Aku, Akang dan si Kuning |
Simak kisah sebelumnya, perjalanan dari Bogor ke Dieng klik di sini
Touring dari
Bogor ke Dieng naik motor, asyik lho! Itulah yang kulakukan bersama suamiku, si
Akang. Setelah menempuh jarak 480 km selama lebih kurang 13 jam perjalanan,
rasa lelah kami terbayar dengan menyaksikan pemandangan indah menakjubkan
Dataran Tinggi Dieng dengan segala keunikannya. Ada apa saja di Dieng? Ini
kisahnya.
Pagi
di Dieng
Dini hari kami
terbangun. Butuh kekuatan melawan rasa malas untuk bangkit dan melepas selimut.
Hujan turun rintik-rintik membuat hawa dingin berkisar antara 6-10 derajat
Celcius kian menggigit. Pupus sudah harapanku melihat matahari terbit dari bukit Sikunir. Tak mungkin mendaki bukit itu
dalam kondisi hujan seperti ini, terlalu berbahaya. Selesai mandi dan shalat, kami bersiap-siap
menjelajah kawasan Dieng.
Akhirnya hujan
reda. Jam 6. 20 aku dan Akang sudah meluncur bersama si Kuning menelusuri jalan
dengan pemandangan indah di kiri kanannya. Bukit hijau berbaris, sambung
menyambung dengan sawah yang
berundak-undak. Di kejauhan kami melihat cerobong-cerobong putih mengeluarkan asap, tampaknya merupakan
cerobong PT Geo Dipa, sebuah perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Sebuah home stay
bergaya bali menarik perhatianku. “Ratu Home Stay “ begitulah namanya. Aku
meminta Akang mampir ke sana, siapa tahu kami bisa pindah dari home stay buruk
tempat kami menginap saat ini. Tapi sayang, home stay unik itu sudah penuh.
Kami juga melihat beberapa home stay yang kondisinya lebih bagus, tapi juga
sudah penuh. Apa boleh buat, kami harus menerima nasib. Hiks..
Landscape cantik Dataran Tinggi Dieng |
Kami berputar
arah menuju kawasan wisata. Di sebuah gerbang petugas menyambut. Kami membayar
karcis seharga Rp. 8.000,- per orang.
Add caption |
Dieng Plateau Theater |
Kawasan wisata masih
sepi. Kami memutuskan menuju Dieng
Plateau Theatre. Tempat ini berada di atas Telaga Warna di lereng bukit
Sikendil desa Dieng. Sayangnya tempat ini belum buka, dan tampak kurang
terawat. Dieng Plateau Theatre
dilengkapi sarana audio visual dan film dokumenter tentang aktifitas gunung
Dieng yang berisi gambaran pembentukan kawah-kawah dan juga tentang tragedi
kawah Sinila yang menyemburkan gas beracun karbon monoksida pada 20 Februari
1979. Bencana itu menelan 149 korban jiwa.
Telaga Warna
Sebuah tempat
wisata alam yang sangat populer di kawasan Dieng adalah Telaga Warna. Keunikan
telaga ini, airnya kerap berubah warna menjadi merah, biru, putih,
hijau dan lembayung akibat refleksi endapan belerang. Karena kandungan belerang yang tinggi, tak
ada ikan dan hewan air yang hidup di telaga ini.
Di Telaga Warna |
Untuk masuk ke kawasan
Telaga Warna seluas 39,6 hektar ini, kami membayar karcis seharga Rp. 7.500,-
per orang. Melangkah masuk ke kawasan
ini, kami langsung disuguhi pemandangan telaga cantik dikelilingi hutan dan bukit yang asri.
Telaga Warna |
Kami menyusuri
jalan di sisi telaga. Di tepi yang landai,
terdapat gelembung-gelembung gas yang keluar membentuk buih menggelegak
di permukaan air. Bau gas belerang yang
kuat mengambang di udara.
Suasana di
telaga ini sedikit mengingatkan aku pada suasana hening Nami Island di Korea Selatan. Apalagi
kehadiran sebatang pohon bernuansa orange yang mirip warna pohon di Korea Selatan
pada musim gugur. Indah sekali.
Pemandangan yang mengingatkan pada musim gugur di Korsel |
Berada satu
kawasan dengan Telaga Warna terdapat beberapa tempat yang unik seperti Telaga
Pengilon. Telaga ini airnya jernih berbeda dengan Telaga Warna meskipun
sebenarnya dua telaga ini bersambung, hanya terpisah oleh vegetasi alamiah.
Telaga Pengilon |
Batu Tulis
Kawasan wisata
Telaga Warna menyimpan segudang mitos
dan kepercayaan tentang tempat-tempat bersejarah yang masih disakralkan oleh
masyarakat setempat.
Salah satunya
adalah Batu Tulis yang disebut juga Batu Semar karena bentuknya menyerupai
tokoh Semar dalam pewayangan. Tempat ini juga merupakan tempat meditasi
komunitas kejawen dan masyarakat Hindu pada zaman dahulu.
Batu Tulis |
Di tempat ini
terdapat arca Gajahmada sebagai mata rantai sejarah peradaban Mataram Kuno dan
Majapahit yang masyarakatnya menganut agama Hindu.
Gua Jaran
Salah satu
tempat yang juga disakralkan oleh masyarakat setempat adalah gua jaran. Alkisah
pada saat hujan lebat, ada seekor kuda mencari tempat berteduh. Kuda itu masuk
ke dalam gua dan bermalam di sana. Anehnya keesokan hari ketika keluar dari
gua, sang kuda dalam keadaan hamil. Maka masyarakat mempercayai bila seseorang
ingin memperoleh keturunan mereka bisa bermeditasi di gua jaran.
Gua Sumur
Goa Sumur |
Tak jauh dari
gua jaran terdapat gua sumur yang di depannya terdapat arca wanita membawa
kendi. Ditempat ini tercium aroma wangi
yang misterius. Bau harum itu seperti kemenyan atau dupa, dan aroma bunga.
Kucari-cari sumber bau, tapi tak kudapati tempat pembakaran dupa, atau
bunga-bunga yang menebar harum seperti yang tertangkap indra penciumanku.
Gua sumur
termasuk tempat yang disakralkan masyarakat Dieng. Sumurnya tampak dipagari dan
dikunci. Air sumur ini kerap digunakan untuk upacara Mabakti oleh umat Hindu.
Selain itu masyarakat meyakini air sumur ini berkhasiat menyembuhkan berbagai
penyakit dan membuat awet muda.
Gua Pengantin
Goa Pengantin |
Satu lagi gua
yang berada di kawasan Telaga Warna adalah gua pengantin. Tempat ini dipercaya
masyarakat sebagai tempat bersemedi bagi orang yang ingin mendapatkan jodoh.
Terlepas dari
kepercayaan yang dianut masyarakat, aku sendiri tentu tak sepaham. Bagiku
tempat meminta segala hajat dan keinginan adalah langsung kepada Dia, Allah SWT
Yang Maha Kuasa. Untuk memohon segala pinta tak perlu datang ke tempat-tempat
tertentu, karena sejatinya Allah SWT ada
dimana-mana lebih dekat dari urat leher makhlukNya.
Terkurung Hujan
Hari beranjak
siang. Akang membawaku kembali ke home stay.
“Kita istirahat
dulu, Neng. Akang kan mau shalat Jum’at. Nanti setelah shalat kita jalan-jalan
lagi.” Ujar Akang.
“Iya, Neng ingin
ke candi Arjuna. “ Sahutku.
Menjelang waktu
zuhur, Akang pergi ke masjid yang letaknya di depan home stay. Aku menunggu di
kamar.
Lalu hujan
turun. Gerimis kecil tapi makin lama makin rapat. Aku memandang rinai hujan
dengan cemas dari balik jendela kamar.
Akang kembali
dari shalat Jumat, bajunya lembab oleh tetes hujan. Dia kedinginan.
“Sepertinya kita
nggak bisa kemana-mana, Neng. Hujannya deras. Bisa saja kita pergi jalan-jalan
pakai jas hujan, tapi nggak asyik kan? Nggak bisa foto-foto. Kata seorang bapak
di masjid tadi hujan seperti ini biasanya lama, bisa sampai malam baru reda.”
Ucap Akang.
Aku kecewa.
Masih banyak tempat wisata di sini yang belum sempat kami kunjungi. Terutama
candi Arjuna itu. Entah kenapa aku ingin sekali ke sana.
Sepanjang hari
aku dan Akang hanya leyeh-leyeh ditempat tidur, ngobrol, bercanda dan menikmati
bunyi rintik hujan. Untuk bangun pun malas rasanya, karena dingin yang menusuk.
Durian, White Coffe dan Kabut
Usai shalat
Ashar, hujan belum juga reda, tapi kami
memutuskan keluar. Dengan payung kami menyeberang jalan menembus hujan,
lalu menghampiri tumpukan buah durian
yang tertutup plastik biru.
Menikmati durian Dieng |
Lelaki penjual
durian tergopoh-gopoh menghampiri kami.
“Silahkan
dipilih, Mas. Durian ini manis. Asli Dieng lho! Kalau nggak manis, boleh
ditukar kok.” Ucapnya pada Akang.
Sebuah durian
berukuran sedang harganya Rp. 35.000,- . Yang lebih besar seharga Rp. 40.000,-.
Kami memilih satu buah yang berukuran
sedang.
Daging durian
itu berwarna kuning keemasan, gemuk, lembut dan menebar harum menggiurkan. Rasanya manis legit, berbaur nikmat di lidah
dan indra penciumanku. Sempurna. Makan durian ditemani secangkir White Coffe
ditengah tetes air dan dingin, ternyata manjur mengobati kekecewaan akibat
rencana jalan-jalan yang kacau balau diterjang hujan. Tak apalah. Pasti ada
hikmahnya.
Masjid yang ditelan kabut |
Aku melemparkan
pandangan ke bukit-bukit di sana. Kabut putih tebal merambat , seperti tirai
yang diturunkan. Makin lama makin luas bagian yang tertutup oleh asap putih,
hingga pemandangan menjadi samar. Uap air yang berkondensasi dekat permukaan
tanah berwujud seperti awan itu pun akhirnya menelan masjid cantik di
sebelah sana. Ada semacam rasa yang
sulit diungkapkan tiap kali menatap kabut. Fenomena alam itu memunculkan rasa sedih, kehilangan, dan perasaan beku yang penuh misteri.
Malamnya saat
hujan sudah reda, aku dan Akang keluyuran di toko oleh-oleh yang berjejer di
kawasan Dieng.
“Carica ini buah
khas Dieng. Cuma ada di sini, Mbak. Pernah ada yang mencoba menanamnya di tempat
lain. Ternyata tak bisa tumbuh lho!” Ujar Ibu penjual oleh-oleh dengan penuh
semangat.
Rasanya aku tak
percaya kalau Carica hanya bisa tumbuh di Dieng, tapi untuk menyenangkan hati
si Ibu aku manggut-manggut saja.
Buah carica segar |
“Bentuk aslinya
seperti apa sih, Bu? “ Tanyaku antusias.
Ibu itu bergegas
menghampiri sebuah baskom di kolong meja. Dia mengambil satu buah carica dan memberikannya
padaku.
“Ini carica
segar. Rasanya agak asam tapi harum. Bentuknya
mirip belimbing.Tapi kalau dilihat di
pohonnya mirip buah pepaya.” Jelasnya.
Aku mencium buah
itu. Hidungku menangkap aroma wangi buah
markisa. Ya, benar-benar mirip bau markisa.
Carica (baca :
Karika) sebenarnya berasal dari dataran tinggi Andes, Amerika Selatan. Buah ini masih “kerabat” buah pepaya, dan
kerap disebut pepaya gunung karena habitat hidupnya pada dataran tinggi basah
di ketinggian 1500-3000 mdpl.
Carica dibawa
masuk ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa perang dunia II,
dan berhasil dikembangkan di Dataran Tinggi Dieng. Sekarang buah ini menjadi
oleh-oleh khas Dieng.
Aku dan Akang
mencicipi manisan carica. Rasanya
“kres..kres” renyah segar jauh lebih enak dari pepaya. Satu kotak manisan carica isi 6 porsi
harganya Rp. 30.000,-
Manisan carica |
“Kalo buat
Mas-nya ini cocok,lho... Ini juga khas Dieng. Bagus buat meningkatkan vitalitas
pria.” Si Ibu penjual oleh-oleh cengengesan penuh arti sambil menyodorkan sebuah bungkusan hijau
bertuliskan “Purwaceng”.
“Purwaceng itu
tanaman khas Dieng, khasiatnya untuk memulihkan stamina tubuh. Konon sering
digunakan raja-raja dan keluarganya untuk keperkasaan dan menjaga kesehatan.
Ini sudah diolah dalam bentuk minuman. Ada rasa kopi, susu, dan teh. Yang rasa
original juga ada. Tinggal diseduh dengan air panas. Bagus ini Mas..” Si Ibu membombardir
kami dengan promosi.
Oleh-oleh Dieng : carica, purwaceng dan kacang Dieng |
Nama latin
Purwaceng adalah Pimpinella Fruacan merupakan jenis tumbuhan obat, sejenis
ginseng yang memiliki akar merambat. Purwaceng hidup merambat di atas permukaan
tanah seperti tumbuhan pegagan. Daunnya kecil-kecil dengan warna hijau
kemerahan berukuran sekitar 3 cm.Tanaman ini berasal dari pegunungan Alpen
–Swiss pada ketinggian 2000-3000 mdpl.
Harga minuman
Purwaceng berkisar antar Rp. 25.000,- sampai Rp. 70.000,- per paket tergantung banyak
isinya.
“Selain carica
dan purwaceng, oleh-oleh apa lagi yang ciri khas Dieng,Bu? “ Tanyaku.
Si Ibu
menyodorkan bungkusan bertuliskan
“Kacang Dieng”.
“Ini kacang khas
Dieng. Enak, Mbak. Ada macam-macam rasa.
Harganya Rp. 15.000,- per bungkus.” Ucapnya.
Kacang Dieng
adalah jenis kacang yang polongnya mirip buncis, tapi lebih pendek dan lebih
besar. Tiap polong terdiri dari 2-3 biji kacang yang berbentuk agak lonjong,
gemuk dan salah satu ujungnya menyerupai bokong babi. Karena itu ada yang
menyebut kacang Dieng sebagai kacang babi. Untung hanya sekedar nama. Kacang
ini halal bagi muslim, lho.Hehehehe...
Setelah membeli
sedikit oleh-oleh aku dan Akang melanjutkan jalan-jalan. Kok cuma sedikit? Inginku
sih beli oleh-oleh yang banyaknya segambreng, tapi mau diangkut pakai apa? Di
motor nggak muat! Hiks...
Mie Ongklok, Cabe Dieng dan Pendaki Gunung
Disepanjang
kawasan Dieng banyak terdapat warung makan. Aku dan Akang sengaja melihat-lihat
dulu untuk memilih menu yang unik. Ada
yang menjual bebek goreng, ayam panggang, nasi goreng, bakso, mie ayam dan
soto. Tapi semua menu itu tampak sangat umum. Kami ingin mencari makanan yang
tak ada di Bogor.
Sebuah warung
makan tampak ramai dipadati anak-anak muda. Di warung itu terpampang tulisan “
Sedia Mie Ongklok “.
“Nah, ini
kayaknya unik, Kang. Kemarin waktu lewat kota Wonosobo, banyak sekali tempat
makan yang menyediakan menu mie ongklok ini. Kita coba yuk!” Aku menarik lengan
Akang mengajaknya masuk warung.
Mie ongklok
adalah makanan khas Wonosobo. Disebut
mie ongklok karena cara memasaknya menggunakan alat yang disebut ongklok,
semacam keranjang kecil dari anyaman bambu. Ongklok digunakan untuk wadah
mencelupkan mie ke dalam air panas.
Mie Ongklok |
Apa bedanya mie ongklok dengan varian mie lainnya? Mirip dengan olahan mie lainnya, mie ongklok berupa mie kuning ditambah sayuran kubis dan kucai. Yang membuatnya istimewa adalah campuran bumbu pelengkap yang unik dan membangkitkan selera. Bumbu diguyurkan di atas mie, terlihat mirip “toping” kental dan spicy. Bahannya dari saripati singkong, udang kering, gula merah dan kacang. Terbayang enaknya kan ? Hmmm.... Selain itu pelengkap lainnya adalah sate sapi, kerupuk dan tempe goreng tepung yang renyah.
Jangan lewatkan
mencicipi mie ongklok bila berkunjung ke Wonosobo dan Dieng ya!
Supaya lebih
sedap makan mie ongklok, perlu ditambahkan satu pelengkap lagi, yaitu sambal
yang dibuat dari cabai Dieng. Cabai khas
Dieng ini berwujud gendut-gendut cantik menggemaskan. Rasa pedasnya “wow”,
lebih pedas daripada cabe rawit biasa. Tapi yang istimewa dari cabe Dieng, biar
pedas tak akan terasa panas di perut. Pedasnya hanya sampai mulut. Tak percaya?
Coba deh!
Cabe Dieng |
Sambal dari cabe Dieng |
Saat menikmati
mie ongklok, aku berbincang-bincang dengan anak-anak muda yang duduk di warung
itu. Mereka membawa tas-tas ransel super besar penuh peralatan mendaki. Ada tenda, panci
kecil, tikar dan lain-lain.
“Rombongan dari
mana, Dik? “ Tanyaku pada salah seorang anak muda.
“Kami dari
Pekalongan, Mbak. Mau mendaki gunung. Tapi kacau kayaknya...” Anak muda itu
termenung dengan tampang galau.
“Kacau karena
hujan ya? “ Tebakku.
“Iya, Mbak.
Hujan membuat jalan licin. Entah jadi atau tidak kami mendaki malam ini. Rencana
jam 12 tengah malam berangkatnya. Ingin
melihat matahari terbit dari puncak gunung. “ Ujarnya.
Salah satu daya
tarik wisata Dieng bagi pecinta alam adalah mendaki gunung. Ada
beberapa jalur pendakian untuk menuju Bukit Sikunir dan Gunung Prau.
“Kalau mendaki gunung, apa saja yang dilakukan di
sana? “ Tanyaku.
“Wah, banyak
Mbak. Pemandangannya indah, spektakuler.
Ada barisan gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu, Merapi, Batok, Ungaran dan
bukit-bukitnya. Ada padang rumput hijau telaga Wurung, dan bunga-bunga liar yang cantik. Lalu
terlihat pemandangan telaga warna dari ketinggian, sehingga bisa kelihatan
jelas warna-warni uniknya. Malam hari di
area Plintangan, kami bisa melihat taburan bintang di langit dari sela-sela pohon cemara yang banyak
terdapat di sana. Pagi hari kami menyaksikan matahari terbit, lalu berlanjut
trekking menyusuri jalan setapak dengan udara segar dan bentang alam yang
indah. Pokoknya sulit diungkapkan deh, Mbak. Indah sekali!” Ucap anak muda itu
penuh semangat.
Rasanya iri
mendengar cerita anak muda itu. Alangkah asyiknya bisa menikmati keindahan alam
dengan cara mendaki gunung.
Dieng yang
cantik dengan pesona alamnya, sungguh menarik sebagai tempat tujuan wisata.
Hanya saja masih perlu lebih dikembangkan, misalnya dengan perawatan dan
penataan kembali objek-objek wisata yang sekarang mulai tampak kurang terawat. Satu
hal lagi, semoga ada investor yang membangun hotel yang layak di tempat indah
ini.
Bagi yang ingin berkunjung ke Dieng, sebaiknya hindari berkunjung di musim hujan.Waktu yang tepat adalah di musim kemarau sekitar bulan Juli dan Agustus. Cuaca cerah sangat mendukung wisatawan menikmati seluruh objek wisata di tempat indah ini secara maksimal.
Kisah Selanjutnya Klik di sini
Kisah Selanjutnya Klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar