View indah yang tertangkap camera saat perjalanan menuju Penanjakan Bromo |
Simak kisah sebelumnya : Touring dari Bogor ke Jawa Timur
Aku dan suamiku,
si Akang, telah menempuh 938 kilometer jarak dari Bogor ke kawasan kaki Gunung Bromo
dengan motor. Bila malam sebelumnya kami menginap di Solo, maka setelah
menginap satu malam lagi di Nongko Jajar kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan,
kini tiba saatnya menikmati keindahan kawasan wisata Bromo.
Melintasi Desa Nongko Jajar |
Pak Syaiful yang
baik hati bersedia menemani kami sebagai guide untuk mencapai kawasan Wisata
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Kebun Apel di Nongko Jajar
Sabtu, 9 Mei
2015, pukul 5.30 Aku duduk di jok
belakang si Kuning memeluk erat pinggang Akang. Kami meluncur mengikuti Pak
Syaiful menyusuri jalan berliku menuju Penanjakan Bromo. Kalau ingin menikmati
matahari terbit seharusnya kami berangkat pukul 3.30 dini hari. Tapi Akang tak
tahan ngantuk, jadi aku tak berharap bisa melihat sunrise di Bromo.
Melintasi kebun sayuran |
Tak lama, di
sisi kiri jalan aku melihat pohon-pohon yang dahannya sarat buah berwarna hijau
dan hijau kemerahan. Itu pohon apel!
Pak Syaiful
menghentikan motornya.
“Ayo turun.
Katanya belum pernah melihat pohon apel secara langsung. Mumpung di sini ada,
ayo kita lihat.”Kata Pak Syaiful.
Aku dan Akang
antusias memasuki sebuah gerbang kayu. Pemandangan pohon-pohon apel terpampang
di hadapan kami. Ini pengalaman pertama aku dan Akang berkunjung ke kebun apel.
“Yang ini jenis
apel manalagi. Buahnya berbentuk jorong, pangkal dan pucuk berlekuk dalam.
Jenis apel ini mempunyai pori kulit buah yang nyata, halus dan renggang.
Rasanya segar, aromanya kuat. Daging buah berwarna putih, halus, berair.
Kemarin sudah mencicipi kan? “ Kata Pak Syaiful.
Di kebun apel Nongko Jajar |
“Kalau yang itu,
apel Malang. Sebenarnya apel ini bukan asli dari Malang. Bibit apel ini dibawa
orang Belanda zaman penjajahan dulu.”
Aku tak berhenti
bergaya di dekat pohon apel, sementara Akang berkali-kali menjepretkan
cameranya ke arahku.
“Apel gampang
tumbuhnya ya, Pak?” Tanya Akang.
“Kalau tumbuhnya
sih gampang. Perawatannya yang agak repot. Merawatnya harus telaten. Berbeda
dengan apel di Eropa yang tak susah merawatnya. “
Pertama kali melihat pohon apel secara langsung |
“Lho kok bisa
beda begitu, Pak. Bibit apel ini kan berasal dari Eropa juga.” Sahutku.
“Masalahnya
bukan karena bibitnya, tapi karena beda iklim. Di Eropa kan ada 4 musim. Pada musim dingin, pohon apel
berdaun lebat. Pada musim gugur daun-daun itu rontok. Di musim semi pohon apel
berbunga, dan pada musim panas berbuah. “Pak Syaiful menerangkan sambil
menjepretkan kamera ke arah aku dan Akang.
“Di sini hanya
ada musim hujan dan musim kemarau. Jadi petani apel mengusahakan musim buatan. Pertama,
ketika daun sudah lebat, maka daun-daun kemudian akan dirontokan oleh petani
sebagai pengganti musim gugur. Supaya persemian lebih sempurna, dahan-dahan
pohon Apel ditelentangkan dengan seutas tali yang ditarik ke pohon induk.
Dengan demikian, bunga-bunga akan muncul lebih banyak. Setelah itu waktunya
membuat musim panas dengan cara mengapuri pohon Apel dengan gamping atau kapur.
Ternyata, musim buatan itu cukup efektif. Hanya memerlukan sekitar 6 bulan
proses tersebut, pohon apel bisa dipanen buahnya.” Lanjut Pak Syaiful
Wah menarik!
Tapi kami tak bisa berlama-lama di sini.
Kami takut kehilangan moment menatap kecantikan Bromo.
Keindahan Bromo
Belum sampai
Bromo, aku sudah berseru-seru riang menyaksikan pemandangan kiri kanan jalan.
Indah sekali lekukan bukit, gunung, lembah,tebing, hutan, yang menghiasi
perjalanan ini.
Pemandangan cantik ini aku potret dari atas motor yang melaju |
Tahukah kawan,
bagaimana sensasi rasa naik motor di tengah udara dingin menampar-nampar wajah
melewati jalan aspal kecil di mana sisi kiri dan kanannya terbentang jurang menganga ? Sensasi itu berupa campuran
rasa ngeri melihat dalamnya jurang
sekaligus kagum akan kecantikannya. Ngeri-ngeri sedap. Begitulah istilah
tepatnya.
Makin tinggi
makin indah pemandangan yang membuai mata. Ada sebuah tebing ditumbuhi bunga-bunga liar. “Kembang Tahi
Ayam” begitu menurut Akang nama tanaman itu. Tanaman tersebut menutup hampir
semua bidang tebing di sisi kananku. Bunga berwarna kuning terang tampak seperti
noktah-noktah kuning tersebar dengan
pola acak di atas permadani hijau, tersampir menutup dinding tebing. Cantik
sekali rancangan alam ini!
Di jalan aku
melihat pria-pria dengan kain sarung diikat dileher atau menggantung di pundak.
“Itu laki-laki
suku Tengger, Neng. Mereka penduduk asli daerah ini, keturunan dari masa
kerajaan Majapahit. Mereka menganut agama Hindu. Dulu keberadaan mereka
terdesak oleh pengaruh Islam, sehingga mereka pindah ke wilayah Bromo dan
Bali.” Jelas Akang.
Lembah cantik |
Sebuah
perkampungan tampak di depanku. Di sini banyak penduduk menyewakan rumah
sebagai home stay untuk wisatawan. Harga sewa Rp 200.00-Rp. 250.000,-
dilengkapi fasilitas air panas untuk mandi.
Salah satu home stay di kaki Gunung Bromo |
Mendekati
penanjakan Bromo, berpuluh mobil hardtop datang dari arah berlawanan. Itu
adalah mobil-mobil milik penduduk setempat yang disewa wisatawan. Tampaknya mereka sudah selesai
menikmati sunrise, dan kini menuju tempat wisata lainnya. Harga sewa mobil
untuk menuju penanjakan Bromo dan beberapa tempat tujuan wisata Bromo lainnya
berkisar Rp.500.000-600.000,-.
Tak heran
mengapa mobil yang digunakan adalah mobil jeep hardtop. Mobil jenis ini memang
dikenal kuat dan handal mendaki jalan curam. Sudah menjadi peraturan di sini,
mobil pribadi milik wisatawan dilarang naik ke kawasan wisata. Jadi wisatawan
harus menyewa mobil untuk menuju kawasan
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Bisa dikatakan, kawasan wisata ini ikut
menaikkan pendapatan penduduk setempat melalui usaha penyewaan home stay,
mobil, warung makanan, dan toko sovenir.
Gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru |
Di gerbang Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru, kami membeli tiket masuk seharga Rp. 27.500,-
per orang dan Rp. 10.000,- untuk motor.
Jalan menuju penanjakan Bromo curam dan berkelok-kelok. Tak jarang
kami merasakan adrenalin terpacu di tanjakan berliku dengan sudut tajam.
Dibutuhkan konsentrasi tinggi dan kehati-hatian menyusuri jalan ini. Tak boleh
lengah, kalau tak ingin celaka. Satu hal lagi. Banyak segmen jalan dengan
tebing di satu sisi sementara sisi lainnya berbatasan dengan jurang yang dalam.
Karena itu, sebuah peraturan tak tertulis berlaku di sini. Dilarang ngebut, dan
dilarang mengambil jalur orang!
Kami tiba di
penanjakan Bromo.Banyak motor dan mobil di parkir di sini. Untungnya sebagian
kendaraan sudah beranjak ke tempat lain. Dapat dibayangkan betapa ramainya
tempat ini saat menjelang matahari terbit.
Tempat parkir motor, warung dan toko souvenir di Penanjakan Bromo |
Toko souvenir |
Para penjaja makanan |
Gerbang Penanjakan Bromo |
Setelah parkir
motor, aku melihat toko souvenir, warung-warung makan dan penjaja makanan ramai dikunjungi wisatawan.
Kami meniti anak-anak tangga menuju view point. Tempat itu dibatasi pagar. Ada
bangku-bangku panjang seperti teather terbuka di mana wisatawan duduk menikmati
keindahan matahari terbit. Panggungnya sangat mempesona, tak lain merupakan
bentang alam hasil karyaNya. Masya Allah,
indah sekali!
Pemandangan Gunung Bromo, Gunung Batok, Gunung Widodaren dan pegunungan di sekitarnya |
Aku pernah
berada di Mount Titlis, gunung berlapis salju abadi di Swiss. Dulu aku merasa itulah pemandangan
gunung paling indah yang pernah kusaksikan. Tapi sekarang aku jadi ragu.
Kecantikan alam yang sekarang kunikmati sungguh tak kalah indah! Betapa
beruntungnya Indonesia dikaruniai kecantikan alam mengagumkan.
Berlatar Gunung Bromo |
Berdiri menatap
pemandangan di sini seperti dihujani ribuan unsur keindahan alam. Aku
menajamkan seluruh indra. Visual, auditori, kinestetis. Sebuah tarikan nafas mengisi
paru-paruku dengan udara dingin segar, beraroma bunga liar serta rumput basah bermandi embun. Terdengar
suara-suara alam. Desah angin. Teriakan jangkrik dan tonggeret. Kutatap lekat-lekat
deretan Gunung Bromo, asap putih dari kawahnya, Gunung Batok, Gunung Semeru dan
Gunung Widodaren. Lautan pasir berwarna abu-abu di kaldera antara gunung-gunung
itu. Kabut putih bergulung-gulung nun jauh di sana laksana langit di bawah
langit. Cahaya matahari keemasan. Angkasa biru bersih. Gumpalan awan putih. Hening.
Tentram. Terasa dekat pada Sang
Pencipta. Allahu Akbar! Nikmatnya tak terkatakan. Kelelahanku menempuh ratusan
kilo meter di atas motor lunas terbayar.
Dekat pagar pembatas |
View ini kami dapatkan di perjalanan menuju padang pasir |
Di sebuah spot bagus di perjalanan menuju padang pasir |
“Ayo sekarang
kita turun ke padang pasir.” Kata Pak Syaiful. “ Di situ juga bagus.”
Kemudian kami
menyusuri jalan curam menurun berliku, dengan sudut-sudut tajam. Nafasku kerap
tertahan oleh rasa ngeri sekaligus ungkapan kagum akan keindahan alam.
Jalan menurun curam penuh kelokan yang indah |
Kami tiba di
kaldera. Aku dan Akang langsung hiteris ingin cepat-cepat berfoto dengan latar
pegunungan bersama si Kuning. Ini moment penting. Kami akan mengingat si Kuning
pernah membawa kami ke tempat indah ini.
Di kaldera Bromo |
Horeee.. |
Selanjutnya
merupakan pengalaman tak terlupakan. Kami meluncur di atas pasir. Tahukah,
Kawan? Ini tak mudah. Si Kuning tidak dirancang untuk meluncur mulus di atas
pasir kering, apalagi ban yang dipakai bukan type cangkul dan kembangnya hanya tinggal 30 persen saja. Pasir kering mudah
bergeser saat dilalui roda motor. Traksi roda jauh menurun dibandingkan saat
melalui jalan yang padat. Berjalan di atas pasir kering benar-benar membutuhkan
tenaga motor yang kuat. Untungnya Si Kuning memiliki torsi besar, tapi tetap
saja kami bergerak terpeleset ke kanan dan kiri seperti akan jatuh di atas pasir. Dalam kondisi jalan seperti ini, yang
justru tak boleh dilakukan adalah mengerem. Kalau tidak kami bisa terlempar
jatuh.
Akang menoleh
heran melihat sebuah motor bebek melaju kencang di kejauhan.
“Lho, motor itu
kok bisa lancar lewat pasir. Ngebut lagi!” Serunya heran.
Akang mengamati
jalur yang dilalui motor itu, lalu dia
bergumam puas kala mengetahui rahasianya.
“O, begitu
rupanya. Kita mestinya memilih jalur itu, Neng. Pasir di situ basah. Jadi lebih
padat sehingga mudah dilalui. “Begitu kesimpulan Akang.
Suasana di kaki Bromo |
Menikmati pagi di kaldera Bromo |
Kami tiba di
sebuah area padang pasir luas yang
ramai wisatawan, mobil, motor, penjual
makanan, sovenir dan kuda yang berkeliaran di tarik oleh pemiliknya. Nun jauh
di sana terlihat undakan 250 anak tangga menuju kawah Bromo. Sementara di arah
berlawanan terdapat Pura Luhur Poten yang tersusun dari batu berwarna hitam.
Artistik.
Yang membuat
suasana terasa sangat keren adalah kehadiran gunung-gunung besar menjulang. Gunung
Bromo, dan Gunung Batok adalah dua gunung yang terdekat dengan keberadaan kami.
Sementara di lokasi yang agak jauh terdapat Gunung Semeru, dan Gunung Widodaren, Gunung Watangan, dan
Gunung Kursi.
“Mau naik ke
kawah? Naik kuda dulu sampai pelataran itu, lalu meniti 250 anak tangga di atas
sana.” Kata Pak Syaiful.
“Wah, tak akan
cukup waktunya, Pak. Sebelum jam 10 kan kita harus pulang.” Sahutku.
Seoarang
laki-laki menarik kudanya menghampiri aku.
“Ayo Mbak, naik
kuda.” Ujarnya.
“Pak, boleh saya
ajak kudanya berfoto nggak?”Tanyaku.
“Boleh Mbak.
Silakan.” Ujarnya tersenyum.
Rasanya aku tak
tega mengendarai kuda sampai pelataran tangga kawah Bromo. Kasihan sekali kuda
ini bila harus berjalan mendaki sambil menanggung berat tubuhku. Lagi pula aku
tak punya cukup waktu. Jadi aku hanya duduk sebentar di punggungnya, membelai
surainya dan berfoto.
Kuda di kaldera Bromo |
Kemudian kami
menuju Pura Luhur Poten. Pura ini menjadi tempat penting bagi umat Hindu di
Bromo, terutama untuk penyelenggaraan Upacara Kasodo. Upacara ini merupakan
bagian dari tradisi suku Tengger.
Pura Luhur Poten |
Upacara Kasodo
biasanya dilaksanakan pada hari ke-14 di bulan kesepuluh penanggalan Jawa Hindu
Tengger.Dari Pura Luhur Poten suku Tengger berjalan menuju kawah untuk
melemparkan sesaji berupa hasil pertanian, perkebunan dan ayam yang masih hidup ke dalam kawah
Bromo. Sesaji ini merupakan persembahan mereka kepada para Dewa.
Padang pasir |
Tak terasa waktu
makin menyempit. Kami harus kembali ke Nongko Jajar untuk bersiap-siap
melanjutkan perjalanan touring. Kami kembali melewati padang pasir. Kali ini
kami memilih jalur dimana pasirnya basah.
Di depan sana,
di jalur yang berbeda aku melihat Pak Syaiful berjuang mengendarai motornya.
“Padahal Akang
tadi sudah memberi tahu Pak Syaiful untuk pilih jalan yang pasirnya basah. Kok
dia masih pilih jalur pasir kering.”
Ujar Akang.
Tubuh kecil Pak
Syaiful oleng ke kiri dan ke kanan, terpleset-peleset akibat pasir kering yang
bergeser tergilas roda motornya. Terlihat
jelas dia kesulitan mengendalikan motor. Makin lama makin oleng. Lalu...
Bruuuk! Motornya berikut pengendaranya rubuh ke pasir.
“Ya Allah!”
Teriakku.
Akang
mempercepat laju si Kuning, ketika sudah berada pada garis sejajar dengan motor
Pak Syaiful, Akang berteriak.
“Luka nggak,
Pak?”
“Nggak apa-apa!
Terus saja.” Sahut Pak Syaiful. Dia bangkit dan mendirikan lagi motornya.
Beberapa saat
kami menunggu Pak Syaiful di mulut jalan naik. Syukurlah, dia tak menderita
luka berarti.
Kami kembali menyusuri jalan ke arah Nongko
Jajar. Di pasar Nongko Jajar, Pak Syaiful mengajak kami sarapan. Menunya masakan rumahan.
Aku dan Akang
memilih ayam panggang, sayur daun pepaya, tempe dan tahu. Masakannya enak. Paha ayam
kampungnya besar, dagingnya lembut. Sedap.
Setelah sarapan
kami kembali ke rumah Pak Syaiful lalu bersiap melanjutkan perjalanan.
Ikuti kisahku selanjutnya, Menguak Misteri "Masjid Tiban"
Ikuti kisahku selanjutnya, Menguak Misteri "Masjid Tiban"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar