Laman

Minggu, 21 Juni 2015

Catatan Perjalanan ke Detroit


Menuju Detroit

Hari itu 29 Agustus 2014. Aku dan Indriya terbangun, lalu terlonjak kaget melihat matahari telah bersinar terang. Setelah shalat subuh kesiangan, kami  buru-buru mandi dan packing lalu turun ke lobby motel.  Semalam setelah jalan-jalan seru di Los Angeles, Hollywood Walk of Famedan Rodeo Drive hingga dini hari, kami menginap di Motel 6 yang terletak sekitar 1,6 Km dari Los Angeles International Airport.

Motel 6.
Sumber foto dari https://www.motel6.com/content/g6/motel6/motel6-com/en/motels.ca.inglewood.1260.html

Motel ini lumayan. Kamarnya berkonsep modern, bersih, dengan lantai bermotif kayu. Ada Wifi gratis, dan LCD TV.  Room ratenya $ 89,99 per malam.


Kamar Motel


Sumber foto dari https://www.motel6.com/content/g6/motel6/motel6-com/en/motels.ca.inglewood.1260.html

Menurut petugas hotel, akan ada shuttlebus yang tiba sekitar 5 menit lagi untuk mengangkut tamu hotel ke bandara.  Tapi lima belas menit menunggu, bus yang dinanti-nanti tak kunjung tiba. Akhirnya aku dan Indriya memilih naik taksi. Kami takut ketinggalan pesawat.

Sopir taksinya seorang muslim, namanya Zeeshan Ahmed. Senang sekali, sejak awal menginjak tanah Amerika aku selalu menemukan saudara-saudara seiman. Aku sempat berbincang-bincang dengan pria berjanggut dan berkacamata  itu. Menurut dia, muslim di Amerika bisa hidup dengan tenang.  Dia tak pernah mengalami gangguan atau tindakan diskriminatif selama bekerja. Alhamdulillah...

Suasana Los Angeles International Airport Terminal 4.
sumber :http://www.airlines-inform.com/flight-reports/amarchukov-1024.html

Kami memasuki Los Angeles International Airport terminal 4, untuk penerbangan domestik. Aku terpesona dengan design interior   berbentuk lengkungan  indah. Terminal ini dibangun tahun 1961 dan diperluas tahun 1983. Kemudian tahun 2002 tempat ini direnovasi berdasarkan rancangan Rivers & Kristen dengan biaya $ 400 juta untuk meningkatkan penampilan dan fungsi fasilitasnya.

Mesin check in
sumber http://www.airlines-inform.com/flight-reports/amarchukov-1024.html

Aku dan Indriya check-in menggunakan mesin mirip ATM, lalu barang-barang diserahkan untuk masuk bagasi. Kami naik tangga,  menuju pemeriksaan. Antrian penumpang cukup panjang, tapi berlangsung tertib.
Pemeriksaan Full Body Scanner
http://www.fastcompany.com/1700811/ralph-nader-and-epic-take-full-body-airport-scanners

Pemeriksaan berlangsung ketat. Setiap orang diminta melepaskan sepatu, meletakkan barang-barang dan seluruh  isi kantung.  Kemudian mereka diminta mengangkat kedua tangan sebelum memasuki alat yang mirip scanner. Alat itu seperti tabung kaca. Orang yang masuk ke dalamnya akan dipindai dengan cahaya seperti laser yang sinarnya bergerak dari bawah ke atas. Setelah melewati scanner, masih ada pemeriksaan manual oleh petugas.  Meski pemeriksaan berlapis, tapi  petugasnya sopan ,mereka tersenyum dan berbicara dengan nada ramah.

Pesawat take off dari  Los Angeles pukul 14.45. Penerbangan domestik  tak senyaman penerbangan internasional.  Fasilitasnya berbeda. Pramugarinya juga sudah tua! Hehehe...Tapi aku menikmati penerbangan selama 3 jam 5 menit itu.  Aku dan Indriya tampak berbeda dari penumpang lainnya. Dari sekian banyak penumpang, hanya kami yang mengenakan hijab.

Sekali lagi kami menembus zona waktu. Kami mendarat di Dallas-Fort Worth Airport pukul 19.50 waktu setempat atau pukul 15.50 waktu Los Angeles.  

Interior Dallas-Forth Worth Airport

Bandara Dallas-Fort Worth  ini juga keren. Kinclong. Aku terkesan dengan eskalatornya yang tinggi dan curam. Lalu Skylink atau monorel yang menghubungkan lima terminal dengan sistem bi-directional yang gratis digunakan para penumpang untuk mencapai gerbang-gerbang keberangkatan. Aku menikmati pemandangan langit biru yang mulai redup dari kaca Skylink. Indah.

Aku dan Indriya di dalam Skylink 



Pukul 20.50 pesawat Boeing Douglas MD-80 membawa kami menuju Detroit dan mendarat di Detroit Wayne County Airport lewat tengah malam.

Mbak Siti dan Mas Abdul Khaliq Shabazz

Aku dan Indriya bergegas keluar bandara sambil menyandang tas dan menyeret koper-koper.  Kutebarkan pandangan mencari  sebentuk wajah yang  kukenal lewat foto di media sosial Facebook.
Sebaris pesan di inbox FB terbayang dimataku.

“Ntar kalau lihat ada perempuan kecil berkerudung ditemani lelaki hitam gagah perkakas, itu kami. Haha..” Begitulah tulis Mbak Siti.

Dan kami pun menemukan pasangan suami istri itu. Mbak Siti dan suaminya Mas Abdul Khaliq menyambut kami di pintu keluar bandara. Persis seperti yang tertulis di inbox FB, Sang suami tinggi besar, sementara Mbak Siti mungil. Tinggi Mbak Siti kira-kira setinggi dada suaminya.

Tahukah, Kawan? Apa rasanya setelah menempuh perjalanan jauh dari Jakarta menuju Detroit di negeri yang asing, lalu disambut dengan senyuman hangat. Sungguh nyaman! Bertemu Mbak Siti untuk yang pertama kalinya tak terasa bertemu orang asing. Kami  merasa seperti disambut saudara sendiri.

Mbak Siti dan Mas Abdul Khaliq Shabazz
Sumber : foto koleksi Mbak Siti

Aku memuji kebesaran Tuhan atas segala rahmatNya. Tak mungkin Tuhan tak ikut campur dalam hal ini. Tentu Dialah yang mengikat hati  kami dengan kasih sayang kemudian mengumpulkan kami di Detroit. Sungguh ajaib rasanya, mengapa Mbak Siti bersedia menampung aku dan Indriya di rumahnya. Padahal kami hanyalah dua orang asing yang belum pernah dikenalnya.

 Kami hanya berkenalan lewat Facebook beberapa minggu sebelum keberangkatan  ke Amerika. Mbak Siti bersedia menjadi nyonya rumah selama kami berada di Detroit.  Dia hanya berpegang pada sebuah benang merah, bahwa kami  saudara satu bangsa satu tanah air dan satu iman, Islam.

Horee.. ketemu nasi

Tiba dirumahnnya, Mbak Siti menghindangkan nasi hangat, bola-bola daging, lalapan dan sambal. Dua hari selama perjalanan dan jalan-jalan di Los Angeles, kami tak “bertemu “ nasi. Aku dan Indriya makan dengan nikmat. Sangat berbeda rasanya makan nasi di negri sendiri dibanding makan nasi di belahan bumi yang jauh dan asing. Nikmatnya jadi berlipat ganda !

Mbak Siti sudah dua tahun tinggal di Detroit sejak menikah dengan Mas Abdul.  Kisah perjalanan hidupnya menemukan jodoh, sangat unik. Kisah cinta mereka nanti  akan aku posting dalam tulisan khusus .

Pagi di Detroit

Indy dan Mendez

Sejak masuk ke rumah Mbak Siti, dua ekor kucing lucu, Indy dan Mendez, telah mencuri perhatianku. Tingkah dua anak kucing itu persis kelakukan anak-anak. Mereka berlarian, berguling-guling, mengikuti aku dan Indriya ke kamar, ikut merecoki kami saat membongkar barang-barang, naik ke tempat tidur, menarik-narik kain gorden,   selimut dan ujung bajuku. Bikin gemas...hehe...

Dua ekor kucing ini pula yang membangunkan aku dan Indriya pagi itu. Aku menatap pemandangan pagi dari jendela di sisi tempat tidur. Senang sekali rasanya bisa berada di tempat ini.





Suasana pagi yang cantik di lingkungan rumah Mbak Siti

Aku turun ke lantai bawah, menemani Mbak Siti yang sedang memasak untuk sarapan. Kemudian aku larut dalam obrolan seru bersama Mbak Siti. Dia membagi kisah hidupnya, sambil menikmati cemilan sehat, daun kale yang dipanggang hingga garing seperti keripik.

Daun kale segar dan keripik kale ala Mbak Siti

Daun kale disebut juga borecole merupakan sayuran berdaun hijau atau ungu dari spesies Brassica olerace yang masih satu keluarga dengan brokoli, kembang kol dan kubis Brussel. Baru kali ini aku berkenalan dengan sayuran ini. Ternyata kale memiliki kandungan gizi yang baik,  mengandung makronutrien dan mikronutrien yang dibutuhkan dalam metabolisme tubuh. Sayuran ini baik untuk diet karena kandungan kalorinya  dan gula yang rendah. Tak terasa, satu toples keripik kale itu hampir tandas kumakan.  Haha.. Maaf ya Mbak Siti.

Menu sarapan yang istimewa, ada ikan asin  lho..

Setelah sarapan, obrolan kami masih berlanjut di basement. Aku menemani Mbak Siti yang mencuci pakaian.

Sabun cuci Mbak Siti

“Aiih.. lucu ya sabun cucinya!” Seruku melihat sebentuk detergent terbungkus bahan seperti plastik , sepintas  mirip simbol “yin dan yang”  dalam tradisi China. Sabun itu kemudian dicemplungkan ke dalam air cucian  dalam mesin cuci.

Mbak Siti tertawa melihat aku terkagum-kagum  pada sabun cuci unik itu. Mungkin tampangku mirip orang dusun yang takjub akan sebuah penemuan baru. Padahal sabun itu bukanlah penemuan baru. Haha...

Pagi makin tinggi. Hari ini aku, Indriya, dan Mbak Siti akan menuju Cobo Center. Sebuah gedung di pusat kota Detroit yang menjadi tempat penyelenggaraan konvensi Islamic Society of North America (ISNA).

Penyelenggaraan Konvensi ISNA inilah yang sebenarnya menjadi  alasan utama aku dan Indriya mengunjungi  Detroit.

Detroit, Primadona yang Gulung Tikar.

Mas Abdul memacu mobilnya membelah jalan raya lebar beraspal mulus. Di kursi sebelahnya duduk Mbak Siti . Aku dan Indriya duduk dibangku belakang. Sementara Mbak Siti dan Indriya berbincang-bincang, aku menebarkan pandangan pada rumah-rumah berderet yang  membisu di tepi jalan.

Ada yang aneh di sini.  Rumah-rumah  itu sebagian besar telah memudar kecantikannya. Itu tampak jelas dari kaca-kaca jendela yang pecah, atap  keropos, dinding lusuh, dan  tanaman liar yang menjalar meraja lela. Satu hal yang paling terasa, bangunan-bangunan rumah itu tak berjiwa. Tak ada denyut nadi kehidupan di sana.

Rumah-rumah yang terlantar
Sumber foto  dari internet

Bukan hanya satu atau dua rumah yang terlihat dalam kondisi menyedihkan seperti itu. Banyak! Tak terasa hatiku larut dalam sedih. Rumah-rumah yang bentuknya cantik itu ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Ditelantarkan dan merana. Keadaan rumah-rumah itu  serupa suramnya dengan rumah-rumah dalam setting film horror. Aku teringat penduduk Indonesia masih banyak yang belum memiliki rumah, sementara di sini begitu banyak rumah kosong. Duh.. sayang sekali!

Tak seperti jalan-jalan  yang pernah kukunjungi di berbagai negara, jalan disini lengang. Kendaraan yang lewat tak banyak.   Tak ada aktivitas pagi seperti layaknya di sebuah pemukiman. Tak ada orang berjalan-jalan mendorong kereta bayi,  berlari-lari  berolah raga, atau jalan santai bersama anjing peliharaan. Tak ada orang berkerumun,  duduk-duduk di teras caffe, atau berjalan kaki di trotoar. Sunyi. Hampa.

Memasuki pusat kota yang terletak di sisi Detroit River, tampak gedung-gedung megah berdiri kokoh. Jalan  lebar, tata kota yang apik, jalur kereta listrik “people mover” yang berada di ketinggian menambah kesan kota yang canggih dan modern, tapi tetap saja ada yang ganjil di sini. Kemanakah manusia penghuni kota ini?





Suasana Kota Detroit
Sumber Foto : koleksi Mbak Siti

Umumnya di pusat kota seperti ini banyak orang lalu lalang di trotoar. Mobil-mobil berbaris di jalan. Gegap gempita aktivitas pekerja, pebisnis dan warga kota menjadi “nyawa” yang menghidupkan suasana. Tapi pusat kota Detroit begitu senyap. Hanya ada sedikit kendaraan, dan orang yang terlihat,  sungguh tak sebanding dengan luas dan megahnya  kota ini . Detroit telah kehilangan nyawa.

Rupanya berita-berita yang beredar tentang kebangkrutan Detroit bukan isapan jempol semata. Inilah kenyataan yang kulihat sendiri.  

Detroit, sebuah kota di negara bagian  Michigan, dulunya adalah  salah satu kota ke-empat terbesar di Amerika Serikat.  Henry Ford mendirikan pabrik otomotif di  sini.  Kemudian kota ini tumbuh dan bergerak menjadi pusat industri otomotif dunia. Detroit di tahun 1950-an adalah primadona yang memancarkan pesona kemegahan bagaikan magnet  menarik orang datang  mencari penghidupan. Sejarah mencatat Detroit sebagai kota dengan pendapatan per kapita terkaya di Amerika pada tahun 1960. Orang-orang kaya  dan sukses di bidang industri menghuni kota ini. Insinyur-insinyur berotak cemerlang dan pengusaha paling menjanjikan turut memberi warna kehidupan. Ratusan ribu  pekerja pabrik otomotif juga turut menikmati kejayaan Detroit.



Industri otomotif adalah jantung  dan jiwa Detroit. Kemudian badai  datang menghantam. Setelah berhasil melakukan pemulihan  paska perang , Jepang tampil menjadi produsen otomotif dunia. Sedikit-demi sedikit mobil-mobil Jepang mulai merajai pasar Amerika. Bagaimana tidak, mobil-mobil produk Amerika  boros bahan bakar. Produsen otomotif  di Detroit   kala itu” malas” berinovasi, sementara mobil-mobil Jepang memiliki banyak hal  yang didambakan konsumen; kualitas baik, teknologi maju, nyaman dan hemat bahan bakar.

Puluhan industri otomotif termasuk Ford Motor dan Chrysler, produsen utama otomotif AS pun terpukul. Kehilangan pasar memaksa perusahaan-perusahaan melakukan PHK 250.000 pekerjanya. Produksi otomotif turun sebanyak 30 % selama tiga tahun dalam dekade 1980-an.  Keadaan ini makin parah dari tahun ke tahun. Pesaing  dunia otomotif bukan hanya  dari Jepang, tapi industri mobil Korea dan China pun makin menggerus keberadaan produk mobil Amerika. Gelombang pengangguran besar-besaran kemudian bergerak meninggalkan Detroit. Mereka mencari penghidupan di tempat lain. Populasi penduduk menunjukkan angka 1.850.000 jiwa pada 1950, turun hingga 688.701 pada 2013.

Masalah-masalah lain  pun timbul. Minimnya pembayar pajak, tingginya biaya pensiunan dan jaminan kesehatan dibarengi defisit pada anggaran memaksa layanan kota berkurang secara signifikan. Kota sebesar dan semegah Detroit kini tertatih-tatih. Untuk penerangan jalan  Detroit  hanya mampu mengoperasikan sejumlah 60 % , sementara 40% penerangan jalan tak berfungsi. Angka kriminalitas melonjak drastis.  Tingkat pembunuhan mencapai angka tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Kondisi Detroit diperparah dengan pemerintahan kota yang dikelola secara buruk dan pejabat yang korup.Detroit kemudian mengajukankebangkrutan pada pengadilan federal tanggal 18 Juli 2013 dengan kewajiban hutang mencapai US$ 18,5 Milyar.

Pantas saja aku dan Indriya tak diizinkan berjalan-jalan santai menikmati suasana pagi di Detroit. Mas Abdul, suami Mbak Siti adalah seorang anggota kepolisian Detroit. Dia khawatir akan keselamatan kami mengingat angka kriminalitas  tinggi kota ini.

Rasanya sulit dipercaya,  sungguh sayang, tapi inilah kenyataan pahit yang terjadi. Aku memandangi suasana kota dengan perasaan pilu. Menurut berita, ada 78.000 bangunan kosong yang terbengkalai di Detroit. Keadaan ini menegaskan keruntuhan Detroit,  sang Primadona yang dulunya begitu  hebat.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari keruntuhan Detroit? Pelaksanaan otonomi, bahkan di negara  maju seperti Amerika Serikat ternyata tak mudah. Ekonomi yang bertumpu pada satu bidang usaha saja bukanlah pilihan yang bijak. Semestinya dilakukan juga  pengembangan perekonomian di sektor-sektor lain yang bisa menopang kehidupan masyarakat bila salah satu pilar ekonomi tumbang.

Gedung terlantar


Jalan-jalan di Detroit menambah wawasanku. Tak ada yang abadi. Kemasyhuran dan kekayaan berlimpah ternyata bisa hilang dalam sekejap. Roda kehidupan berputar, ada masa jaya, ada masa terpuruk.  Selama ini aku sering jalan-jalan ke tempat wisata yang indah-indah. Kali aku aku menyaksikan sesuatu yang berbeda. Keindahan  bersanding dengan keruntuhan.  Aku melihat bagaimana bangunan megah berdampingan dengan gedung kosong tak terawat. Seperti ada   pertentangan, antara keinginan bangkit kembali meraih kejayaan, atau menyerah kalah. Dalam hati aku masih berharap,  Detroit mampu bangkit dari keterpurukannya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar