghadapi berbagai masalah
dan tak tergantung pada orangtuanya?
Yuk, mulai lakukan parental
coaching 😃💗💗💗👍
Aku pun sudah mulai sedikit2 parental coaching pada anakku meskipun hasilnya ga sesuai karena masih 3 tahun hehe
BalasHapusNice for reminder mba
@herva yulyanti : wah keren,Mbak. sejak dini sudah dikenalkan dengan parental coaching. 👍👍👍👍
HapusIni juga cara yg diterapkan di HSBC kantorku mbak. Kita tiap 6 bulan ada yg namanya staff coaching. Jd dr situ staff dan line managernya saling ngobrol , bicara ttg apa ug msh jadi kendala, tp atasan berusaha supaya solusinya bisa berasal dr staff sendiri, dgn tujuan ya supaya commit saat melaksanakan :). Buatku sih bgs jg dilakukan di anak yaa.. Supaya mereka terlatih berfikir mencari solusi sendiri :)
BalasHapus@Fanny f nila : iya, harusnya para orangtua melakukan ini pada anak2nya.😊
HapusSejak kapan mba parental coaching ini bisa diterapin mba?
BalasHapus@maarceuu : parental coaching bisa diterapkan sejak anak paham bahasa dan sudah bisa diajak bicara. Ada anak sahabat saya yang umur 3 tahun sudah bisa di coaching, meskipun tetap cara coaching harus disesuaikan dengan usianya.
BalasHapusRata-rata usia 4-5 tahun sudah bisa dicaoching untuk permasalahan sederhana. Biasanya kalau sudah mulai sekolah, sudah semakin bisa. Kalau anak sudah dibiasakan didengar pendapatnya dari kecil, maka anak lebih cepat bisa di coaching.Misalnya dari kecil sudah dibiasakan diberi pilihan, misalnya pilih mau pakai baju apa hari ini, lalu Mamanya memberi apresiasi. itu baik banget untuk memupuk kemampuan anak mencari solusi.