Laman

Selasa, 07 April 2015

Wisata Satu Hari di Dieng Plateau



Aku, Akang dan si Kuning
Simak kisah sebelumnya, perjalanan dari Bogor ke Dieng klik di sini
Touring dari Bogor ke Dieng naik motor, asyik lho! Itulah yang kulakukan bersama suamiku, si Akang. Setelah menempuh jarak 480 km selama lebih kurang 13 jam perjalanan, rasa lelah kami terbayar dengan menyaksikan pemandangan indah menakjubkan Dataran Tinggi Dieng dengan segala keunikannya. Ada apa saja di Dieng? Ini kisahnya.


 Pagi di Dieng

Dini hari kami terbangun. Butuh kekuatan melawan rasa malas untuk bangkit dan melepas selimut. Hujan turun rintik-rintik membuat hawa dingin berkisar antara 6-10 derajat Celcius kian menggigit. Pupus sudah harapanku melihat matahari terbit dari  bukit Sikunir. Tak mungkin mendaki bukit itu dalam kondisi hujan seperti ini, terlalu berbahaya.  Selesai mandi dan shalat, kami bersiap-siap menjelajah kawasan Dieng.

Akhirnya hujan reda. Jam 6. 20 aku dan Akang sudah meluncur bersama si Kuning menelusuri jalan dengan pemandangan indah di kiri kanannya. Bukit hijau berbaris, sambung menyambung  dengan sawah yang berundak-undak. Di kejauhan kami melihat cerobong-cerobong putih  mengeluarkan asap, tampaknya merupakan cerobong PT Geo Dipa, sebuah perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Pemandangan  Dataran Tinggi Dieng denga cerobong asap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi

Sebuah home stay bergaya bali menarik perhatianku. “Ratu Home Stay “ begitulah namanya. Aku meminta Akang mampir ke sana, siapa tahu kami bisa pindah dari home stay buruk tempat kami menginap saat ini. Tapi sayang, home stay unik itu sudah penuh. Kami juga melihat beberapa home stay yang kondisinya lebih bagus, tapi juga sudah penuh. Apa boleh buat, kami harus menerima nasib. Hiks..
Landscape cantik Dataran Tinggi Dieng

Kami berputar arah menuju kawasan wisata. Di sebuah gerbang petugas menyambut. Kami membayar karcis seharga Rp. 8.000,- per orang.  

Add caption

Dieng Plateau Theater

Kawasan wisata masih sepi.  Kami memutuskan menuju Dieng Plateau Theatre. Tempat ini berada di atas Telaga Warna di lereng bukit Sikendil desa Dieng. Sayangnya tempat ini belum buka, dan tampak kurang terawat.  Dieng Plateau Theatre dilengkapi sarana audio visual dan film dokumenter tentang aktifitas gunung Dieng yang berisi gambaran pembentukan kawah-kawah dan juga tentang tragedi kawah Sinila yang menyemburkan gas beracun karbon monoksida pada 20 Februari 1979. Bencana itu  menelan  149 korban jiwa.

Telaga Warna

Sebuah tempat wisata alam yang sangat populer di kawasan Dieng adalah Telaga Warna. Keunikan telaga ini, airnya  kerap berubah warna menjadi merah, biru, putih, hijau dan lembayung akibat refleksi endapan belerang.  Karena kandungan belerang yang tinggi, tak ada ikan dan hewan air yang hidup di telaga ini.

Di Telaga Warna


Untuk masuk ke kawasan Telaga Warna seluas 39,6 hektar ini, kami membayar karcis seharga Rp. 7.500,- per orang.  Melangkah masuk ke kawasan ini, kami langsung disuguhi pemandangan telaga cantik  dikelilingi hutan dan bukit yang asri. 

Telaga Warna


Kami menyusuri jalan di sisi telaga.  Di tepi  yang landai,  terdapat gelembung-gelembung gas yang keluar membentuk buih menggelegak di permukaan air.  Bau gas belerang yang kuat mengambang di udara.

Suasana di telaga ini sedikit mengingatkan aku pada suasana hening  Nami Island di Korea Selatan. Apalagi kehadiran sebatang pohon bernuansa orange yang mirip warna pohon di Korea Selatan pada musim gugur. Indah sekali.

Pemandangan yang mengingatkan pada musim gugur di Korsel

Berada satu kawasan dengan Telaga Warna terdapat beberapa tempat yang unik seperti Telaga Pengilon. Telaga ini airnya jernih berbeda dengan Telaga Warna meskipun sebenarnya dua telaga ini bersambung, hanya terpisah oleh vegetasi alamiah.

Telaga Pengilon


Batu Tulis

Kawasan wisata Telaga Warna menyimpan segudang  mitos dan kepercayaan tentang tempat-tempat bersejarah yang masih disakralkan oleh masyarakat setempat. 

Salah satunya adalah Batu Tulis yang disebut juga Batu Semar karena bentuknya menyerupai tokoh Semar dalam pewayangan. Tempat ini juga merupakan tempat meditasi komunitas kejawen dan masyarakat Hindu pada zaman dahulu. 

Batu Tulis


Di tempat ini terdapat arca Gajahmada sebagai mata rantai sejarah peradaban Mataram Kuno dan Majapahit yang masyarakatnya menganut agama Hindu.

Gua Jaran

Gua Jaran

Salah satu tempat yang juga disakralkan oleh masyarakat setempat adalah gua jaran. Alkisah pada saat hujan lebat, ada seekor kuda mencari tempat berteduh. Kuda itu masuk ke dalam gua dan bermalam di sana. Anehnya keesokan hari ketika keluar dari gua, sang kuda dalam keadaan hamil. Maka masyarakat mempercayai bila seseorang ingin memperoleh keturunan mereka bisa bermeditasi di gua jaran.

Gua Sumur

Goa Sumur


Tak jauh dari gua jaran terdapat gua sumur yang di depannya terdapat arca wanita membawa kendi. Ditempat ini  tercium aroma wangi yang misterius. Bau harum itu seperti kemenyan atau dupa, dan aroma bunga. Kucari-cari sumber bau, tapi tak kudapati tempat pembakaran dupa, atau bunga-bunga yang menebar harum seperti yang tertangkap indra penciumanku. 

Gua sumur termasuk tempat yang disakralkan masyarakat Dieng. Sumurnya tampak dipagari dan dikunci. Air sumur ini kerap digunakan untuk upacara Mabakti oleh umat Hindu. Selain itu masyarakat meyakini air sumur ini berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit dan membuat awet muda.

Gua Pengantin

Goa Pengantin

Satu lagi gua yang berada di kawasan Telaga Warna adalah gua pengantin. Tempat ini dipercaya masyarakat sebagai tempat bersemedi bagi orang yang ingin mendapatkan jodoh. 

Terlepas dari kepercayaan yang dianut masyarakat, aku sendiri tentu tak sepaham. Bagiku tempat meminta segala hajat dan keinginan adalah langsung kepada Dia, Allah SWT Yang Maha Kuasa. Untuk memohon segala pinta tak perlu datang ke tempat-tempat tertentu, karena sejatinya Allah SWT  ada dimana-mana lebih dekat dari urat leher makhlukNya.

 Terkurung Hujan

Hari beranjak siang. Akang membawaku kembali ke home stay. 

“Kita istirahat dulu, Neng. Akang kan mau shalat Jum’at. Nanti setelah shalat kita jalan-jalan lagi.” Ujar Akang.

“Iya, Neng ingin ke candi Arjuna. “ Sahutku.

Menjelang waktu zuhur, Akang pergi ke masjid yang letaknya di depan home stay. Aku menunggu di kamar. 

Lalu hujan turun. Gerimis kecil tapi makin lama makin rapat. Aku memandang rinai hujan dengan cemas dari balik jendela kamar. 

Akang kembali dari shalat Jumat, bajunya lembab oleh tetes hujan.  Dia kedinginan.

“Sepertinya kita nggak bisa kemana-mana, Neng. Hujannya deras. Bisa saja kita pergi jalan-jalan pakai jas hujan, tapi nggak asyik kan? Nggak bisa foto-foto. Kata seorang bapak di masjid tadi hujan seperti ini biasanya lama, bisa sampai malam baru reda.” Ucap Akang.

Aku kecewa. Masih banyak tempat wisata di sini yang belum sempat kami kunjungi. Terutama candi Arjuna itu. Entah kenapa aku ingin sekali ke sana. 

Sepanjang hari aku dan Akang hanya leyeh-leyeh ditempat tidur, ngobrol, bercanda dan menikmati bunyi rintik hujan. Untuk bangun pun malas rasanya,  karena dingin yang menusuk. 

Durian, White Coffe dan Kabut

Usai shalat Ashar, hujan belum juga reda, tapi  kami memutuskan keluar. Dengan payung kami menyeberang jalan menembus hujan, lalu  menghampiri tumpukan buah durian yang tertutup plastik biru.
Menikmati durian Dieng


Lelaki penjual durian tergopoh-gopoh menghampiri kami.

“Silahkan dipilih, Mas. Durian ini manis. Asli Dieng lho! Kalau nggak manis, boleh ditukar kok.” Ucapnya pada Akang.

Sebuah durian berukuran sedang harganya Rp. 35.000,- . Yang lebih besar seharga Rp. 40.000,-. Kami memilih  satu buah yang berukuran sedang. 

Daging durian itu berwarna kuning keemasan, gemuk, lembut dan menebar harum menggiurkan.  Rasanya manis legit, berbaur nikmat di lidah dan indra penciumanku. Sempurna. Makan durian ditemani secangkir White Coffe ditengah tetes air dan dingin, ternyata manjur mengobati kekecewaan akibat rencana jalan-jalan yang kacau balau diterjang hujan. Tak apalah. Pasti ada hikmahnya. 

Masjid yang ditelan kabut
Aku melemparkan pandangan ke bukit-bukit di sana. Kabut putih tebal merambat , seperti tirai yang diturunkan. Makin lama makin luas bagian yang tertutup oleh asap putih, hingga pemandangan menjadi samar. Uap air yang berkondensasi dekat permukaan tanah berwujud seperti awan itu pun akhirnya menelan masjid cantik di sebelah  sana. Ada semacam rasa yang sulit diungkapkan tiap kali menatap kabut. Fenomena alam  itu memunculkan rasa  sedih, kehilangan,  dan perasaan beku yang penuh misteri. 

Carica, Purwaceng dan Kacang Dieng

Beli oleh-oleh
Malamnya saat hujan sudah reda, aku dan Akang keluyuran di toko oleh-oleh yang berjejer di kawasan Dieng.

“Carica ini buah khas Dieng. Cuma ada di sini, Mbak. Pernah ada yang mencoba menanamnya di tempat lain. Ternyata tak bisa tumbuh lho!” Ujar Ibu penjual oleh-oleh dengan penuh semangat.

Rasanya aku tak percaya kalau Carica hanya bisa tumbuh di Dieng, tapi untuk menyenangkan hati si Ibu aku manggut-manggut saja.

Buah carica segar


“Bentuk aslinya seperti apa sih, Bu? “ Tanyaku antusias.

Ibu itu bergegas menghampiri sebuah baskom di kolong meja. Dia mengambil satu buah carica dan memberikannya padaku.

“Ini carica segar. Rasanya agak asam  tapi harum. Bentuknya mirip belimbing.Tapi kalau dilihat di  pohonnya mirip buah pepaya.”  Jelasnya.

Aku mencium buah itu. Hidungku menangkap aroma  wangi buah markisa. Ya, benar-benar mirip bau markisa.

Carica (baca : Karika) sebenarnya berasal dari dataran tinggi Andes, Amerika Selatan.  Buah ini masih “kerabat” buah pepaya, dan kerap disebut pepaya gunung karena habitat hidupnya pada dataran tinggi basah di ketinggian 1500-3000 mdpl.

Carica dibawa masuk ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa perang dunia II, dan berhasil dikembangkan di Dataran Tinggi Dieng. Sekarang buah ini menjadi oleh-oleh khas Dieng.

