Pemandangan di Penanjakan Bromo |
Bromo. Nama
gunung itu demikian akrab di telingaku. Meski sering membaca berita di berbagai
media tentang kecantikan gunung ini, tapi kakiku belum pernah menjejak Jawa
Timur, propinsi di mana gunung tersebut berada. Selain Bromo, pesona alam Jawa
Timur lainnya membuat aku dan Akang
menjadikan propinsi itu sebagai tujuan touring tanggal 7-12 Mei 2015 lalu.
Jarak yang jauh
antara Bogor dan Jawa Timur membuat touring memakan waktu lebih lama. Kami memperkirakan perjalanan
akan memakan waktu 5 hari, sehingga kami membawa pakaian cukup banyak. Bagasi
motor yang terbatas memaksa kami harus memilih barang bawaan lebih cermat.
Berhubung
kondisi jalan di Indonesia banyak yang rusak, kami memilih menggunakan motor berjenis
enduro adventure berkapasitas mesin 650 cc. Sementara ini si Kuning, begitulah
aku menyebutnya, adalah motor andalan kami, primadona di antara dua motor lainnya yang
berkapasitas 250 cc dan 1800 cc. Si Kuning
mampu melaju dalam berbagai kondisi jalan, baik jalan mulus maupun jalan
buruk. Berbeda dengan si 1800 cc yang
lebih “manja”, tak mampu dengan mudah melewati jalanan rusak.
Sementara si 250 cc lebih nyaman dipakai di dalam kota.
Touring kali ini
kami lakukan bersama Pak Yugen dan istrinya. Pasangan senior ini rencananya akan
bertemu kami di Karawang.
Aku senang bisa kembali touring bersama Pak Yugen dan istrinya. Pasangan ini bukan saja senoir di bidang touring dan motor besar. Tapi dalam membina rumah tangga pun mereka patut dijadikan teladan. Kisah cinta rumah tangga mereka aku tulis dalam postingan khusus "Ajari Kami Cinta."
Aku senang bisa kembali touring bersama Pak Yugen dan istrinya. Pasangan ini bukan saja senoir di bidang touring dan motor besar. Tapi dalam membina rumah tangga pun mereka patut dijadikan teladan. Kisah cinta rumah tangga mereka aku tulis dalam postingan khusus "Ajari Kami Cinta."
Bogor-Solo
Tanggal 7 Mei
2015, pukul 5.00 WIB, aku dan Akang memulai perjalanan menuju Jawa Timur. Kami
melintas jalanan Bogor, kemudian melewati Jl. Babakan Sentul Cikeas, masuk ke
jalan kecil Kampung Gudang, Jl. Mayor Oking Citeureup lalu masuk ke jalan
pintas melewati sebuah kompleks pabrik
semen Jl. As Salam Muhara. Jalan itu mula-mula berbeton mulus tapi kemudian
berubah menjadi jalan tanah yang sepi, berdebu.
Salah satu segmen jalan rusak di Lebak Pasar |
Kemudian kami
masuk perkampungan. Di desa Lebak Pasar, jalan
rusak parah dengan batu-batu besar menyembul di bagian tengah dan
pinggir. Si Kuning berayun-ayun meliuk
memilih jalan yang lebih baik. Letak
knalpot yang rendah dan shock breaker si Kuning yang sangat lembut menimbulkan masalah. Knalpot terantuk batu
besar. Suara si Kuning yang tadinya
halus berubah meraung-raung.
“Aduh, baru saja
berangkat sudah ada hambatan. “ Keluhku.
“Tidak apa-apa.
Nanti kalau ada bengkel kita berhenti. “ Sahut Akang menenangkan.
Di bengkel motor Desa Kelapa Nunggal |
Si Kuning terus
melaju membelah perkampungan. Di desa Kelapa Nunggal kami menemukan bengkel motor yang sudah buka.
Akang dan montir bengkel bekerja sama memperbaiki knalpot si Kuning sementara
aku duduk mengawasi mereka. Tak lama kemudian, perbaikan selesai. Suara si
Kuning kembali halus. Perjalanan pun berlanjut.
“Alhamdulillah
perbaikannya cepat ya, Kang.Tidak seperti waktu kita touring ke Palembang.
Butuh dua jam memperbaiki knalpot si
Kuning. “
“Itu karena
kasusnya beda. Waktu touring ke Palembang itu rusaknya lumayan parah,
knalpotnya penyok. Sekarang tidak seperti itu. “ Sahut Akang.
Rupanya kami
terlalu cepat merasa gembira. Masih ada
jebakan batman, jalan rusak parah
kembali menghadang. Sekali lagi knalpot si Kuning menghantam batu besar! Kumat
deh.
Tak ada bengkel motor
lagi sepanjang perkampungan itu. Kami pun terus melaju meski si Kuning berteriak-teriak berisik.
Keluar dari
jalan kampung, kami melewati bendungan Cibeet yang terletak di Pasarranji
Cikarang Bekasi, lalu menyusuri jalan di sisi kanalnya. Sampai Karawang, Akang
menghentikan motornya lalu menghubungi Pak Yugen.
Kami tak
berhasil menemukan lokasi di mana Pak Yugen berada. Lalu kami berhenti di sebuah
kios yang bersebelahan dengan bengkel motor. Akang kembali menghubungi Pak
Yugen sambil menunggu perbaikan si Kuning.
Untuk bertemu
teman touring kali ini ternyata cukup
rumit. Pak Yugen mengatakan dia menunggu di sebuah rumah makan dekat penjual
oleh-oleh. Masalahnya kami tak menemukan rumah makan itu, dan Pak Yugen sendiri
bingung ketika ditanya di mana tepatnya lokasi rumah makan itu.
“Bisa kirim
koordinat rumah makan itu lewat google maps, Pak? “ Tanya Akang.
Pak Yugen
bingung. Tak seperti kami yang mengandalkan GPS, google maps dan internet, Pak
Yugen yang berbeda generasi lebih percaya cara konvensional. Akhirnya
disepakati kami bertemu di rumah makan Pesona Laut di Indramayu.
Ketika bertemu Pak Yugen dan istrinya, tanpa menunggu
lama, kami langsung melanjutkan perjalanan.
Sudah cukup banyak waktu terbuang karena urusan ke bengkel dan saling
menunggu.
Pak Yugen dengan
motor berjenis enduro adventure berkapasitas 1200 cc memimpin sebagai Road
Captain. Pengalaman sebagai biker senior dengan jam terbang tinggi dibuktikan Pak Yugen dengan kepiawaiannya
mengendarai motor. Satu hal yang tetap
kami pegang teguh dalam perjalanan ini adalah patuh pada semua peraturan lalu
lintas yang berlaku. Bagaimana pun keselamatan tetap nomor satu.
Cuaca cerah.
Jalur Pantura pun lancar tanpa macet. Kami melewati Plumbon, Plered, Cirebon
lalu masuk ke gerbang Jawa Tengah pukul 12.15 WIB.
Tak mudah
mencari rumah makan yang bagus di wilayah ini. Sedih juga melihat beberapa
bangunan rumah makan besar dan megah, tapi tutup. Kawasan pantura tak seramai dulu lagi. Imbasnya terkena pada
rumah-rumah makan yang gulung tikar kekurangan pembeli. Sampai di Brebes kami belum berhasil menemukan tempat makan yang layak. Akhirnya
kami berhenti di masjid Jami Al Munawaroh di wilayah Kluwut Bulakamba Brebes.
Air wudhu terasa
menyejukkan kulit, efeknya bahkan terasa di tubuh dan jiwa. Hati rasanya
tentram setelah melaksanakan shalat Dzhuhur dan Ashar dijamak.
“Kita nanti
menginap di mana, Pak? “Tanyaku pada sang Road Captain.
“Kita menginap
di Solo. Hotelnya bagus. Teman saya, anak motor juga yang merekomendasikan. “
Sahut Pak Yugen sambil tersenyum.
“Lokasinya di
mana, Pak?” Tanyaku lagi.
Pak Yugen meraih
ponselnya. Dia membaca kembali sms dari temannya.
“Di sebelah
hotel Lor In. “ Jawabnya.
Aku dan Akang berpandangan sambil tersenyum. Pak Yugen
seperti biasanya, kurang detail menjelaskan lokasi. Akang kemudian browsing,
dan mendapatkan alamat hotel itu.
Kami makan siang
dengan menu sop iga disebuah kedai yang bersebelahan dengan masjid. Setelah
makan dan istirahat sebentar, roda motor kami kembali menggilas jalan.
Setelah melintasi
Tegal, Pemalang dan Pekalongan, di Jalan Raya Plelen Gringsing, kami berhenti. Di sana terdapat kedai
berderet-deret menjual kelapa muda. Udara yang panas menyengat sepanjang siang membuat kami kehausan. Minum kepala muda
terasa membantu kondisi tubuh kembali
segar. Haus hilang, ion tubuh pun tergantikan.
Jam menunjukkan
pukul 17.00. Motor melaju melewati
Batang, Kendal dan dan pinggiran
Semarang. Di sisi Rumah Sakit Columbia Asia, kami dihadang kemacetan. Truk-truk
besar, trailer, mobil dan motor bercampur baur tak karuan. Pak Yugen menyelinap
di antara truk dan bus besar, kemudian motornya hilang dari pandangan. Sedikit
demi sedikit kami maju melalui celah di antara
kendaraan, lalu
bingung menentukan arah. Di sana ada 6
simpang jalan! Sejak tadi kami mengandalkan sang Road Captain sebagai penunjuk
arah. Kami tak menggunakan GPS. Sekarang
Pak Yugen tak tampak lagi.
Akang
bingung, dia membawa si Kuning melaju
lurus. Kemacetan terurai. Tapi selama beberapa saat melaju, kami tak melihat
Pak Yugen.
Akang
menghentikan motor lalu menyalakan GPS. Ternyata kami salah jalan! Kemudian kami
mengambil jalan berputar arah lalu naik ke fly over.
“Ya Allah, Neng.
Salah jalan lagi. Mestinya kita tidak usah naik fly over, langsung ke kiri
saja. Coba lihat itu petunjuk jalan
menuju Solo. Kita harus putar arah lagi.” Seru Akang.
“Kenapa kita
tadi tidak melihat petunjuk jalan yang terpampang sebesar itu ya? “Tanyaku
heran.
“Tadi tertutup
badan truk besar. “ Sahut Akang.
Setelah
berputar, kami memilih arah ke Solo. Akang melaju terus mengikuti petunjuk
jalan, tapi Pak Yugen tak juga tampak.
Sejak berangkat
setelah minum kelapa muda di Grinsing tadi, aku merasa tak enak. Helmku terasa
sangat kencang mencengkram kepala. Efeknya makin lama terasa di gigi, syaraf gigi
terasa nyeri berdenyut-denyut. Aku
berusaha membetulkan letak helm, terasa
ada rambut yang tertarik-tarik oleh dalaman hijab yang terjepit di helm. Rasa
sakit itu makin menyiksa, apalagi bila tubuh terayun-ayun oleh kondisi jalan
yang tidak rata, nyerinya makin kuat.
“Akang, bisa
berhenti sebentar nggak? Kepala Neng sakit, sepertinya ada rambut yang tertarik
mempengaruhi syaraf, jadi nyeri."
“Ya kita
berhenti di depan sekalian Akang mau menelepon Pak Yugen. “ Sahut Akang.
Di depan sebuah rumah makan kami berhenti. Aku melepas
helm dan kemudian melepas dalaman hijab yang menyiksaku sedari tadi. Untung
saja melepas dalaman hijab bisa kulakukan tanpa melepas hijab.
Ingatlah kawan,
untuk perjalanan yang jauh dengan motor, sebaiknya yakinkan kita mengenakan
helm dengan nyaman tanpa ada bagian rambut yang tertarik. Perlu diperhatikan
juga ukuran helm yang dikenakan, jangan terlalu sempit. Saat ini memang aku
menggunakan helm yang satu ukuran lebih kecil dari helm yang biasa kukenakan.
Akibatnya sungguh tak nyaman.
Akang kembali
menghubungi Pak Yugen. Menurut Pak Yugen dia ada di sebuah SPBU. Tapi dia tak
bisa menyebutkan dengan jelas lokasi SPBU itu. Aku dan Akang akhirnya
menyambangi setiap SPBU yang kami temui. Hingga 3 SPBU kami datangi, tetap saja
kami tak menemukan Pak Yugen.
Kami tiba di
gerbang Ungaran. Akang menghentikan si Kuning di pinggir jalan di depan sebuah
kedai soto. Dia kembali menghubungi Pak Yugen.
“Sementara
menunggu Pak Yugen, kita makan soto yuk, Kang.”
“Ya. Pesankan
satu untuk Akang juga ya, Neng.” Teriak Akang. Dia berdiri di pinggir jalan
mengawasi kendaraan yang lewat, menanti Pak Yugen.
Soto ayam
kampung panas mengepul, ditambah sate ayam dan sate kerang. Hmm, nikmat.
Selesai
menyantap soto, Akang ke toilet. Aku duduk menunggu sambil menghirup teh panas.
Tiba-tiba terdengar keributan dari arah jalan.
“Motornya!
Tolong motornya!” Teriak seseorang.
Aku menoleh,
kulihat sebuah trailer berukuran panjang dan tinggi penuh bermuatan motor bebek
hendak menikung hampir saja menyerempet si Kuning yang terparkir di pinggir
jalan.
Yang berteriak
adalah sopir trailer. Pelayan warung
soto berlari-lari ke arah si Kuning. Di berusaha memindahkan motor itu. Detik
berikutnya aku tahu bahwa sang pelayan warung tak akan mampu menahan berat si Kuning . Benar
saja, kuda besi berbobot 206 kg itu hampir roboh dan sang pelayan berteriak panik.
“Akang! Cepat!
Itu Si Kuning hampir jatuh!” Teriakku panik.
Seorang
laki-laki dari warung sebelah melesat berlari membantu pelayan, lalu Akang yang
baru keluar dari toilet bergegas menghampir dua pria yang kerepotan menahan
berat si Kuning. Ah, untung saja tak
jadi jatuh. Setelah Akang memindahkan motornya, trailer besar itu bergerak
pergi.
Pak Yugen
akhirnya tiba. Setelah istirahat sebentar kami melanjutkan perjalanan melewati
Ungaran, Salatiga, Boyolali dan Solo.
Akang kini
memimpin di depan. Setelah menyusuri jalanan kota Solo mengikuti petunjuk GPS
kami menemukan Jl. Adi Sucipto. Sebuah perempatan yang membelah dua jalan itu membuat kami bingung memilih,
apakah akan ke Jl. Adi Sucipto yang
diselah kiri atau di sebelah kanan. Untuk keadaan ini, paling tepat
menggunakan cara konvensional ala Pak Yugen, yaitu bertanya. Seorang pengendara
motor menunjuk arah kiri ketika kami
menanyakan nama hotel tempat kami akan menginap.
Akhirnya kami
tiba di depan hotel yang dimaksud. Hotel Syariah, sebuah hotel baru yang
berlokasi di Jalan Adisucipto no 47 bersebelahan dengan hotel Lor In. Hotel
berbintang 4 ini kabarnya adalah hotel syariah terbesar di Indonesia. Tentang hotel
ini aku tulis dalam review tersendiri di "Bermalam di Syariah Hotel Solo"
Yang kami
lakukan selanjutnya adalah menikmati istirahat yang nyaman, melepaskan segala
kepenatan setelah menempuh 637 km jarak Bogor- Solo. Tidur kami demikian
nyenyak. Kami terbangun saat adzan subuh berkumandang.
Solo- Jombang-Nongko Jajar-Bromo
Tanggal 8 Mei
2015, pukul 5.30 WIB kami bergerak meninggalkan hotel, kembali menyusuri jalan
melewati Sragen. Pukul 06.18 hatiku bersorak senang kala memasuki gerbang
wilayah Jawa Timur. Speedometer menunjukkan jarak 665 km.
Di sisi kanan
aku melihat bangunan megah Pesantren Putri Gontor. Kemudian ladang-ladang tebu di
sisi kiri kanan jalan dengan pohon
tinggi kurus, tak bercabang, tumbuh tegak dan rapat. Daun hijaunya terdiri dari
pelepah dan helai daun tak bertangkai. Bunga majemuk warna abu-abu tersusun
atas malai dengan panjang bunga sekitar70-90 cm melambai-lambai diterpa
angin. Aku menyaksikan kecantikan
tersendiri kendati bentuk dan warna bunga tebu sangat sederhana. Cahaya
keemasan matahari pagi seolah menegaskan keindahan yang tercipta dari kerumunan
bunga tebu. Kecantikan dalam kesederhanaan, itulah kesan yang tertangkap indra
visualku.
Di wilayah
Ngawi, kami melewati Wana Wisata Monumen Soerjo, sebuah monumen yang dibangun
untuk mengenang Gubernur pertama Jawa Timur, Mr. Soerjo. Gubernur Soerjo
meninggal dalam sebuah insiden kerusuhan yang dilakukan komunis tahun 1948.
Kemudian aku
melihat kios kerajinan kayu jati berderet-deret di sisi jalan. Rupanya di
sinilah sentra industri Desa Banjarejo. Dahulu penduduk Ngawi hidup dalam
kemiskinan. Mereka hidup hanya mengandalakan sawah tadah hujan, mencari ranting
kayu jati dan menjual daun jati. Tapi sejak mereka mengolah limbah jati dari
Perum Perhutani menjadi barang-barang kerajinan seperti furniture, souvenir dan
produk seni berkualitas lainnya, jalan sejahtera bagi masyarakat Ngawi terbentang. Hasil kerajinan mereka bukan hanya
beredar di tanah air seperti Jogja, Solo, Jakarta dan Kalimantan tapi juga
sudah dikirim ke Turki, Malaysia dan Belanda.
Kami berhenti di
depan RSUD Caruban, di sebuah warung. Lesehan pecel pincuk Mbak Mari, begitulah
yang tertulis di spanduknya. Mataku menangkap sebuah tulisan yang tertera di
etalase. “Nasi Bungkus Biasa Rp. 4000,- “. Wah, murah sekali! Di Bogor mana ada
yang seharga ini.
Aku bertanya
pada si Mbak penjual makanan, nasi bungkus biasa itu menunya apa saja.
“Nasi bungkus
biasa itu nasi, pecel dan rempeyek, Mbak. “ Jelasnya.
Aku memesan nasi
rawon dan pecel pincuk. Akang memesan nasi bebek.
“Bebeknya enak,
Neng. Kulitnya keras tapi dagingnya lembut dan bumbu meresap. “ Komentar Akang.
Perjalanan
berlanjut. Setelah melewati Nganjuk kami tiba di Jombang. Di kota ini Pak Yugen
mengajak kami mampir ke sebuah rumah tua. Adiknya telah menunggu di sana.
Pak Yugen dan istri, di depan rumah tua masa kecilnya |
Rumah tua ini banyak
kemiripan dengan rumah nenekku, dimana aku melewati masa kecil. Bentuknya
memang jauh berbeda, tapi detailnya mirip. Bentuk jendela dengan
dua daun jendela kayu berjalusi. Bentuk kusen bergaris tegas dan
kaku. Lalu ada lemari kayu jati tua tempat meletakkan cangkir-cangkir hias.
Dulu nenekku juga punya lemari seperti ini. Kenangan indah masa kecil di rumah
nenek membanjiri benakku. Kisahnya serunya bisa dilihat di tulisanku “HebohnyaRumah Kakek.”
Kami disuguhi
kue-kue dan minuman. Ada satu yang istimewa. Kue jagung. Terbuat dari jagung
yang dihaluskan, dibungkus dengan daun jagung, lalu dikukus. Rasanya enak!
Kue jagung |
Setelah sejenak
melepas kerinduan dengan kerabatnya, Pak Yugen kembali memimpin perjalanan. Kami
melewati Trowulan, Mojokerto, dan Mojosari. Setelah melewati jalan padat penuh
kendaraan besar di Jl. Raya Pabean Gempol Pasuruan kami mampir di warung Mbak
Sri di Purwodadi untuk makan siang.
Sebuah kebetulan
yang menyenangkan, di rumah makan ini Bu Yugen bertemu dengan adik ipar dan
keponakannya, Pak Saiful dan Giffa. Di rumah merekalah malam ini kami akan
menginap.
Setelah makan siang,
kami menelusuri jalan terus menanjak
hingga tiba di Nongko Jajar, kecamatan Tutur kabupaten Pasuruan. Udara sejuk membelaiku. Desa Nongko Jajar
terletak di kaki gunung Bromo. Tempat ini merupakan salah satu pintu gerbang menuju gunung Bromo.
Nongko Jajar
memiliki banyak keunikan khas daerah pegunungan yang menarik untuk dinikmati. Ada berbagai kebun
buah di desa ini. Salak, apel, durian, strawberry, alpukat, jeruk, klengkeng,
golden melon dan nangka. Selain itu terdapat banyak sayur mayur, bunga-bungaan,
kelinci, kambing hingga peternakan sapi perah.
Kami tiba di
rumah Pak Syaiful. Putri, anak perempuan sulung pak Syaiful menyambut
kedatangan kami. Putri memeluk Bu Yugen penuh haru. Almarhumah ibunda putri
adalah adik kandung Bu Yugen. Dia meninggal sekitar setahun yang lalu.
Di meja telah
terhidang kue-kue dan apel.
“Kue onde-onde
ini enak, Neng.”Komentar Akang sambil mengunyah.
Aku menatap kue
yang diletakkan di atas piring beling itu tanpa minat. Kue seperti ini dimana-mana
juga banyak. Di Bogor aku sering melihat kue ini dijual penjaja kue.
“Serius. Ini
enak.” Ucap Akang seolah meyakinkanku.
Kata-kata Akang mendorong
aku meraih sebuah kue. Kugigit si bundar berbalut wijen itu. Ternyata Akang
benar. Kue onde-onde dari Nongko Jajar buatan Putri ini enak sekali! Kulitnya
lembut kenyal, isi kacang hijaunya terasa pas. Rasanya memanjakan lidah. Aku
rasa itulah kue onde-onde terenak yang pernah aku makan! Mestinya Putri bisa
membuka usaha toko kue onde-onde. Dia bisa sukses. Hehehe...
Kemudian aku
meraih sebuah apel kecil berwarna kehijauan.
“Itu apel jenis
manalagi.” Jelas Pak Syaiful.
Aku mencium
aroma buah itu. Wangi sekali. Rasanya juga segar, tidak asam
seperti apel Malang.
“Beli dimana
buah apel ini?” Tanya Akang.
“Dikasih orang,
Pak.Di sini kan banyak pohon apel.” Sahut Putri.
“Wah, seumur
hidup saya belum pernah melihat pohon apel secara langsung. Hanya melihat dari
TV saja.” Akang berkata sambil tersenyum.
“Kalau begitu,
mumpung sudah sampai sini, sempatkan melihat pohon apel, Pak. Nanti saya
antar.” Kata Pak Syaiful bersemangat.
Sore itu,
setelah istirahat sebentar, kami meluncur di atas motor menyusuri jalan menanjak berliku. Jalan itu menuju penanjakan Bromo. Pak Yugen kembali
memimpin di depan, tapi kemudian dia salah jalan. Akhirnya Pak Syaiful
mengambil alih tempat terdepan karena dia yang hafal jalannya.
Sekitar satu jam
perjalanan, kami tiba di penanjakan Bromo. Penanjakan adalah sebuah tempat menyaksikan matahari terbit dikawasan
pegunungan Bromo yang berada di ketinggian 2.770 meter dari permukaan laut.
Tempat ini berada dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Tempat ini
wajib dikunjungi wisatawan yang berkunjung ke Bromo.
Sayang sekali,
ketika kami tiba di sini tak banyak yang bisa dilihat. Aku berdiri dekat pagar
pembatas melihat ke arah pegunungan. Kabut
tebal putih bergulung-gulung menutup hampir seluruh pegunungan.
“Yaah...gak
kelihatan. “Seru Akang kecewa.
“Kalau mau lihat
pemandangan bagus, ke sini harus pagi-pagi. Besok pagi saya antar lagi ke sini
ya. “Kata Pak Syaiful.
“Tapi Pak Yugen
besok mengajak berangkat pagi-pagi ke Turen.” Sahut Akang.
“Jangan mau!
Kalian itu sudah datang jauh-jauh dari Bogor, percuma saja kalau cuma lihat
kabut. Besok pagi-pagi kita ke kebun apel, ke penanjakan lagi lalu turun ke padang pasir dan tangga menuju kawah
Bromo. Sudah tak usah risau. Berangkatnya diundur
jam 10 saja.” Pak Syaiful mengajukan usul yang membuat hatiku bersorak.
Malamnya, kami
membicarakan rencana tersebut dengan Pak Yugen sambil meneguk segelas susu
murni hasil peternakan sapi Nongko
Jajar. Disepakati, aku, Akang dan Pak Syaiful akan berangkat ke kawasan Bromo pagi-pagi,
dan segera kembali ke rumah sebelum jam 10 untuk melanjutkan perjalanan
touring.
Hikmah Besar di balik Kehilangan Orang Tercinta
Udara Nongko
Jajar dingin menggigit. Makan malam kami lakukan duduk lesehan beralas karpet di
ruang tengah rumah Pak Syaiful. Menunya sate dan sop. Di kesempatan ini Pak
Syaiful berbagi kisah hidup yang mengharukan.
“Almarhum istri
saya itu orangnya aktif sekali. Tak bisa diam.
Semangat berdagangnya sudah mendarah daging. Dia gesit dan tangkas. “
Kenang Pak Syaiful.
“Saya ingat, dia
sangat memanjakan Giffa. Sementara saya cemas dengan keadaan itu. Giffa sudah
mulai suka beradu kebut-kebutan naik motor dengan teman-temannya, anak kampung
sini. Motor saya dimodifikasi sampai biayanya membengkak. Kalau saya marah pada
Giffa, ibunya selalu membela anak itu. Pernah saya suruh Giffa sekolah di
pesantren supaya bisa fokus belajar agama dan akhlak yang baik, tapi ibunya tak
tega berpisah dari Giffa. “Lanjut Pak Syaiful.
“Dulu Giffa
manja sekali. Badannya gendut. Kalau makan banyak. Sekali makan daging bisa habis
3 potong. Hahaha..” Seloroh Bu Yugen.
“Eh, sekarang
malah bagus badannya. Tidak gendut lagi. Tegap.”Bu Yugen memuji keponakannya.
“Waktu istri
saya meninggal, terus terang saya sangat terpukul. Saya cemas luar biasa
masalah pendidikan dan pengasuhan Giffa. Saya kan harus kerja di Jakarta. Lalu
anak-anak bagaimana? Kalau Putri, saya tak khawatir. Sebagai anak sulung
perempuan dia sudah mengerti tanggung jawab. Tapi Giffa yang biasa dimanja tak
bisa mengurus dirinya sendiri. Yang membuat saya cemas, lingkungan pergaulan di kampung ini
sudah sangat mengkhawatirkan. Bisa dikatakan desa ini
dalam keadaan darurat narkoba. Sudah puluhan orang meninggal karena over
dosis. Saya jelas tak ingin Giffa terjerumus. Masalahnya saya tidak bisa hadir
setiap hari di rumah untuk mengawasi Giffa. Tiga bulan pertama ditinggal istri,
saya berada dalam masa paling sulit. Galau.
Yang terpikirkan saat itu, kepada siapa saya menitipkan Giffa. Rencana
saya ingin menitipkan si bungsu itu kepada adik perempuan saya yang tinggal di
luar kota. Kalau tak ingat Tuhan, saya
pasti depresi berat. Jadi yang saya lakukan berdoa terus, mengadu pada Tuhan, banyak
membaca istighfar dan shalawat minta dibukakan jalan keluar.“Mata Pak Syaiful
berkaca-kaca.
Mendengar
penuturannya, hatiku tenggelam dalam haru. Bisa dibayangkan bagaimana
bingungnya dihadapkan pada situasi demikian.
Aku menatap
Giffa. Anak laki-laki berusia 15 tahun itu sepantar dengan anak pertamaku. Giffa menunduk menekuri
piring berisi nasi dan lauk. Dia tak banyak bicara meski saat ini dialah
bintang pembicaraan kami.
“Jalan terang
perlahan terbuka. Giffa yang banyak diam setelah ditinggal ibunya, tiba-tiba
memutuskan sendiri, ingin masuk
pesantren. Masya Allah.Hampir saya tak percaya! Ternyata inilah jalan yang
dibukakan Allah. Saya cari informasi, tanya sama tetangga. Lalu saya bawa Giffa
ke salah satu pesantren yang direkomendasikan. Alhamdulillah Giffa langsung mau
mondok di sana.” Pak Syaiful tersenyum. Dia berhenti sejenak, menelan makanan,
kemudian meneruskan kisahnya.
“Kemudahan lain
pun datang. Atasan memindahkan lokasi kerja saya dari Jakarta ke
Surabaya. Jarak Surabaya ke sini kan tak terlalu jauh, hanya dua jam. Sekarang Putri kuliah dan kos di dekat
kampusnya. Giffa mondok di pesantren dan saya kerja di Surabaya. Rumah ini
sering kosong. Satu bulan sekali kami berkumpul di sini, mengaji dan kirim doa
untuk almarhumah. “ Pak Syaiful menghela nafasnya seakan merasakan kelegaan.
“Allah Maha
Besar. Tak mungkin dia memberi musibah tanpa alasan. Ada hikmah besar dibalik
kehendakNya. Kepergian istri, meskipun meninggalkan duka yang dalam tapi
menjadi titik balik bagi Giffa untuk mengerti arti tanggung jawab dan serius
memikirkan masa depannya. Indah sekali
Allah merancang kisah hidup kami. Hati saya sekarang lega luar biasa. Apalagi
melihat kemajuan pesat prilaku Giffa yang jauh berbeda. Pesantren itu membina
santrinya dengan disiplin, dan mendidik para santri untuk mandiri. Pendidikan
akhlak, itulah intinya. Saya melihat hasilnya dalam diri Giffa. Alhamdulillah...
“ Kalimat syukur berkali-kali diucapkan Pak Syaiful dengan mata berbinar.
Kisah menyentuh ini berakhir bahagia. Kini keluarga
kecil ini melanjutkan hidup penuh rasa
syukur. Ikatan kasih sayang antara Pak Syaiful dan anak-anaknya, Putri dan
Giffa terjalin kiat erat. Saat berkumpul bersama menjadi moment istimewa bagi mereka.
Aku
merasa beruntung bisa mendengar kisah Pak Syaiful. Sudah lama aku sadari,
touring bukan hanya sekedar melakukan perjalanan. Ada banyak hal yang bisa
diambil pelajarannya. Filosofi kehidupan ini terasa memperkaya wawasanku.
Lanjutan kisahnya klik ini Touring di Kawasan Wisata Bromo
Lanjutan kisahnya klik ini Touring di Kawasan Wisata Bromo
3 komentar:
Senang sekali baca blog nya ibu Juliana, banyak hal menarik. Perjalanan Touring nya sangat menarik... menginspirasi jd pengen juga touring dgn pasangan, skr sih anak masih kecil :D
Bu di artikel selanjutnya tolong info2 menarik lain nya di tambahin misal jumlah bensin, harga tiket, makan dll sbg tambahan informasi..
Nice.. Barokallahu fikum
Tulisan yg indah
Posting Komentar