Laman

Minggu, 17 Mei 2015

Touring di Kawasan Wisata Bromo

View indah yang tertangkap camera saat perjalanan menuju Penanjakan Bromo

Simak kisah sebelumnya : Touring dari Bogor ke Jawa Timur

Aku dan suamiku, si Akang, telah  menempuh 938  kilometer jarak  dari Bogor ke kawasan kaki Gunung Bromo dengan motor. Bila malam sebelumnya kami menginap di Solo, maka setelah menginap satu malam lagi di Nongko Jajar kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan, kini tiba saatnya menikmati keindahan kawasan wisata Bromo.


Melintasi Desa Nongko Jajar

Pak Syaiful yang baik hati bersedia menemani kami sebagai guide untuk mencapai kawasan Wisata Taman Nasional  Bromo Tengger Semeru.

Kebun Apel di Nongko Jajar

Sabtu, 9 Mei 2015, pukul 5.30 Aku  duduk di jok belakang si Kuning memeluk erat pinggang Akang. Kami meluncur mengikuti Pak Syaiful menyusuri jalan berliku menuju Penanjakan Bromo. Kalau ingin menikmati matahari terbit seharusnya kami berangkat pukul 3.30 dini hari. Tapi Akang tak tahan ngantuk, jadi aku tak berharap bisa melihat sunrise di Bromo.

Melintasi kebun sayuran

Tak lama, di sisi kiri jalan aku melihat pohon-pohon yang dahannya sarat buah berwarna hijau dan hijau kemerahan. Itu pohon apel!

Pak Syaiful menghentikan motornya.

“Ayo turun. Katanya belum pernah melihat pohon apel secara langsung. Mumpung di sini ada, ayo kita lihat.”Kata Pak Syaiful.

Aku dan Akang antusias memasuki sebuah gerbang kayu. Pemandangan pohon-pohon apel terpampang di hadapan kami. Ini pengalaman pertama aku dan Akang berkunjung ke kebun apel.

“Yang ini jenis apel manalagi. Buahnya berbentuk jorong, pangkal dan pucuk berlekuk dalam. Jenis apel ini mempunyai pori kulit buah yang nyata, halus dan renggang. Rasanya segar, aromanya kuat. Daging buah berwarna putih, halus, berair. Kemarin sudah mencicipi kan? “ Kata Pak Syaiful.

Di kebun apel Nongko Jajar

“Kalau yang itu, apel Malang. Sebenarnya apel ini bukan asli dari Malang. Bibit apel ini dibawa orang Belanda zaman penjajahan dulu.”

Aku tak berhenti bergaya di dekat pohon apel, sementara Akang berkali-kali menjepretkan cameranya ke arahku.

“Apel gampang tumbuhnya ya, Pak?” Tanya Akang.

“Kalau tumbuhnya sih gampang. Perawatannya yang agak repot. Merawatnya harus telaten. Berbeda dengan apel di Eropa yang tak susah merawatnya. “

Pertama kali melihat pohon apel secara langsung 

“Lho kok bisa beda begitu, Pak. Bibit apel ini kan berasal dari Eropa juga.” Sahutku.

“Masalahnya bukan karena bibitnya, tapi karena beda iklim. Di Eropa kan ada  4 musim. Pada musim dingin, pohon apel berdaun lebat. Pada musim gugur daun-daun itu rontok. Di musim semi pohon apel berbunga, dan pada musim panas berbuah. “Pak Syaiful menerangkan sambil menjepretkan kamera ke arah aku dan Akang.

“Di sini hanya ada musim hujan dan musim kemarau. Jadi petani apel mengusahakan musim buatan. Pertama, ketika daun sudah lebat, maka daun-daun kemudian akan dirontokan oleh petani sebagai pengganti musim gugur. Supaya persemian lebih sempurna, dahan-dahan pohon Apel ditelentangkan dengan seutas tali yang ditarik ke pohon induk. Dengan demikian, bunga-bunga akan muncul lebih banyak. Setelah itu waktunya membuat musim panas dengan cara mengapuri pohon Apel dengan gamping atau kapur. Ternyata, musim buatan itu cukup efektif. Hanya memerlukan sekitar 6 bulan proses tersebut, pohon apel bisa dipanen buahnya.” Lanjut Pak Syaiful

Wah menarik! Tapi kami tak bisa berlama-lama di sini.  Kami takut kehilangan moment menatap kecantikan Bromo.

Keindahan Bromo

Belum sampai Bromo, aku sudah berseru-seru riang menyaksikan pemandangan kiri kanan jalan. Indah sekali lekukan bukit, gunung, lembah,tebing, hutan, yang menghiasi perjalanan ini.


Pemandangan cantik ini aku potret dari atas motor yang melaju
Tahukah kawan, bagaimana sensasi rasa naik motor di tengah udara dingin menampar-nampar wajah melewati jalan aspal kecil di mana sisi kiri dan kanannya terbentang  jurang menganga ? Sensasi itu berupa campuran rasa ngeri melihat dalamnya  jurang sekaligus kagum akan kecantikannya. Ngeri-ngeri sedap. Begitulah istilah tepatnya.

Makin tinggi makin indah pemandangan yang membuai mata. Ada sebuah tebing  ditumbuhi bunga-bunga liar. “Kembang Tahi Ayam” begitu menurut Akang nama tanaman itu. Tanaman tersebut menutup hampir semua bidang tebing di sisi kananku. Bunga  berwarna kuning terang tampak seperti noktah-noktah kuning  tersebar dengan pola acak di atas permadani hijau, tersampir menutup dinding tebing. Cantik sekali rancangan alam ini!

Di jalan aku melihat pria-pria dengan kain sarung diikat dileher atau menggantung di pundak.
“Itu laki-laki suku Tengger, Neng. Mereka penduduk asli daerah ini, keturunan dari masa kerajaan Majapahit. Mereka menganut agama Hindu. Dulu keberadaan mereka terdesak oleh pengaruh Islam, sehingga mereka pindah ke wilayah Bromo dan Bali.” Jelas Akang.

Lembah cantik

Sebuah perkampungan tampak di depanku. Di sini banyak penduduk menyewakan rumah sebagai home stay untuk wisatawan. Harga sewa Rp 200.00-Rp. 250.000,- dilengkapi fasilitas air panas untuk mandi.
Salah satu home stay di kaki Gunung Bromo
Mendekati penanjakan Bromo, berpuluh mobil hardtop datang dari arah berlawanan. Itu adalah mobil-mobil milik penduduk setempat yang disewa  wisatawan. Tampaknya mereka sudah selesai menikmati sunrise, dan kini menuju tempat wisata lainnya. Harga sewa mobil untuk menuju penanjakan Bromo dan beberapa tempat tujuan wisata Bromo lainnya berkisar Rp.500.000-600.000,-.

Tak heran mengapa mobil yang digunakan adalah mobil jeep hardtop. Mobil jenis ini memang dikenal kuat dan handal mendaki jalan curam. Sudah menjadi peraturan di sini, mobil pribadi milik wisatawan dilarang naik ke kawasan wisata. Jadi wisatawan harus menyewa mobil untuk menuju  kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Bisa dikatakan, kawasan wisata ini ikut menaikkan pendapatan penduduk setempat melalui usaha penyewaan home stay, mobil, warung makanan, dan toko sovenir.

Gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Di gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, kami membeli tiket masuk seharga Rp. 27.500,- per orang dan Rp. 10.000,- untuk motor.

Jalan  menuju penanjakan  Bromo curam dan berkelok-kelok. Tak jarang kami merasakan adrenalin terpacu di  tanjakan berliku dengan sudut tajam. Dibutuhkan konsentrasi tinggi dan kehati-hatian menyusuri jalan ini. Tak boleh lengah, kalau tak ingin celaka. Satu hal lagi. Banyak segmen jalan dengan tebing di satu sisi sementara sisi lainnya berbatasan dengan jurang yang dalam. Karena itu, sebuah peraturan tak tertulis berlaku di sini. Dilarang ngebut, dan dilarang mengambil jalur orang!

Kami tiba di penanjakan Bromo.Banyak motor dan mobil di parkir di sini. Untungnya sebagian kendaraan sudah beranjak ke tempat lain. Dapat dibayangkan betapa ramainya tempat ini saat menjelang matahari terbit.

