Kisah touringku bersama si Akang dari Bogor ke Jawa Timur terus berlanjut. Setelah
menikmati indahnya kawasan Wisata Bromo, kemudian ke Turen, Kabupaten Malang, mengunjungi bangunan unik "Masjid Tiban" yang ternyata bukan masjid, kini kami meluncur lagi bersama pasangan suami istri Pak Yugen dan Bu Sri Widayati.
Kami sempat dihadang macet parah di daerah Tempeh karena ada proses evakuasi sebuah truk yang terperosok di sisi jalan yang terjal. Untung saja tak terlalu lama kami bisa terbebas dari macet parah itu.
Siang sudah
beranjak sore ketika kami melintas disebuah jembatan yang melintang di atas
sungai Curah Kobo’an di wilayah Pronojiwo
Rasa lelah dan
haus memaksa kami berhenti di sebuah warung
dekat jembatan. Aku memilih berjalan-jalan melihat suasana. Dari
atas jembatan kulemparkan pandangan ke arah sungai yang hampir kering dibawah
sana, lalu tampak sebuah jembatan yang lebih kecil dari jembatan tempat aku berdiri.
Jembatan Gladak Perak
Jembatan itu
terlihat usang, tak lagi dipergunakan.
Meski banyak besi pada pagarnya sudah
hilang, tapi konstruksi jembatan masih tampak kokoh. Entah mengapa hatiku sedih
melihat jembatan tua itu. Kalau melihat fisiknya, aku yakin dulu jembatan ini
memegang peranan penting sebagai sarana penghubung
bagian Timur dan Tenggara Gunung Semeru. Tapi kondisinya saat ini seperti barang
rongsokan yang ditelantarkan.
Aku duduk di warung,
menikmati tahu goreng dicocol bumbu petis dan secangkir white coffe. Setelah
ngobrol beberapa saat, aku bertanya pada Ibu pemilik warung.
“Bu, jembatan
tua itu namanya apa, Bu? “ Tanyaku.
“Jembatan
Gladak Perak, Mbak. Jembatan itu peninggalan Belanda. “ Jawab si Ibu sambil
mengaduk kopi pesanan Pak Yugen.
Bu Yugen yang
duduk di pondok sebelah memanggilku.
“Mbak, sini lho.
Ada foto-foto sejarah dibangunnya jembatan tua itu.” Katanya.
Aku bergegas
menghampiri Bu Yugen.
Sebuah poster
plastik berukuran besar tertempel di dinding warung. Di poster itu tercetak foto-foto
zaman dulu yang menjelaskan sejarah dibangunnya jembatan Gladak Perak.
Sejak akhir abad
19, dalam rangka mengeruk kekayaan alam Indonesia, pemerintah Hindia Belanda
giat membuka lahan-lahan perkebunan di lereng-lereng Gunung Semeru. Setelah
tahun 1925, pemerintah Belanda merencanakan membangun akses yang menghubungkan bagian Timur
dan Tenggara Gunung Semeru. Jembatan yang paling sulit dibangun adalah yang
melintang di atas sungai Curah Kobo’an bagian hilir.
Sebelumnya sudah
ada jembatan gantung sederhana terbuat
dari bentangan kawat baja pada dua tebingnya. Jembatan sederhana itu hanya bisa
dilalui pejalan kaki dengan jumlah terbatas. Letak jembatan gantung itu
kira-kira sama dengan jembatan besar yang ada sekarang. Tidak ada catatan kapan pastinya jembatan gantung itu
dibuat.
Di akhir tahun
1929 ketika Lumajang dikukuhkan menjadi kabupaten, pemerintah Hindia Belanda
mulai merancang pembangunan jembatan Gladak Perak dengan memanggil arsitek-arsitek
dari negeri Belanda. Turut dilibatkan juga arsitek-arsitek muda dari Bumi
Putra, diantaranya Soekarno yang saat itu masih menjadi mahasiswa ITB.
Pembangunan
jembatan ini meskipun prosesnya sederhana namun diawasi oleh insinyur-insinyur
Belanda dan Opzichter Koesno dari BOW ( Burgerlijke Openbare Werken)
Probolinggo, sekarang Dinas Pekerjaan Umum. Dalam proses pembangunannya, banyak
korban jiwa dari para pekerja yang jatuh
ke dalam jurang. Ketika selesai di bangun tahun1940, jembatan itu di cat dengan
warna perak. Saat diterpa cahaya matahari, jembatan akan berkilau seperti
rantai yang membentang antara tebing Utara dan Selatan. Karena itu orang
menyebut jembatan ini “Gladak Perak”. Versi lain mengatakan bahwa jembatan ini
menghabiskan dana beribu-ribu gulden (uang perak Belanda), sehingga dinamai
Gladak Perak.
Tahun 1947
jembatan ini pernah dibumi hanguskan dengan dinamit oleh pasukan Zeni Pioner
22, hingga badan jembatan putus. Hal ini
dilakukan untuk menghambat pengejaran tentara Belanda ke Pronojiwo.
Tahun 1951
jembatan ini kembali dibangun. Baja-baja dirancang di Lumajang tahun 1954, dan
dipasang tahun 1955. Pelaksana pembangunan adalah seorang keturunan Tionghoa
bernama Tan Kian Sing.
Ketika Presiden
Soekarno mengunjungi Lumajang tahun 1955-1956, beliau menanyakan keberadaan
jembatan ini.
Kini, jembatan
Gladak Perak tak terawat. Banyak bagian
besi pagarnya hilang diambil orang. Jembatan yang telah menjadi saksi bisu berbagai
kejadian pengukir sejarah, dibangun dengan korban jiwa dan jerih payah keringat
para pekerja pribumi sekarang tak lebih dari barang rongsokan.
Aku kemudian
turun ke Gladak Perak. Kupandangi konstruksi jembatan tua itu dari dekat,
berusaha membayangkan berbagai peristiwa yang melatari pembangunan dan
keberadaannya. Hanya ada satu kesan yang kutangkap. Menyedihkan.
Perjalanan kami kemudian diwarnai hujan ketika kami mencapai Candipuro. Akang dan Pak Yugen menghentikan motor di halaman sebuah toko . Kami mengeluarkan jas hujan.
Ibu pemilik toko yang baik hati menyodori kursi-kursi plastik, hingga aku bisa membuka jaket dan sepatu bootku sambil duduk.
" Dari mana mau kemana, Mbak? " Tanya si Ibu.
" Dari Bogor, Bu. Kami sudah ke Bromo, ke Turen , sekarang menuju Jember, besok ke Cagar Alam Kawah Ijen dan Situbondo. " Sahutku ramah.
"Dari Bogor Jawa Barat? Wah, jauh sekali, Mbak. Capek nggak?" Tanya si Ibu heran.
"Kalau capek kami istirahat, Bu. " Jawabku santai.
Setelah berterimakasih, kami melanjutkan perjalanan membelah hujan.
Perjalanan kami kemudian diwarnai hujan ketika kami mencapai Candipuro. Akang dan Pak Yugen menghentikan motor di halaman sebuah toko . Kami mengeluarkan jas hujan.
Ibu pemilik toko yang baik hati menyodori kursi-kursi plastik, hingga aku bisa membuka jaket dan sepatu bootku sambil duduk.
" Dari mana mau kemana, Mbak? " Tanya si Ibu.
" Dari Bogor, Bu. Kami sudah ke Bromo, ke Turen , sekarang menuju Jember, besok ke Cagar Alam Kawah Ijen dan Situbondo. " Sahutku ramah.
"Dari Bogor Jawa Barat? Wah, jauh sekali, Mbak. Capek nggak?" Tanya si Ibu heran.
"Kalau capek kami istirahat, Bu. " Jawabku santai.
Setelah berterimakasih, kami melanjutkan perjalanan membelah hujan.
Selepas maghrib di tengah rintik hujan kami tiba di Jember. Pak Yugen dan
istrinya menginap di rumah saudara mereka, sementara aku dan Akang menginap di
hotel Sulawesi setelah menikmati makan malam lezat yang dihidangkan oleh adik bu Yugen, rawon dan telor asin.
**********
Pagi yang cerah di Jember. Aku dan Akang memilih
sarapan di luar hotel. Kami ingin mencicipi menu makanan lokal yang lebih
menggugah selera. Tak jauh dari hotel, ada sebuah warung makanan sudah buka.
Aku berseru senang
“menemukan” nasi jagung, botok tempe, dendeng bungkus kelapa, rempeyek dan sayur
kacang panjang. Enaak..
Cagar Alam Kawah Ijen
Pukul 8.30 kami
kembali meluncur di jalan, menuju kawasan hutan cagar alam Kawah Ijen. Suasana hijau pepohonan menyertai perjalanan
kami. Jalan yang terus menanjak sesekali berliku, kemudian beberapa kali
melintasi perumahan pekerja perkebunan. Kami juga melewati perkebunan kopi, dan
hutan dataran tinggi yang menawan.
Di sebuah rest
area kami berhenti. Rest area itu dilengkapi sebuah warung sederhana berkonstruksi
kayu. Kami duduk-duduk, minum minuman jahe dan ngemil keripik kentang sambil menatap cantiknya
pemandangan alam. Di hadapan warung ini ada sebuah tebing hijau yang indah, menjulang tinggi berpadu langit yang biru. Aku suka memandangnya.
“Kalau mau naik
ke Kawah Ijen, masih harus jalan lagi Mbak. Terus mendaki sekitar 2 jam untuk
sampai ke kawahnya.” Ujar si mbak pemilik warung.
Aku kecewa.
Ternyata untuk mencapai kawah dibutuhkan waktu yang lama, sedangkan waktu kami
terbatas. Akhirnya setelah diskusi, kami memutuskan tak jadi menuju ke
kawah. Kami masih harus menuju Situbondo
dan bermalam di sana.
Air Terjun Kali Pahit
Menyusuri jalan
di kawasan Cagar Alam Hutan Wisata Kawah Ijen, terasa menyegarkan. Pohon-pohon
tinggi, hijau dan rapat itu menjadi “paru-paru” dunia dan kini menyuplai
oksigen segar untuk paru-paruku.
Di sisi kiri jalan
di sebelah selatan Paltuding, terlihat
sebuah air terjun. Kami mampir ke tempat itu. Seorang pria duduk di sebuah batu
di jalan masuk.
“Ini air terjun
apa namanya, Mas?” Tanyaku.
“Ini namanya
Kali Pahit, Mbak. “ Jawabnya.
Air yang
mengalir di Kali Pahit tampak istimewa. Tak seperti air terjun biasa, air di
sini berwarna hijau dan berbuih banyak. Hal ini disebabkan tingkat keasaman air
yang tinggi. Air Kali pahit berasal dari rembesan air belerang kaldera danau
Ijen. Rasanya tidak pahit, tapi asin.
Kami berfoto-foto
sebentar dan mengamati air hijau bening yang berbuih itu. Baru kali ini aku
menemukan air terjun dan sungai yang
berair hijau. Sangat menarik!
Kami istirahat
lagi. Seorang penjual bakso menawarkan dagangannya. Aku, Akang, Pak Yugen dan
istrinya kemudian memesan bakso.
Bapak penjual bakso itu mengaku berasal dari Medan. Orang Batak asli.
“ Wah, jarang lho orang Batak jualan bakso.” Selorohku.
Si Bapak terkekeh-kekeh.
“Saya ikut istri ke sini, Mbak.” Sahutnya.
“Lha, itu logat Bataknya hilang kemana, Pak? Ngomongnya kok logat Jawa kental.”
Si Bapak makin terkekeh.
“Bataknya sudah
luntur, Mbak.” Ujarnya sambil menyodorkan semangkuk bakso.
“Silakan dinikmati.
Ini bakso Kali Pahit. “
“Lho, ini bukan
bakso sapi?” Tanyaku.
“Iya, bakso sapi
dari Kali Pahit, Mbak.” Sang penjual bakso nyengir lebar.
Perut kenyang,
perjalanan berlanjut. Kami kembali
melintasi hutan yang menebar hawa segar. Aku benar-benar menikmati suasana ini.
Pepohonan yang rimbun dan suasana sejuk ini berbeda nuansanya dengan jalan yang
kami lalui saat di kawasan Bromo.
“Enak banget ya
lewat sini, Kang. “
“Iya. Tapi
jangan lewat sini kalau malam. “Sahut Akang “Pasti menyeramkan kalau malam.
Nggak ada lampu. Nggak ada orang. Jangan-jangan macan yang nongol. “
Aku bergidik
ngeri.
Peternakan Lebah Madu
Setelah
melewati hutan, kami melihat area
terbuka yang banyak terdapat kotak-kotak kayu berukuran seragam, panjang sekitar
70-80 cm, lebar dan tebal masing-masing
40 cm . Ketika kuperhatikan, disekitar kotak-kotak itu banyak lebah
beterbangan.
Seorang pria
berdiri di pinggir jalan. Dihadapannya ada kotak, dan diatas kotak kayu itu
terdapat botol-botol berwarna pekat.
“Neng, ini
peternakan madu. Kita beli madu yuk!”
Akang
menghentikan motornya, demikian juga Pak Yugen.
Madu yang dijual
ada dua jenis. Yang berwarna gelap dan agak terang. Harganya sama, satu botol
Rp. 100.000,-
“Apa bedanya
madu yang gelap dengan yang satunya, Pak? “ Tanyaku pada penjual madu.
“Sama saja, Bu. Beda
warna ini karena beda jenis bunga yang dihisap lebah. Ada yang mengisap bunga kopi, ada yang
mengisap sari bunga kapuk randu.“ Sahutnya.
“Itu namanya
apa, Pak? “ Tanyaku sambil menunjuk kotak-kotak kayu.
“Itu tempat
untuk lebah madu bersarang. Kami menyebutknya setup. Dibuat berbentuk kotak
kayu itu agar mudah memindahkannya.” Pria itu menjelaskan.
“Kenapa
dipindahkan, Pak?” Aku makin tergelitik ingin tahu tentang peternakan ini.
“Tak selamanya
di sini banyak tersedia bunga. Ada saatnya kami harus mencari lokasi lain
dimana banyak bunga yang menyediakan tepung sari-nya untuk lebah. Jadi ada
musim-musim tertentu kami bawa setup ini pindah ke Pasuruan, misalnya. Supaya
produksi madu terus berjalan.”
“Oo begitu.
Sulit nggak beternak lebah seperti ini, Pak?”
“Harus telaten.
Itu modalnya. Di setiap setup saya beri satu lebah ratu. Lebah ratu ini mengundang lebah-lebah pekerja
untuk membentuk sarang. Kami harus rutin memeriksa kondisinya, setidaknya dua
hari sekali supaya terhindar dari penyakit dan sebagainya.
Kami membeli
satu botol madu. Terpaksa tak bisa beli lebih banyak karena keterbatasan bagasi
motor.
Kami melanjutkan
perjalanan. Keluar dari kawasan Cagar Alam Kawah Ijen, kami menuju Banyuwangi
kemudian menyusuri jalan indah dimana di sisi kiri terdapat pemandangan gunung
dan di sisi kanan kami terlihat laut biru. Indah sekali.
Pantai Pasir Putih Situbondo
Hari telah beranjak
sore ketika kami tiba di pantai Pasir Putih Situbondo. Malam ini kami memilih
menginap di hotel Sidomuncul yang berada di tepi pantai.
Rasanya senang
sekali hari ini bisa menyaksikan berbagai bentang alam indah yang menjadi aset
wisata Jawa Timur. Dari Pegunungan, lembah, jurang, sungai, air terjun, tebing,
hutan hijau kami beralih ke laut dengan pantainya yang berpasir lembut.
Pantai Pasir Putih Situbondo merupakan objek wisata perpaduan antara wisata bahari (laut) dengan wisata hutan. Letak pantai ini persis dibawah lereng Gunung Ringgit. Topografi pantai melengkung membentuk teluk, sementara airnya tenang nyaris tak ada ombak. Kesannya seperti berada di danau yang tenang.
Ketika kutebarkan pandangan ke laut lepas, tampak hamparan laut biru Selat Madura.Sementara di belakangku tampak pepohonan kelapa, cemara udang serta rimbunnya pohon jati menambah kesan asri.
Aku dan Akang
menikmati sore yang indah di tepi pantai. Kami minum kelapa muda ditemani tape
bakar yang enak. Memandang air laut tenang, orang-orang yang berenang di
pantai, anak-anak bermain pasir, dan perahu dengan layar berwarna cerah.
Kemudian kami berdiri di tepi pantai, menanti senja berganti malam . Kami tenggelam dalam diam, bergandengan tangan memandang matahari orange
kemerahan perlahan terbenam di ufuk Barat. Kami tak bisa melihat
matahari terbit di kawasan Bromo beberapa hari lalu. Kini rasanya cukup senang menyaksikan matahari tenggelam di tepi
pantai Pasir Putih Situbondo. Romantis.
Hari ini kami tutup dengan makan malam di tepi pantai dengan menu ikan kakap bakar, cumi bakar, lalapan dan sambal. Alhamdulillah, nikmatnya.
Roda motor kami telah menggilas 2483 kilometer jarak yang terbentang. Touring dari Bogor ke Jawa Timur lalu kembali ke Bogor selama 6 hari meninggalkan kesan yang dalam. Mudah-mudahan masih banyak kesempatan kami berdua menelusuri keindahan alam ciptaan Tuhan, selama tubuh sehat dan ada kesempatan. Sampai jumpa di touring berikutnya!
Beuhhh ini pasukan touring, kuat bener ya nyetir moge jauh-jauh gitu, saya dibonceng aja udah cape mbak
BalasHapus@Evrinasp : kalo aku salut lihat Mbak Evrina manjat gunung... aku mah nyeraaah... :)
BalasHapusKyyaa mbak.a kok ga mampir sekalian ke karangduren hhhhee.
BalasHapusKan lumajang juga lumayan dket dr krgduren :D
wiihhhh hebat juga mbk.a sehari langsung cus ketiga tempat. Amazinggg...
ketiganya emnng seru wissatanya mbak. Hhhhhhreeee
kece badaii dah (y)
@Rohma Azha : terimakasih sudah mampir ke sini ;-)
BalasHapusAsik dan kompak. Kapan2 turingnya pakai yg lebih low budget mbak. Nginep di pom bensin atau pakai tenda dome. Lebih banyak trouble yg asik hahahahah
BalasHapus