Laman

Senin, 20 April 2015

Satu Hari di Palembang (Touring Bogor-Palembang)




Aku dan Akang bersama si Kuning dengan latar Jembatan Ampera


Simak  perjalana sebelumnya: Perjalanan Touring dari Bogor dan Palembang

Setelah menempuh jarak 663 Km perjalanan Bogor- Palembang dengan motor, aku dan suamiku, si Akang, punya waktu satu hari untuk jalan-jalan di Palembang.

Adzan subuh membangunkanku. Aku bangkit, mengambil wudhu dan shalat, lalu membangunkan Akang yang masih terlelap. 
Akang melaksanakan shalat subuh, kemudian dia kembali berbaring. Tampaknya lelah belum usai menderanya.


Berada di Palembang seperti berada di kampung halaman kami. Aku dan Akang besar di Palembang. Seluruh keluarga besar kami tinggal di kota ini. Aku menjadi penduduk Palembang sejak kelas 6 SD hingga tahun 2009. Akang bahkan lahir di  Palembang.

Sejak tinggal di Bogor, menjelang lebaran kami selalu mudik ke Palembang.  Tapi baru kali ini aku mudik naik motor. Biasanya kami mudik dengan pesawat karena bersama anak-anak. Sedangkan Akang sudah beberapa kali touring ke Palembang dengan motor.

Hari ini aku melepas rindu dengan kedua mertuaku. Meski mereka mengomeli kami karena khawatir dengan hobi kami naik motor ke tempat-tempat yang jauh, aku hanya tersenyum. Aku mengerti kekhawatiran mereka, dan juga kekhawatiran Mamiku. Kami punya 3 orang anak yang masih sangat membutuhkan kedua orangtuanya.  Tak dapat dipungkiri, hobi kami touring termasuk kegiatan yang beresiko tinggi. Aku tak mungkin menghalangi Akang melakukan hobinya. Maka satu-satunya cara yang kurasa tepat adalah berusaha selalu mendampingi Akang dalam setiap perjalanannya. Aku  memohon izin serta doa kedua mertuaku,  agar kami selalu diberi keselamatan dan perlindunganNya.
Matahari beranjak tinggi ketika Akang membersihkan tubuh si Kuning. Lumpur dan kotoran yang melekat di sekujur tubuh dan rodanya kini luruh. Si Kuning kembali kinclong. Kemudian Akang mengecek baut-baut di tubuh si Kuning. Dia mengencangkan beberapa baut yang kendur akibat goncangan dan kondisi jalan buruk selama perjalanan kemarin.

Benteng Kuto Besak
 

Hari telah beranjak sore. Aku dan Akang melaju bersama  si Kuning ke kawasan Benteng Kuto Besak.  

Benteng Kuto Besak adalah bangunan keraton peninggalan bersejarah dari Kesultanan Palembang. Sultan Mahmud Badaruddin I memprakarsai dibangunnya keraton ini,kemudian pelaksanaan pembangunan diteruskan oleh Sultan Mahmud Bahaudin yang memerintah  pada 1776-1803.

Benteng ini dibangun tahun 1780. Tak diketahui siapa arsiteknya. Bahan bangunan yang merekatkan batu bata merupakan semen dari batu kapur  Sungai Ogan dicampur putih telur. Pembangunan benteng berlangsung selama 17 tahun.

Benteng Kuto Besak yang terletak di dekat sungai Musi kini menjadi tempat terbuka yang  ditata cantik, menarik untuk dikunjungi wisatawan.  Di area terbuka yang membentuk plaza  ini wisatawan bisa melihat sungai Musi dan jembatan Ampera yang berdiri megah menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir. 
 
Suasana di plaza Benteng Kuto Besak

Terdapat mobil-mobil mainan anak-anak

Di malam hari cahaya lampu yang menghias jembatan Ampera, rumah-rumah makan di pinggir Sungai Musi serta area terbuka menjadikan tempat ini terlihat lebih dramatis. Cantik.

Perahu-perahu di Sungai Musi

Akang memarkir si Kuning di area parkir, lalu dia sibuk mensetting kamera. Aku duduk sambil melihat-lihat suasana yang nyaman. Seorang wanita mendekati aku.

“Dari mana, Dik?” Tanyanya sambil memperhatikan si Kuning.

“Dari Bogor. “ Ucapku.

“Wah, setelah dari sini bisa jalan-jalan  sewa perahu boat menyusur sungai Musi. Bisa juga ke Pulau Kemaro, Dik. Terus jangan lupa makan pempek, model, tekwan, laksan, burgo, lenggang, pindang, kemplang. Selain itu masih banyak  makanan khas Palembang. Semua enak!” Ujarnya penuh semangat.

Wanita itu tak tahu kalau aku pernah tinggal lama di Palembang. Tentu aku tahu  tempat dan semua makanan yang disebutkannya.Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum untuk menyenangkan hatinya. 

“Oo, begitu. Terimakasih informasinya ya..” Sahutku.

Dia menggangguk puas.


Foto berlatar jembatan Ampera

Aku dan Akang kemudian mengambil beberapa foto dengan latar belakang jembatan Ampera. Jembatan ini merupakan icon kota Palembang yang paling terkenal. Rasanya belum sah mengunjungi kota Palembang kalau belum berfoto dengan latar jembatan ini.

Jembatan Ampera

Ampera, Icon kebanggan Palembang

Jembatan Ampera dibangun  mulai bulan April tahun 1962 setelah disetujui oleh Presiden Soekarno. Biaya pembangunan jembatan ini berasal dari pampasan perang Jepang. Tenaga ahlinya pun berasal dari Jepang. Peresmian pemakaian jembatan berlangsung pada tahun 1965. Pada saat itu jembatan yang panjangnya 1.117 m ini adalah jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Pada awalnya dinamai Jembatan Bung Karno sebagai penghargaan atas jasa beliau yang sangat mendukung dibangunnya sarana ini. Kemudian pada tahun 1966 ketika terjadi pergolakan politik anti Soekarno, jembatan ini berganti nama menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).

Setelah puas berfoto, kami kembali melaju menuju kawasan Jakabaring untuk mengunjungi Mamiku. Kami mampir sebentar ke masjid Cheng Hoo yang terletak tidak jauh  dari rumah Mami.

Masjid Ceng Ho
 
Masjid Cheng Ho
Masjid Cheng Ho atau lengkapnya Masjid Al Islam Muhammad Ceng Ho Sriwijaya Palembang adalah masjid dengan arsitektur China yang dibangun oleh komunitas Islam Tionghoa Sumatera Selatan. Komunitas itu dinamai PITI ( Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Masjid ini terletak di kawasan Jakabaring Palembang.

Nama masjid ini  berasal dari Laksamana Cheng Ho,  seorang tokoh muslim Tionghoa yang menjadi orang kepercayaan  kaisar Yongle, kaisar ke-3 dari Dinasti Ming yang berkuasa tahun 1403-1424 di Tiongkok.

Laksamana Cheng Hoo membawa 62 armada kapal dan  27.800 orang tentara pernah empat kali berlabuh di pelabuhan tua Palembang. Laksamana Cheng Ho membantu kerajaan Sriwijaya menumpas perampok-perampok Tionghoa Hokkian yang merajalela mengganggu keamanan pada 1407.  Laksamana Cheng Ho berhasil menumpas gerombolan perampok dan menangkap pemimpinnya. Sejak itulah Sang Laksamana membentuk komunitas Tionghoa Islam di Palembang.

Arsitektur masjid Cheng Ho sangat unik, karena merupakan perpaduan arsitektur Palembang, China,  dan Arab. Masjid ini  dibangundi atas tanah seluas 5.000 m2, terdiri dari dua lantai dan mampu menampung 600 jamaah. Menara di kedua sisi masjid berdesain mirip kelenteng-kelenteng di China, berwarna merah dan hijau giok. Lingkungan masjid dilengkapi rumah untuk imam masjid, kantor, perpustakaan dan ruang serba guna.
  
Makan model di rumah Mami

Kami tiba dirumah Mami. Aku memeluk Mami melepas rindu. Rumah Mami selalu membangkitkan kenangan tentang Papiku yang  sudah kembali kepadaNya tahun 2011 lalu. Hatiku masih sedih melihat kursi goyang kesayangan Papi. Dulu dia senang duduk dikursi hadiah Akang  itu, terangguk-angguk  tersenyum memandang anak-anak dan cucu-cucunya.

Mami menghidangkan model, salah satu makanan khas Palembang. Bahan dasarnya terbuat dari adonan ikan tenggiri, mirip dengan pempek. Hanya saja model  diisi tahu dan disajikan dengan kuah kaldu udang.   

 
Model
Sama seperti kedua mertuaku, Mami juga mengkhawatirkan keselamatan kami selama touring. Dia berpesan agar kami selalu hati-hati menjaga diri. Aku dan Akang meminta doanya agar kami selalu dilindungi dari segala bahaya.

Kami hanya punya satu hari di Palembang, karena itu meski rindu belum tuntas, Aku dan Akang  terpaksa pamit. Seperti biasa aku menyimpan tangis memandang wajah Mamiku kala harus pergi darinya. Aku menampilkan senyum berusaha menetralkan suasana hatiku ketika melihat mata mami berkaca-kaca . Kala si Kuning telah menderu  meninggalkan siluet Mamiku yang melambai dikejauhan, barulah airmata kubiarkan menetes. 

Menikmati  Pempek

Jam sudah menunjukkan pukul  delapan malam ketika kami tiba di kawasan Celentang Sako Kenten. Sebuah toko pempek menarik perhatian kami. Kami mampir ke toko itu untuk menuntaskan keinginan makan makanan khas Palembang itu.
 
Pempek
Sepiring pempek kecil yang terdiri pempek adaan, pempek lenjer kecil, pempek telur dan pempek kulit terasa nikmat. Cuka pempek yang kental dan pedas membuat perpaduan rasa yang sempurna. Wisata kuliner ini   menutup kegiatan kami hari ini.

Sebelum pulang, kami berbelanja minuman dan roti untuk bekal perjalanan pulang  ke Bogor.Aku dan Akang sengaja tidur lebih cepat supaya esok harinya bisa bangun dengan tubuh segar dan memulai perjalanan pulang kembali ke Bogor. 

Ikuti kisah selanjutnya : Perjalanan Pulang (Touring Palembang-Bogor)

2 komentar:

  1. Mba, asyik jug aya touring ama suami git. Tapi aku kayaknya belum berani deh. Kuatir ngebut. Seru juga ke Palembang, pemandangan dan makanannya enak-enaak :)

    BalasHapus
  2. Yuk,kalo nak touring lagi ajak Oi.
    Aku galak pulo balik pake motor Yuk.

    BalasHapus