Tempat parkir motor, warung dan toko souvenir di Penanjakan Bromo

Toko souvenir

Para penjaja makanan

Gerbang Penanjakan Bromo

Setelah parkir motor, aku melihat toko souvenir, warung-warung makan  dan penjaja makanan ramai dikunjungi wisatawan. Kami meniti anak-anak tangga menuju view point. Tempat itu dibatasi pagar. Ada bangku-bangku panjang seperti teather terbuka di mana wisatawan duduk menikmati keindahan matahari terbit. Panggungnya sangat mempesona, tak lain merupakan bentang alam hasil karyaNya. Masya Allah,  indah sekali!

Pemandangan Gunung Bromo, Gunung Batok, Gunung Widodaren dan pegunungan di sekitarnya

Aku pernah berada di Mount Titlis, gunung berlapis salju abadi  di Swiss. Dulu aku merasa itulah pemandangan gunung paling indah yang pernah kusaksikan. Tapi sekarang aku jadi ragu. Kecantikan alam yang sekarang kunikmati sungguh tak kalah indah! Betapa beruntungnya Indonesia dikaruniai kecantikan alam mengagumkan.

Berlatar Gunung Bromo

Berdiri menatap pemandangan di sini seperti dihujani ribuan unsur keindahan alam. Aku menajamkan seluruh indra. Visual, auditori, kinestetis. Sebuah tarikan nafas mengisi paru-paruku dengan udara dingin segar, beraroma bunga liar serta  rumput basah bermandi embun. Terdengar suara-suara alam. Desah angin. Teriakan jangkrik dan tonggeret. Kutatap lekat-lekat deretan Gunung Bromo, asap putih dari kawahnya, Gunung Batok, Gunung Semeru dan Gunung Widodaren. Lautan pasir berwarna abu-abu di kaldera antara gunung-gunung itu. Kabut putih bergulung-gulung nun jauh di sana laksana langit di bawah langit. Cahaya matahari keemasan. Angkasa biru bersih. Gumpalan awan putih. Hening. Tentram. Terasa  dekat pada Sang Pencipta. Allahu Akbar! Nikmatnya tak terkatakan. Kelelahanku menempuh ratusan kilo meter di atas motor  lunas terbayar.

Dekat pagar pembatas


View ini kami dapatkan di perjalanan menuju padang pasir


Di sebuah spot bagus  di perjalanan menuju padang pasir

“Ayo sekarang kita turun ke padang pasir.” Kata Pak Syaiful. “ Di situ juga bagus.”

Kemudian kami menyusuri jalan curam menurun berliku, dengan sudut-sudut tajam. Nafasku kerap tertahan oleh rasa ngeri sekaligus ungkapan kagum akan keindahan  alam. 

Jalan menurun curam penuh kelokan yang indah

Kami tiba di kaldera. Aku dan Akang langsung hiteris ingin cepat-cepat berfoto dengan latar pegunungan bersama si Kuning. Ini moment penting. Kami akan mengingat si Kuning pernah membawa kami ke tempat indah ini.

Di kaldera Bromo

Horeee..

Selanjutnya merupakan pengalaman tak terlupakan. Kami meluncur di atas pasir. Tahukah, Kawan? Ini tak mudah. Si Kuning tidak dirancang untuk meluncur mulus di atas pasir kering, apalagi ban yang dipakai bukan type cangkul dan kembangnya hanya tinggal 30 persen saja.  Pasir kering mudah bergeser saat dilalui roda motor. Traksi roda jauh menurun dibandingkan saat melalui jalan yang padat. Berjalan di atas pasir kering benar-benar membutuhkan tenaga motor yang kuat. Untungnya Si Kuning memiliki torsi besar, tapi tetap saja kami bergerak terpeleset ke kanan dan kiri seperti akan jatuh di atas pasir. Dalam kondisi jalan seperti ini, yang justru tak boleh dilakukan adalah mengerem. Kalau tidak kami bisa terlempar jatuh.

Akang menoleh heran melihat sebuah motor bebek melaju kencang di kejauhan.

“Lho, motor itu kok bisa lancar lewat pasir. Ngebut lagi!” Serunya heran.

Akang mengamati jalur  yang dilalui motor itu, lalu dia bergumam puas kala mengetahui rahasianya.
“O, begitu rupanya. Kita mestinya memilih jalur itu, Neng. Pasir di situ basah. Jadi lebih padat sehingga mudah dilalui. “Begitu kesimpulan Akang.

Suasana di kaki Bromo

Menikmati pagi di kaldera Bromo

Kami tiba di sebuah area padang pasir  luas yang ramai  wisatawan, mobil, motor, penjual makanan, sovenir dan kuda yang berkeliaran di tarik oleh pemiliknya. Nun jauh di sana terlihat undakan 250 anak  tangga  menuju kawah Bromo. Sementara di arah berlawanan terdapat Pura Luhur Poten yang tersusun dari batu berwarna hitam. Artistik. 

Yang membuat suasana terasa sangat keren adalah kehadiran gunung-gunung besar menjulang. Gunung Bromo, dan Gunung Batok adalah dua gunung yang terdekat dengan keberadaan kami. Sementara di lokasi yang agak jauh terdapat Gunung Semeru,  dan Gunung Widodaren, Gunung Watangan, dan Gunung Kursi.

“Mau naik ke kawah? Naik kuda dulu sampai pelataran itu, lalu meniti 250 anak tangga di atas sana.” Kata Pak Syaiful.

“Wah, tak akan cukup waktunya, Pak. Sebelum jam 10 kan kita harus pulang.” Sahutku.

Seoarang laki-laki menarik kudanya menghampiri aku.

“Ayo Mbak, naik kuda.” Ujarnya.

“Pak,  boleh saya  ajak kudanya berfoto nggak?”Tanyaku.

“Boleh Mbak. Silakan.” Ujarnya tersenyum.

Rasanya aku tak tega mengendarai kuda sampai pelataran tangga kawah Bromo. Kasihan sekali kuda ini bila harus berjalan mendaki sambil menanggung berat tubuhku. Lagi pula aku tak punya cukup waktu. Jadi aku hanya duduk sebentar di punggungnya, membelai surainya dan berfoto.

Kuda di kaldera Bromo

Kemudian kami menuju Pura Luhur Poten. Pura ini menjadi tempat penting bagi umat Hindu di Bromo, terutama untuk penyelenggaraan Upacara Kasodo. Upacara ini merupakan bagian dari tradisi suku Tengger.

Pura Luhur Poten

Upacara Kasodo biasanya dilaksanakan pada hari ke-14 di bulan kesepuluh penanggalan Jawa Hindu Tengger.Dari Pura Luhur Poten suku Tengger berjalan menuju kawah untuk melemparkan sesaji berupa hasil pertanian, perkebunan  dan ayam yang masih hidup ke dalam kawah Bromo. Sesaji ini merupakan persembahan mereka kepada para Dewa.

Padang pasir

Tak terasa waktu makin menyempit. Kami harus kembali ke Nongko Jajar untuk bersiap-siap melanjutkan perjalanan touring. Kami kembali melewati padang pasir. Kali ini kami memilih jalur dimana pasirnya basah.

Di depan sana, di jalur yang berbeda aku melihat Pak Syaiful berjuang mengendarai motornya.

“Padahal Akang tadi sudah memberi tahu Pak Syaiful untuk pilih jalan yang pasirnya basah. Kok dia masih pilih jalur  pasir kering.” Ujar Akang.

Tubuh kecil Pak Syaiful oleng ke kiri dan ke kanan, terpleset-peleset akibat pasir kering yang bergeser tergilas roda motornya.  Terlihat jelas dia kesulitan mengendalikan motor. Makin lama makin oleng. Lalu... Bruuuk! Motornya berikut pengendaranya rubuh ke pasir.

“Ya Allah!” Teriakku.

Akang mempercepat laju si Kuning, ketika sudah berada pada garis sejajar dengan motor Pak Syaiful, Akang berteriak.

“Luka nggak, Pak?”

“Nggak apa-apa! Terus saja.” Sahut Pak Syaiful. Dia bangkit dan mendirikan lagi motornya.

Beberapa saat kami menunggu Pak Syaiful di mulut jalan naik. Syukurlah, dia tak menderita luka berarti.

 Kami kembali menyusuri jalan ke arah Nongko Jajar. Di pasar Nongko Jajar, Pak Syaiful mengajak kami sarapan.  Menunya masakan rumahan.

Aku dan Akang memilih ayam panggang, sayur daun pepaya, tempe dan tahu. Masakannya enak. Paha ayam kampungnya besar, dagingnya lembut. Sedap.


Setelah sarapan kami kembali ke rumah Pak Syaiful lalu bersiap melanjutkan perjalanan. 

Ikuti kisahku selanjutnya, Menguak Misteri "Masjid Tiban"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar