Pukul
5 dini hari aku sudah menyelesaikan shalat subuh, mandi dan berkemas. Kulihat
Ayah mertuaku sudah melakukan senam di halaman.
Ibu mertuaku pun sudah bangun.
Dan seperti biasa hatiku selalu digelayuti perasaan sedih menjelang saat meninggalkan mereka.
Aku
mencium tangan Ayah dan memeluk Ibu mertuaku. Kami memohon doa agar
selamat sampai rumah . Lambaian
tangan mereka mengiringi deru mesin si Kuning yang melindas jalan tepat pukul
5.15 WIB.
Jalan
di Palembang masih sepi dari kendaraan. Kami melintasi Jalan RE Martadinata,
Jalan Patal-Pusri, Jalan R Sukamto,
Basuki Rahmat, Demang Lebar Daun, Parameswara, dan Polygon. Setelah melewati jembatan Musi II kami mengisi bahan
bakar hingga penuh di sebuah SPBU.
Jalanan
lengang. Hanya butuh waktu 40 menit saja untuk sampai di Indralaya. Waktu
tempuh ini jauh berbeda dibanding saat kedatangan kami yang diwarnai kemacetan
luar biasa.
Melewati Tanjung Raja
menuju Kayu Agung, terlihat
pemandangan sawah dan sungai dengan perahu-perahu kecil. Langit belum terang
ketika kami memasuki Kayu Agung. Sepanjang jalan lintas Timur Sumatera,
pemandangan tampak monoton didominasi rawa, rumah-rumah penduduk dan dataran
rendah.
Pemandangan
terlihat lebih menarik ketika memasuki wilayah Lempuing. Ada sekelumit Bali
tercipta di sini. Bangunan tempat ibadah bernuansa Bali berjejer di sepanjang
jalan. Bangunan-bangunan itu berbeda-beda ukurannya. Ada yang besar, sedang dan
kecil. Bangunan tempat ibadah itu
dilengkapi patung-patung berlilit kain bermotif kotak-kotak putih. Bunga
kamboja putih terselip di telinga patung-patung , sementara sesajen dan untaian
bunga menjuntai di altar persembahan.
Sekelumit
Bali yang terdapat di sini tercipta dari tangan-tangan terampil penduduk yang berasal dari Bali. Mereka
dulunya pindah ke wilayah ini mengikuti program transmigrasi.
Pukul
8.10 Akang menepikan Si Kuning tepat di tugu batas wilayah Sumatera Selatan
dan Lampung. Aku menjejakkan kaki lalu
berdiri sempoyongan hampir terjatuh karena kondisi bahu jalan tidak rata.
Setelah berfoto di sini, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Di
sebuah SPBU di Mesuji Lampung, si Kuning kembali diberi minum sampai penuh
tangkinya.Kemudian kami menikmati sarapan roti dan minuman sambil istirahat
sebentar.
Kondisi
jalan yang kami lalui selanjutnya cukup baik. Akang seperti terbuai. Beberapa
kali dia memacu si Kuning hingga kecepatan 127 km/jam. Aku beberapa kali pula
mengingatkannya untuk menurunkan kecepatan si Kuning, karena perjalanan terasa
menyeramkan bila dilalui dengan
kecepatan terlalu tinggi.
Di
daerah Sukadana, sebuah track enduro menghadang kami. Batu-batu besar mencuat
di jalan, dan aspal bergelombang memaksa kendaraan besar bergerak sangat
perlahan. Akang melewati jalan buruk tanpa memilih jalan yang lebih
baik untuk menjajal ketangguhan si
Kuning. Ketika berhasil melewati ruas jalan rusak berbatu dengan sukses, aku berseru senang merayakan si Kuning lulus ujian. Yihaaa...
Si Kuning Kena Batunya
Kegembiraanku rupanya tak berlangsung lama. Sebuah track yang lebih parah, jalan berbatu-batu besar dengan kontur menanjak di penghujung daerah Sukadana menjadi ujian berat. Akang salah memperkirakan ketinggian tepi lubang menganga dengan bagian bawah motor saat akan mendahului sebuah mobil. Terdengar suara benturan keras di bagian bawah si Kuning. Tiba-tiba saja suara mesin yang halus berubah menjadi kasar.
“Trototototot...”
Teriak si Kuning.
Waduh. Jelas si Kuning bermasalah. Akang tak
segera menepikan kuda besinya karena kondisi jalan tak memungkinkan kami
berhenti. Dia masih membawa si Kuning melaju, tapi terasa sekali tenaganya
melemah. Tarikan dan akselerasi motor bermesin 650 cc itu mendadak tanpa
daya, seperti singa ompong.
Akhirnya
disebuah sisi jalan Akang menepikan si Kuning. Aku turun dengan cemas dan
menyaksikan Akang yang menunduk memeriksa bagian bawah motornya.
“Neng,
sambungan saluran buang dari mesin
dengan saluran masuk tabung knalpot terlepas dan terlihat penyok. Kena batu. Melihat dari baut yang terpasang diperkirakan posisi baut ini lebih mendekati tanah
dibanding tabung knalpotnya. Karena itu baut tersebut tersangkut di
batu. Seandainya diposisikan
nol derajat atau benar-benar horizontal, mungkin batu tersebut hanya akan
menggesek tabung knalpotnya saja.” Kata-kata Akang itu
benar-benar membuat kepalaku berputar-putar pusing. Aku tak mengerti apa maksudnya.
Kutatap
Akang sambil melongo.
“Jadi,
gimana dong?” Tanyaku kebingungan.
Akang
memandang sekeliling. Tak jauh dari tempat kami berdiri, di sisi kiri jalan
terlihat sebuah bengkel motor.
“Ya
Allah. Alhamdulillah. Dalam kesulitan selalu ada kemudahan.” Ucapku penuh
syukur.
Akang
membawa si Kuning ke bengkel itu. Ada 3 orang montir motor yang sedang sibuk
bekerja.
Akang
meminta izin memperbaiki si Kuning di situ. Karena dilihatnya ketiga montir itu
masih sibuk, Akang memutuskan memperbaiki
si Kuning sendiri.
Aku
duduk di bangku kayu, memandang Akang yang bersimbah keringat. Siang
terik dengan matahari menyengat,
berada di bawah atap seng yang menaungi bengkel sederhana ini sungguh
tak nyaman. Udara panas seolah membekap
kami tanpa ampun. Dengan tampang serius Akang membongkar bagian demi
bagian samping motor untuk menjangkau knalpot. Sungguh tak tega melihatnya.
Ingin rasanya membantu lelaki belahan
jiwa itu, tapi aku bisa apa? Pengetahuanku tentang mesin motor nol besar. Sepanjang pengalamanku touring bersamanya,
Akang sudah merasa sangat terbantu bila aku tak rewel, mengeluh dan manja dalam
setiap kesulitan yang kami hadapi.
Perutku
protes. Rasa lapar menjalar membuat aku
mengajak Akang istirahat sebentar menikmati mie
ayam di warung sebelah, tapi Akang menolak.
“Neng
saja makanlah di sana.” Ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari bagian bawah
si Kuning.
Akhirnya
aku sendiri beranjak ke warung sebelah. Aku memesan semangkuk mie ayam dan es
campur. Warung itu sepi, sederhana tapi cukup bersih. Hanya aku satu-satunya
pengunjung di sana. Baling-baling sebuah kipas angin besar berputar-putar menebar
kesejukan. Aku mengarahkan kipas
itu ke tubuhku. Rasanya cukup lumayan mengusir panas. Aku membayangkan Akang
yang bersusah payah kepanasan memperbaiki si Kuning. Sementara aku duduk
“ngadem” di depan kipas angin sambil mengunyah mie ayam dan minum es campur.
Sungguh tak adil. Maaf ya, Sayang.Duh...
Setelah
beberapa saat, aku kembali ke bengkel. Agak lega juga rasanya melihat
Akang dibantu seorang montir. Setidaknya pekerjaan
memperbaiki si Kuning bisa lebih ringan.
Total
waktu memperbaiki si Kuning selama satu
setengah jam ternyata tak sia-sia. Alhamdulillah... Akhirnya bunyi mesin si
Kuning kembali halus, tarikan dan akselerasinya kembali bertenaga.
Sang montir tersenyum lebar menerima uang dari Akang. Kami mengucapkan
terimakasih dan kembali meluncur di jalan.
Menunggu di Dermaga
Menunggu di Dermaga
Perjalanan
pulang ini ternyata tak semulus yang kami bayangkan. Kami banyak kehilangan
waktu. Saat tiba di pelabuhan Bakauheni pukul 14.30, kami tidak bisa langsung
naik ke kapal karena kapal yang tengah bersandar di dermaga sudah penuh. Kami
harus menunggu sekitar setengah jam
untuk naik ke kapal berikutnya.
Sambil
menunggu, aku membeli nasi bungkus untuk Akang. Kasihan sekali, sampai
menjelang sore dia belum juga makan. Aku dan Akang lalu duduk menunggu sambil
minum white coffe.
Ketika
tiba gilirannya, aku memilih berjalan kaki
lebih dulu naik ke kapal, sementara Akang menyusul mengendarai si Kuning. Aku sempat mengambil
foto laut biru yang cantik dengan dermaga bertiang kuning dari atas dek kapal.
Di atas Kapal Ferry
Tampaknya keberuntungan bukan milik kami hari ini. Berbeda dengan kondisi kapal saat berangkat, kapal yang sekarang kami tumpangi kondisinya sudah buruk. Beberapa bagian cat kapal terkelupas, di beberapa tempat tercium bau pesing, ruang eksekutif dalam kapal ini pun kesannya kumuh. Kursi-kursi sudah kusam dan beberapa ada yang rusak, belum lagi penumpangnya penuh, tumpah ruah di ruang ini sehingga terasa kurang nyaman.
Kami
menunggu cukup lama, akhirnya kapal bergerak memulai perjalanan menuju Merak. Akang
yang merasa lapar, menyantap nasi bungkusnya.
Seorang
bapak tua pensiunan tentara duduk di dekat kami. Dengan suara keras bersemangat
dia cerita ngalor ngidul tentang berbagai hal pada seorang ibu disebelahnya. Salah
satu kisah Pak Tua itu tentang anak laki-laki kebanggaannya yang kini sudah
sukses. Semakin si Ibu menanggapi dengan
antusias, Pak Tua makin semangat
bercerita.
Saat
selesai melaksanakan shalat di mushola
kapal, Pak Tua itu memandangi sepatu boot kulitku.
“Wah,
bagus sepatunya. Kamu rocker ya?”
Ujarnya sambil tersenyum lebar.
Aku
tertawa geli menanggapi candanya.
“Oww..
Tidaaak.. Aku blogger dan boncenger. Bukan rocker, Pak Tua.” Sahutku dalam
hati.
Aku
kasihan pada Akang yang tak bisa tidur meskipun mengantuk. Setelah mencoba
tidur tapi gagal melulu, kami memutuskan melihat pemandangan di dek kapal.
Lumayan juga rasanya merasakan hempasan angin dan memandang warna biru air laut yang menentramkan.
Tampaknya
di perjalanan pulang ini kesabaran kami diuji berkali-kali. Target untuk bisa
sampai rumah pukul 22.00 WIB kini mustahil tercapai. Kapal ini tak juga
bersandar di dermaga Merak, malah berhenti tak jauh dari dermaga untuk menunggu
giliran bersandar. Dan itu berlangsung lamaaa... hiks..hiks...
Akang
uring-uringan. Perjalanan dari Merak ke Bogor dengan motor harus ditempuh lewat
jalan-jalan rusak, dan sebagian besar sedang diperbaiki. Tidak aman bagi kami
mengendarai motor di malam hari dengan kondisi jalan buruk. Belum lagi di
jalan-jalan kampung tak ada penerangan, atau lampu jalan. Ada beberapa lokasi
yang sepi, gelap dan rawan kejahatan terutama malam hari.
“Kalau
Akang pergi sendiri sih nggak masalah, Neng, pasti Akang teruskan perjalanan ke
Bogor. Tapi sekarang kan Akang bersama Neng, Akang khawatir kalau ada apa-apa nanti di jalan.” Ujar Akang
bimbang.
Aku menyentuh pipi Akang dengan sayang. Dalam hati aku terharu, dia mengkhawatirkan keselamatanku.
“Jadi
gimana dong? Kita menginap dulu?” Tanyaku.
“Iya.
Sebaiknya begitu. Kita menginap di Serang saja. Besok pagi kita lanjutkan
perjalanan.”
Aku mengiyakan.
Kami
turun dari kapal saat langit sudah gelap. Akang memacu si Kuning tapi lajunya
tak bisa kencang karena jalan yang padat. Setelah memberi si Kuning “minum”
pertamax sampai penuh tangkinya, kami melaju menuju Serang.
Terpaksa Bermalam di Serang
Terpaksa Bermalam di Serang
Kami
menyusuri kota Serang, tak tahu harus memilih hotel yang mana. Akang sudah
terlihat lelah, akhirnya kami memasuki halaman sebuah hotel yang terlihat kuno.
Hotel Mahadria, terletak di Jl. Ki Mas Jong.
Kami
memilih kamar deluxe, tarifnya tidak
mahal. Lumayanlah untuk sekedar istirahat satu malam saja.
Setelah
mandi dan shalat, kami tak mampu menahan kantuk. Bahkan untuk sekedar jalan keluar mencari
makanan pun kami tak sanggup lagi. Tahu-tahu sudah terdengar alarm pukul 4.00 dini
hari.
Liku-liku Jalan Pulang
Liku-liku Jalan Pulang
Aku
bergegas mandi dan bersiap shalat subuh. Pukul 4.30 Akang terbangun lalu mandi.
Usai shalat subuh, kami berkemas. Aku menyerahkan kunci kamar ke petugas hotel,
sementara Akang mensetting GPS.
“Lho,
kok langsung mati GPS-nya?”Seru Akang heran.
Hmmm...
belum mulai perjalanan sudah ada kesulitan.
Beberapa
kali dia menekan tombol power pada GPS, benda itu hanya menyala sebentar, lalu
padam lagi.
Akang
akhirnya menggunakan aplikasi google maps pada telepon selularnya. Dia
menyerahkan ponsel itu padaku, sehingga aku bertindak sebagai navigator.
Aku
hanya mengikuti petunjuk dari google maps. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 6.00,
di tengah kemacetan pasar Tambak di Cikande yang luar biasa parahnya, Akang baru
sadar. Ternyata google maps mengarahkan
kami melalui jalur Tangerang, padahal kami ingin lewat Pandeglang kemudian
Rangkasbitung, lalu menyusuri jalan
nasional Rangkasbitung-Bogor.
Macet
paling parah sepanjang pengalaman touring kami, juara satunya ya di sini. Di
pasar Tambak ini empat jalur kendaraan saling mengunci. Kendaraan dari arah depan, samping kiri dan
kanan semua tumpah ruah ingin maju tak ada yang mau mengalah. Bus, truk, trailer,
mobil pribadi, motor, angkot, berjejelan saling berhadapan muka. Ini
benar-benar seperti macet tanpa harapan. Ya Allah...
Kami
harus super sabar. Aku melihat di sebelah sana sopir angkot marah-marah pada
pengendara motor. Sang pengendara motor tak mau kalah, mereka berbantah-bantahan
di antara jeritan klakson berbagai kendaraan yang memekakkan telinga.
Aku
memperhatikan wajah-wajah para pengendara motor di dekatku. Wajah mereka santai
saja, seperti tak ada beban.
“Mas,
di sini memang suka macet ya?” Tanya Akang pada seorang pengendara motor .
“O,
iya Mas. Sudah biasa yang begini ini.Setiap hari jam segini ya macet parah. Tapi
sebentar lagi normal kok.“ Ucapnya
santai.
Oalaaah...
Akhirnya
sedikit demi sedikit kami bisa terbebas dari kemacetan. Aku dan Akang istirahat
di sebuah mini market. Rasanya lumayan tertekan berada di tengah lalu lintas
super semrawut yang baru saja kami hadapi.
Akang
berusaha bertanya pada karyawan mini market. Dia menjelaskan jalur yang
sebaiknya kami ambil untuk menuju Bogor, tapi petunjuknya tetap saja ruwet.
Kami akhirnya pasrah mengikuti petunjuk google maps.
Beberapa
kali google maps mengarahkan kami ke jalan buntu, rusak parah, sulit dilalui, bahkan ke kuburan! Waduh.Terpaksa
beberapa kali pula kami berbalik arah.
Akhirnya
kami pakai cara konvensional. TSS alias tanya sana sini. Hehehe...
Sepanjang
jalan kami disuguhi track enduro, tak
habis-habisnya. Mulai dari jalan yang tengah diperbaiki, memaksa kami antri
bersama kendaraan lain. Lalu debu yang tebal membuat mataku kelilipan.
Kami
masuk ke jalan yang sangat panjang, berbatu tanpa aspal. Tubuhku
terguncang-guncang. Sesekali aku berdiri bertumpu di foot step untuk mengurangi
guncangan saat melintasi jalan berbatu besar. Tapi pemandangan di sisi jalan
cukup indah. Beberapa kali terlihat bukit hijau yang membuat sejuk mata.
Kami
juga berbagi jalan dengan sekawanan kerbau. Terasa sekali suasana pedesaan di
sini.
Rasanya
lama sekali kami melewati jalan buruk berdebu dan berbatu-batu. Lalu kembali
lagi melewati jalan berlubang dengan aspal bergelombang. Panas mulai menyengat.
Aku tak tahu bagaimana tampangku saat
itu. Pasti kusam parah. Bagian wajah yang tak tertutup masker terasa kesat oleh
debu.
Ketika
akhirnya kami memasuki jalan Atang Sandjaya sekitar pukul 10.00 rasanya lega
sekali. Perjalanan menuju rumah mendadak terasa menyenangkan karena tak ada
lagi jalan yang rusak parah.
Memasuki
kompleks rumah, aku dan Akang menyempatkan mampir di mini market, membelikan
minuman ringan untuk anak-anak. Si bungsu sering menanyakan oleh-oleh tiap kami
pergi touring, dan oleh-oleh yang diinginkannya sederhana saja. Bukan makanan khas
daerah tempat tujuan touring, cukup sebotol teh ocha kegemarannya, sudah cukup
membuat jagoanku tertawa gembira.
Dalam
setiap touring selalu ada cerita. Kami bersyukur untuk semua pengalaman baru yang mengajarkan kami filosofi
kehidupan.
Touring tak ubahnya perjalanan hidup. Kadang lancar, indah,menyenangkan, tapi kerap pula kesulitan menghadang bertubi-tubi. Kunci dari semua adalah sabar menjalani, dan yakin akan pertolonganNya.Alhamdulillah kami sampai di rumah dengan selamat..
Touring tak ubahnya perjalanan hidup. Kadang lancar, indah,menyenangkan, tapi kerap pula kesulitan menghadang bertubi-tubi. Kunci dari semua adalah sabar menjalani, dan yakin akan pertolonganNya.Alhamdulillah kami sampai di rumah dengan selamat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar