Menuju Detroit
Hari itu 29 Agustus 2014. Aku dan Indriya
terbangun, lalu terlonjak kaget melihat matahari telah bersinar terang. Setelah
shalat subuh kesiangan, kami buru-buru
mandi dan packing lalu turun ke lobby motel.
Semalam setelah jalan-jalan seru di Los Angeles, Hollywood Walk of Famedan Rodeo Drive hingga dini hari, kami menginap di Motel 6 yang terletak
sekitar 1,6 Km dari Los Angeles International Airport.
Motel 6. Sumber foto dari https://www.motel6.com/content/g6/motel6/motel6-com/en/motels.ca.inglewood.1260.html |
Motel ini
lumayan. Kamarnya berkonsep modern, bersih, dengan lantai bermotif kayu. Ada
Wifi gratis, dan LCD TV. Room ratenya $
89,99 per malam.
Kamar Motel
|
Menurut petugas
hotel, akan ada shuttlebus yang tiba sekitar 5 menit lagi untuk mengangkut tamu
hotel ke bandara. Tapi lima belas menit
menunggu, bus yang dinanti-nanti tak kunjung tiba. Akhirnya aku dan Indriya
memilih naik taksi. Kami takut ketinggalan pesawat.
Sopir taksinya
seorang muslim, namanya Zeeshan Ahmed. Senang sekali, sejak awal menginjak
tanah Amerika aku selalu menemukan saudara-saudara seiman. Aku sempat
berbincang-bincang dengan pria berjanggut dan berkacamata itu. Menurut dia, muslim di Amerika bisa
hidup dengan tenang. Dia tak pernah
mengalami gangguan atau tindakan diskriminatif selama bekerja. Alhamdulillah...
Suasana Los Angeles International Airport Terminal 4. sumber :http://www.airlines-inform.com/flight-reports/amarchukov-1024.html |
Kami memasuki
Los Angeles International Airport terminal 4, untuk penerbangan domestik. Aku
terpesona dengan design interior berbentuk lengkungan indah. Terminal ini dibangun tahun 1961 dan
diperluas tahun 1983. Kemudian tahun 2002 tempat ini direnovasi berdasarkan
rancangan Rivers & Kristen dengan biaya $ 400 juta untuk meningkatkan
penampilan dan fungsi fasilitasnya.
Mesin check in sumber http://www.airlines-inform.com/flight-reports/amarchukov-1024.html |
Aku dan Indriya
check-in menggunakan mesin mirip ATM, lalu barang-barang diserahkan untuk masuk
bagasi. Kami naik tangga, menuju
pemeriksaan. Antrian penumpang cukup panjang, tapi berlangsung tertib.
Pemeriksaan Full Body Scanner http://www.fastcompany.com/1700811/ralph-nader-and-epic-take-full-body-airport-scanners |
Pemeriksaan
berlangsung ketat. Setiap orang diminta melepaskan sepatu, meletakkan
barang-barang dan seluruh isi
kantung. Kemudian mereka diminta
mengangkat kedua tangan sebelum memasuki alat yang mirip scanner. Alat itu
seperti tabung kaca. Orang yang masuk ke dalamnya akan dipindai dengan cahaya
seperti laser yang sinarnya bergerak dari bawah ke atas. Setelah melewati
scanner, masih ada pemeriksaan manual oleh petugas. Meski pemeriksaan berlapis, tapi petugasnya sopan ,mereka tersenyum dan
berbicara dengan nada ramah.
Pesawat take off
dari Los Angeles pukul 14.45.
Penerbangan domestik tak senyaman
penerbangan internasional. Fasilitasnya
berbeda. Pramugarinya juga sudah tua! Hehehe...Tapi aku menikmati penerbangan
selama 3 jam 5 menit itu. Aku dan
Indriya tampak berbeda dari penumpang lainnya. Dari sekian banyak penumpang,
hanya kami yang mengenakan hijab.
Sekali lagi kami
menembus zona waktu. Kami mendarat di Dallas-Fort Worth Airport pukul 19.50
waktu setempat atau pukul 15.50 waktu Los Angeles.
Interior Dallas-Forth Worth Airport |
Bandara
Dallas-Fort Worth ini juga keren.
Kinclong. Aku terkesan dengan eskalatornya yang tinggi dan curam. Lalu Skylink
atau monorel yang menghubungkan lima terminal dengan sistem bi-directional yang
gratis digunakan para penumpang untuk mencapai gerbang-gerbang keberangkatan.
Aku menikmati pemandangan langit biru yang mulai redup dari kaca Skylink.
Indah.
Aku dan Indriya di dalam Skylink |
Pukul 20.50
pesawat Boeing Douglas MD-80 membawa kami menuju Detroit dan mendarat di Detroit
Wayne County Airport lewat tengah malam.
Mbak Siti dan Mas Abdul Khaliq Shabazz
Aku dan Indriya bergegas
keluar bandara sambil menyandang tas dan menyeret koper-koper. Kutebarkan pandangan mencari sebentuk wajah yang kukenal lewat foto di media sosial Facebook.
Sebaris pesan di
inbox FB terbayang dimataku.
“Ntar kalau lihat
ada perempuan kecil berkerudung ditemani lelaki hitam gagah perkakas, itu kami.
Haha..” Begitulah tulis Mbak Siti.
Dan kami pun
menemukan pasangan suami istri itu. Mbak Siti dan suaminya Mas Abdul Khaliq
menyambut kami di pintu keluar bandara. Persis seperti yang tertulis di inbox
FB, Sang suami tinggi besar, sementara Mbak Siti mungil. Tinggi Mbak Siti
kira-kira setinggi dada suaminya.
Tahukah, Kawan?
Apa rasanya setelah menempuh perjalanan jauh dari Jakarta menuju Detroit di
negeri yang asing, lalu disambut dengan senyuman hangat. Sungguh nyaman! Bertemu
Mbak Siti untuk yang pertama kalinya tak terasa bertemu orang asing. Kami merasa seperti disambut saudara sendiri.
Mbak Siti dan Mas Abdul Khaliq Shabazz Sumber : foto koleksi Mbak Siti |
Aku memuji
kebesaran Tuhan atas segala rahmatNya. Tak mungkin Tuhan tak ikut campur dalam
hal ini. Tentu Dialah yang mengikat hati
kami dengan kasih sayang kemudian mengumpulkan kami di Detroit. Sungguh
ajaib rasanya, mengapa Mbak Siti bersedia menampung aku dan Indriya di
rumahnya. Padahal kami hanyalah dua orang asing yang belum pernah dikenalnya.
Kami hanya berkenalan lewat Facebook beberapa
minggu sebelum keberangkatan ke Amerika.
Mbak Siti bersedia menjadi nyonya rumah selama kami berada di Detroit. Dia hanya berpegang pada sebuah benang merah,
bahwa kami saudara satu bangsa satu
tanah air dan satu iman, Islam.
Horee.. ketemu nasi |
Tiba
dirumahnnya, Mbak Siti menghindangkan nasi hangat, bola-bola daging, lalapan
dan sambal. Dua hari selama perjalanan dan jalan-jalan di Los Angeles, kami tak
“bertemu “ nasi. Aku dan Indriya makan dengan nikmat. Sangat berbeda rasanya
makan nasi di negri sendiri dibanding makan nasi di belahan bumi yang jauh dan
asing. Nikmatnya jadi berlipat ganda !
Mbak Siti sudah
dua tahun tinggal di Detroit sejak menikah dengan Mas Abdul. Kisah perjalanan hidupnya menemukan jodoh,
sangat unik. Kisah cinta mereka nanti
akan aku posting dalam tulisan khusus .
Pagi di Detroit
Indy dan Mendez |
Sejak masuk ke
rumah Mbak Siti, dua ekor kucing lucu, Indy dan Mendez, telah mencuri
perhatianku. Tingkah dua anak kucing itu persis kelakukan anak-anak. Mereka
berlarian, berguling-guling, mengikuti aku dan Indriya ke kamar, ikut merecoki
kami saat membongkar barang-barang, naik ke tempat tidur, menarik-narik kain
gorden, selimut dan ujung bajuku. Bikin
gemas...hehe...
Dua ekor kucing
ini pula yang membangunkan aku dan Indriya pagi itu. Aku menatap pemandangan
pagi dari jendela di sisi tempat tidur. Senang sekali rasanya bisa berada di
tempat ini.
Suasana pagi yang cantik di lingkungan rumah Mbak Siti |
Aku turun ke
lantai bawah, menemani Mbak Siti yang sedang memasak untuk sarapan. Kemudian aku larut
dalam obrolan seru bersama Mbak Siti. Dia membagi kisah hidupnya, sambil
menikmati cemilan sehat, daun kale yang dipanggang hingga garing seperti
keripik.
Daun kale segar dan keripik kale ala Mbak Siti |
Daun kale
disebut juga borecole merupakan sayuran berdaun hijau atau ungu dari spesies
Brassica olerace yang masih satu keluarga dengan brokoli, kembang kol dan kubis
Brussel. Baru kali ini aku berkenalan dengan sayuran ini. Ternyata kale
memiliki kandungan gizi yang baik,
mengandung makronutrien dan mikronutrien yang dibutuhkan dalam
metabolisme tubuh. Sayuran ini baik untuk diet karena kandungan kalorinya dan gula yang rendah. Tak terasa, satu toples
keripik kale itu hampir tandas kumakan.
Haha.. Maaf ya Mbak Siti.
Menu sarapan yang istimewa, ada ikan asin lho.. |
Setelah sarapan, obrolan kami
masih berlanjut di basement. Aku menemani Mbak Siti yang mencuci pakaian.
Sabun cuci Mbak Siti |
“Aiih.. lucu ya
sabun cucinya!” Seruku melihat sebentuk detergent terbungkus bahan seperti
plastik , sepintas mirip simbol “yin dan
yang” dalam tradisi China. Sabun itu
kemudian dicemplungkan ke dalam air cucian
dalam mesin cuci.
Mbak Siti tertawa
melihat aku terkagum-kagum pada sabun
cuci unik itu. Mungkin tampangku mirip orang dusun yang takjub akan sebuah
penemuan baru. Padahal sabun itu bukanlah penemuan baru. Haha...
Pagi makin
tinggi. Hari ini aku, Indriya, dan Mbak Siti akan menuju Cobo Center. Sebuah
gedung di pusat kota Detroit yang menjadi tempat penyelenggaraan konvensi
Islamic Society of North America (ISNA).
Penyelenggaraan
Konvensi ISNA inilah yang sebenarnya menjadi
alasan utama aku dan Indriya mengunjungi
Detroit.
Detroit, Primadona yang Gulung Tikar.
Mas Abdul memacu
mobilnya membelah jalan raya lebar beraspal mulus. Di kursi sebelahnya duduk
Mbak Siti . Aku dan Indriya duduk dibangku belakang. Sementara Mbak Siti dan
Indriya berbincang-bincang, aku menebarkan pandangan pada rumah-rumah berderet
yang membisu di tepi jalan.
Ada yang aneh di
sini. Rumah-rumah itu sebagian besar telah memudar
kecantikannya. Itu tampak jelas dari kaca-kaca jendela yang pecah, atap keropos, dinding lusuh, dan tanaman liar yang menjalar meraja lela. Satu
hal yang paling terasa, bangunan-bangunan rumah itu tak berjiwa. Tak ada denyut
nadi kehidupan di sana.
Rumah-rumah yang terlantar Sumber foto dari internet |
Bukan hanya satu
atau dua rumah yang terlihat dalam kondisi menyedihkan seperti itu. Banyak! Tak
terasa hatiku larut dalam sedih. Rumah-rumah yang bentuknya cantik itu
ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Ditelantarkan dan merana. Keadaan
rumah-rumah itu serupa suramnya dengan
rumah-rumah dalam setting film horror. Aku teringat penduduk Indonesia masih
banyak yang belum memiliki rumah, sementara di sini begitu banyak rumah kosong.
Duh.. sayang sekali!
Tak seperti
jalan-jalan yang pernah kukunjungi di
berbagai negara, jalan disini lengang. Kendaraan yang lewat tak banyak. Tak
ada aktivitas pagi seperti layaknya di sebuah pemukiman. Tak ada orang
berjalan-jalan mendorong kereta bayi,
berlari-lari berolah raga, atau
jalan santai bersama anjing peliharaan. Tak ada orang berkerumun, duduk-duduk di teras caffe, atau berjalan
kaki di trotoar. Sunyi. Hampa.
Memasuki pusat
kota yang terletak di sisi Detroit River, tampak gedung-gedung megah berdiri
kokoh. Jalan lebar, tata kota yang apik,
jalur kereta listrik “people mover” yang berada di ketinggian menambah kesan
kota yang canggih dan modern, tapi tetap saja ada yang ganjil di sini.
Kemanakah manusia penghuni kota ini?
Suasana Kota Detroit Sumber Foto : koleksi Mbak Siti |
Umumnya di pusat
kota seperti ini banyak orang lalu lalang di trotoar. Mobil-mobil berbaris di
jalan. Gegap gempita aktivitas pekerja, pebisnis dan warga kota menjadi “nyawa”
yang menghidupkan suasana. Tapi pusat kota Detroit begitu senyap. Hanya ada
sedikit kendaraan, dan orang yang terlihat,
sungguh tak sebanding dengan luas dan megahnya kota ini . Detroit telah kehilangan nyawa.
Rupanya
berita-berita yang beredar tentang kebangkrutan Detroit bukan isapan jempol
semata. Inilah kenyataan yang kulihat sendiri.
Detroit, sebuah
kota di negara bagian Michigan, dulunya
adalah salah satu kota ke-empat terbesar
di Amerika Serikat. Henry Ford
mendirikan pabrik otomotif di sini. Kemudian kota ini tumbuh dan bergerak menjadi
pusat industri otomotif dunia. Detroit di tahun 1950-an adalah primadona yang
memancarkan pesona kemegahan bagaikan magnet menarik orang datang mencari penghidupan. Sejarah mencatat Detroit
sebagai kota dengan pendapatan per kapita terkaya di Amerika pada tahun 1960. Orang-orang
kaya dan sukses di bidang industri
menghuni kota ini. Insinyur-insinyur berotak cemerlang dan pengusaha paling
menjanjikan turut memberi warna kehidupan. Ratusan ribu pekerja pabrik otomotif juga turut menikmati
kejayaan Detroit.
Industri
otomotif adalah jantung dan jiwa Detroit.
Kemudian badai datang menghantam.
Setelah berhasil melakukan pemulihan
paska perang , Jepang tampil menjadi produsen otomotif dunia.
Sedikit-demi sedikit mobil-mobil Jepang mulai merajai pasar Amerika. Bagaimana
tidak, mobil-mobil produk Amerika boros
bahan bakar. Produsen otomotif di
Detroit kala itu” malas” berinovasi,
sementara mobil-mobil Jepang memiliki banyak hal yang didambakan konsumen; kualitas baik,
teknologi maju, nyaman dan hemat bahan bakar.
Puluhan industri
otomotif termasuk Ford Motor dan Chrysler, produsen utama otomotif AS pun
terpukul. Kehilangan pasar memaksa perusahaan-perusahaan melakukan PHK 250.000
pekerjanya. Produksi otomotif turun sebanyak 30 % selama tiga tahun dalam
dekade 1980-an. Keadaan ini makin parah
dari tahun ke tahun. Pesaing dunia
otomotif bukan hanya dari Jepang, tapi
industri mobil Korea dan China pun makin menggerus keberadaan produk mobil
Amerika. Gelombang pengangguran besar-besaran kemudian bergerak meninggalkan
Detroit. Mereka mencari penghidupan di tempat lain. Populasi penduduk menunjukkan
angka 1.850.000 jiwa pada 1950, turun hingga 688.701 pada 2013.
Masalah-masalah
lain pun timbul. Minimnya pembayar
pajak, tingginya biaya pensiunan dan jaminan kesehatan dibarengi defisit pada
anggaran memaksa layanan kota berkurang secara signifikan. Kota sebesar dan
semegah Detroit kini tertatih-tatih. Untuk penerangan jalan Detroit hanya mampu mengoperasikan sejumlah 60 % ,
sementara 40% penerangan jalan tak berfungsi. Angka kriminalitas melonjak
drastis. Tingkat pembunuhan mencapai
angka tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Kondisi Detroit diperparah dengan
pemerintahan kota yang dikelola secara buruk dan pejabat yang korup.Detroit
kemudian mengajukankebangkrutan pada pengadilan federal tanggal 18 Juli 2013
dengan kewajiban hutang mencapai US$ 18,5 Milyar.
Pantas saja aku
dan Indriya tak diizinkan berjalan-jalan santai menikmati suasana pagi di
Detroit. Mas Abdul, suami Mbak Siti adalah seorang anggota kepolisian Detroit.
Dia khawatir akan keselamatan kami mengingat angka kriminalitas tinggi kota ini.
Rasanya sulit
dipercaya, sungguh sayang, tapi inilah kenyataan
pahit yang terjadi. Aku memandangi suasana kota dengan perasaan pilu. Menurut
berita, ada 78.000 bangunan kosong yang terbengkalai di Detroit. Keadaan ini
menegaskan keruntuhan Detroit, sang
Primadona yang dulunya begitu hebat.
Pelajaran apa
yang bisa diambil dari keruntuhan Detroit? Pelaksanaan otonomi, bahkan di
negara maju seperti Amerika Serikat
ternyata tak mudah. Ekonomi yang bertumpu pada satu bidang usaha saja bukanlah
pilihan yang bijak. Semestinya dilakukan juga
pengembangan perekonomian di sektor-sektor lain yang bisa menopang
kehidupan masyarakat bila salah satu pilar ekonomi tumbang.
Gedung terlantar |
Jalan-jalan di
Detroit menambah wawasanku. Tak ada yang abadi. Kemasyhuran dan kekayaan
berlimpah ternyata bisa hilang dalam sekejap. Roda kehidupan berputar, ada masa jaya, ada masa terpuruk. Selama ini aku sering jalan-jalan
ke tempat wisata yang indah-indah. Kali aku aku menyaksikan sesuatu yang berbeda. Keindahan bersanding dengan keruntuhan. Aku melihat bagaimana bangunan megah
berdampingan dengan gedung kosong tak terawat. Seperti ada pertentangan, antara keinginan bangkit kembali
meraih kejayaan, atau menyerah kalah. Dalam hati aku masih berharap, Detroit
mampu bangkit dari keterpurukannya. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar