Ekterior resto yang dibuka sejak 7 April 2014 ini berbentuk bangunan minimalis didominasi warna putih pada dinding dan
warna abu-abu di atap dan roster atau ventilation
block.
Foyer |
Ketika memasuki ruangan, aku menangkap suasana bergaya industrialis pada interiornya.
Di foyer atau ruang di depan pintu masuk terdapat sebuah sofa kulit berwarna gelap dan miniatur box telepohone
berwarna merah. Satu bidang dinding
berhias peta dunia, di bidang yang lain terdapat bata ekspose berwarna merah
dan dinding lainnya dihias berbagai
pigura. Sebuah lampu sorot ditempatkan di sudut menimbulkan efek pencahayaan dramatis.
Salah satu area non smoking |
Ruangan selanjutnya
terdiri dari 4 bagian. Dua bagian merupakan non smoking area, dan dua lainnya
untuk smoking area. Kursi-kursi dengan desain minimalis ditata rapi. Di
langit-langit ruangan terdapat aksesories kayu yang disusun mengitari lampu, menegaskan
gaya industrialis pada desain interior bistro ini.
Smoking area |
Smoking area |
Bagian smoking
area tampak lebih menarik. Tempat ini terdiri
dari dua bagian. Yang pertama ruangan dengan bagian atap terbuka. Lalu sebuah ruangan yang menampilkan ciri desain
industrialis paling kental diantara ruang lainnya. Ruangan itu menampilkan
material asli yang ditonjolkan, berupa dinding bata ekpose, materi kayu pada furniture dan pernik di
dindingnya.
Ada satu
kekurangan resto ini. Tak ada ruang untuk shalat tersedia di sini. Bagi seorang muslimah sepertiku hal ini penting. Artinya resto ini tak bisa kujadikan pilihan
tempat makan di jam-jam yang dekat dengan waktu shalat. Tempat ini juga kurang ideal untuk berbuka puasa.
Non Smoking area |
Non Smoking area |
Aku, dan
anak-anakku, Anin, Dea dan Rafif memilih duduk di ruangan bagian depan. Kami langsung mencermati menu yang disodorkan
pelayan.
Menu ditulis
dalam bahasa Inggris. Terdapat menu pembuka berupa makanan-makanan ringan
dan sup krim. Terdapat juga berbagai
sandwich dan burger, steak, pasta, pizza, masakan asia,waffle dan crepe.
Minumannya berbagai gourmet tea, flavor tea, ice blended, juice, Italian soda,
smoothies, dan moctails.
Aku memilih
masakan Asia, Thai chiken red curry dan
hot tea. Dea memilih classic pepperoni pizza, minumannya hazelnut cafe latte.
Anin memesan tuna and egg sandwich, minumannya sama seperti pesanan Dea,
hazelnut cafe latte. Rib eye steak dengan
salad dan sauce barbeque, dengan minuman lychee tea menjadi pilihan Rafif.
Thai Chicken REd Curry |
Tak lama
pesananku datang. Thai chicken red curry dilengkapi nasi putih tampak
menggiurkan. Karinya enak. Bumbu tak terlalu kuat, terasa pas. Potongan
nanas segar menambah cita rasa kuah kari.
Ayamnya lembut, bumbu terasa meresap ke dalam daging.
Selanjutnya
pesanan Anin datang. Tuna and egg sandwich lumayan enak, hanya menurut Anin
sausnya terlalu asam.
Tuna and Egg Sandwich |
Steak pesanan
Rafif dibuat well done. Daging agak keras, meski rasanya lumayan enak. Saus
barbeque terasa asam. Rafif kesulitan
memotong steak itu. Akhirnya jagoanku makan steak dengan cara disuwir-suwir pakai
jari tangannya. Aku tersenyum-senyum melihat Rafif mengambil suwiran daging,
mencocolnya dengan saus lalu memasukkan ke mulutnya.
Rib Eye Steak |
“Pisaunya nggak
tajam sih, Ma. Mendingan begini saja makannya, biar cepat beres.” Ujarnya membalas
tatapanku. Aku tertawa.
Pesanan Dea
belum juga datang. Dengan sabar Dea menyeruput hazelnut cafe lattenya. Ternyata
minuman itu enak. Sayang, sampai makananku habis, pizza Dea tak kunjung datang.
Hazelnut Caffe Latte |
Lychee Tea |
Tiba-tiba lampu
padam. Gelap gulita seketika membuat kami dan pengunjung lain terpekik kaget. Yaaah... listrik padam. Kami menunggu beberapa
saat lalu datang pelayan membawa lilin dan meletakkan di meja.
“Wah, candle
light dinner nih. “ Ujar Anin.
Udara panas mulai membekap.Butir-butir
keringat membasahi dahiku. Tentu saja
panas, ruangan ini tertutup dengan AC padam, dan aku baru saja menghabiskan
semangkuk kari ayam panas. Pelayan membuka jendela-jendela besar agar
udara dari luar masuk membawa kesejukan.
“Ibu, mohon
maaf. Pesanan pizzanya tidak bisa kami penuhi. Di cancel saja ya..” Ujar sang
pelayan dengan tampang kisruh.
Mendadak candle light dinner.. |
Dea berseru
kecewa. Gagal deh makan malamnya. Anin langsung menyodorkan sebagian
sandwich-nya untuk dimakan Dea.
“Lho, kenapa
dibatalkan?” Protes Rafif.
“Listriknya
padam, nak. Ovennya tidak bisa menyala untuk memanggang pizza. “ Sahutku. Sang
pelayan mengiyakan.
“Sayang sekali
restoran seperti ini tidak dilengkapi genset. Kalau listrik padam seperti ini
kacau semua ya. Kasir juga pasti jadi manual kan?” Tanyaku.
Sang pelayan
mengiyakan dan berkali-kali memohon maaf.
Rencananya makan malam ini aku bayar dengan
kartu atm atau kartu kredit. Dalam keadaan listrik padam tentu hal itu tak bisa
dilakukan. Aku jadi was-was, takut uang tunai yang kubawa tak cukup.
Pelayan
menyodorkan tagihan yang ditulis dengan tulisan tangan sejumlah Rp. 317.000,- Aku bingung saat membuka dompet hanya terdapat 4 lembar uang limapuluh ribuan. Tindakan selanjutnya adalah sibuk membongkar dompet dan mengorek-ngorek tas dalam gelap. Aku hampir menyerah dan memutuskan pergi ke
ATM. Untung saja kutemukan beberapa lembar limapuluh ribuan di bagian dasar
tas-ku. Lebih dari cukup untuk membayar tagihan. Ah leganya...
Ada-ada saja pengalaman
mencicipi resto baru. Mendadak candle light dinner, pesanan dibatalkan ditutup
aksi bongkar-bongkar tas. Hahaha...Semua bakal menjadi pengalaman tak
terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar