Jembatan Ampera |
Ini
kisahku saat touring di bulan Juni 2014. Berhari-hari mendiskusikan tujuan
touring antara Garut, Purwokerto atau Ciwidey,
akhirnya aku dan suamiku, si Akang memutuskan Palembanglah yang menjadi tujuan
touring kali ini. Lho kok?
Pertimbangannya
adalah ingin touring dengan route menyeberang lautan dan juga sekaligus ingin
melepas rindu pada keluarga besar kami di Palembang.
Persiapan
seperti biasa kami lakukan. Kali ini kami touring menggunakan motor berjenis
enduro adventure berkapasitas mesin 650 cc. Informasi mengenai jalan yang rusak
dan titik-titik kemacetan yang akan kami lalui membuat kami memilih motor jenis
ini.
Pengalaman
lalu, ketika membawa motor berjenis cruiser atau touring yang berkapasitas
mesin 1500 cc, sulit bila berhadapan
dengan jalan rusak, berlubang parah, apalagi berbatu-batu besar. Motor jenis
cruiser pada dasarnya didesain untuk jalan mulus. Belum lagi bila menghadapi kemacetan lalu lintas, motor yang berbobot
400-an kg benar-benar membuat
pengendaranya mengerahkan tenaga ekstra. Apalagi kalau ada yang duduk di
boncengannya, tambah lagi dong tenaga ekstra yang harus dikerahkan sang
pengendara.
Jadi ingat saat touring ke Jogjakarta, kami
sempat terjebak macet di Jl. Soekarno Hatta Bandung. Terbayang bagaimana
perjuangan si Akang menahan beban menegakkan motor besar ditambah bobot tubuhku dan barang bawaan. Beban itu harus ditanggung selama puluhan menit
saat terhenti di tengah jalan yang dipadati motor-motor bebek dan angkot yang
berdesakan.
Kalau
membayangkan hal itu lagi, pasti si Akang akan mengelap keringet sambil bilang
“Fiuuuh....! Capek deh.”
Sementara aku sih tidak merasa. Aku kan hanya duduk manis saja di boncengan,
sambil sesekali memijat pundak Akang, dan melontarkan pertanyaan bodoh.
“Capek, ya sayang? “
Hehehe...
Usai
shalat subuh, segelas air hangat yang dicampur madu menghangatkan perut kami.
Untaian doa kami ucapkan sebelum memulai perjalanan, memohon keselamatan dan
perlindunganNya. Ketika jam menunjukan
pukul 5.00 WIB, roda motor mulai menggilas aspal melaju membelah udara pagi.
Setelah
mengisi tangki bahan bakarsi Kuning hingga penuh di jalan Pahlawan Bogor, kami
menyusuri jalan sambil menikmati suasana menjelang pagi. Beberapa laki-laki
berpeci berjalan beriringan pulang dari masjid. Jalanan masih lengang, hanya
sesekali angkutan kota melintas dengan jumlah penumpang satu atau dua orang.
Kami
melewati jalan Raya Gunung Batu, melintasi kampus IPB di daerah Dramaga, terus
ke jalan Warung Bogor Ciampea, dan jalan
Raya Bogor-Leuwiliang. Tiba di jalan Raya Sadeng, laju motor tersendat karena
ada perbaikan jalan. Kendaraan yang lewat harus bergiliran, karena jalur yang
dapat dilalui hanya satu. Untung saja hari masih pagi, sehingga jumlah
kendaraan yang lewat tak banyak.
Tiba
di simpang Leuwiliang - Kampung Sawah, Akang agak bimbang menentukan arah. Biasanya dia melalui jalan yang besar, tapi
GPS menunjukkan jalan yang lebih kecil.
Akhirnya Akang memilih ikut petunjuk GPS, yaitu masuk ke Jl. Letnan Sayuti.
Jalan
itu jalan desa. Di kiri kanan terdapat
deretan rumah penduduk, sawah yang hijau, sekolah, warung-warung, puskesmas,
dan fasilitas desa lainnya. Jalan itu sangat panjang, di beberapa titik terdapat tikungan sementara di sisi kiri
berjejer pohon-pohon bambu.
Udara
segar mengisi rongga dadaku, sesekali aku mencium bau masakan dari rumah-rumah
penduduk yang sudah memulai aktivitasnya. Bau ikan asin goreng, dan ubi rebus... mmmm...
Lalu terdapat kerusakan jalan yang parah mulai
dari jalan yang becek berbatu, berlubang
dan tergenang air berwarna coklat, hingga ada yang membentuk kolam hingga tak
terlihat seberapa dalamnya.
Melewati jalan rusak |
Akang
dengan hati-hati memperlambat laju motor dan berusaha menjaga agar tetap stabil.
Aku yang duduk di boncengan tak terlalu terganggu dengan kondisi jalan itu,
mungkin karena aku menikmati setiap detik perjalanan, atau karena suspensi
motor yang nyaman tak sampai menyiksaku dengan guncangan-guncangan kuat.
Tiba
disebuah persimpangan jalan, GPS menunjukkan arah belok kiri, ke arah Cisoka.
Kami masuk ke jalan beton yang tampak masih baru,mulus dan sepi. Di sisi kanan dan kiri terhampar lapangan
luas. Akang memacu motor dengan
kecepatan 90- 100 km/ jam.
“Asyiik! Kalau jalannya begini terus kita pasti cepat sampai!” Seruku
kegirangan.
Jalan beton berujung jebakan batman |
Rupanya jalan mulus itu singkat saja. Beton
mulus tiba-tiba terputus, berganti
dengan genangan air berwarna coklat dengan batu-batu mencuat dari aspal yang
rusak.
Akang
ragu-ragu sejenak, dia tak dapat menduga seberapa dalam genangan air itu. Lalu
dia mengambil jalan pinggir, karena
mengira bagian pinggir lebih rata daripada bagian tengah jalan.
Lalu,...
ups... ternyata kami masuk jebakan batman!
Tanah di pinggir jalan itu bonyok. Motor pun terperosok, tak mampu
bergerak terkungkung tanah berlumpur.
“Turun, Neng!” Seru si Akang.
Di
sisi kiriku terdapat batu-batu yang mencuat lebih tinggi dari genangan air.
Dengan sigap aku melompat, dan sukses mendaratkan kakiku di batu-batu itu. Aku
menjauh dari motor, sementara Akang
berusaha membebaskan motornya dengan meng-gas kuat-kuat. Akibatnya putaran roda
membuat lumpur bercipratan kemana-mana
mengotori bagian bawah motor, celana Akang hingga side box, sementara
motor sama sekali tak bergerak .
Terperrosok lumpur |
Akang
memadamkan mesin motor, lalu berusaha mendorong motor keluar dari kepungan
lumpur. Tapi gagal total. Bobot motor
yang 206 kg ditambah berat side box tak mampu ditanggungnya sendirian.
Setelah
sering bepergian berdua, aku belajar bersikap sebagai seorang “boncenger” dan pendamping yang baik . Dalam keadaan tak menyenangkan seperti ini, yang
tidak boleh dilakukan adalah menampakkan wajah cemberut, mengeluh, bawel,
manja, cengeng apalagi marah-marah menyalahkan Akang sebagai pengendara yang
salah pilih jalan.
Lalu
harus bagaimana? Membantu sebisanya, dan
tenang saja. Tidak bersikap menyebalkan
disaat-saat sulit sudah merupakan hal yang sangat membantu bagi
Akang.
Seorang
lelaki dengan motor bebek datang dari arah berlawanan.
“
Pak, tolong bantu saya mendorong motor.” Seru Akang.
“Oh,
iya, Pak. Sebentar ya. “ Jawabnya.
Lelaki
itu segera menepikan motornya. Lalu datang lagi dua anak muda yang berboncengan
dengan motor bebek. Anak-anak muda itu memakai sepatu kets, salah satunya
berwarna putih bersih, tapi mereka baik sekali! Tak takut sepatunya jadi kotor, tanpa diminta
mereka langsung bergabung membantu mendorong motor .
Aksi pembebasan si Kuning |
Dengan
tenaga 4 laki-laki, sebentar saja motor itu terbebas dari lumpur. Alhamdulillah...
Senangnya bertemu dengan orang-orang yang suka menolong. Aku dan Akang langsung
sumringah dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Para penolong pun segera
berlalu, melanjutkan perjalanannya.
Si
Kuning, motor kami, ditepikan di sisi jalan. Kami berdua celingukan
kebingungan. Si Kuning kotor sekali!
Bagaimana bisa duduk di jok yang penuh noktah lumpur?
Setelah terbebas dari lumpur |
Aku
membuka tas dibagian badan motor, mengambil tisu basah. Lalu mulai membersihkan
bagian jok. Tapi butuh berlembar-lembar kertas tisu untuk membersihkan hingga
jok layak di duduki. Bagaimana dengan bagian tutup side box? Kalau tak
dibersihkan pasti bajuku ikut terkena lumpur.
Beberapa
motor dan mobil melintas.
“
Ada apa Mbak? Jatuh ya? Luka nggak? “ Tanya seorang lelaki dari atas motor yang
melaju pelan.
“Kenapa,
Pak? Ada yang bisa dibantu?” Tanya seorang bapak yang melongokkan kepala dari
balik jendela mobilnya.
Hihihi...
aku dipanggil “ Mbak” sementara si Akang dipanggil “ Pak”. Berasa awet muda
dong...
Seorang
anak muda berkaos putih mengendarai motor berteriak.” Disana ada air bersih,
Pak! Itu di pinggir lapangan. Bawa saja motornya kesana. Cuci disana saja.”
Sungguh
hebat efek yang dihasilkan oleh sebuah tindakan bernama “perhatian”. Kami yang
sempat terhenyak lesu melihat lumpur yang mengotori motor kembali bersemangat.
Tentu akan beda rasanya bila orang-orang yang melihat kami hanya diam dan berlalu. Oh.. I love
Indonesia, inilah keramah-tamahan dan sifat penolong yang menjadi pribadi
bangsaku.
Setelah
mencuci tangan dan membersihkan lumpur di sepatu serta bagian belakang celana
di sumber air bersih , Akang memutuskan
segera melanjutkan perjalanan, meski si Kuning masih berhias lumpur.
Tak
lama, kami melewati sebuah tempat yang merupakan bagian dari areal perumahan
bernama Taman Adhiyasa, Cisoka. Jalan yang rusak dihadapan kami kali ini tak
main-main. Genangan air berwarna coklat keruh membentuk kolam yang menghabiskan
seluruh badan jalan kecuali sedikit sisa aspal selebar 50 cm di bagian kanan pinggir jalan. Aspal selebar 50 cm itu panjangnya
sekitar 20 m.
Agak
ngeri dan masih dibayangi peristiwa terperosok
tadi, Akang memintaku turun lagi dari motor. Aku berjalan di belakang
motor sambil berdebar-debar melihat Akang pelan-pelan melalui aspal sempit itu.
“Semoga
tidak terpeleset.” Bisikku dalam hati.
Syukurlah,
jalan itu bisa dilalui. Di ujung jalan rusak itu telah berderet-deret motor
menanti giliran lewat jalan “sirkus” itu. Ah...leganya...
Setelah
itu masih ada beberapa titik jalan rusak yang kami lalui. Bahkan masyarakat
“menanam” batang pohon yang digantungi
kardus-kardus dan botol plastik bekas minuman di salah satu lubang jalan,
sebagai bentuk protes pada pemerintah akan parahnya kondisi jalan itu.
Memasuki
Jl. Raya Serang, kami beberapa kali menjumpai jalan tersendat akibat antrian
kendaraan yang padat. Truk-truk besar dan trailer bercampur angkot dan sepeda
motor antri di dua jalur. Tapi tak lama kemudian kembali lancar.
Matahari
sudah menampakkan kehangatannya, hingga kami merasa haus. Kami memutuskan
berhenti untuk istirahat sejenak di sebuah mini market yang terletak tepat di
depan kantor polisi sektor Cikande.
Aku
membeli air isotonik dan mengantri di sebuah mesin ATM. Tapi sayang, ATM itu rusak.
“ATM-nya
rusak, Pak. Tak bisa ambil uang.” Ujarku pada beberapa orang bapak yang
mengantri di belakangku. Kontan antrian bubar, kecuali seorang ibu yang akan
mentrasfer dana.
Keluar
dari mini market, Akang memberiku 2
potong roti gandum berselai coklat. Roti itu cepat-cepat kuhabiskan, berikut
sebotol minuman isotonik.
Perjalanan
berlanjut. Di jalan Raya Serang km 35 laju motor tersendat karena
antrian kendaraan di dua sisi jalan. Berbagai macam truk, trailer, dan angkot
berjejer dalam antrian sementara motor-motor berjejalan di sela-sela kendaraan
besar.
Macet |
Untunglah
tak terlalu lama kami bisa terbebas dari antrian itu. Jalan-jalan utama di
Serang lebar dan mulus. Perjalanan selanjutnya
menuju Cilegon dan Merak berjalan lancar.
Gerbang Cilegon |
Ketika
aku melihat birunya laut, rasa senang sekali. Kami berhenti sebentar di tepi
jalan sebelum memasuki pelabuhan Merak. Si Akang mengarahkan cameranya mengambil
fotoku dan si Kuning.
Pukul
9. 38 kami tiba di pelabuhan Merak.
Setelah membayar tarif naik kapal untuk motor sebesar Rp. 93.000,-.kami menunggu di bagian
depan antrian kendaraan . Beberapa saat kemudian, setelah sempat ke toilet di
dekat dermaga, barulah tiba giliran kami naik ke kapal.
Naik meuju kapal ferry |
Setelah
memarkir motor di geladak, berjejer
dengan motor-motor lain, kami berdua naik ke anjungan menuju ke ruang penumpang
eksekutif.
Ruangan
itu nyaman. Kursi-kursi lebar yang
empuk berbentuk segiempat cukup nyaman untuk istirahat. Tubuh kami yang
terpapar panasnya sinar matahari terasa “nyess” ketika berbaur dengan hawa
sejuk dari pendingin ruangan.
Seorang
laki-laki berambut gondrong memainkan keyboard-nya. Sambil memainkan musik, dia
menyapa penumpang di ruang eksekutif
itu.
“Bapak-Bapak,
Ibu-ibu selamat siang. Saya akan menemani perjalanan anda dengan lagu-lagu
favourite anda. Silahkan yang ingin menyanyi, menyumbangkan suara emas-nya,
saya akan mengiringi dengan musik. Mari silahkan, Pak.. Bu...”
Si
Gondrong itu mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan, tapi yang ditemuinya
hanya wajah-wajah kuyu kelelahan.
“Neng,
kenapa Neng nggak nyanyi?” Bisik Akang.
“Ogah,
ngantuk. Neng tidur ya.” Sejenak kemudian aku sudah terlelap.
Entah
berapa lama aku tertidur, hingga terbangun kala mendengar suara si Gondrong
menyanyikan lagu Broery, entah apa judulnya. Yang jelas ada syair yang
menyebutkan “ buah semangka berdaun
sirih”.
Kasihan
sekali si Gondrong ini, sejak tadi menawar-nawarkan para penumpang untuk
menyanyi tapi tak ada satu pun yang berminat. Terpaksalah dia sendiri yang
menyanyi sepanjang perjalanan menyebrang ke Bakauheni.
Penyeberangan
Merak-Bakauheni yang biasanya memakan waktu 2,5- 3 jam, ternyata molor sampai 4
jam karenan kapal harus antri untuk merapat di dermaga. Ketika akhirnya kapal
berlabuh, aku dan Akang turun ke geladak bersiap-siap melanjutkan perjalanan.
Si
Kuning yang tampak berbeda sendiri di tengah deretan motor-motor lain menarik
perhatian para penumpang. Beberapa pria
dan seorang wanita setengah baya yang juga bepergian dengan motor mengerubungi
kami sambil melihat-lihat dan meraba si Kuning. Mereka menyapa kami, mengajak
ngobrol.
Bersama si Kuning |
“ Motornya berapa cc, Mas?”
“
Darimana, dan mau touring kemana?”
“Sudah
pernah touring kemana saja?”
“Mana
rombongannya?”
“Susah
nggak handlingnya?”
“Motornya
gagah. Berat nggak bawanya?”
Aku
terkikik. Ya, tentu saja berat kalau dibawa, tapi kalau di kendarai kan
nyaman...
Kaki
kami menjejak pulau Sumatera pukul 13.25
WIB. Menyusuri jalan lintas Sumatera terasa
berbeda suasananya dengan jalan-jalan di
Jawa. Pemandangan di kiri kanan jalan banyak dihiasi rawa-rawa, tak seindah
pemandangan di Jawa. Tapi jalan lebih sepi, tak ada kemacetan.
Kami
mampir ke sebuah pom bensin, tapi sayang di pom bensin ini tak tersedia bahan
bakar pertamax. Terpaksa si Kuning di beri “minum” sedikit premium. Sumatera
berbeda dengan Jawa. Di Jawa lebih mudah
memperoleh pertamax di sepanjang jalan lintas pulau. Aku dan akang melaksanakan shalat zuhur dan ashar jamak
takdim berjamaah. Sayang sekali Akang tak sempat melakukan shalat Jumat karena
di kapal meski ada musholla tak
diselenggarakan shalat Jumat di sana.
Perjalanan
berlanjut. Perut kami lapar. Hanya saja
mencari rumah makan yang layak di jalan lintas Timur Sumatera tidak semudah di
Jawa. Kebanyakan di sini hanya rumah makan kecil yang tampak kurang bersih.
Akhirnya setelah jam menunjukkan pukul 14.30 kami berhenti di sebuah rumah
makan besar di daerah Ketapang. Rumah Makan
Tiga Saudara, begitulah namanya.
RM Tiga Saudara |
Menu Makan Siang |
Rumah
Makan ini memiliki lahan parkir yang luas. Akang memarkir si Kuning di dekat
pintu masuk. Kami memilih tempat duduk terdekat dengan pintu. Lalu pelayan
segera menghindangkan makanan.
Aku
dan Akang memilih ayam dan rendang, dimakan dengan setengah piring nasi, lalapan
dan sambal. Kami juga memesan secangkir white coffe sebenagai “booster” yang
memperbaiki mood dan menghalau kantuk.
Kami
melanjutkan perjalanan dengan energi baru. Rasanya semangat kembali bangkit,
meski pemandangan di sepanjang jalan tidak menarik. Akang memacu si Kuning
dengan kecepatan bervariasi antara 80-100 km/jam melalui jalan yang sepi.
Sebelum
memasuki Sukadana kami dihadang jalan buruk. Batu-batu gravel mencuat dari
aspal yang rusak, tanah bercampur air coklat keruh menggenangi jalan. Akang meliuk-liukkan
si Kuning memilih jalan dan mengindari batuan serta jalan berlubang.
Kemudian
kami dihadapkan pada pilihan sulit. Genangan air keruh meyerupai “kolam”
menganga di seluruh permukaan jalan. Benar-benar
tak ada pilihan. Aku dan Akang khawatir si Kuning kembali terperosok seperti
saat melewati Cisoka.
Jalan rusak membentuk kolam berair keruh |
“Neng
turun saja ya, Kang.” Ujarku cemas. Aku takut berat tubuhku membebani si Kuning melewati jalan buruk.
Akang
menghentikan si Kuning ketika lajunya hampir menyentuh bibir “kolam” keruh itu.
“Neng
mau jalan lewat halaman rumah itu ya. Mudah-mudahan si Kuning bisa lewat dengan
selamat. Nanti tunggu Neng di ujung sana.”
Aku
melangkah masuk ke halaman rumah itu. Seorang ibu sedang membabat rumput yang tumbuh mengganggu tanaman bunganya.
Beberapa anak laki-laki berlarian sambil tertawa-tawa.
“
Ibu, permisi.Saya numpang lewat ya. Jalannya becek. “ Ucapku sambil tersenyum.
“Oya,
silahkan. Naik motor ya? Dari mana mau ke mana, Dik? “ Tanya si Ibu.
“Terimakasih,
Bu. Saya dari Bogor mau ke Palembang. “ Jawabanku disambut gelengan kepala si
Ibu.
“Jauh
sekali. Kamu kuat? “ Ucap si Ibu.
Aku
tertawa.
Seorang
anak laki-laki mendekat.
“Foto
kami, Kak... Foto kami!” Pintanya ketika dia melihat camera yang kubawa.
“Oke!
Ayo sini dipotret. “ Aku mengarahkan lensa
camera pada anak lelaki, adik-adik dan neneknya.
Keceriaan aanak-anak yang menulari aku |
Mereka
tertawa-tawa gembira dan bergaya di depan cameraku. Aku menjepret aksi mereka
beberapa kali. Sungguh ajaib efek yang ditimbulkan ekspresi wajah riang
anak-anak ini. Meski aku tak mengenal
mereka, dan kami mungkin tak pernah bertemu lagi setelah ini, tapi tawa , raut
wajah riang dan kepolosan mereka membuat moodku bangkit. Aku tersentuh.
Anak-anak ini mungkin tak akan pernah melihat hasil fotoku. Tapi mereka sudah
meninggalkan seberkas kenangan manis. Mereka
mewarnai dokumentasi perjalanan touringku dan
membuat suasana hatiku menjadi lebih baik.
Aku
melambaikan tangan ke arah mereka. Kupercepat langkah menghampiri Akang yang
sudah menunggu di ujung jalan rusak. Syukurlah si Kuning bisa melewati kolam keruh
itu dengan selamat. Anak-anak itu berlari-lari mengiringi langkahku,
berteriak-teriak dan membalas lambaian dengan
penuh semangat.
“Selamat
tinggal teman-teman kecil..”
Kami
melewati Sukadana dan Menggala. Ketika memasuki wilayah Tulang Bawang hari sudah
berangsur gelap. Pukul 17.50 kami memutuskan berhenti di sebuah pom bensin
untuk melaksanakan shalat maghrib.
Alhamdulillah,
Pom bensin yang terletak di Indraloka Tulang Bawang ini terdapat bahan bakar
pertamax. Akang segera mengisi full tangki si Kuning yang berkapasitas 18 liter
agar kami tak was-was di jalan karena takut kehabisan bahan bakar.
Jam
menunjukkan pukul 19.00 ketika kami kembali menggilas jalan. Kami melalui
Mesuji Lampung, Mesuji Sumsel, Lempuing, Pematang Panggang, Teluk Gelam, dan Kayu Agung. Di Tanjung Raja, pukul 20.35
WIB kami istirahat sebentar untuk minum
di sebuah mini market.
Perjalanan
selanjutnya menuju Indralaya. Di wilayah ini ketahanan kami kembali diuji. Kali
ini dengan kemacetan yang panjangnya berkilo-kilo meter. Akang dengan sabar
mencari celah diantara truk-truk, bus dan mobil pribadi yang mengular. Sebisa
mungkin dia mengambil jalur kanan memanfaatkan celah antara dua arus kendaraan
yang berlawanan. Sedikit demi sedikit kami terus maju dan akhirnya bisa
terbebas dari antrian panjang itu.
Pukul
22.45 kami memasuki kota Palembang. Kami
melewati daerah Polygon, Jalan Parameswara, Jalan Demang Lebar Daun dan Jalan
Basuki Rahmat.
Di
simpang empat Kenten, aku meminta Akang berhenti untuk membeli martabak telur
bumbu kari. Rasanya rindu sekali mencicipi makanan itu.
Seorang
wanita keturunan India menyambut kami. Melihat si Kuning yang bernomor plat
Bogor, dia langsung mengajak kami berbicara dengan bahasa Sunda.
Aku
tertawa-tawa.
“Aduh
Ibu, aku nyerah. Aku nggak bisa bahasa Sunda. Kami memang tinggal di Bogor ,
tapi lebih lama tinggal di Palembang. “ Sahutku.
“Oo...
Saya dulu lama di Bandung. Masih fasih bahasa Sunda.” Sahut si Ibu.
Sementara
dia meracik martabak pesanan kami, aku duduk sambil melihat-lihat kedai
martabaknya. Sebuah foto pria muda yang terpajang di dinding kedai itu
membuatku berseru.
“Aku
kenal orang di foto ini, Bu. Kami langganan sering cetak foto di tempatnya di
Bogor. Ini saudara, Ibu ya? “ Tanyaku antusias.
“Ini
sepupu saya. Dia memang tinggal di Bogor. “ Si Ibu makin semangat. Lalu
mengalirlah kisahnya tentang pemuda itu. Pria muda yang rupanya sepupu si Ibu
termasuk pengusaha sukses dalam keluarga besarnya.
Gara-gara
mengenali sepupu si Ibu penjual martabak, akhirnya kami dapat discount saat
membayar martabak pesanan kami. Cihuy!!
Pukul
23.05 kami tiba dirumah mertuaku. Senyum Ayah dan peluk Ibu mertuaku terasa
menghapus segala kepenatan kami setelah melalui 663 Km jarak yang terbentang antara Bogor dan
Palembang. Alhamdulillah...
Ikuti cerita selanjutnya : SATU HARI DI PALEMBANG (TOURING BOGOR-PALEMBANG)
Ikuti cerita selanjutnya : SATU HARI DI PALEMBANG (TOURING BOGOR-PALEMBANG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar