Pesantren Salafiah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah |
Aku, suamiku si
Akang, bersama pasangan Pak Yugen dan istrinya sejauh ini telah menempuh lebih 1000 Km perjalanan dengan motor. Dari Bogor kami memilih jalur pantai Utara, masuk
wilayah Jawa Tengah, menginap di Solo.
Kemudian di Jawa Timur, kami mampir ke
Jombang, dan bermalam di Nongko Jajar
Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. Selanjutnya setelah wara-wiri di
kawasan wisata Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, kini kami melanjutkan
perjalanan.
Kisah sebelumnya
silakan dilihat di Touring dari Bogor ke Jawa Timur dan Touring di Kawasan Wisata Bromo.
Tujuan kami kali
ini adalah Turen, Kabupaten Malang, tepatnya ke desa Sananrejo. Ada apa di
sana? Awalnya aku
mendengar cerita Bu Yugen, dan Bu Yugen memperoleh cerita ini dari saudara-saudaranya.
Dengan penuh semangat dia menerangkan ada sebuah masjid yang disebut Masjid
Tiban. Masjid ini megah, indah, terdiri atas 11 lantai. Bahkan di lantai atas
terdapat pasar. Pembangunan masjid tidak
diketahui masyarakat sekitar, tiba-tiba saja sudah berdiri megah di tengah desa
Sananrejo. Masyarakat menyebut masjid ini dengan nama “tiban” yang artinya terjatuh,
atau ada dengan sendirinya. Beredar
kabar bahwa masjid ini dibangun oleh makhluk halus berjenis jin. Kabar ini
menyebar kemana-mana membuat orang berbondong-bondong datang ke tempat ini. Penasaran?
Ya, begitulah. Maka dengan antusias Bu
Yugen mengajak aku ke tempat itu.
Perjalanan dari
Nongko Jajar menuju Turen memakan waktu sekitar satu jam. Dari jalan utama kami menuju jalan desa. Lokasi tepatnya adalah di Jl. KH Wahid Hasyim Gang Anggur no 10 RT7 RW 6 Sananrejo, Turen, Malang, Jawa Timur.
Bangunan indah yang tampak mencolok dibandingkan sekitarnya |
Kami tiba di sebuah jalan kecil yang ramai pedagang di kiri kanannya .Lalu terlihat sebuah
gerbang megah berlatar bangunan tinggi kokoh. Bangunan bagian depan bergaya candi, sementara bangunan
utama dilengkapi kubah-kubah bergaya mirip
arsitektur India, dan Timur Tengah, dengan detail menakjubkan. Bangunan itu tampak
menonjol, menarik perhatian karena kecantikan dan keunikannya berbeda sangat mencolok dengan bangunan rumah penduduk
sekitarnya.
Bagian atas |
Kalau melihat
bagaimana tinggi megah dan kokohnya bangunan ini, rasanya tak mungkin tempat ini muncul tiba-tiba, tanpa masyarakat mengetahui
pembangunannya.
Gerbang |
Pos petugas keamanan |
Kami memasuki
gerbang. Tampak makin jelas fisik bangunan. Tak ada satu pun papan, plat, atau
keterangan terpampang yang menyebutkan nama “Masjid Tiban”. Ternyata tempat ini
bukan bernama Masjid Tiban, bahkan bukan
masjid! Masjid Tiban hanya nama julukan yang dipopulerkan masyarakat. Bangunan megah ini adalah sebuah
pesantren. Pesantren Salafiah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah, begitulah
namanya. Panjang sekali ya? Para santri menyingkatnya dengan nama Pesantren Bi Ba'a Fadlrah.
Tampak dari sudut depan |
Tempat ini
berdiri di atas lahan seluas 4 hektar, namun baru 1,5 hektar saja yang dimanfaatkan.
Masuk ke
bangunan ini makin terlihat detail yang rumit, unik, indah. Bangunan di dominasi warna putih, biru dan emas.
Sepintas aku kira tempat ini dipercantik keramik atau tile, ternyata yang
tampak seperti keramik adalah semen yang di bentuk profil lalu di cat mengkilap seperti kilau keramik. Bentuk profilnya halus, dikerjakan dengan
teliti.
Detail yang cantik, rumit, unik |
Ada ruangan yang
dindingnya dihiasi kaligrafi berwarna emas.
Kursi-kursi antik dan “nyeni” melengkapi ruangan. Ada juga bagian
dinding bergaya seperti puade emas, mirip singgasana pengantin yang menghias panggung acara pernikahan
mewah.
Bagian ornamen yang berkesan mewah |
Ornamen dinding dan langit-langit di ruang depan pintu masuk |
Ada bagian
ruangan yang dipercantik aquarium-aquarium. Berbagai ikan hias melengkapi keindahannya. Menjelajahi
ruang demi ruang di tempat ini seperti memasuki istana misterius. Tiap ruang, dan level bangunan berbeda nuansa.
Tangga dan aquarium |
Ornamen-ornamen
etnik bergaya perpaduan Timur Tengah, India dan China menghiasi seluruh
ruangan. Ornamen yang didominasi warna
emas makin menambah indah bangunan ini. Ada bagian bangunan yang remang-remang
karena minim pencahayaan, ada bagian yang terang.
Di depan sebuah korridor. Bagian langit-langit belum selesai dikerjakan |
Pengunjung bebas
berkeliaran menikmati keunikan tempat ini
hingga lantai teratas. Menelusuri tempat ini bisa dilakukan lewat tangga
maupun lift. Tapi saat aku mencoba, ternyata liftnya tidak menyala. Ada
banyak pintu, jendela, lubang angin, koridor, tangga dan ruangan.
Korridor yang indah |
Lantai 1 sampai
4 digunakan para santri untuk kegiatan shalat, mengaji, dan mempelajari Islam. Lantai 6 berfungsi sebagai ruang berkumpul dan
bersantai. Di lantai 5, 7 dan 8 terdapat pertokoan yang dikelola oleh santriwati.
Toko-toko itu menjual makanan, pakaian dan lain-lain. Pertokoan itu mengingatkan aku pada toko-toko
di pasar tradisional, tapi di sini lebih bersih dan teratur.
Selain itu ada tempat pemandian, tempat istirahat yang terpisah bagi wanita dan pria, musholla, serta lantai 4 yang berfungsi sebagai masjid. Ada kolam, ayunan, tempat bermain anak-anak dan ada juga studio foto.
Selain itu ada tempat pemandian, tempat istirahat yang terpisah bagi wanita dan pria, musholla, serta lantai 4 yang berfungsi sebagai masjid. Ada kolam, ayunan, tempat bermain anak-anak dan ada juga studio foto.
Para pengunjung yang menikmati suasana bangunan unik |
Ada himbauan
yang di pasang di dinding, isinya meminta pengunjung untuk berlaku sopan, menghormati
tempat ini. Ini bukan tempat wisata, begitulah salah satu kalimatnya. Laki-laki
dan wanita diminta bersikap santun, tidak melakukan tindak asusila.
Berada di dalam
bangunan ini terasa dingin, padahal tidak dilengkapi AC dan diluar sana panas oleh terik matahari. Ada banyak pengunjung lain. Kebanyakan dari
luar kota. Mereka datang berombongan naik bus-bus besar.
Saat akan
melaksanakan shalat, aku memilih melakukannnya di musholla yang berada di
lantai bawah. Untuk mencapai tempat wudhu, harus melalui beberapa tangga, lalu
ruang yang berbelok-belok. Sayang sekali, di musholla-nya tak disediakan mukena. Salah
satu pengunjung dari Solo berbaik hati
meminjami aku mukena untuk shalat dzuhur dan ashar yang dijamak.
Jadi, misteri apa yang terkuak? Siapa yang mengerjakan pembangunan tempat ini? Bukan jin, saudara-saudara! Hehehe...Tempat ini dibangun oleh para santri pondok pesantren ini. Dan sekarang bangunan ini belum selesai, masih terus dikerjakan. Di berbagai lantai masih ada bagian yang belum sempurna, terutama di lantai 9-11. Aku berhasil bertemu dengan salah satu pria yang sedang mengerjakan detail jendela, dan dia asli manusia. Hehe...Aku sempat bercakap-cakap dengan pria itu.
Kok bisa masyarakat menganggap bangunan ini tiba-tiba muncul dengan sendirinya, sampai menjuluki tempat ini dengan nama "tiban" ? Pondok ini terletak di lembah. Pembangunan berlangsung sedikit demi sedikit sehingga sampai lantai lima baru terlihat dari luar. Proses pembangunan berlangsung bertahun-tahun, perlahan-lahan, ruang demi ruang. Bahan bangunan yang dibeli pun "nyicil", hanya pas untuk satu demi satu pekerjaan sehingga mengangkut bahan tak perlu menggunakan truk besar. Hanya menggunakan mobil pick up dan truk kecil yang kehadirannya tak menarik perhatian masyarakat.
Lalu bagaimana membangun bagian yang tinggi terutama kubah-kubahnya? Biasanya di perkotaan kegiatan pembangunan ini membutuhkan alat berat seperti crane yang tinggi, padahal warga sekitar tak pernah melihat kehadiran crane di sini. Ternyata pembangunan tempat ini semua dilakukan secara konvensional. Untuk pekerjaan yang berat, santri yang membantu bisa sangat banyak, sampai ratusan orang. Dan mengangkut bahan ke atas dilakukan dengan kerekan, bergotong royong ramai-ramai.
Apa yang membuat aku salut pada tempat ini? Ya tentu saja kehebatan tokoh di balik pembangunnya. Beliau bukan lulusan arsitektur lho!. Adalah almarhum KH. Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al Mahbub Rahmat Alam yang akrab dipanggil Romo Kiyai Ahmad. Beliau adalah perintis, pendiri, pengasuh, pemilik, pembina dan arsitek bangunan ini. Alm. Romo Kiyai Ahmad memperoleh petunjuk membangun tempat ini lewat shalat istikharah, bukan lewat pendidikan formal di bidang arsitektur maupun teknik sipil. Beliaulah yang membimbing santri-santrinya membangun tempat ini. Pengerjaan detail bangunan rumit ini murni hasil karya anak negri yang belajar secara otodidak. Karena itu, mereka sangat patut diacungi jempol. Hebat!
Kok bisa masyarakat menganggap bangunan ini tiba-tiba muncul dengan sendirinya, sampai menjuluki tempat ini dengan nama "tiban" ? Pondok ini terletak di lembah. Pembangunan berlangsung sedikit demi sedikit sehingga sampai lantai lima baru terlihat dari luar. Proses pembangunan berlangsung bertahun-tahun, perlahan-lahan, ruang demi ruang. Bahan bangunan yang dibeli pun "nyicil", hanya pas untuk satu demi satu pekerjaan sehingga mengangkut bahan tak perlu menggunakan truk besar. Hanya menggunakan mobil pick up dan truk kecil yang kehadirannya tak menarik perhatian masyarakat.
"Singgasana" di bagian luar dekat gerbang |
Lalu bagaimana membangun bagian yang tinggi terutama kubah-kubahnya? Biasanya di perkotaan kegiatan pembangunan ini membutuhkan alat berat seperti crane yang tinggi, padahal warga sekitar tak pernah melihat kehadiran crane di sini. Ternyata pembangunan tempat ini semua dilakukan secara konvensional. Untuk pekerjaan yang berat, santri yang membantu bisa sangat banyak, sampai ratusan orang. Dan mengangkut bahan ke atas dilakukan dengan kerekan, bergotong royong ramai-ramai.
Apa yang membuat aku salut pada tempat ini? Ya tentu saja kehebatan tokoh di balik pembangunnya. Beliau bukan lulusan arsitektur lho!. Adalah almarhum KH. Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al Mahbub Rahmat Alam yang akrab dipanggil Romo Kiyai Ahmad. Beliau adalah perintis, pendiri, pengasuh, pemilik, pembina dan arsitek bangunan ini. Alm. Romo Kiyai Ahmad memperoleh petunjuk membangun tempat ini lewat shalat istikharah, bukan lewat pendidikan formal di bidang arsitektur maupun teknik sipil. Beliaulah yang membimbing santri-santrinya membangun tempat ini. Pengerjaan detail bangunan rumit ini murni hasil karya anak negri yang belajar secara otodidak. Karena itu, mereka sangat patut diacungi jempol. Hebat!
Kalau
jalan-jalan atau berlibur ke Jawa Timur, jangan lupa memasukkan kompleks
pesantren ini dalam itinerary ya. Rugi kalau tak menyaksikan keunikan tempat
ini!
Kalau foto di sini mbak juliana dewi kalah cantik sama bangunannya.
BalasHapusOya mbak. Kami juga suka touring ala bagoacker yg minimalis. Belum sejauh mbak juliana. Tapi kami optimis kami bisa lebih jauh lagi pakai motor. Salam