Aku dan Akang mencicipi manisan carica.  Rasanya “kres..kres” renyah segar jauh lebih enak dari pepaya.  Satu kotak manisan carica isi 6 porsi harganya Rp. 30.000,-

Manisan carica


“Kalo buat Mas-nya ini cocok,lho... Ini juga khas Dieng. Bagus buat meningkatkan vitalitas pria.” Si Ibu penjual oleh-oleh cengengesan penuh arti  sambil menyodorkan sebuah bungkusan hijau bertuliskan “Purwaceng”. 

“Purwaceng itu tanaman khas Dieng, khasiatnya untuk memulihkan stamina tubuh. Konon sering digunakan raja-raja dan keluarganya untuk keperkasaan dan menjaga kesehatan. Ini sudah diolah dalam bentuk minuman. Ada rasa kopi, susu, dan teh. Yang rasa original juga ada. Tinggal diseduh dengan air panas. Bagus ini Mas..” Si Ibu membombardir kami dengan promosi.


Oleh-oleh Dieng : carica, purwaceng dan kacang Dieng
Nama latin Purwaceng adalah Pimpinella Fruacan merupakan jenis tumbuhan obat, sejenis ginseng yang memiliki akar merambat. Purwaceng hidup merambat di atas permukaan tanah seperti tumbuhan pegagan. Daunnya kecil-kecil dengan warna hijau kemerahan berukuran sekitar 3 cm.Tanaman ini berasal dari pegunungan Alpen –Swiss pada ketinggian 2000-3000 mdpl. 

Harga minuman Purwaceng berkisar antar Rp. 25.000,- sampai Rp. 70.000,- per paket tergantung banyak isinya.

“Selain carica dan purwaceng, oleh-oleh apa lagi yang ciri khas Dieng,Bu? “ Tanyaku.

Si Ibu menyodorkan bungkusan  bertuliskan “Kacang Dieng”.

“Ini kacang khas Dieng.  Enak, Mbak. Ada macam-macam rasa. Harganya Rp. 15.000,- per bungkus.” Ucapnya.

Kacang Dieng adalah jenis kacang yang polongnya mirip buncis, tapi lebih pendek dan lebih besar. Tiap polong terdiri dari 2-3 biji kacang yang berbentuk agak lonjong, gemuk dan salah satu ujungnya menyerupai bokong babi. Karena itu ada yang menyebut kacang Dieng sebagai kacang babi. Untung hanya sekedar nama. Kacang ini halal bagi muslim, lho.Hehehehe...

Setelah membeli sedikit oleh-oleh aku dan Akang melanjutkan jalan-jalan. Kok cuma sedikit? Inginku sih beli oleh-oleh yang banyaknya segambreng, tapi mau diangkut pakai apa? Di motor nggak muat! Hiks...

Mie Ongklok, Cabe Dieng dan Pendaki Gunung

Disepanjang kawasan Dieng banyak terdapat warung makan. Aku dan Akang sengaja melihat-lihat dulu untuk memilih menu yang unik.  Ada yang menjual bebek goreng, ayam panggang, nasi goreng, bakso, mie ayam dan soto. Tapi semua menu itu tampak sangat umum. Kami ingin mencari makanan yang tak ada di Bogor. 

Sebuah warung makan tampak ramai dipadati anak-anak muda. Di warung itu terpampang tulisan “ Sedia Mie Ongklok “. 

“Nah, ini kayaknya unik, Kang. Kemarin waktu lewat kota Wonosobo, banyak sekali tempat makan yang menyediakan menu mie ongklok ini. Kita coba yuk!” Aku menarik lengan Akang mengajaknya masuk warung. 

Mie ongklok adalah makanan khas Wonosobo.  Disebut mie ongklok karena cara memasaknya menggunakan alat yang disebut ongklok, semacam keranjang kecil dari anyaman bambu. Ongklok digunakan untuk wadah mencelupkan mie ke dalam air panas. 

Mie Ongklok

Apa bedanya mie ongklok dengan varian mie lainnya? Mirip dengan olahan mie lainnya, mie ongklok  berupa mie kuning ditambah sayuran kubis dan kucai. Yang membuatnya istimewa adalah campuran bumbu  pelengkap yang unik dan membangkitkan selera.  Bumbu diguyurkan di atas mie, terlihat mirip “toping” kental dan spicy. Bahannya dari saripati singkong, udang kering, gula merah dan kacang.  Terbayang enaknya kan ? Hmmm.... Selain itu pelengkap lainnya adalah sate sapi, kerupuk dan tempe goreng tepung yang renyah.

Jangan lewatkan mencicipi mie ongklok bila berkunjung ke Wonosobo dan Dieng ya!

Supaya lebih sedap makan mie ongklok, perlu ditambahkan satu pelengkap lagi, yaitu sambal yang dibuat dari cabai Dieng.  Cabai khas Dieng ini berwujud gendut-gendut cantik menggemaskan. Rasa pedasnya “wow”, lebih pedas daripada cabe rawit biasa. Tapi yang istimewa dari cabe Dieng, biar pedas tak akan terasa panas di perut. Pedasnya hanya sampai mulut. Tak percaya? Coba deh!

Cabe Dieng

Sambal dari cabe Dieng


Saat menikmati mie ongklok, aku berbincang-bincang dengan anak-anak muda yang duduk di warung itu. Mereka membawa tas-tas ransel super besar  penuh peralatan mendaki. Ada tenda, panci kecil, tikar dan lain-lain.

“Rombongan dari mana, Dik? “ Tanyaku pada salah seorang anak muda.

“Kami dari Pekalongan, Mbak. Mau mendaki gunung. Tapi kacau kayaknya...” Anak muda itu termenung dengan tampang galau.

“Kacau karena hujan ya? “ Tebakku.

“Iya, Mbak. Hujan membuat jalan licin. Entah jadi atau tidak kami mendaki malam ini. Rencana jam 12 tengah malam  berangkatnya. Ingin melihat matahari terbit dari puncak gunung. “ Ujarnya.

Salah satu daya tarik wisata  Dieng  bagi pecinta alam adalah mendaki gunung. Ada beberapa jalur pendakian untuk menuju Bukit Sikunir dan Gunung Prau. 

“Kalau  mendaki gunung, apa saja yang dilakukan di sana? “ Tanyaku.

“Wah, banyak Mbak. Pemandangannya indah, spektakuler.  Ada barisan gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu, Merapi, Batok, Ungaran dan bukit-bukitnya. Ada padang rumput hijau telaga Wurung,  dan bunga-bunga liar yang cantik. Lalu terlihat pemandangan telaga warna dari ketinggian, sehingga bisa kelihatan jelas warna-warni uniknya.  Malam hari di area Plintangan, kami bisa melihat taburan bintang di langit  dari sela-sela pohon cemara yang banyak terdapat di sana. Pagi hari kami menyaksikan matahari terbit, lalu berlanjut trekking menyusuri jalan setapak dengan udara segar dan bentang alam yang indah. Pokoknya sulit diungkapkan deh, Mbak. Indah sekali!” Ucap anak muda itu penuh semangat.

Rasanya iri mendengar cerita anak muda itu. Alangkah asyiknya bisa menikmati keindahan alam dengan cara mendaki gunung.

Dieng yang cantik dengan pesona alamnya, sungguh menarik sebagai tempat tujuan wisata. Hanya saja masih perlu lebih dikembangkan, misalnya dengan perawatan dan penataan kembali objek-objek wisata yang sekarang mulai tampak kurang terawat. Satu hal lagi, semoga ada investor yang membangun hotel yang layak di tempat indah ini.


Bagi yang ingin berkunjung ke Dieng, sebaiknya hindari  berkunjung di musim hujan.Waktu yang tepat adalah di musim kemarau sekitar bulan Juli dan Agustus. Cuaca cerah sangat mendukung  wisatawan   menikmati seluruh objek wisata di tempat indah ini secara maksimal.


Kisah Selanjutnya Klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar