Hobart Quadrangle, Hobart and William Smith College |
Setiap orang
punya cara sendiri memaknai jalan-jalan.
Ada yang menjadikan jalan-jalan sebagai moment bersenang-senang, pelepas
kepenatan, penghibur hati yang sedih, sarana mendapat inspirasi, dan hadiah
untuk sebuah prestasi yang telah dicapai.
Begitu besar
manfaat yang dapat diperoleh dari sebuah perjalanan. Bahkan Nabi Muhammad SAW diberi Allah SWT hadiah berupa perjalanan agung Isra’ Mi’raj
untuk menghibur hatinya yang lara, sekaligus menerima perintah shalat 5 waktu.
Kala itu Rasulullah tengah dirundung duka maha berat akibat wafatnya orang-orang terkasih yang
mendukung perjuangan menegakkan Islam,
yaitu istri tercinta Siti Khadijah RA dan pamannya Abu Thalib.
Dalam
buku The Paspport to Happiness, sebuah catatan perjalanan, penulis Ollie menjadikan jalan-jalan sebagai sarana perenungan
untuk berdamai dengan keadaan dan
mencari sebuah happy ending. Baginya, hidup telah mengajarkan bahwa perjalanan
itu menyembuhkan.
Dulu, aku
memaknai jalan-jalan sebagai perwujudan mimpi masa kecil. Ya, saat kanak-kanak
aku bermimpi menjejakkan kaki di Eropa. Ketika hal itu menjadi kenyataan,
perjalanan itu membangkitkan rasa syukur yang besar pada Sang Maha Pencipta.
Lalu acara
jalan-jalanku makin bermakna. Aku mulai
melakukan perjalanan yang bukan sekedar jalan-jalan. Aku berharap memperoleh hal yang lebih
daripada sekedar kesenangan. Harus ada pencerahan, hikmah, pelajaran hidup yang
kuperoleh. Bahkan kalau bisa harus ada kebaikan, pengetahuan, ilmu bermanfaat yang bisa kuberikan pada teman-teman
atau orang-orang di tempat tujuan jalan-jalan. Dan terakhir, harus ada kebaikan
yang bisa aku tulis dan bagikan kepada para pembaca blogku. Ketika tujuan itu telah tercapai, efek yang kurasakan
adalah bahagia.
Sebuah
perjalanan bersama sahabatku, Indriya R Dani ke negeri Paman Sam tahun 2014
lalu menjadi pengalaman yang sangat membahagiakan.
Kami mengunjungi
Los Angeles, Detroit- Michigan, Geneva- New York State, lalu kembali lagi ke Los Angeles. Namun kali ini aku ingin mengukir kisah saat
kami mengunjungi sebuah perguruan tinggi di Geneva, New York State.
Bagaimana bisa
blogger dan penulis seperti aku dan Indriya
melanglang ke tempat ini? Semua tak terlepas dari kemurahan dan
rezekiNya. Adalah salah seorang ilmuwan Indonesia yang bergelar associate
professor bernama Etin Anwar, kami memanggilnya Teh Etin. Beliau mengajar studi
Islam di Hobart and Williams Smith
Colleges. Kedatangan kami ke tempat ini atas undangannya, dan tugas kami adalah
berbagi dengan mahasiswa-mahasiswi
mengenai hijab dan busana muslim.
Penerbangan
lokal dengan pesawat United Airlines membawa aku dan Indriya dari Detroit Wayne
County Airport Michigan, transit di Newark, New Jersey. Tak sampai satu jam
kemudian perjalanan berlanjut.
Aku menatap
awan-awan putih bermandi cahaya matahari melalui kaca jendela pesawat. Kulirik
Indriya, mulutnya komat-kamit membaca teks opening
speech sambil menatap layar laptop
kesayangannya. Sesekali aku ikut
membenarkan pengucapan bahasa Inggrisnya.
Setelah menarik
nafas panjang, aku merebahkan kepala di sandaran kursi, lalu tenggelam dalam
lamunan. Tindakan ini kelak kusesali....
Kami tiba di bandara
Rochester New York yang terletak di Monroe County pukul 9.39 AM, tanggal 1
September 2014.
Kami berdua
celingukan mencari orang yang menjemput.
Pesan melalui inbox facebook mengandalkan wifi gratisan, belum dibalas Teh
Etin. Kami berpikir mungkin beliau sedang mengajar di kelas.
Setelah menunggu
tanpa hasil, kami memutuskan menghubungi nomor teleponnya. Indriya menghampiri
sebuah telpon koin, memasukkan koin lalu menekan nomor telepon. Tapi
berkali-kali koin itu keluar lagi,
sebelum telepon bisa tersambung. Kami berpandangan-pandangan dengan hati cemas.
Duh, bagaimana ini?
Rupanya kelakuan
kami menarik perhatian seorang wanita tua
yang mengenakan seragam petugas bandara. Dia menghampiri kami dengan
senyum ramah dan tatapan bersahabat.
“Ada yang bisa
dibantu? “ Tanyanya padaku.
Aku menjelaskan
bahwa kami ingin menghubungi sebuah nomor. Wanita itu memperhatikan nomor
telepon yang kusodorkan, lalu
menggelengkan kepala.
“Kalian tidak
bisa pakai telepon koin ini. Nomor ini
berbeda wilayah. Sebaiknya pakai telepon selulerku saja.” Ujarnya sambil memberikan ponselnya.
Alhamdulillah..
Rasanya lega sekali. Ini pertolongan Allah. Aku tak akan pernah melupakan
kebaikan hati Dorothy, demikian nama wanita itu.
Akhirnya kami
menemukan Jhon, sopir yang diutus menjemput kami. Wah, gaya sekali si Jhon ini!
Dia mengenakan kemeja putih, rompi hitam
lengkap dengan dasi, dan sepatu kulit yang disemir kinclong. Pria tua itu ramah tapi agak kaku. Ada yang
aneh saat dia tersenyum, sepertinya pria ini mengenakan gigi palsu. Sikapnya
resmi, sangat teratur, seperti
menjalankan sebuah prosedur standar.
Jhon mengangkat
koper-koper kami, meletakkannya dalam bagasi. Mobilnya, sebuah taxi limo yang
lega dan keren. Jhon membuka pintu mobil lalu mempersilakan aku dan Indriya
masuk. Kami merasa seperti putri Cinderella yang dijemput kereta kuda.
Hahaha...
Hobart and William Smith Colleges
Perjalanan
menuju Hobart and William Smith Colleges memakan waktu kira-kira satu jam. Ketika tiba di tempat tujuan, aku langsung
terpesona dengan suasana kampus yang
cantik, luas, dan asri itu.
Suasana di Kampus Hobart and William Smith Colleges |
Kampus seluas
78,9137 hektar itu terletak di jantung Finger Lake region Geneva, New York State. Tepatnya di 300
Pulteney Sreet, Geneva, NY 14456, United States.
Peta Kampus HWS |
Perguruan tinggi
ini didirikan sebagai dua bagian terpisah, yaitu Hobart untuk laki-laki,
berdiri tahun 1822, dan William Smith untuk perempuan, tahun 1908. Saat ini, meski seluruh
mahasiswa bergabung dalam kampus,
fakultas, dan kurikulum yang sama, tetapi tradisi masing-masing masih tetap dipertahankan.
Indriya dan Aku |
Terdapat 46
majors atau jurusan bidang studi yang spesifik di HWS. Diantaranya terdapat
jurusan yang paling populer yaitu Economics, Media & Society, English, Environmental
Studies, Public Policy Studies, Psychology, Architectural Studies, Biology,
Political Science dan International
Realtions.
Bangunan-bangunan indah di lingkungan HWS |
Jalan-jalan menikmati
suasana kampus menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan. Bagian terluar kompleks
kampus itu terletak di tepi danau Seneca yang cantik. Terdapat sebuah bangunan berdiri
di atas tepi danau. Bangunan itu disebut Bozzuto Boat House and Dock.
Menikmati pemandangan cantik danau Seneca |
Bangunan-bangunan
megah, berdiri tersebar di area kampus yang
spektakuler. Hobart Quadrangle, sebuah lapangan hijau luas terbentang di
tengah-tengah sekumpulan gedung indah seperti Geneva Hall, Salisbury Center,
Eaton Hall, Gulick Hall, Coxe Hall dan Medbery Hall. Di sinilah biasanya mahasiswa bersantai, berkumpul, bermain
frisbie, lacrosse, atau football. Duduk
diam menatap lapangan hijau itu dari sebuah kursi dibawah pohon, terasa sangat
nyaman . HWS memiliki lingkungan
yang sangat mendukung gairah belajar.
Indriya menikmati pemandangan lapangan hijau di HWS |
Salah satu bangunan di kompleks HWS |
Aku dan Indriya
menginap di Harris Hall, sebuah bangunan tua cantik yang dibangun pada 1827.
Dulunya bangunan ini pernah menjadi rumah tinggal Elon Howard Eaton, seorang
professor di bidang Biologi.
Kamar di Haris Hall |
Bathroom dan toilet |
Ruang Tamu di Harris Hall |
Kamar kami
cantik, bersih dan nyaman. Kamar mandinya bersih dan tampak baru. Aku dan
Indriya menyempatkan duduk-duduk di ruang tamu Harris Hall yang nyaman. Sangat
menyenangkan menikmati suasana ruangan bangunan tua ini.
Perpustakaan HWS |
Aku dan Indriya
sempat masuk ke perpustakaan. The Warren Hunting Smith Library, dibuka pada
1976. Perpustakaan ini besar dan nyaman. Terdapat koleksi buku-buku langka,
ruang CD, laboratorium mikro kampus, ruang arsip pada basement, smart classroom
yang dilengkapi teknologi terbaru termasuk kontrol panel layar sentuh untuk
mengoperasikan dan memproyeksikan semua peralatan dalam ruangan. Pada bagian
Selatan gedung perpustakaan ini terdapat The Melly Academic Center,yang
dilengkapi ruang-ruang kelas berteknologi tinggi.
Dining Hall di Scandling Center |
Dining hall atau
ruang makan utama mahasiswa terletak
dalam bagunan bernama Scandling Center. Tempat ini tak kalah menariknya. Ada
sangat banyak pilihan menu di tempat ini. Ada bagian ruangan yang tampak
seperti suasana resto hotel bintang 5, lengkap dengan berbagai menu makanan
yang tampilannya mirip karya master piece para chef terkemuka, sungguh
membangkitkan selera.
Teh
Etin Anwar, Sebuah Lentera di Kegelapan
Akhirnya kami
bertemu Teh Etin. Wanita mungil enerjik itu menyambut kami dengan ramah. Sebentar
saja kami sudah mengobrol ngalor-ngidul seperti sudah kenal lama. Kami
menikmati makan siang di Scandling Center.
Indriya, Teh Etin dan aku |
Teh Etin adalah
lulusan IAIN, dia bergelar doctor dari Philosophy Department. Tepatnya
Philosphy, Interpretation, and Culture Program dari Binghamton University, New
York. Sudah belasan tahun dia menetap di USA. Suaminya, Shalahudin Kafrawi,
Ph.D. juga mengajar di HWS.
“Teteh harusnya menulis. Tulis tentang
pengalaman Teteh, dan bagikan pada orang lain. “ Ucapku sambil mengunyah menu
makan siangku.
“Ah, siapalah
saya ini. Apa sih yang bisa saya bagi? Masih banyak orang lain yang hebat. Saya
belum ada apa-apanya.” Sahut Teh Etin.
Ucapannya itu
kontan mengundang reaksiku.Duh, gemas rasanya. Bagaimana mungkin seorang associate professor,
salah satu ilmuwan kebanggaan Indonesia
seperti beliau tak yakin akan dirinya. Padahal di mataku apa yang sudah dicapai
Teh Etin begitu menginspirasi.
“Teteh bisa
menulis pengalaman Teteh, perjuangan Teteh sampai akhirnya bisa mengajar di
sini. Menurutku itu hebat, Teh. Banyak lho orang Indonesia yang ingin berkarier
di Amerika, tapi mereka tak tahu caranya. Berbagi pengalaman Teteh pasti banyak
manfaatnya bagi orang lain. “ Ujarku penuh semangat.
Teh Etin sempat
mengungkapkan kekecewaannya. Dia merasa kurang dihargai di negeri sendiri.Tapi aku melihat apa yang terjadi pada dirinya
merupakan potongan-potongan puzzle. Potongan puzzle yang tersusun sesuai rancangan Allah, membentuk skenario hidupnya.
“Itu memang
sudah sesuai dengan rencana Allah, Teh. Teteh sengaja dibuatNya merasa tak
nyaman berkarier di Indonesia karena tempat Teteh di sini. Teteh di butuhkan di
sini. Ibarat cahaya, mungkin teteh hanya lilin kecil di tengah terik matahari bila diletakkan di Indonesia.
Begitu banyak orang mengajar Islam di
sana. Tapi di sini, kehadiran Teteh seperti lentera dalam kegelapan. Banyak orang
berprasangka buruk terhadap Islam karena mereka buta Islam. Nah, tugas Teteh sudah
jelas yaitu menyampaikan bahwa Islam
adalah rahmatan lil alamin. Rahmat bagi alam semesta. Islam itu indah dan
damai. “ Perkataanku membuat Teh Etin tersenyum.
Bersama Aminata |
Tentang lentera
dalam kegelapan itu menurutku bukan omong kosong. Jumlah muslim dilingkungan
HWS sangat sedikit. Aku hanya berjumpa dengan satu saja mahasiswi muslim di
sini. Namanya Aminata. Selebihnya adalah non muslim. Tapi aku salut pada
semangat belajar para mahasiswa itu, meski bukan muslim, tapi mereka mau
belajar tentang Islam. Teh Etin adalah sumber pengetahuan tentang Islam di
sini.
Makan malam di rumah Teh Etin |
Malamnya, aku
dan Indriya diajak berkunjung ke kediaman Teh Etin. Kami menikmati makan malam
bersama teman-teman Teh Etin dan suaminya. Obrolan di meja makan itu
mengasyikan, apalagi ditemani masakan Teh Etin yang lezat.
Workshop Tutorial Hijab
Hari berganti.
Kami menyiapkan berbagai kebutuhan untuk tutorial hijab dan fashion show yang merupakan inti dari kedatangan kami di
sini.
Indonesia telah
menjadi kiblat busana muslim dunia. Kepada para mahasiswa di sini kami ingin
menunjukkan bahwa wanita yang berbusana muslim tetap bisa tampil nyaman, dan
menyejukkan dipandang mata.
Indriya membawa
busana-busana muslim rancangannya. Busana-busana itu berbahan batik Bogor. Ya,
kami berdua sama-sama dari Bogor, karena itu mempromosikan produk Bogor menjadi
salah satu hal yang penting. Kami ingin memperkenalkan batik Bogor di sini.
Siapa yang akan
menjadi para model peragawati yang
mengenakan hijab dan busana-busana
muslim ini? Tak lain para mahasiswi itu sendiri.
Workshop Tutorial Hijab |
Para mahasiswi
telah berkumpul di ruangan untuk menyaksikan tutorial hijab. Suasananya santai. Ketika acara akan dimulai,
Indriya tampak tegang. Aku yang berada
disampingnya melihat dia gelisah. Sepertinya dia lupa membawa
text opening speech-nya. Benar saja...
“Mbak. Mbak saja
yang mulai bicara. Opening speech!” Bisiknya panik.
Dengkulku mendadak
lemas. Oh my God!. Aku menyesali diri tak menyimak isi opening speech yang ada
pada Indriya, yang didengungkannya komat-kamit di kursi pesawat. Aku sama sekali tak ada persiapan. Indriya
sudah sering menjadi pembicara pada talkshow fashion di Jakarta, Bandung dan Bogor. Rupanya dia
masih bisa demam panggung juga berada di
depan mahasiswa HWS ini.
Ya, apa boleh
buat. Tak mungkin kami berdua sikut-sikutan di depan mata para mahasiswa. Aku menarik nafas dan mulai bicara.
Kuucapkan
terimakasih atas kesempatan yang diberikan pada kami berdua. Aku memperkenalkan
diri sebagai blogger dan Indriya sebagai penulis buku fashion muslimah. Aku berbicara tentang ketentuan dalam
berbusana muslim. Dalam kondisi “kepepet” seperti ini, ternyata otak masih mampu bekerja menghasilkan kata-kata, meskipun
sambutanku itu tidak panjang lebar. Seandainya
aku menyimak isi opening speech yang sudah disiapkan, tentu aku bisa bicara
lebih dalam dan lebih banyak, tentang perintah dalam Al Quran mengenai hijab,
dan tentang perkembangan fashion muslim
di Indonesia. Sayang sekali, ini kesempatan langka. Ah... penyesalan selalu datang terlambat.
Bersama mahasiswi dan dosen usai workshop |
Tapi raut wajah
para mahasiwi yang bersemangat, membuat aku dan Indriya kembali bergairah. Kami
memulai tutorial hijab dan langsung mendapat tanggapan meriah. Para mahasiwi
satu persatu mengajukan diri menjadi model, bahkan sedikit berebutan. Keingin
tahuan mereka tentang bagaimana rasa mengenakan hijab demikian besar. Pada akhir workshop, salah seorang dosen tak
mau kalah, dia juga mengajukan dirinya menjadi model. Wah, seru sekali..!
Peragaan Busana Muslim
Workshop
tutorial hijab telah selesai dilaksanakan. Kemudian kami menuju ruang Vandervort yang terletak di Scandling
Center lantai 2. Di tempat ini telah disiapkan panggung catwalk, untuk para model
memperagakan busana muslimah.
Indriya mengarahkan gaya para peragawati sebelum fashion show dimulai |
Kemudian aku dan
Indriya kembali dilingkupi ketegangan. Kutatap
dengan cemas para mahasiswi yang tertawa-tawa berlatih berjalan di atas catwalk.
Bukan keceriaan mereka, tapi ukuran
tubuh mereka yang tinggi besar itu masalahnya. Baju-baju yang dibawa Indriya
tidak bakalan muat di tubuh mereka!
Ini pelajaran
bagi kami, lain kali bila mengunjungi Amerika, kami harus membawa baju berukuran
extra besar. Baju yang kami bawa sebenarnya bukan pula berukuran kecil.
Ukurannya standard wanita tinggi langsing. Tapi para mahasiswa yang mengajukan
diri menjadi model ini banyak yang
bertubuh bongsor.
Teh Etin tampil
sebagai penyelamat. Untunglah dia membawa sejumlah busana muslim yang berukuran
besar.
Setelah selesai
latihan di catwalk, acara segera dimulai. Para penonton berdatangan. Dari balik
panggung, aku mendengar Teh Etin menyampaikan pidato pembuka.
Ada dua sesi peragaan busana, sehingga setiap
model kebagian memperagakan dua baju. Aku dan Indriya berjibaku mendandani para
peragawati, mulai dari busana hingga hijabnya, tegang,asyik sekaligus seru
sekali perjuangan kami di belakang panggung!
Busana muslim berbahan batik Bogor karya Indriya R Dani |
Untungnya masih
ada beberapa baju karya Indriya yang muat di tubuh para model, sehingga tujuan
kami memperkenalkan batik Bogor di acara ini tercapai.
Para Peragawati |
Lucunya, bukan
saja busana yang kesempitan, tapi para peragawati itu ada yang terpaksa tak
mengenakan sepatu karena kaki mereka tak muat! Hihihihi... Tapi tetap saja
mereka melenggak-lenggok penuh percaya diri. Mendapat hadiah tepuk tangan meriah dari para
penonton, para peragawati makin sumringah, tampak jelas dari senyum yang
mengembang di bibir mereka.
Aku dan Indriya,lega di ujung acara |
Di akhir acara,
aku dan Indriya tampil di panggung. Rasanya bahagia dan lega sekali sudah
melaksanakan tugas kami dengan lancar.
Tapi masih ada
sebuah kejutan menyenangkan. Seorang
dosen setengah baya menghampiriku.
“Aku juga ingin
di dandani. Aku ingin memakai busana muslim.” Ujarnya penuh harap.
Aku bingung
karena seluruh busana muslim masih dikenakan para model, akhirnya aku ambil
salah satu bajuku, gamis dari bahan
jumputan Palembang berwarna merah. Kudandani wanita itu. Untung dia langsing hingga gamis itu muat
ditubuhnya.
Tersenyum dalam balutan jumputan Palembang |
Aku
tersenyum-senyum sendiri melihat dua gadis bule cantik yang tak henti-henti
berselfie ria mengagumi kecantikan diri mereka sendiri dalam balutan busana
muslim.
Menurutku,
busana muslim justru membuat kecantikan wanita yang mengenakannya makin
bersinar.
Tomat Istimewa Anne dan Musik Jazz Live
Perjalanan kali
ini sungguh mengesankan. Hari yang indah itu ditutup dengan undangan dari Anne.
Dia mengundang kami ke rumahnya yang
terletak tak jauh dari rumah Teh Etin.
“Kalian harus
mencicipi tomat hasil kebunku. “Ujarnya antusias.
Aku merasa aneh.
“Tomat sih di Indonesia juga banyak.”
Begitu pikirku.
The boy band |
Alunan musik
jazz terdengar sejak aku melangkah masuk rumah Anne. Aku berseru senang ketika
menyadari musik itu ternyata di mainkan secara live oleh suami Anne dan
teman-temannya. Wow...keren!
Aku berkenalan dengan personel “boy band” itu,
kemudian larut dalam keasyikan menikmati musik mereka.
Jamuan Anne |
Aku duduk di meja
makan bersama Indriya, Teh Etin dan Patrick White, seorang mahasiswa ganteng
yang sejak siang menemani kegiatan kami. Anne menghindangkan tomat kebanggaannya. Aku mengambil sepotong daging tomat dari piringku. Warnanya merah, tebal, dan tampak dagingnya
berbutir halus. Ketika potongan daging tomat itu masuk mulut, barulah aku
menyadari kalau ini adalah tomat ter-enak yang pernah kucicipi. Ini bukan tomat
seperti di Indonesia. Rasanya cenderung manis, tidak asam. Dagingnya lembut,
enak sekali. Oh, pantas saja Anne demikian bangga pada hasil kebunnya ini.
Sayang sekali aku lupa memotret tomat lezat itu.
Kenangan manis
terukir. Perjalanan ini sungguh membahagiakan. Aku dan Indriya bersyukur bisa berada di sini, merasakan
suasana Hobart and William Smith Colleges yang nyaman. Berbincang dan bertukar
pengalaman dengan para mahasiswa dan dosen, membuka wawasan kami lebih
luas.
Sekecil apapun yang kami lakukan,
aku dan Indriya berharap bahwa para
mahasiswa non muslim di sini dapat melihat Islam sebagai ajaran penuh
kedamaian. Kami berharap kesalah pahaman tentang Islam kian terkikis sehingga
tak ada lagi perlakuan tak adil terhadap
muslim. Semoga....
Terharu bacanya, beneran. :(
BalasHapusSekaligus iri. Pemandangannya kayak di buku-buku dongeng euy.
@Aprie : Alhamdulillah... Iya disana memang indah
HapusSeruuuu bgt pengalamannya mba iwed...
BalasHapusPerjalanannya pasti sngt mengesankan. Sy Yg baca aja smp terbawa aura keseruannya.
Thank sharingnya mba
@Ophi Ziadah : sama2 Mbak..
HapusPerjalanan yg menyenangkan bisa berbagi tentang islam, tempatnya juga bagus mba, tulisannya keren salam kenal
BalasHapus@Meutia rahmah : terimakasih apresiasinya.. Salam kenal juga
Hapussuka sama kampusnya mbak, pingin banget deh kalau sekolah lagi
BalasHapus@Lidya : enak banget ya kalo dapat beasiswa full buat sekolah di sana :-)
Hapuswah.. perjalanan menjadi seorang blogger sudah membawa mba Juliana Dewi keluar dari Indonesia .. mengujungi belahan dunia lainnya dann berbagi tentang ilmu Hijabnya.. keren.. terima kasih sudah menginspirasi saya untuk tetap semangat ngeblog :)
BalasHapus@kornelius ginting : sama2... Semangaaat....!
Hapusseru...
BalasHapus@TS ; Thanks
HapusMbak Iwed.. Mbak Juliana Dewi yang selalu kece.. Masya Allah Luar Biasaaaaaa. Perjalanan yang sangaaaaat menakjubkan. Berbagi Islam sampai ke sana yaaaa. Ini benar-benar pengalaman yang mahal. Tidak bisa dibeli dengan uang.
BalasHapusFoto-fotonya juga kereeeeeen. Mendukung banget deh.
Semoga aku bisa mengikuti jejak mbak Iwed yaaaa..
Blogger n hijabers yang produktif
@Ella Nurhayati : Aamiin... Terimakasih apresiasinya, Mbak Ella
BalasHapusTerhanyut dalam perjalanan yang mba Iwed lakukan. Pengalaman berharga ya mbak. Tfs
BalasHapus@Murtiyarini : sama2 Mbak Arin..
HapusMantab sekali perjalannnya , nyimak dulu mbak hehe
BalasHapussalam kenal
sutopo blogger jogja