Laman

Kamis, 06 Oktober 2016

14 Jurus Silat Lidah, Cara Ampuh Runtuhkan Keyakinan Tak Memberdayakan



Sudah belasan tahun berumah tangga bukan berarti adem-adem saja. Manusia akan selalu punya sisi - sisi dalam dirinya, yang sibuk berargumentasi, berdebat, saling mempengaruhi untuk membuat diri ini melakukan sesuatu sebagai respon atas sebuah peristiwa.  Lha, ini ngomong apa sih? Hehe… bingung ya.

Jadi begini, aku  ingin menceritakan pengalaman pribadi. Di dalam diriku, ada  tiga sisi. Tiga sisi ini aku visualisasikan sebagai Iwed yang netral, Neng yang logis, dan Dewi yang ceriwis. Semuanya bagian dari diriku itu selalu bersama, sehingga selalu terlibat dalam seluruh peristiwa dalam hidupku. Dalam Neuro Linguistic Programming, perdebatan sisi- sisi diri itu disebut “self talk”. Self talk terjadi dalam alam pikirian. 

Apa yang dilakukan self talk? Misalnya begini. Suatu hari si Akang pulang bawa bakso dari kawannya. Menurutku baksonya  lumayan enak. Akang bahkan bilang baksonya enak. Lalu dalam alam pikiranku, Neng dan Dewi mulai sibuk berpendapat. 


Neng : “ Baksonya lumayan enak. Tapi aku bisa bikin bakso yang lebih enak.”
Dewi : “ Ya sudah bikin saja. Biar si Akang tahu istrinya bisa bikin bakso yang lebih enak.”
Lalu diriku sebagai Iwed pun tergerak untuk mulai mencoba-coba membuat bakso.

Beberapa bulan  kemudian, aku berhasil membuat bakso yang komposisinya menurutku pas. Kebetulan saat itu sedang ada Mami dan Tante-tante di rumahku. Ketika kuhidangkan bakso itu mereka semua bilang baksonya enak. Anak-anak juga bilang bakso buatanku enak. Selanjutnya aku tulis resep Bakso Sehat ala Iwed. Aku share di website dan di media sosial facebook. Tak kusangka resep itu jadi viral. Ribuan  orang men-share resep itu sehingga pengunjung website-ku membludak. Hingga hari ini resep itu sudah memperoleh  154.315 page views. Disusul dengan “laporan” menggembirakan dari ibu-ibu yang sudah sukses mempraktekkan resep   tersebut.   Semuanya berterimakasih.   Bahkan ada yang minta izin membuka usaha jualan bakso dengan menggunakan resepku. Ah, senangnya…




Ketika aku hidangkan bakso buatanku pada si Akang, wajahnya datar saja. Lempeeeng… Tak ada ekspresi. Memang baksonya habis dimakan, tapi tidak ada komentar.

Dalam pikiranku terjadi percakapan ini 
Dewi: “ Kok nggak ada komentar ya?”
Neng : “ Coba tanya saja pendapatnya.”

Lalu aku bertanya pada Akang. 
“Kang, enak gak baksonya?”
“Biasa aja.” Akang menjawab dengan wajah datar.

Kontan self talk ribut lagi.
Dewi : “ Lha, kok begitu. Harusnya kan Akang menghargai usahaku dong. Sudah susah-susah usaha, butuh berapa lama ini untuk dapat  komposisi resep yang pas. Kok cuma bilang biasa aja. Ini suami nyebelin banget!”

Neng : “ Sabar. Dia punya standard yang tinggi buat masakan yang pas dilidahnya. Atau dia cuma ingin menggoda saja, sebenarnya dia suka. Tuh lihat mangkoknya kosong kok. Habis semua.”

Dewi : “ Nggak bisa begitu dong. Kalau dibanding bakso yang tempo hari dia makan, ini lebih enak!”

Neng : “ Itu kan pendapatmu. Menurut dia mungkin enakan bakso yang tempo hari.”

Dewi : “ Kok jahat, sih. Setidaknya si Akang mestinya bilang apa kek, bilang terimakasih, atau kata-kata manis apa gitu untuk menghargai usahaku.”

Neng : “ Lha, kamu ngapain memelihara emosi negatif begini. Tuh kan mulai marah. Kamu sudah punya ilmunya lho, dari training-trainingnya CikGu Okina Fitriani. Tinggal dipakai buat menyelesaikan emosi. Mau pilih cara yang mana? Re-framing bisa. Dissosiasi bisa. Trauma healing dengan cara mengganti ekspresi wajah Akang yang datar dengan senyum kan bisa. “

Dewi : “ Gak mau. Aku ingin dipuji. Aku ingin dihargai. Masak sama belahan jiwa  aku nggak  dipuji. Jangan-jangan dia gak cinta lagi.”

Begitulah. Gara-gara menuruti si Dewi ini, aku jadi susah.  Kadang malam-malam susah tidur, karena perasaan nggak enak. Si Dewi ngoceh terus meracuni perasaanku. 

Dewi : "Apakah selama ini yang aku lakukan tidak cukup baik, tidak cukup layak untuk mendapatkan penghargaan dari Akang  ?Berarti aku ini tidak cukup baik buat dia dong. Dia itu bahagia atau nggak sih sama aku? Sakitnya tuh di sini..."

Halaaah... Makin sengsara.

Kalau  kesal sudah sampai puncaknya, si Neng menasehati. 

Neng : “ Kamu itu kok bodoh. Lihat tuh si Akang. Ngorok dengan damainya. Nyenyak banget dia. Lha kamu nggak bisa tidur, ngoceh terus, sebal terus. Dapatnya apa? Dipuji juga enggak. Sudahlah tidur saja. Besok kita pikirkan lagi. “

Masalah jarang dipuji ini ternyata masih ngumpet di sudut hatiku, berbulan-bulan. Timbul, tenggelam, sekali-sekali muncul, menebar racun yang berefek ungkapan kekesalan pada si Akang. Semua itu  gara-gara emosi yang tak terselesaikan. 

Ketika bertemu Mbak Okina Fitriani, aku mengungkapkan masalah ini. Dengan bijak dia mengajak meninjau kembali niatku.

“Mbak Iwed. Mari kita luruskan niat. Letakkan makna baru dalam niatnya Mbak Iwed untuk melayani suami dan anak-anak. Lakukan karena Allah SWT semata. Jangan demi pujian, demi cinta, atau yang lain. Lakukan semua kebaikan untuk suami, anak-anak, atau siapa pun semata-mata karena mengharap ridho Allah. Jadi, bila hasilnya tidak memperoleh pujian atau penghargaan dari makhlukNya, Mbak Iwed tidak akan kecewa. Yang penting Allah  mencatatkan semua amal baikmu. Nanti, di kehidupan abadi, semua tidak ada yang sia-sia. Allah menilai usaha Mbak Iwed, bukan hasil.” Begitu kata-kata makjleb yang keluar dari mulut guru sekaligus trainerku yang  cerdas, baik hati dan bijaksana. Sejuknyaaaa….

Aku pikir semuanya sudah selesai. Hatiku sudah nyaman. Tentram. 

Tak disangka-sangka si Dewi nyolot lagi. Pemicunya gara-gara  Akang memuji teman-temannya. Mulai deh racun kembali bertebaran.

Dewi : “Lha, sama orang dia gampang banget memuji. Sama istri sendiri, yang tiap hari baik-baik, manja-manjain, gak pernah memuji. Sebel banget sih! ini kayaknya tanda-tanda cinta sudah pudar.”

Hadeeeh… Racun banget ocehan si Dewi ini. Dia sudah berhasil menanamkan  limiting belief atau keyakinan yang tidak memberdayakan dalam diriku.  Aku sendiri heran, kenapa dalam menghadapi hal lain, misalnya anak-anak, teman-teman atau lingkungan luas aku sudah bisa menerapkan metode-metode yang membuatku relatif stabil untuk bertindak dan berpikir positif, tapi khusus untuk masalah satu ini, aku belum berhasil. 

Sementara itu, usahaku selama lebih kurang dua tahun mengajak Akang ikut training Transforming Behaviour Skill mulai menampakkan hasil. Setelah berbagai jurus aku lancarkan, Akang akhirnya bersedia ikut training di Jogjakarta, di akhir Juli 2016.

Aku dan sahabat-sahabatku bersama CikGu Okina Fitriani

Aku dan sahabat-sahabatku menjadi panitia penyelenggara training Transforming Behaviour Skill dan The Secret of Enlightening Parenting. Hal ini tak lain karena kami semua sudah merasakan manfaat training-training ini. Dan keinginan kami  menebarkan manfaat lebih luas bagi masyarakat agar lebih banyak yang tercerahkan.

Entah apa tepatnya yang membuat Akang akhirnya mau ikut training. Bisa jadi karena akumulasi semua jurus rayuanku. Atau bisa juga karena aku bilang bahwa phobia ruang sempit yang diderita Akang bisa disembuhkan dengan metode yang diajarkan Mbak Okina. Atau malah karena iming-iming touring ke Jogja. Ya, pelaksanaan training TBS kali ini di Jogjakarta, sehingga aku punya alasan mengajak Akang melakukan hobi-nya, touring dengan motor besar dari Bogor. 

“Apa sih Neng. Akang ini sudah ikut training macam-macam. Tuh, piagamnya ada di lemari segepok. Kurang apa lagi?” Ujar Akang pongah.

“Ini berbeda banget dengan training-training Akang itu. Ilmunya aplikatif.  Disampaikan dengan cara makjleb sama trainernya. Masalah sehari-hari yang sering kita jumpai bisa diatasi dengan metode dan teknik-teknik sederhana yang diajarkan Mbak Okina. Akang pasti bisa berubah jadi jauh lebih baik, lebih berdaya, lebih keren dari sekarang.” Ucapku meyakinkan.

“ Ah, paling juga Akang nanti tidur di ruangan training. “ Sahut Akang ngeyel.

“Ya, sudah. Ikuti saja. Kita lihat besok ya. “ Aku tenang saja menanggapinya.

Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan dari Bogor ke Jogjakarta dengan moge, aku  lega bisa melihat Akang duduk di ruangan hotel  Hyatt Regency Jogjakarta, mengikuti jalannya training.  Aku senyum-senyum sendiri melihat Akang. Seperti yang sudah kuduga, Akang antusias sekali, sejak awal mendengar materi yang disampaikan Mbak Okina dia tidak pernah  terlihat bosan.







Keseruan Menjadi Energi Positif dalam Training Transforming Behaviour Skill 


Aku tidak akan menceritakan jalannya training dengan seluruh materi yang sangat menarik. Hanya  salah satunya saja  yang ingin kukisahkan.

Aku yang bertugas sebagai panitia training, sedang mengawasi para peserta. Saat itu Mbak Okina meminta peserta  training mengerjakan latihan salah satu metode  yang gunanya untuk mematahkan atau menghilangkan  limiting belief. Metodenya adalah  14 models sleight of mouth atau kalau diindonesiakan  menjadi  14 jurus bersilat lidah. 

Saat keliling ruangan, aku melihat kertas latihan si Akang sudah hampir terisi penuh. Dalam hati aku senang. Setidaknya ini menunjukkan Akang sungguh-sungguh mengikuti training ini.

“Ayo siapa yang sudah selesai? Silakan di share hasil latihannya.” Ujar Mbak Okina.

Aku sudah bersiap-siap memberikan microphone pada peserta, tapi tak ada yang mengajukan diri. Aku berjalan mendekati Akang. 

“Akang saja tuh, kan sudah hampir selesai.”  Aku menyodorkan microphone.

“Nanti, tunggu selesai.” Sahut Akang. 

Aku lalu berkeliling ruangan lagi. Tak lama, terdengar suara Akang lewat microphone.

Limiting belief apa yang mau dihilangkan? “ Tanya Mbak Oki pada Akang.

“Ini tentang seorang cewek, yang punya anggapan seperti ini. ‘Kamu tidak pernah memujiku, artinya kamu tidak sayang padaku.” Ucap Akang.

Aku kaget mendengarnya. Lha kok?

Lalu meluncurlah 14 kalimat menggunakan metode 14 Models Sleight of Mouth ala Akang Sutedja. Diucapkan dengan lantang oleh lelaki belahan jiwa itu, diiringi tepuk tangan, suwit-suwit , sorak sorai dan tawa para peserta lain.

“Kamu bilang, aku tidak pernah memujimu, artinya aku tak sayang padamu. Maka dengarlah perkataanku berikut ini :
  1. “Kamu ngomong begitu, supaya aku memujimu ya?”
  2. “Kata siapa kalau tidak memuji artinya tidak sayang?”
  3. “Apakah kamu bisa membuktikan kalau orang yang tidak memuji itu tidak sayang?”
  4. “Bukankah rasa sayang itu tidak harus selalu dengan pujian?”
  5. “Menurutmu, kalau aku tidak memuji artinya tidak sayang ya?”
  6. “Mana yang lebih penting, menyayangimu atau memujimu?”
  7. “Ternyata kamu gampang men-generalisir masalah ya?”
  8. “Bintang di langit juga tahu kalau aku menyayangimu.”
  9. “Orang yang tidak pernah memuji adalah orang yang menyayangimu dengan jujur.”
  10. “Bukannya aku tidak ingin memujimu, tetapi menyayangi dan memberi perhatian lebih penting dari itu.”
  11. “Yang dimaksud tidak sayang itu yang bagaimana? Diajak touring terus kok dibilang tidak sayang?’
  12. “Wow, pujian dariku ternyata sesuatu yang luar biasa bagimu. Aku jadi melayang nih!”
  13. “Mantan pacarmu sering memujimu. Artinya dia masih sayang padamu ya?”
  14. “Aku jadi heran, mengapa engkau ingin sekali aku memujimu. Kamu cemburu ya?”

Dan aku hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal, bersama puluhan peserta training, panitia dan Mbak Okina. Aku mentertawakan kebodohanku selama berbulan-bulan memelihara emosi negatif.  Juga mentertawakan limiting belief karya si Dewi yang kini tak lagi bertaji. Keyakinan itu tak mampu lagi menyakitiku.  Kuvisualisasikan sebagai asap hitam yang terhembus keluar dari tubuh, lalu menghilang dihapus hujan tawa, rasa lega dan hangat yang menyelimuti sekujur tubuh.






Mbak Okina menyerahkan setangkai bunga pada Akang, lalu bunga itu diberikan Akang kepadaku. Ditutup dengan adegan berpelukan diiringi riuh rendah sorak dan tepuk tangan para peserta training. 

Baru kali ini aku merasakan runtuhnya limiting belief yang   membandel dengan cara  dahsyat.  Tuntas! Sungguh pengalaman tak terlupakan! 


16 komentar:

  1. Wow seru banget.. suami istri yg sudah perlu ikut training nya nih terutama yg punya masalah komunikasi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Leyla Hana Menulis : iya, Mba, trainingnya bikin masalah komunikasi dengan semua pihak jadi lancar. komunikasi dengan diri sendiripun beres:-)

      Hapus
  2. Seru kang seru :-) dan ternyata saya baru tahu bahwa silat lidah juga ada jurusnya :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Effendi Nurdiaman : hehe... masih banyak jurus2 komunikasi lain yg tak kalah serunya

      Hapus
  3. Pasangan keren!!! Nice to know you two, Mbak Iwed & Kang Teja...

    *ninggalin jejak comment karena fotonya ikut nampang di situs Mbak Iwed & jd saksi langsung peristiwa penyerahan bunga sambil bertekuk lutut

    BalasHapus
  4. Pasangan keren!!! Nice to know you two, Mbak Iwed & Kang Teja...

    *ninggalin jejak comment karena fotonya ikut nampang di situs Mbak Iwed & jd saksi langsung peristiwa penyerahan bunga sambil bertekuk lutut

    BalasHapus
  5. Suka trainingnya mba kalau mau ikutan gmn?menarik banget isinya :)

    BalasHapus
  6. Ah perempuan pake perasaan ya Mbak, kalau laki-laki mah logika aja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. @sri mulyani : kadang perempuan perlu juga pake logika :-)

      Hapus
  7. akuuu mbak, akuuu ... ngga pernah dipuji juga sama mantan pacar ... *tosss*

    BalasHapus
    Balasan
    1. @ei : toss Mbak... hahaha... yg penting cintaaaa.😘😘😘

      Hapus
  8. Ketika makanan di bilang biasa saja, tapi piring atau mangkuknya tampak tandas, itu artinya enak bangeeet :)

    BalasHapus
  9. Membaca hingga tuntas dan diulang nih mbak Iwed. Silat lidah yg dimenangkan rasa percaya dan sayang ya. Trainingnya keren banget. Salam kenal ya mbak Iwed.

    BalasHapus
  10. So swiiitt... Serasa saya ikutan di training itu, menyaksikan sirnanya prasangka :)

    BalasHapus