“Mami ingin ulukuteuk leunca. Nanti titipkan sama Lia dan
Tian ya. Jangan lupa. “ Begitu pesan Linda adikku sebelum dia menutup telepon di ujung sana.
Aku langsung
tersengat panik. Waktu cuma tersisa sedikit sebelum Lia, adik bungsuku, dan
suaminya, Tian, berangkat ke bandara. Lia dan Tian menghabiskan waktu beberapa
hari di Bogor untuk jalan-jalan. Mereka
menginap di rumahku. Sekarang mereka berdua sedang mengemas barang-barang bersiap pulang ke Palembang.
Aku berlari
seperti dikejar setan mengambil kunci mobil dan melesat ke tukang sayur di
luar cluster. Hatiku berdoa semoga saja bahan-bahan untuk masak ulukuteuk leunca masih lengkap tersedia.
“Cepat, Mang.
Buru-buru nih! “ Seruku panik pada si Mamang sayur yang dengan santainya
menghitung belanjaanku.
Kusodorkan
sejumlah uang. Mamang sayur masih saja
santai mengorek-ngorek dompetnya mencari uang kembalian. Aku bergegas lari ke
mobil mencangking plastik belanjaanku.
“Teteh, ini
kembaliannya!” Teriak si Mamang.
“Besok saja!”
Teriakku sambil menginjak gas mobil melaju pulang.
Sampai rumah aku
buru-buru memanggil si Mbak untuk membantu menyiapkan bumbu ulukutek leunca.
Bawang merah, bawang putih, kencur, dan tak lupa sedikit saja cabe merah karena
mami tak suka pedas. Sambil memasak pikiranku melayang pada sosok wanita mungil
yang menanti bingkisan masakanku di Palembang sana.
Hubunganku
dengan Mami tak selalu mulus. Ada masanya kami berkonflik, ada masa gencatan senjata,
lalu kembali lagi aman damai terkendali. Setiap fase yang kulewati bersama Mami
mengandung hikmah dan berkah tak terhingga.
Mami adalah ibu
rumah tangga sejati. Setiap hari Mami ada di rumah. Dia mendampingi Papi, menjaga dan merawat 5 anak perempuannya.
Mami, Papi dan anak-anaknya. Saat adik bungsuku belum lahir |
Mami suka mode.
Dia modis dan pandai bergaya. Mami suka
sekali mendandani kelima anaknya. Hanya saja aku dan mami tidak satu selera
dalam berpakaian. Sebelum ke luar rumah, Mami menilai penampilanku. Kalau
dinilainya jelek, maka aku harus rela ganti baju sesuai arahannya. Kalau tidak,
kupingku akan panas dihujani omelan pedasnya.Hahhaha...
Mami senang membuat makanan enak. Ada saja kreasi masakannya. Daya tarik masakan Mami sering
membuat rumahku menjadi ajang berkumpul orang-orang. Baik itu teman-temanku,
teman adik-adik, ataupun teman-teman Papi.
Mami murah hati.
Sejak kecil aku melihat Mami gemar
sedekah, mudah tersentuh hati melihat orang-orang yang kurang beruntung. Bahkan
di saat tak punya uang, Mami masih berusaha memberi apa yang dimilikinya untuk
membantu orang.
Sejak dulu aku
menyadari, Mami selalu berusaha memberi yang terbaik untukku. Kadang aku merasa
diistimewakan dibanding adik-adikku, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun.
“Sstt, ada hati
dan ampela ayam. Makanlah.” Bisik Mami saat dia menghidangkan ayam goreng di
atas meja.
Hati dan ampela
ayam khusus disisihkan Mami untuk anak sulungnya, aku.
Dengan usaha
yang tak mudah, Mami pernah memindahkan aku dari sebuah sekolah dasar negeri ke
sekolah dasar terbaik di kota Bandar Lampung. Sekolah itu semacam sekolah
unggulan.
Saat itu aku
naik ke kelas 4. Mulanya aku tak mengerti alasan Mami memindahkan sekolahku. Kukira
hanya untuk bergaya-gaya demi gengsi. Sekolah unggulan itu dipenuhi anak-anak
orang kaya berpenampilan keren, diantar
jemput mobil, berprilaku sopan bermartabat.
Setelah
menjalani pendidikan di sana aku baru mengerti. Kualitas guru-guru sekolah ini memang istimewa. Cara mengajar,
penegakan disiplin dan suasana belajar
mendukung aku menyerap pelajaran dengan jauh lebih baik. Aku masuk dalam
10 besar murid dengan nilai terbaik dalam satu angkatan, yang terdiri dari 237
siswa, tepatnya di urutan 7. Sayang
sekali hanya sampai kelas 5 aku sekolah di Bandar Lampung, karena kenaikan
kelas 6 kami sekeluarga pindah ke Palembang mengikuti Papi yang pindah tugas.
Aku memulai lagi
menyesuaikan diri dengan sekolah di Palembang, meski perbandingannya ibarat
langit dan bumi. Pola belajar dan pengetahuan yang kudapat dari sekolah
unggulan di Bandar Lampung sangat berguna. Aku segera melesat mengalahkan
jawara-jawara di sekolah baru, lulus dengan nilai NEM tertinggi. Sementara itu
bakatku di bidang seni pun berkembang
melalui kegiatan nyanyi, tari, dan bermusik. Mami dan Papi sangat senang
melihat prestasiku.
Demikian juga
saat SMP, aku kembali menjadi juara umum dengan nilai tertinggi. Lalu masuk SMA
negeri di kelas unggulan. Prestasi belajar dan bidang seni pun mengukuhkan aku menjadi anak kebanggaan Mami
dan Papi.
Aku menyadari,
begitu banyak harapan indah yang dititipkan Mami di pundakku. Dalam bayangannya,
Mami mengharapkan aku menjadi wanita karier, pandai di bidang akademis
sekaligus berprestasi di bidang seni.
Aku sudah bisa mengumpulkan
uang dari hasil menyanyi dan menari kala menjalani kuliah di fakultas Teknik sebuah Universitas Negeri. Lalu kesadaran menyergapku, aku tak mampu melawan fitrah untuk patuh pada
perintahNya. Aku memutuskan mengenakan hijab, tahun 1992.
Selembar kain
sederhana penutup kepala telah
merubah banyak hal. Selembar kain itu membuat aku meninggalkan kegiatan
di bidang seni, sekaligus menutup pundi-pundi penghasilanku dari kegiatan
menyanyi dan menari. Kain sederhana itu membuat
score penampilanku di mata Mami tersungkur tajam. Dari anak gadis modis kebanggaannya
berubah menjadi gadis berpenampilan kampungan. Mami kecewa. Sangat kecewa.
Aku mengerti
kekhawatiran Mami. Dia takut aku tak dapat pekerjaan yang layak, tak dapat
rezeki yang banyak, tak dapat jodoh
yang baik sesuai harapannya, oleh sebab
penampilan kampunganku itu.
Lalu dimulailah
konflik terbesarku dengan Mami. Aku hanya bisa terdiam dengan perasaan hancur
melihat Mami menangis memintaku membuka
hijab. Sungguh aku tak bermaksud mengecewakan Mami. Aku sangat merindukan
senyum bangga di wajahnya seperti senyumnya kala aku memperlihatkan raport
dengan nilai cemerlang.
Enam bulan Mami
tak menegurku. Cuma doa yang kubisikkan untuk Mami setiap kali memandang air
mata yang jatuh di pipinya. Doa berisi harapan bahwa konflik ini akan berujung
kebahagiaan untuk Mami.
Waktu berlalu.
Doaku terjawab. Satu persatu
kekhawatiran Mami tak terbukti. Kuliahku selesai dengan baik. Selembar hijab
ternyata tak menghalangiku memperoleh pekerjaan di sebuah perusahaan asing.
Rezekiku mengalir deras, disusul pernikahanku dengan jodoh yang direstui
Mami. Hubunganku dengan Mami kembali manis.
Gelombang
kembali menggoyang ketika si Akang, suamiku, memintaku berhenti bekerja. Aku tak kuasa
menolak atas nama hirarki kekuasaan seorang suami yang demikian tinggi terhadap istrinya. Dalam Islam, istri harus patuh pada suami
selama perintahnya tak bertentangan dengan syariah.
Aku berhenti
bekerja. Sekali lagi aku membuat Mami
kecewa dengan mengubur harapannya
melihat aku menjadi wanita karier yang sukses.
“Mami berharap
kamu bisa membantu membiayai adik-adik. Suatu hari nanti, Mami ingin naik haji.
Kalau mengharapkan naik haji dari gaji Papi yang pegawai negeri , atau dari
uang pensiunan Papi, tak mungkin terjadi.”
Ucapan Mami meninggalkan getir di hatiku.
Maafkan anak
sulungmu telah gagal jadi wanita karier yang sukses, Mamiku...
Allah Maha
Kaya. KepadaNyalah kuserahkan semua harapan untuk kebahagiaan Mami dan Papi.
Allah merancang skenario kehidupan, lengkap dengan alur cerita yang indah. Tak sia-sia
aku mendedikasikan diri menjadi ibu rumah tangga, mendukung penuh karier si
Akang. Pria belahan jiwaku pun mengerti
akan kegundahan dan kegetiran menyangkut harapan Mami.
Sejak aku
berhenti bekerja, Akang mengambil alih tugas membiayai adikku kuliah. Pintu
rezeki kian terbuka, hingga tahun 2006 kami bisa mempersembahkan hadiah
termanis untuk Mami dan Papi, membiayai
mereka menunaikan ibadah haji.
Sejak itu
hubunganku dengan Mami selalu manis. Aku mensyukuri setiap alur kehidupan yang
kulalui. Aku pun tahu Mami telah melihat hikmah dari berbagai peristiwa dalam hidup
kami. Jarak yang kini membentang antara
Bogor dan Palembang membuat aku kangen Mami, berikut hal-hal unik yang melekat pada dirinya. Aku kangen
masakannya, aku kangen omelannya, komentar bawelnya dan cerita-cerita kesehariannya.
Aroma sedap ulukuteuk leunca menguar dari kuali di hadapanku. Oncom, leunca, cabe hijau, genjer, daun kemangi, berbaur dengan wangi kencur dan bawang. Masakan ini kuolah dengan penuh
cinta, buat wanita istimewa yang di telapak kakinya terdapat surga.
Mamiku. Semua kebaikan yang terjadi dalam hidupku tak
lepas dari doa, upaya dan bimbingannya. Semoga Mami selalu sehat, meski Papi
sudah mendahului menghadapNya di tahun 2011.
Harapanku, di sisa
hidupnya, Mami sehat, diliputi kebahagiaan dan keberkahan. Semoga Allah mengabulkan pintaku. Aamiin...
Subhanallah.. Si akangnya super sekali mau membiayai kuliah adik2 mak Iwed. Barokallah mak, mami pasti senang sekarang.
BalasHapusAlhamdulillah Mbak @Leyla Hana Menulis. Semua berjalan sesuai skenario Allah.
HapusMami kereeen... gaya dan menginspirasi. Iya ya kadang hubungan ibu dan anak tuh, duh warna warni pokoknya
BalasHapus@Anggarani Alhliah Citra : hehhe... Mami pasti senyum-senyum kalo baca komentar Mbak Anggarani :-)
HapusKeren tulisannya ya teteh. ulukuteuknya sampai kecium ke sini. :)
BalasHapus@Nensinur.Sastra : ulukuteuk memang maknyoss
HapusInspiratif Mak cerita hidupnya.
BalasHapusBtw, sy baru tau nama masakan itu. Kayaknya enak ya. Di tempat sy ga ada oncom hickz
@Vhoy Syazwana : wah.. Gak da di tempatnya ya, Mbak. Kalo main ke Bogor, jangan lupa cicip ulukuteuk leunca ya. Cocok dimakan dengan nasi panas, ikan asin, dan sambel
HapusResepnya nggak sekalian ditulis, mbak..Tanggung lihat photonya doank..:D
BalasHapusSalam buat mami-nya..:)
Eni kurniasih : wah.. Iya ya.. Nanti deh aku buat postingan resep ulukutek leunca. Hehe
Hapus