Aku mengobrol seru dengan Patriani, Santi, Devi Arianto
dan Dedi Agustian, membongkar-bongkar kembali kenangan lama yang konyolnya
kerap membuat kami terbahak. Mereka semua adalah teman lamaku, lebih dari
dua puluhan tahun lalu kami adalah siswa SMP 19 Palembang. Pertemuan ini tak direncanakan sebelumnya,
tiba-tiba saja aku ditelpon untuk datang ke rumah Patriani, karena Dedi yang
datang dari di Palembang mampir ke rumah
Patriani. Jadilah reuni dadakan ini terlaksana.
Aku, Patriani, Santi, Dedi dan Devi |
“Yus mau datang
ke sini. Sekarang sedang dalam perjalanan!”Seru Patriani setelah menutup
pembicaraan di ponselnya.
Kontan ucapan
Patri membuat kami bersemangat. Sebelum pertemuan ini, aku sudah pernah bertemu
Dedi, Devi, Santi dan Patriani. Tapi dengan Yus, bisa dikatakan pertemuan
terakhir dengannya berjarak lebih dua puluhan tahun lalu. Rindu sekali aku pada teman lamaku itu.
Ingatanku terlempar
ke masa lalu,ketika kami masih berseragam putih biru. Aku sekelas dengan Patri, Devi, dan Dedi, sementara
Santi dan Yus berada di kelas yang berbeda. Meski berbeda kelas, aku sering
juga menyambangi teman-teman di kelas lain.
Seingatku Yus,
atau lengkapnya Yusaidin Mahfi, adalah
anak laki-laki kecil keriting dengan cara bicara yang unik. Aku dulu tak
mengerti mengapa kalau Yus bicara, suaranya seperti tertahan di tenggorokan.
Lalu bila bicara padanya, kami teman-temannya, harus menggerakkan bibir perlahan hingga dia bisa menangkap maksud
pembicaraan.
Salah seorang
temanku, Sri Andriani mengatakan kalau Yus penderita tuna rungu. Dia tak mampu
mendengar. Selain itu, Yus adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara, sementara
ayah dan ibunya telah meninggal. Simpatiku pada Yus makin menebal saat
mengetahui keadaannya itu.
Suatu hari, aku
tengah berjalan berdua dengan salah satu primadona sekolahku. Si cantik itu
menangkap bayangan Yus di pintu kelas.
Dia melambai memanggil Yus, dan Yus pun mendekati kami dengan wajah
riang.
“Yus, kau
pekak.” Ujar si Cantik. Kata-katanya sungguh membuat aku tersentak kaget.
“Duh, kok tega
melontarkan ejekan seperti itu.” Batinku.
Yus melongo.
“Apa?” Tanyanya.
Si Cantik mengulangi kata-katanya perlahan dengan gerak
bibir mengucapkan kata “p-e-k-ak”. Dalam bahasa Palembang pekak adalah tak bisa mendengar atau tuli.
Perasaanku tak
karuan, ingin rasanya marah pada si Cantik. Dan ingin rasanya mengatakan pada
Yus supaya tak mengacuhkan ejekan si Cantik.
Aku menatap Yus.
Kukira dia akan marah, atau terluka, lalu sedih. Tapi sudut-sudut bibir anak lelaki keriting itu naik
membentuk senyum. Dia membelalakkan matanya dengan jenaka, kedua tangannya
terangkat, jemarinya bergerak-gerak seperti orang ingin mencubit dengan gemas.
Si cantik
berteriak lalu lari melesat. Yus tertawa mengejarnya. Aku berdiri di teras kelas, menatap takjub dua anak berseragam putih biru berkejar-kejaran di halaman
sekolah sambil tertawa-tawa riang.
Lama aku
merenungi makna kejadian itu. Aku tahu ada sesuatu yang istimewa pada diri Yus.
Bukan karena dia tuna rungu. Tapi lebih dari itu. Di usia sangat muda, dia
telah menerima takdir yang digariskan Tuhan dengan penuh keikhlasan. Itu
terlihat dari sikapnya menghadapi ejekan teman. Kalau aku yang berada di posisi Yus, pasti
hatiku terluka oleh tingkah si Cantik. Aku
akan berlari membenamkan wajah di telapak tangan dan menangis tersedu di sudut
kelas. Yus berbeda, dia menanggapinya
dengan santai dan kocak. Menurutku, dia punya hati yang lapang, seluas samudra.
Yus sering
mengalami kesulitan menerima materi pelajaran dari guru, sebab dia sulit
menangkap gerak bibir guru saat menyampaikan pelajaran di kelas.
