Laman

Selasa, 21 April 2015

Solo Touring dari Palembang ke Bogor



 
Pemandangan di sebuah ruas jalan menuju Bakauheni
Pukul 5 dini hari aku sudah menyelesaikan shalat subuh, mandi dan berkemas. Kulihat Ayah mertuaku sudah melakukan senam di halaman.  Ibu mertuaku pun sudah bangun.  Dan seperti biasa hatiku selalu digelayuti perasaan sedih  menjelang saat meninggalkan mereka.


Aku mencium tangan Ayah dan memeluk Ibu mertuaku. Kami memohon doa  agar  selamat sampai  rumah . Lambaian tangan mereka mengiringi deru mesin si Kuning yang melindas jalan tepat pukul 5.15 WIB.

Jalan di Palembang masih sepi dari kendaraan. Kami melintasi Jalan RE Martadinata, Jalan Patal-Pusri, Jalan R Sukamto,  Basuki Rahmat, Demang Lebar Daun, Parameswara,  dan Polygon. Setelah  melewati jembatan Musi II kami mengisi bahan bakar hingga penuh di sebuah SPBU.


Jalanan lengang. Hanya butuh waktu 40 menit saja untuk sampai di Indralaya. Waktu tempuh ini jauh berbeda dibanding saat kedatangan kami yang diwarnai kemacetan luar biasa.

Melewati  Tanjung Raja  menuju  Kayu Agung, terlihat pemandangan sawah dan sungai dengan perahu-perahu kecil. Langit belum terang ketika kami memasuki Kayu Agung. Sepanjang jalan lintas Timur Sumatera, pemandangan tampak monoton didominasi rawa, rumah-rumah penduduk dan dataran rendah. 



Pemandangan terlihat lebih menarik ketika memasuki wilayah Lempuing. Ada sekelumit Bali tercipta di sini. Bangunan tempat ibadah bernuansa Bali berjejer di sepanjang jalan. Bangunan-bangunan itu berbeda-beda ukurannya. Ada yang besar, sedang dan kecil. Bangunan tempat ibadah itu    dilengkapi patung-patung berlilit kain bermotif kotak-kotak putih. Bunga kamboja putih terselip di telinga patung-patung , sementara sesajen dan  untaian  bunga menjuntai di altar persembahan. 



Sekelumit Bali yang terdapat di sini tercipta dari tangan-tangan terampil  penduduk yang berasal dari Bali. Mereka dulunya pindah  ke wilayah ini  mengikuti program transmigrasi.


Pukul 8.10 Akang menepikan Si Kuning tepat di tugu batas wilayah Sumatera Selatan dan  Lampung. Aku menjejakkan kaki lalu berdiri sempoyongan hampir terjatuh karena kondisi bahu jalan tidak rata. Setelah berfoto di sini, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Di sebuah SPBU di Mesuji Lampung, si Kuning kembali diberi minum sampai penuh tangkinya.Kemudian kami menikmati sarapan roti dan minuman sambil istirahat sebentar.


 Kondisi jalan yang kami lalui selanjutnya cukup baik. Akang seperti terbuai. Beberapa kali dia memacu si Kuning hingga kecepatan 127 km/jam. Aku beberapa kali pula mengingatkannya untuk menurunkan kecepatan si Kuning, karena perjalanan terasa menyeramkan bila  dilalui dengan kecepatan terlalu tinggi.

Di daerah Sukadana, sebuah track enduro menghadang kami. Batu-batu besar mencuat di jalan, dan aspal bergelombang memaksa kendaraan besar bergerak sangat perlahan.  Akang melewati  jalan buruk tanpa memilih jalan yang lebih baik untuk menjajal ketangguhan  si Kuning. Ketika berhasil melewati ruas jalan rusak berbatu   dengan sukses, aku berseru senang  merayakan si Kuning lulus ujian. Yihaaa...



Si Kuning Kena Batunya

Kegembiraanku rupanya tak berlangsung lama. Sebuah track yang lebih parah, jalan berbatu-batu besar dengan kontur menanjak di penghujung daerah Sukadana menjadi ujian berat. Akang salah memperkirakan ketinggian tepi lubang  menganga  dengan bagian bawah motor saat  akan mendahului sebuah mobil. Terdengar suara benturan keras di bagian bawah si Kuning. Tiba-tiba saja suara mesin yang halus berubah menjadi kasar.




“Trototototot...” Teriak si Kuning.
 
 Waduh. Jelas si Kuning bermasalah. Akang tak segera menepikan kuda besinya karena kondisi jalan tak memungkinkan kami berhenti. Dia masih membawa si Kuning melaju, tapi terasa sekali tenaganya melemah. Tarikan dan akselerasi motor bermesin 650 cc itu mendadak tanpa daya,  seperti singa ompong. 

Akhirnya disebuah sisi jalan Akang menepikan si Kuning. Aku turun dengan cemas dan menyaksikan Akang yang menunduk memeriksa bagian bawah motornya.



“Neng, sambungan saluran buang  dari mesin dengan saluran masuk tabung knalpot terlepas dan terlihat penyok. Kena batu. Melihat dari baut yang terpasang diperkirakan  posisi baut ini lebih mendekati tanah dibanding tabung knalpotnya. Karena itu baut tersebut tersangkut di batu. Seandainya diposisikan nol derajat atau benar-benar horizontal, mungkin batu tersebut hanya akan menggesek tabung knalpotnya saja.” Kata-kata Akang itu benar-benar membuat kepalaku berputar-putar pusing. Aku tak mengerti apa maksudnya.

Kutatap Akang sambil melongo.

“Jadi, gimana dong?” Tanyaku kebingungan.

Akang memandang sekeliling. Tak jauh dari tempat kami berdiri, di sisi kiri jalan terlihat sebuah  bengkel motor. 

“Ya Allah. Alhamdulillah. Dalam kesulitan selalu ada kemudahan.” Ucapku penuh syukur.

Akang membawa si Kuning ke bengkel itu. Ada 3 orang montir motor yang sedang sibuk bekerja.
Akang meminta izin memperbaiki si Kuning di situ. Karena dilihatnya ketiga montir itu masih sibuk, Akang memutuskan memperbaiki  si Kuning sendiri.



Aku duduk di bangku kayu, memandang Akang yang bersimbah keringat.  Siang  terik dengan matahari menyengat,  berada di bawah atap seng yang menaungi bengkel sederhana ini sungguh tak nyaman. Udara panas seolah membekap  kami tanpa ampun. Dengan tampang serius Akang membongkar bagian demi bagian samping motor untuk menjangkau  knalpot. Sungguh tak tega melihatnya. Ingin  rasanya membantu lelaki belahan jiwa itu, tapi aku bisa apa? Pengetahuanku tentang mesin motor nol besar.  Sepanjang pengalamanku touring bersamanya, Akang sudah merasa sangat terbantu bila aku tak rewel, mengeluh dan manja dalam setiap kesulitan yang kami hadapi.

Perutku protes. Rasa lapar menjalar membuat aku  mengajak Akang istirahat sebentar menikmati   mie ayam di warung sebelah, tapi Akang menolak.

“Neng saja makanlah di sana.” Ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari bagian bawah si Kuning.
Akhirnya aku sendiri beranjak ke warung sebelah. Aku memesan semangkuk mie ayam dan es campur. Warung itu sepi, sederhana tapi cukup bersih. Hanya aku satu-satunya pengunjung di sana. Baling-baling sebuah kipas angin besar berputar-putar  menebar  kesejukan.  Aku mengarahkan kipas itu ke tubuhku. Rasanya cukup lumayan mengusir panas. Aku membayangkan Akang yang bersusah payah kepanasan memperbaiki si Kuning. Sementara aku duduk “ngadem” di depan kipas angin sambil mengunyah mie ayam dan minum es campur. Sungguh tak adil. Maaf ya, Sayang.Duh...

Setelah beberapa saat, aku kembali ke bengkel. Agak lega juga rasanya melihat Akang  dibantu  seorang montir. Setidaknya pekerjaan memperbaiki si Kuning bisa lebih ringan. 



Total waktu  memperbaiki si Kuning selama satu setengah jam ternyata tak sia-sia. Alhamdulillah... Akhirnya bunyi mesin si Kuning kembali halus, tarikan dan akselerasinya kembali  bertenaga.  Sang montir tersenyum lebar menerima uang dari Akang. Kami mengucapkan terimakasih dan kembali meluncur di jalan.

Menunggu di Dermaga

Perjalanan pulang ini ternyata tak semulus yang kami bayangkan. Kami banyak kehilangan waktu. Saat tiba di pelabuhan Bakauheni pukul 14.30, kami tidak bisa langsung naik ke kapal karena kapal yang tengah bersandar di dermaga sudah penuh. Kami harus menunggu  sekitar setengah jam untuk naik ke kapal berikutnya.




Sambil menunggu, aku membeli nasi bungkus untuk Akang. Kasihan sekali, sampai menjelang sore dia belum juga makan. Aku dan Akang lalu duduk menunggu sambil minum white coffe.



Ketika tiba gilirannya, aku  memilih berjalan kaki lebih dulu naik ke kapal, sementara Akang menyusul  mengendarai si Kuning. Aku sempat mengambil foto laut biru yang cantik dengan dermaga bertiang kuning  dari atas dek kapal.



Di atas Kapal Ferry

Tampaknya keberuntungan bukan milik kami hari ini. Berbeda dengan kondisi kapal saat berangkat, kapal yang sekarang kami tumpangi kondisinya sudah buruk. Beberapa bagian cat kapal terkelupas,  di beberapa tempat tercium bau pesing, ruang eksekutif dalam kapal ini pun kesannya kumuh. Kursi-kursi sudah kusam dan beberapa ada yang rusak, belum lagi penumpangnya penuh, tumpah ruah di ruang ini sehingga terasa kurang nyaman. 

Kami menunggu cukup lama, akhirnya kapal bergerak memulai perjalanan menuju Merak. Akang yang merasa lapar, menyantap nasi bungkusnya.

Seorang bapak tua pensiunan tentara duduk di dekat kami. Dengan suara keras bersemangat dia cerita ngalor ngidul tentang berbagai hal pada seorang ibu disebelahnya. Salah satu kisah Pak Tua itu tentang anak laki-laki kebanggaannya yang kini sudah sukses.  Semakin si Ibu menanggapi dengan antusias, Pak Tua  makin semangat bercerita.

Saat selesai melaksanakan shalat  di mushola kapal, Pak Tua itu memandangi sepatu boot kulitku. 
“Wah, bagus sepatunya. Kamu  rocker ya?” Ujarnya sambil tersenyum lebar.

Aku tertawa geli menanggapi candanya.

“Oww.. Tidaaak.. Aku blogger dan boncenger. Bukan rocker, Pak Tua.” Sahutku dalam hati.

Aku kasihan pada Akang yang tak bisa tidur meskipun mengantuk. Setelah mencoba tidur tapi gagal melulu, kami memutuskan melihat pemandangan di dek kapal. Lumayan juga rasanya merasakan hempasan angin  dan memandang warna biru air laut yang menentramkan.




Tampaknya di perjalanan pulang ini kesabaran kami diuji berkali-kali. Target untuk bisa sampai rumah pukul 22.00 WIB kini mustahil tercapai. Kapal ini tak juga bersandar di dermaga Merak, malah berhenti tak jauh dari dermaga untuk menunggu giliran bersandar. Dan itu berlangsung  lamaaa... hiks..hiks...

Akang uring-uringan. Perjalanan dari Merak ke Bogor dengan motor harus ditempuh lewat jalan-jalan rusak, dan sebagian besar sedang diperbaiki. Tidak aman bagi kami mengendarai motor di malam hari dengan kondisi jalan buruk. Belum lagi di jalan-jalan kampung tak ada penerangan, atau lampu jalan. Ada beberapa lokasi yang sepi, gelap dan rawan kejahatan terutama malam hari.

“Kalau Akang pergi sendiri sih nggak masalah, Neng, pasti Akang teruskan perjalanan ke Bogor. Tapi sekarang  kan Akang bersama Neng, Akang khawatir  kalau ada apa-apa nanti di jalan.” Ujar Akang bimbang.

Aku menyentuh pipi Akang dengan sayang. Dalam hati aku terharu, dia mengkhawatirkan keselamatanku.

“Jadi gimana dong? Kita menginap dulu?” Tanyaku.

“Iya. Sebaiknya begitu. Kita menginap di Serang saja. Besok pagi kita lanjutkan perjalanan.”

 Aku mengiyakan. 

Kami turun dari kapal saat langit sudah gelap. Akang memacu si Kuning tapi lajunya tak bisa kencang karena jalan yang padat. Setelah memberi si Kuning “minum” pertamax sampai penuh tangkinya, kami melaju menuju Serang.

Terpaksa Bermalam di Serang

Kami menyusuri kota Serang, tak tahu harus memilih hotel yang mana. Akang sudah terlihat lelah, akhirnya kami memasuki halaman sebuah hotel yang terlihat kuno. Hotel Mahadria, terletak di Jl. Ki Mas Jong.



Kami memilih  kamar deluxe, tarifnya tidak mahal. Lumayanlah untuk sekedar istirahat satu malam saja.

Setelah mandi dan shalat, kami tak mampu menahan kantuk.  Bahkan untuk sekedar jalan keluar mencari makanan pun kami tak sanggup lagi. Tahu-tahu sudah terdengar alarm pukul 4.00 dini hari.

Liku-liku  Jalan Pulang 

Aku bergegas mandi dan bersiap shalat subuh. Pukul 4.30 Akang terbangun lalu mandi. Usai shalat subuh, kami berkemas. Aku  menyerahkan kunci kamar ke petugas hotel, sementara Akang mensetting GPS.

“Lho, kok langsung mati GPS-nya?”Seru Akang heran.
Hmmm... belum mulai perjalanan sudah ada kesulitan. 

Beberapa kali dia menekan tombol power pada GPS, benda itu hanya menyala sebentar, lalu padam lagi.

Akang akhirnya menggunakan aplikasi google maps pada telepon selularnya. Dia menyerahkan ponsel itu padaku, sehingga aku bertindak sebagai navigator.

Aku hanya mengikuti petunjuk dari google maps. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 6.00, di tengah kemacetan pasar Tambak di Cikande yang luar biasa parahnya, Akang baru sadar.  Ternyata google maps mengarahkan kami melalui jalur Tangerang, padahal kami ingin lewat Pandeglang kemudian Rangkasbitung, lalu menyusuri jalan  nasional Rangkasbitung-Bogor. 


Macet paling parah sepanjang pengalaman touring kami, juara satunya ya di sini. Di pasar Tambak ini empat jalur kendaraan saling mengunci.  Kendaraan dari arah depan, samping kiri dan kanan semua tumpah ruah ingin maju tak ada yang mau mengalah. Bus, truk, trailer, mobil pribadi, motor, angkot, berjejelan saling berhadapan muka. Ini benar-benar seperti macet tanpa harapan. Ya Allah...

Kami harus super sabar. Aku melihat di sebelah sana sopir angkot marah-marah pada pengendara motor. Sang pengendara motor tak mau kalah, mereka berbantah-bantahan di antara jeritan klakson berbagai kendaraan yang memekakkan telinga.

Aku memperhatikan wajah-wajah para pengendara motor di dekatku. Wajah mereka santai saja, seperti tak ada beban. 

“Mas, di sini memang suka macet ya?” Tanya Akang pada seorang pengendara motor .

“O, iya Mas. Sudah biasa yang begini ini.Setiap hari jam segini ya macet parah. Tapi sebentar lagi normal  kok.“ Ucapnya santai.

Oalaaah...

Akhirnya sedikit demi sedikit kami bisa terbebas dari kemacetan. Aku dan Akang istirahat di sebuah mini market. Rasanya lumayan tertekan berada di tengah lalu lintas super semrawut yang baru saja kami hadapi. 

Akang berusaha bertanya pada karyawan mini market. Dia menjelaskan jalur yang sebaiknya kami ambil untuk menuju Bogor, tapi petunjuknya tetap saja ruwet. Kami akhirnya pasrah mengikuti petunjuk google maps.

Beberapa kali google maps mengarahkan kami ke jalan buntu, rusak parah,  sulit dilalui, bahkan ke kuburan! Waduh.Terpaksa beberapa kali pula kami berbalik arah. 

Akhirnya kami pakai cara konvensional. TSS alias tanya sana sini. Hehehe...

Sepanjang jalan kami  disuguhi track enduro, tak habis-habisnya. Mulai dari jalan yang tengah diperbaiki, memaksa kami antri bersama kendaraan lain. Lalu debu yang tebal membuat  mataku kelilipan. 

Kami masuk ke jalan yang sangat panjang, berbatu tanpa aspal. Tubuhku terguncang-guncang. Sesekali aku berdiri bertumpu di foot step untuk mengurangi guncangan saat melintasi jalan berbatu besar. Tapi pemandangan di sisi jalan cukup indah. Beberapa kali terlihat bukit hijau yang membuat sejuk mata. 


Kami juga berbagi jalan dengan sekawanan kerbau. Terasa sekali suasana pedesaan di sini.

Rasanya lama sekali kami melewati jalan buruk berdebu dan berbatu-batu. Lalu kembali lagi melewati jalan berlubang dengan aspal bergelombang. Panas mulai menyengat. Aku tak tahu bagaimana tampangku saat itu. Pasti kusam parah. Bagian wajah yang tak tertutup masker terasa kesat oleh debu.



Ketika akhirnya kami memasuki jalan Atang Sandjaya sekitar pukul 10.00 rasanya lega sekali. Perjalanan menuju rumah mendadak terasa menyenangkan karena tak ada lagi jalan yang rusak parah.

Memasuki kompleks rumah, aku dan Akang menyempatkan mampir di mini market, membelikan minuman ringan untuk anak-anak. Si bungsu sering menanyakan oleh-oleh tiap kami pergi touring, dan oleh-oleh yang diinginkannya sederhana saja. Bukan makanan khas daerah tempat tujuan touring, cukup sebotol teh ocha kegemarannya, sudah cukup membuat jagoanku tertawa gembira.

Dalam setiap touring selalu ada cerita. Kami bersyukur untuk semua  pengalaman baru yang mengajarkan kami filosofi kehidupan. 

Touring tak ubahnya perjalanan hidup. Kadang lancar, indah,menyenangkan, tapi kerap pula kesulitan menghadang bertubi-tubi. Kunci dari semua adalah sabar menjalani, dan yakin akan pertolonganNya.Alhamdulillah kami sampai di rumah dengan selamat..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar