Saat mengetahui
tujuan touring kali ini adalah Pulau
Bangka, aku sangat bersemangat. Pulau yang terkenal dengan keindahan
pantai-pantainya ini punya tempat tersendiri di hatiku. Kalau dibuat rating pantai
terindah yang pernah aku kunjungi, pantai di Pulau Bangka masih menempati
peringkat pertama. Mungkin karena belum begitu banyak jumlah pantai yang pernah
kusinggahi. Aku belum merambah ke Indonesia bagian Timur, seperti Papua dengan
Raja Ampatnya, atau pantai-pantai di Sulawesi, Kalimantan, Lombok dan Maluku yang konon memiliki pantai super cantik.
Aku sudah pernah
dua kali mengunjungi Pulau Bangka. Tahun 1994 saat melakukan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) kala menjadi mahasiswi Teknik Sipil Universitas
Sriwijaya. Lalu tahun 2006 saat berlibur bersama keluarga.
“Kita akan
bergabung bersama rombongan, Neng. Jumlah seluruhnya 10 motor. Teman-teman ada
yang mengajak istri mereka. Ibu-ibu rencananya akan naik pesawat dari Jakarta
ke Pulau Bangka. Jadi mereka nanti bergabung dengan suami-suaminya di Pulau
Bangka. Neng mau ikut mereka atau mau naik motor bersama Akang dari Bogor?”
Tanya suamiku.
“Ikut Akang
sajalah.” Sahutku mantap. Tak tega hatiku membiarkan Akang naik motor sendirian
menempuh jarak jauh.
“Yakin mau ikut
Akang saja? Kita dari Bogor pergi sendiri lho.. Nanti sampai di Palembang baru
bergabung dengan 9 motor lainnya.” Ujar Akang.
Mendengar
ucapannya hatiku makin mantap ingin ikut mendampingi Akang bermotor dari Bogor.
“Yakin. Insya
Allah, Kang.”
Perjalanan ke Palembang
Setelah mengurus
keperluan anak-anak, berpesan pada
Mbak-mbak, sopir dan tukang kebun tentang berbagai hal yang harus
dilakukan selama ditinggal touring, kami pun berkemas.
Perjalanan
dimulai. Kamis 15 Oktober 2015 pukul 5.00 WIB usai shalat subuh, aku dan
Akang mengucap doa, lalu kami meluncur
di jalan bersama si Kuning, motor Kawasaki
Versys berkapasitas 650 cc. Sengaja kami memilih motor type adventure ini karena cocok untuk segala kondisi jalan.
Dari Bogor kami
melewati Dramaga, Leuwiliang, Jasinga, dan perkebunan sawit Cikasungka di Cigudeg. Pukul
6.54 WIB, si Kuning “ minum” sampai kenyang di sebuah SPBU di Rangkasbitung.
Aku dan Akang menyempatkan sarapan roti gandum yang kami bawa dari rumah. Walau
bagaimana, sarapan itu penting supaya kondisi tubuh tetap fit.
Kemudian kami
melewati Pandeglang, Serang dan Cilegon. Suasana jalan masih sepi, kami tidak menemui
antrian kendaraan dan aspal yang kami
lalui relatif bagus. Hanya ada beberapa titik jalan yang sedang
diperbaiki,serta sebuah jembatan yang sedang direnovasi. Pukul 8.37 WIB, kami tiba di Merak.
Setelah
membayar ongkos kapal sejumlah Rp. 107.000,- kami naik ke kapal ferry. Rasanya senang sejauh ini
perjalanan lancar tanpa hambatan. Tak lama kemudian kapal berangkat
menyeberangi lautan menuju Pulau Sumatera.
Dengan membayar
tiket seharga Rp. 10.000,- kami masuk ke ruang penumpang eksekutif kapal ferry
yang cukup nyaman. Tersedia sofa-sofa yang meski modelnya jadul tapi lumayan
empuk. Aku dan Akang bisa istirahat
sambil mendengar live musik yang dimainkan beberapa anak muda.
“Ibu-ibu dan
Bapak-bapak sekalian. Perkenankanlah kami menghibur anda semua dengan lantunan
lagu-lagu kami. Bila ada diantara Bapak
atau Ibu yang ingin menyanyi, kami persilakan. Atau bila ada yang ingin meminta
lagu, boleh disampaikan pada kami. Mudah-mudahan kami bisa memenuhi permintaan
Bapak dan Ibu sekalian. “ Celoteh sang vokalis mengawali aksinya.
Aku melepas
sepatu boot dan decker yang melindungi lutut. Kurebahkan kepala di lengan sofa,
di sebelah Akang, sementara jemari Akang yang hangat mencubit-cubit lembut
pipiku. Rasanya nyaman. Ingin tidur sebentar, tapi tak bisa. Aku cukup puas
bisa meluruskan pinggang melepas penat setelah lebih kurang tiga setengah jam
duduk di jok motor.
Lantunan live musik cukup enak didengar. Mulai
lagu jadul sampai lagu kekinian fasih dinyanyikan sang vokalis.
Ruang eksekutif
tak penuh. Banyak sofa-sofa yang masih kosong. Dalam hati aku heran. Dengan
tarif Rp. 10.000,- per orang, dan jumlah penumpang di ruang eksekutif yang
hanya beberapa saja, bagaimana para pemain musik ini memperoleh bayaran. Rasanya
tak sebanding.
Keherananku kemudian
terjawab.
“Bapak Ibu
sekalian, berhubung kami di sini free lance,
jadi kami sangat mengharapkan sumbangsih dari Bapak Ibu di sini.
Sebentar lagi akan kami bagikan amplop. Boleh diisi seikhlasnya, berapa pun
yang diberikan kami sangat berterima kasih. Lumayanlah buat kami makan hari
ini. “ Tutur sang vokalis terdengar
memelas.
Oh begitu
rupanya. Jadi para pemusik ini memperoleh penghasilan langsung dari tips yang
diberikan penumpang. Aku menyelipkan uang ke dalam amplop putih yang dibagikan,
lalu kukembalikan pada sang pemusik. Anak muda itu mengucapkan terimakasih.
Ketika melirik
ke sudut ruangan, aku tersenyum melihat seorang lelaki mendengkur. Amplop putih terjatuh di bawah sofanya, tak ada isi.
Seorang wanita paruh baya hanya melengos tak acuh ketika disodori amplop. Lalu
ada seorang Bapak maju ke depan,
langsung memberikan selembar uang seratus ribuan ke tangan sang vokalis.
Aku berharap
semoga pendapatan para pemusik ini cukup bagus, meski ada beberapa penumpang
yang tak peduli.
Pukul 11.10 WIB,
kami turun dari kapal ferry, menjejakkan roda motor di aspal Pulau Sumatera,
tepatnya di pelabuhan Bakauheni. Matahari terasa menyengat. Sesaat kemudian,
Akang membelokkan motor ke kanan, menyusuri jalan lintas Timur Sumatera.
Berbeda
suasananya dengan pulau Jawa yang dihiasi jalan berkelok, bukit, jurang, dan
pepohonan hijau, jalan di Sumatera lebih banyak lurus, dan agak gersang.
Jam menunjukkan
pukul 11.26. Kami memutuskan mampir ke rumah makan Padang Tiga Saudara. Saat
touring menuju Palembang tahun lalu, kami juga istirahat di tempat ini. Di
jalan lintas Timur Sumatera, agak sulit menemukan rumah makan yang cukup layak.
Kebanyakan hanya warung-warung kecil yang kurang bersih. Rumah makan Tiga
Saudara menurutku cukup layak, bersih dan nyaman.
Aku dan Akang
makan secukupnya. Kami tak berani makan sampai kenyang, karena perut yang
kekenyangan akan membuat mata mengantuk.
Naik motor sambil mengantuk sama saja mengundang bahaya. Saat berkendara
motor jarak jauh, tidak boleh makan terlalu kenyang tapi juga tak boleh
berkendara dengan perut kosong. Dan satu hal lagi, tidak boleh dehidrasi. Di
jalan harus tetap minum, apalagi di tengah cuaca panas musim kemarau seperti
ini.
Kemudian kami
melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashar di musholla yang terletak di sisi rumah
makan. Sayang sekali musholla itu kurang terawat, kotor berdebu. Setelah shalat
rasanya lega dan nyaman. Kami melanjutkan perjalanan pukul 12.25.
Menyusuri aspal
panas di tengah terik matahari musim kemarau, kami meluncur di jalan yang
relatif sepi. Akang memacu si Kuning dengan kecepatan bervariasi dari 80-135 Km
per jam. Melewati Mataram Baru dan Way
Jepara kemudian Menggala. Di sini kami menemukan segmen jalan yang aspalnya
mengelupas, sehingga batu-batu menyembul di permukaan. Kemudian perjalanan
lancar melewati Sukadana, pabrik gula pasir, Tulang Bawang, dan Mesuji.
Ketika mencapai batas
propinsi Sumatera Selatan, jam menunjukan pukul 15. 56.WIB. Pemandangan berganti kelabu. Kabut asap mulai mengepung.
Ternyata keluhan teman-temanku yang tinggal di wilayah Sumatera Selatan kini
juga kurasakan. Aku dan Akang terpaksa bertahan menembus kabut asap yang
menyesakkan dada dan membuat mata perih.
Pukul 17.12 aku
meminta Akang mampir ke sebuah mini market di wilayah Ogan Komering Ilir untuk
istirahat sebentar. Aku membeli minuman isotonik lalu duduk santai di teras
mini market, meluruskan kaki yang terasa pegal.
Seorang anak
muda pelayan mini market dengan antusias memperhatikan si Kuning. Dia mengamati
stang, body dan roda si Kuning dengan seksama. Tiba-tiba dia berseru padaku.
“ Mbak ini
kenapa ya?” Tanyanya. Tangannya menunjuk ke arah roda belakang si Kuning.
Aku
menghampirinya, lalu melihat ke bagian yang dimaksud. Kulihat fender atau spark
board belakang rusak karena menggesek roda.
Aku berteriak
memanggil Akang, memberi tahu keadaan itu
“Alhamdulillah
ya Neng, kita tergerak mampir di sini. Jadi bisa ketahuan ada spark board yang rusak . Kalau tadi kita
jalan terus, roda belakang bisa ikut rusak juga karena terus bergesekan dengan
spark board. “ Ucap Akang.
Akang kemudian
melepaskan spark board sambil
mengucapkan terimakasih pada pelayan mini market.
“Pak, kami
numpang berfoto ya di sini.” Seru dua pelayan wanita.
Aku
tersenyum-senyum menyaksikan sang pelayan pria mengambil foto dua gadis muda rekannya bergaya di sisi si Kuning.
Kami melanjutkan
perjalanan menuju Palembang. Ketika matahari telah tenggelam, pukul 19.00 WIB suasana kota
Palembang tampak berbeda dari biasanya. Lampu-lampu jalan di kota ini bersinar suram terkepung asap, memendarkan
cahaya redup yang mengantarkan kami seolah berada di kota yang asing. Ah, sungguh memprihatinkan kondisi kota ini.
Sudah berbulan-bulan masyarakat menderita akibat kabut asap, seperti juga
rakyat di Riau dan Kalimantan. Kungkungan
kabut asap bahkan juga sudah merambah ke Malaysia dan Singapore.
Kapankah
pemerintah serius mengantisipasi bencana yang rutin terjadi setiap tahun di
negeri ini? Jawaban pertanyaan itu seolah mengawang-ngawang di langit malam.
Tak jelas.
Pukul 19.15
akhirnya aku dan Akang sampai di rumah di Palembang. Bisa sejenak bertemu
saudara-saudara-saudara, mertua dan
adikku rasanya senang sekali. Kami makan nasi minyak, dan pempek Palembang yang
lezatnya maknyoss..
Malam itu kami
tidur nyenyak setelah menempuh perjalanan sejauh 663 Km yang ditempuh dalam
waktu 14 jam perjalanan.
Menuju Bangka
Adzan subuh membangunkan
kami. Tubuh rasanya bugar kembali setelah tidur nyenyak semalaman. Usai shalat
subuh, aku dan Akang bersiap-siap. Pukul 6.00 kami telah sampai di meeting point, di Hotel Swarna Dwipa, tempat
teman-teman berkumpul. Mereka adalah rombongan dari Jakarta yang lebih dahulu
sampai di Palembang.
Motor-motor
besar berjenis BMW GS 1200, Honda Gold Wing 1800 dan Kawasaki Versys berjejer
di halaman hotel. Satu persatu pemilik motor keluar dari pintu hotel membawa
barang perlengkapan mereka. Kami saling menyapa. Sebelum berangkat kami berfoto di depan
hotel. Uniknya berfoto bersama sepuluh pria itu membuat aku merasa seperti
perawan di sarang penyamun. Hahaha... tentu karena aku perempuan sendirian.
Jalan menuju
Tanjung Api-api menyuguhkan petualangan dramatis. Bagaimana tidak, kungkungan kabut asap membuat suasana terkesan berselimut
misteri. Jarak pandang menyempit. Sekeliling tampak pudar, pohon-pohon terlihat
seperti siluet menyeramkan. Bukan cuma mata yg pedih, hati pun ikut pedih
melihat sepanjang jalan banyak lahan kering gosong bekas terbakar. Debu berhamburan.
Suasana sekeliling sepi. Gubuk-gubuk kayu dekil berdiri suram. Onggokan batok
kelapa menggunung di sisi jalan. Aku seperti berada di negeri antah berantah,
ganjil dan asing.
Jalan rusak yang
lurus terasa sangat panjang, tak habis-habisnya menyuguhkan goncangan. Aku
terpental-pental di jok belakang. Ingatlah kawan, jangan sekali-kali melamun
meski kau hanya duduk di boncengan.
Tetaplah fokus pada kondisi jalan yang dilalui. Jangan seperti aku,
tenggelam dalam suasana muram yang mengaliri udara.
Melamun di jok
belakang alamat sial. Sebuah hentakan
keras akibat lubang jalan membuat tangan kiriku refleks menggenggam begel atau
pegangan belakang pada motor. Tapi malangnya
otot leher kiriku tertarik. Akibatnya? Awww! Nyeri menjalar.
Aku tak berkata
sepatah pun, tak ingin mengganggu konsentrasi Akang. Kunikmati nyeri mengigit
di otot leherku sambil merutuki diri sendiri.
Di sebuah warung
gubuk pinggir jalan,kami berhenti,
menanti teman yang ketinggalan. Aku
membeli sebotol air mineral. Sedihnya, botol minuman itu berselimut debu tebal,seperti botol pusaka
yang bertahun-tahun tak dibersihkan. Aku mengunakan tisu basah untuk
membersihkan debunya.
“ Pak, pelabuhan
Tanjung Api-api masih jauh kah? “ Tanya Akang pada laki-laki pemilik warung.
“ Idak jauh dari
sini. Sekitar limo belas menit. Kagek belok ke kiri yo Pak. Ada tulisannyo
kok.” Sahut sang pemilik warung dengan logat Palembang yang kental.
Hatiku agak lega
mendengar penjelasannya. Setidaknya tak terlalu lama lagi aku
terguncang-guncang melewati jalan rusak.
Pukul 9.20 WIB. Gedung
pelabuhan Tanjung Api-api terlihat seperti tenggelam dalam kabut. Warna gedung
itu tak jelas, antara biru atau abu-abu.
Motor-motor yang
lebih kecil tampak berbaris di depan portal pelabuhan. Kami pun masuk antrian.
Kemudian kami membeli
tiket kapal. Harga tiket penumpang
dewasa Rp. 38.300,- per orang. Sedangkan untuk motor dengan kapasitas mesin di
atas 500 CC sejumlah Rp. 187.450,- per unit.
Untuk urusan
pembelian tiket ini aku harus berdiri di depan loket bermenit-menit lamanya,
karena petugasnya salah menghitung. Jadi harus ganti tiket lagi, dan semua itu
dilakukan sang petugas dengan cara manual, alias ditulis tangan. Tak ada
komputer di sini. Ya tentulah lama menulis 11 tiket dengan cara manual.
Hehehe...
Urusan antri ini
butuh waktu lama. Kapal yang berangkat pukul 11.00 sudah penuh, tak mampu lagi
menampung motor-motor kami.
Akibatnya kami
harus menunggu kapal berikutnya yang berangkat jam 13.00. Sayang sekali
fasilitas pelabuhan Tanjung Api-api tak memadai. Ternyata mencapai Bangka tak
mudah. Jangan bandingkan pelabuhan Tanjung Api-api dengan pelabuhan Merak yang
kapalnya banyak. Di sini jumlah kapal dan muatannya terbatas. Sudah bisa dibayangkan
bagaimana jadinya saat musim mudik lebaran tiba. Hari biasa seperti ini saja
keteteran melayani penyeberangan, bagaimana bila jumlah penumpang membludak?
Si Akang dan
teman-teman duduk mengobrol sambil minum kopi di satu-satunya kantin pelabuhan.
Aku yang perempuan sendirian memilih duduk di kursi ruang tunggu, menyimak
berita-berita dari internet lewat ponselku.
Akhirnya, tiba
juga saat naik ke kapal. Kami besiap di barisan terdepan. Salah seorang petugas
pelabuhan mendekati. Dia berbisik-bisik pada ketua rombongan, yang kemudian
merogoh kantungnya mengeluarkan selembar seratus ribuan.
Ah, masih ada
pungli di sini. Bahkan tak cuma sekali.
Ketika menyusun parkir motor di dek kapal, kembali petugas meminta uang, Rp.100.000,-.
Mau bilang apa? Inilah kenyataan yang terjadi.
Kapal bergerak
meninggalkan pelabuhan Tanjung Api-api pukul 13 lebih. Kami mengisi waktu selama lebih kurang 3,5 jam
berlayar dengan ngobrol, bercanda, shalat zuhur berikut ashar di musholla kapal
dan berusaha memejamkan mata untuk tidur sebentar.
Pukul 16.27, kapal
merapat di pelabuhan Tanjung Kalian, Bangka. Alhamdulillah. Rasanya senang
sekali kembali menapak pulau ini.
Kami disambut
dengan ramah oleh teman-teman dari club motor besar Bangka, salah satunya
seorang bule asal Belanda. Pukul 16.52 perjalanan berlanjut.
Kami melintasi
Muntok. Ah, tempat ini tak terlalu banyak berubah sejak terakhir aku berada di
sini tahun 1994 silam. Jalannya masih mulus, sepi. Rombongan bergerak dengan kecepatan tinggi
melintas jalan menuju arah Bakit,
Kabupaten Bangka Barat.
Sore beranjak
malam. Aku duduk diboncengan Akang, menikmati perjalanan. Hampir tak ada kendaraan lain yang melintas
sepanjang jalan. Sungguh sepi. Kondisi
ini menyebabkan rombongan makin memacu kecepatan.
Aku bergidik
melihat speedometer si Kuning. Rasanya ini perjalanan paling ngebut yang pernah
kurasakan. Meski Akang sudah memacu motornya sedemikian rupa, tetap saja
teman-temannya melaju lebih cepat. Kapasitas motor BMW 1200 cc dengan akselerasi mengagumkan tentu
tak sebanding dengan si Kuning yang hanya 650 cc.
Nyeri di otot
leher kiriku terasa mengganggu. Lelah dan lapar mendera. Tapi aku tak sudi
mengeluh. Kami melintasi beberapa perkampungan, masuk ke jalan-jalan kecil. Rasanya
lama sekali hingga akhirnya kami tiba di rumah makan Pondok Laut, pukul 18.21.
Jarak dari
Tanjung Kalian ke tempat ini adalah 105 Km. Perkiraan lama waktu tempuh yang 2
jam 18 menit ternyata hanya kami tempuh selama 1 jam 29 menit saja. Pantas rasanya seperti melayang.
Rumah makan itu
sederhana. Bangunannya semacam gubuk dari kayu dengan atap rumbia. Tapi
bangunan itu dibuat menjorok ke laut. Kami bisa melihat hempasan ombak dibawah
gubuk, lalu memandang laut dan merasakan
terpaan angin laut.
Di tempat ini kami bertemu dengan rombongan para istri. Diantaranya Bu Yugen, Mbak Pipit, Widi dan dua orang lagi yang sudah menunggu sejak sore hari.
Di tempat ini kami bertemu dengan rombongan para istri. Diantaranya Bu Yugen, Mbak Pipit, Widi dan dua orang lagi yang sudah menunggu sejak sore hari.
Alhamdulillah...
akhirnya perut terisi dengan nasi hangat, ikan, udang,cumi bakar dan kepiting. Yummy....
Total jarak tempuh yang telah dicapai sejak dari Bogor, Palembang, hingga ke rumah makan Pondok Laut kemudian ke hotel di wilayah Belinyu tempat kami menginap adalah 966,7 Km.
Nantikan petualangan kami di Pulau Bangka selanjutnya ya..
Total jarak tempuh yang telah dicapai sejak dari Bogor, Palembang, hingga ke rumah makan Pondok Laut kemudian ke hotel di wilayah Belinyu tempat kami menginap adalah 966,7 Km.
Nantikan petualangan kami di Pulau Bangka selanjutnya ya..
motornya sangar2, mba Dewi :D
BalasHapuskeren bisa tembus dari bogor sampai ke pulau sebrang
@Ila Rizky : terimakasih sudah mampir ke sini :-)
HapusSeru-seru cerita touringnya mb Iwed...
BalasHapustahun ini mau touring kemana lagi nih? ditunggu cerita serunya lagi... :)
@Ika Puspitasaru : pengen ke Sumatera Barat, Mbak.. Insya Allah
HapusPerjalanannya seru sekali ya, Mbak. Dari Bogor Jawa Barat ke Sulawesi trus ke Bangka. Enggak kebayang debu yang menempel di wajah dan kepenatannya. Hihiii,
BalasHapus@astin : dari Bogor ke Sumatera Selatan, Mbak, bukan Sulawesi
Hapus:-)
Wah...seru banget ya Mba pengalamannya.. Touring rame2 naik motor gede ke pulau Bangka.. Aku juga dah pernah ke Bangka, pantainya memang cantik2 ya Mba..
BalasHapus@rita asmaraningsih : betul... Semoga kelestarian alam Bangka tetap terjaga
HapusDi pulau Bangka memang terkenal dengan pantai2nya yang indah.. Namanya juga pulau ya Mba tentunya dikelilingi pantai ya, hehe.. Pengalaman touring yang seru nih kayaknya ..
BalasHapus@Jalan-jalan Rita :hehe.. alhamdulillah seru. ..
HapusUdah lama ngga pergi jauh pakai motor. Duh, ngga kebayang gimana pegelnya punggung dan panggul di perjalanan sejauh itu. Semangat yang hebat!
BalasHapus@Ria Rochma : hehehe..kalo pegel istirahat dulu :-)
HapusWiiihh seru banget. Aku ngeces liat seafoodnya mbak, udang sama kepitingnya gede-gede banget.
BalasHapus@Ratna Dewi : masih segar, fresh from the sea ;-)
Hapuswuih petualangannya keren Mbak ..
BalasHapusSalam,
Panduan Wisata Indonesia
@Forester : terimakasih
HapusMembayangkan sebuah perjalanan yang panjang dan penuh petualangan, aiih, amazing pastinya.
BalasHapusDibukukan mba, kan sudah touring sampai kemana-mana. Bisa jadi panduan utnuk yang suka tour.
seru sekali perjalananya ke bangka mbak dewi, saya juga suka piknik naik motor heee
BalasHapussalam satu aspal
Biker cantik ini :D
BalasHapusJiaahh... ini mah Traveller tangguh. Udah enak ditawarin naek pesawat malah milih nyang 'membumi'. Keren banget, Mbak. Keknya boleh juga ngikutin pelesiran gaya susah tapi puas ala Mbak Juliana Dewi. Tapi Koq ke Bangka nya cuma ke Muntok aja, Babel masih punya banyak tempat uniq lagi lho.
BalasHapusDitunggu cerita Touring laennya ya, Mbak. Request pake seru banget.
mantab mbak. salut lebih memeilih bareng si akang on road daripada naik burung besi. iri deh sama kalian :)
BalasHapusdibangka ada tempat penginapan murah ndak mbak kayak home stay gitu berapa biasanya kisarannya?
BalasHapusminta no wa dong mau tanya ttg bangka siapa tahu refrensi liburan kesanan
Perjalanan Lampung - Palembang rawan ga mbak? Soalnya saya rencana mau solo touring ke palembang dan pangkal pinang juga.
BalasHapusUsahakan jangan jalan di malam hari, karena ada beberapa titik yg rawan kejahatan. kalau pagi atau siang Insya Allah aman
Hapusterima kasih info detail perjalannya mba
BalasHapus