Ada dua anak
yang menjadi “the haters”. Mereka sering sekali mengejek ketidakmampuan
Yus mendengar dan kesulitannya membaca gerak bibir guru.
“Terima sajalah,
kau pasti tak naik kelas, Yus!” Ejek mereka.
Untung Yus punya
teman baik, Nila Manggareni yang biasa
dipanggil Momoy. Dialah yang selalu mengajari Yus memahami rumus-rumus yang
diajari para guru, hingga Yus bisa mengejar ketinggalan pelajarannya.
Suatu hari
setelah kenaikan kelas, Yus melihat dua orang the haters masih duduk di kelas
yang lama sementara Yus sudah pindah
kelas . Lalu dengan lugunya Yus menghampir the haters sambil bertanya.
“Lho, kenapa
kalian berdua masih di kelas ini? “
Dua anak itu
hanya diam dan menjauh, tampaknya mereka malu. Barulah Yus sadar kalau mereka
tak naik kelas!
Satu hal lagi yang
aku ingat, dalam hal seni menggambar, Yus juaranya. Tuhan menganugerahkan jiwa seni yang tinggi
pada anak lelaki kecil keriting itu. Aku kerap terkagum-kagum pada hasil
karyanya. Seringkali yang digambar Yus hanya objek sederhana , misalnya
sebatang pohon. Tapi tarikan garis dari pensil di tangan Yus menciptakan detail
yang sangat halus, mirip objek aslinya.
Tamat SMP, Yus
berhasil masuk ke SMA Negeri 3 Palembang. Dia kembali satu sekolah dengan aku,
Patri, dan Devi, meskipun kami tak sekelas.
Sementara itu kemampuan Yus memahami gerak bibir makin berkembang.
Dia bisa mengikuti pelajaran di SMA,
bahkan sempat masuk ranking 5 di kelasnya.
“Yus datang!” Teriak Devi dari luar rumah.
Dedi bersembunyi
di balik pintu. Patri bergegas menyongsong Yus yang melangkah masuk dengan
wajah sumringah. Kami berteriak-teriak kesenangan. Patri, aku
dan Santi menyalami Yus dengan riang. Tak lama kemudian Dedi mengejutkan
Yus, lalu mereka berpelukan erat melepas rindu di tengah tawa berderai.
Dedi dan Yosi |
Senangnya bisa
berjumpa kawan lama! Alhamdulillah...
Media sosial facebooklah yang telah berjasa menyambungkan
kembali tali silaturrahmi aku dan Yus beberapa tahun lalu. Suatu hari aku
mendapatkan permintaan pertemanan dari seseorang bernama Yosi Matsu. Ketika
kuperhatikan fotonya, aku ingat sosok Yus, tapi namanya kok berbeda. Ternyata
Yus kini lebih dikenal dengan nama Yosi Matsu. Lebih mudah diingat, begitulah
alasan mengapa dia memakai nama itu.
Anak kecil
keriting itu kini tak kecil dan tak keriting lagi. Tidak jauh-jauh dari bakat
seninya, kawan kecilku sudah menjelma
menjadi pelukis yang melukis dengan cahaya, alias fotografer. Aku terkesan melihat foto-foto karyanya yang
menampilkan artis-artis ternama.
Pertemuan ini
sungguh membahagiakan. Aku ingin
berbincang-bincang dengan Yus, untuk mengetahui perjalanan hidup yang
telah menempanya menjadi Yosi Matsu,
sang fotografer.
Yosi, aku, Dedi, Devi, Patriani dan Santi |
Sosok Yus secara
fisik telah jauh berbeda. Tapi dia masih tetap Yus yang dulu, yang lucu, kocak, hangat penuh
persahabatan.
Kami berbincang
penuh canda di ruang duduk sambil makan pempek, otak-otak,lapis talas bogor
dan asinan bogor.
“Ingatkah Yus,
zaman SMP dulu aku minta kau buatkan
kartu valentine merah jambu. Yang kertasnya wangi. Kau bikin kartu itu bagus
bukan kepalang. Aku puas sekali dengan hasilnya. Kau tahu, kepada siapa kartu
itu aku berikan?” Tanya Devi pada Yus.
Yus menggeleng.
Devi menunjuk
Santi yang sedang makan pempek.
“Itu dia
orangnya. Tapi sayang, cinta monyetku ditolaknya. Hahaha...” Ujar Devi.
Pecahlah tawa kami. Santi pun tak dapat menahan geli.
“Sungguh sial,
sudahlah ditolak Santi, aku kena lemparan batu di kepala hingga berdarah-darah.
Yang melemparku itu cowok yang naksir Santi. Dia cemburu karna aku mendekati
Santi. “ Sambung Devi dengan senyum lebar. Oalaaah... Nasibmu Dev! Haha...
Sesaat sebelum menikmati pindang dan brengkes patin |
Obrolan kami
berlanjut sambil menikmati pindang patin dan brengkes patin hasil masakan
Patriani. Hidangan lezat ala Palembang itu mau tak mau membawa kami menyusuri
masa lalu. Dalam pertemuan kali ini, bisa dikatakan Yus alias Yosi, adalah bintangnya. Betapa kami
semua merasa senang akan kehadirannya. Terutama aku yang sudah menantikan kisah
perjalanan hidupnya.
Dahulu, hidup
tidaklah mudah bagi Yosi. Di usia 9 tahun dia kehilangan kemampuan mendengar karena
penyakit tifus, lalu di usia 10 tahun kedua orang tuanya meninggal. Dia diasuh
oleh kakak-kakaknya di Palembang.
Setamat SMA dia
melanjutkan pendidikan di Sekolah
Tinggi Seni Rupa & Design Indonesia (STISI) Bandung. Yosi mengambil jurusan
Desain Komunikasi Visual. Di masa kuliah
inilah dia memperoleh ilmu fotografi. Sambil kuliah, Yosi memulai kariernya sebagai fotografer dengan memanfaatkan kamera analog 35-mm
pemberian pamannya. Pelanggannya tak
lain adalah teman-teman kuliahnya.
Setamat kuliah Yosi melamar kesana kemari
untuk menjadi seorang desainer grafis.
Sayang sekali, dia menerima penolakan demi penolakan, alasannya hanya karena Yosi tak mampu mendengar.
Terlalu naif bila mengatakan kekurangan pendengaran Yosi jadi masalah. Kenyataannya, hal ini menjadi ujian kesabaran yang berat dalam hal memperoleh kesempatan bekerja. Dia tak habis pikir mengapa orang-orang hanya memandang
kekurangannya, padahal dia berani adu kemampuan
di bidang desain grafis. Sekian
banyak penolakan yang diterimanya memaksa Yosi beralih fokus pada keahliannya di bidang fotografi.
Dia melamar ke berbagai studio foto untuk
menjadi fotografer. Tapi lagi-lagi berbagai penolakan harus dihadapinya oleh sebab yang sama. Kali
ini Yosi tak menyerah. Dia terus berusaha mencari pekerjaan hingga tahun 2006,
dia diterima bekerja di Arifin Yosodharmo Foto Studio.
Yosi, aku dan Patriani |
Bekerja di studio foto ini membuka peluang
Yosi mempelajari fotografi digital. Lebih kurang dua tahun kemudian Yosi
memutuskan mengundurkan diri dari studio itu untuk memulai karier sebagai fotografer
lepas. Dia kembali melamar ke berbagai studio foto. Namun sejarah kembali terulang.
Berkali-kali dia menerima penolakan.
Yosi menghadapi kenyataan pahit itu dengan
tabah. Dia terus berjuang menegakkan diri. Bersama salah seorang teman, dia
membuka usaha foto studio di daerah Cimanggu Bogor dengan sistem kemitraan bagi hasil.
“Studionya sepi, gak laku. Kami merugi, lalu
tutup.“ Ucap Yosi mengenang masa-masa
sulit hidupnya.
Silaturrahmi membawa berkah. Hal ini sudah
dibuktikan oleh Yosi. Satu kelebihan
Yosi adalah kemampuannya bersosialisasi. Yosi berkepribadian hangat dan
merupakan teman yang menyenangkan. Tahun
2007 dia berkenalan dengan Selvy Lei, seorang makeup artist profesional. Selvy memperkenalkan
Yosi pada klien- klien baru, termasuk juga beberapa selebritis.
Kemudian Yosi membuka usaha dengan menyewa
ruang kecil di sebuah bangunan komersial di Jalan Margonda Raya, Depok tahun
2009. Modal usaha didapat dengan meminjam uang kakak perempuannya, Srimulyani.
Pintu rezeki pun terkuak, makin lama makin
lebar. Yosi mulai memperoleh pelanggan. Dia memotret bayi, anak-anak, remaja,
dewasa hingga mengabadikan moment bahagia
keluarga. Hal ini dilakukan di studionya maupun di tempat lain, in-door
atau out-door, sesuai permintaan kliennya.
Foto-foto hasil karya Yosi |
Kemampuan Yosi pun makin berkembang, hasil
karyanya telah menarik beberapa selebritis untuk memakai jasanya.
“Aku memotret Krisdayati dan Raul Lemos.”
Ujar Yosi. “ Aku tak perduli dengan masalah pribadi mereka di masa lalu yang
cukup heboh dengan pasangan masing-masing. Aku menjalankan tugasku mengabadikan kebahagiaan mereka dengan
kemampuan terbaikku. “
“Setiap orang yang difoto tentu ingin
mengabadikan kebahagiaan agar bisa
dikenang di masa yang akan datang. Tugasku adalah menangkap moment
bahagia itu dan melukiskannya dengan cahaya, menempatkan dalam frame yang
indah, hingga siapapun mampu merasakan kebahagiaan itu kala menatap foto
karyaku. “ Sambung Yosi.
Kesulitan, hambatan dan cobaan hidup yang
dulu menghadangnya kini telah berbuah manis. Yosi telah membuktikan kemampuannya
di bidang fotografi. Bersama “YOSIMATSU
STUDIO” Yosi makin mengembangkan sayap. Bukan hanya Krisdayati
dan suaminya, tapi sederet nama artis lainnya telah menjadi pelanggan Yosi.
Misalnya Dorce Gamalama, Natalie Sarah dan lain-lain. Beberapa kedutaan, antara lain Kedutaan Finlandia, dan kedutaan
Brazil pun menjadi kliennya. Yosi juga pernah mengabadikan moment bahagia
pernikahan anak duta besar Papua Nugini.
Aku ikut senang dan bangga akan kesuksesannya.
Salah satu klien Yosi, artis Dorce |
Pernikahan putri angkat Dorce |
Patriani dan Devi tampak sangat berminat
untuk membuat foto keluarga di studio Yosi yang beralamat di Jl. Margonda Raya
no. 1A Depok, no contact Wa +62 818878004 ; pin 73f8cf63. Foto-foto hasil karya Yosi Matsu bisa dilihat di instagram @yosimatsu
Hari ini aku kembali mendapat pelajaran. Selalu
ada hikmah dalam setiap pertemuan,
terutama pertemuan dengan teman-teman lama. Kawan kecilku, Yus alias Yosi
si keriting lucu, memberiku inspirasi. Bahwa kekurangan fisik
bukan hambatan, bahwa penolakan bukan alasan untuk berhenti melangkah, bahwa silaturrahmi sungguh membawa berkah, dan
Tuhan pasti akan memberi ganjaran atas kerja keras yang disertai kesungguhan. Alhamdulillah...
Wah ceritanya inspiratif...:) tks sudah berbagi.....:)
BalasHapusSenangnya bisa ketemu teman lama yang inspiratif pula ya
BalasHapusTerharu banget, dibalik ketidaksempurnaannya Mas Yus ternyata lebih dari sempurnya ya Mbak :)
BalasHapusKemampuan Mas Yosi untuk melukis dengan cahaya, terlihat "hiudp",
BalasHapusSalut dengan perjuangan beliau hingga menjadi fotografer yg handal spt sekarang. Oh iya, ternyata sakit thypus bisa sampai menyebabkan kehilangan pendengaran ya?
Salam sukses buat Mas Yosi, semoga semangatnya menular secara viral:)
Turut bangga ama perjuangannya. Selalu ada kelebihan lain di balik keterbatasan fisik
BalasHapusbeneran euy, kisahnya inspiratif banget ya. Aku iri dengan kegigihannya. Dan aku juga salut dengan persahabatan kalian. Semoga abadi yaaa
BalasHapusTerimakasih @Ida Tahmidah, @Winny Widyawati @Winda Carmelita @Ratna Rathie Syukur Alhamdulillah bila kisah sahabatku ini bisa menjadi inspirasi. :-)
BalasHapus@Ririe Khayan :Aamiin... oke nanti salamnya disampaikan :-)
BalasHapus@Donna Imelda :Aamiin... Terimakasih Mbak Donna
BalasHapusKisah yosi sungguh menginspirasi ya mba
BalasHapus@yuni zuhri : iya Mbak Yuni.. Terimakasih sudah mampir :)
BalasHapusterharuu, mas yosi keren bangeeet...barakallah...
BalasHapusSubhanalloh...masih diberi kesempatan berkumpul dengan sahabat
BalasHapusBest Places To Bet On Boxing - Mapyro
BalasHapusWhere nba매니아 To Bet On Boxing. It's a sports betting event in which gri-go.com you bet on the outcome https://deccasino.com/review/merit-casino/ of a game. In 출장안마 the boxing world, each player must decide if or not herzamanindir.com/ to