Laman

Senin, 13 April 2015

Perjalanan Solo Touring dari Dieng ke Bogor

Bersama si Kuning


Simak juga kisah-kisah sebelumnya : Wisata Satu Hari di Dieng Plateau
                                                            : Perjalanan Solo Touring dari Bogor ke Dieng
Setelah menempuh 480 Km perjalanan Bogor-Dieng dengan motor, lalu satu hari berwisata di Dieng, hari ini aku dan suamiku, si Akang, harus kembali ke Bogor. Rasanya berat meninggalkan Dieng,  “negeri kahyangan” indah yang terletak di sekitar Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Masih banyak objek wisata yang belum sempat kukunjungi, salah satunya Candi Arjuna. Kemarin, hujan sejak tengah hari hingga menjelang malam mengacaukan rencana jalan-jalanku. 

Kumandang adzan memecah kesunyian subuh yang dingin.  Kelopak mataku terasa berat.

“Bangun Neng. Mandi, wudhu, shalat, lalu kita  berkemas dan  pulang. “ Bisik Akang sambil membelai pipiku.


“Langsung pulang? Sempat ke candi Arjuna dulu kan? “ Sahutku.

“Nggak. Langsung pulang saja. Nanti kalau kesiangan kita bisa terjebak macet di jalan. “ Tegas Akang.

Dadaku bergemuruh. Rasanya ingin melontarkan protes keras pada lelaki separuh jiwa ini. Mengapa dia tak mengerti keinginanku?

 Aku  suka bangunan-bangunan kuno, apalagi candi, meski aku tak tahu pasti apa sebabnya. Mungkin karena  bangunan-bangunan tua  membangkitkan eksotisme sejarah  penuh misteri berusia ratusan hingga ribuan tahun.   Mungkin juga karena kekagumanku akan tingginya peradaban masa lalu. Peradaban yang menghasilkan konstruksi kokoh dari bahan sederhana tanpa teknologi canggih, namun kekuatannya mampu bertahan ribuan tahun. Bukankah itu hebat?

Kami sudah berada begitu dekat dengan candi peninggalan bersejarah warisan Hindu Siwa, tapi Akang tak sudi sedikit saja meluangkan waktu hanya karena takut kena macet! Sungguh alasan yang sulit kuterima.

Kupandangi sekujur wajah Akang. Belasan tahun mendampinginya, aku sudah paham adat suamiku.
“Jangan membantah!” Begitulah makna ekspresi datar yang menghias parasnya.

Melontarkan protes bukanlah pilihan yang tepat, hanya akan menguras emosi dan merusak suasana.
Ah... pria dengan egoismenya! Tetapi wanita selalu punya cara.

Aku bangkit. Dengan patuh kulakukan sesuai perintah Akang. Mandi, wudhu, shalat dan berkemas. Tapi aku memasang wajah sedih  dan tak banyak bicara. Setelah selesai berkemas, aku duduk  lesu menanti Akang di ruang tamu home stay. 

Akang mengenakan pelindung lutut, duduk di dekatku. Sesekali dia mencuri pandang menatapku.  Aku berusaha  maksimal memasang ekspresi memelas di wajahku.  Tampaknya dia  menangkap “signal” yang kukirimkan.

“Kita lihat dulu,ya. Kalau candinya sudah buka, kita ke sana. Oke, Neng ? “ Ucapnya lembut.

“Horee!! Akhirnya....” Hatiku bersorak. Ingin aku memeluk Akang, tapi hanya seulas senyum lebar yang kuhadiahkan padanya.

Kukatakan padamu, Kawan. Tak perlulah mengungkapkan keinginan dengan bahasa verbal, apalagi menantang pria dengan perdebatan frontal. Cukup tampilkan wajah memelas. Catat ya, wajah memelas, bukan wajah cemberut! Lengkapi dengan bahasa tubuh lesu lunglai. Maka dia akan memenuhi keinginanmu. Haha...

Ah, Akang sayang. Dibalik sikapnya yang tegas keras kepala, tersimpan hati  lembut penuh cinta. Aku tahu dia tak  akan tega melihatku kecewa.

Kompleks Candi Arjuna

Kompleks Candi Arjuna

Suasana masih sepi ketika kami tiba di depan gerbang kompleks candi Arjuna. Tampaknya kami adalah pengunjung pertama hari ini. Sebuah toko oleh-oleh  yang menjadi satu dengan warung makan telah buka. Aku menghampiri seorang wanita yang tengah membersihkan meja.

“Bu, Candi Arjunanya sudah buka?” Tanyaku.

Wanita itu melambaikan tangannya memanggil seseorang di belakangku. Aku menoleh. Seorang pria setengah tua menghampiriku.

“Sebentar ya,Mbak. Beli karcisnya dulu. Dua orang totalnya Rp. 20.000,- “ Ujar pria itu sambil menyodorkan dua lembar karcis tanda masuk.

“Karcis ini sekalian bisa digunakan untuk masuk ke kawah Sikidang ya, Mbak.” Pria itu menjelaskan.
Kami tak akan sempat mengunjungi kawah itu. 

“Masuknya lewat mana, Pak?” Tanyaku.

Pria itu menunjuk ke arah kanan, ke sebuah pagar besi berwarna biru.

Kiri-kanan jalan menuju kompleks candi  ditumbuhi bunga kuning berbentuk terompet.  Aku dan Akang melangkah menuju kelompok candi Arjuna. Kami melewati beberapa reruntuhan candi yang sudah tak berbentuk.

Kompleks Candi Arjuna dengan luas 1 hektar terletak di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan merupakan candi agama Hindu. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad 8 Masehi oleh Dinasti Sanjaya dari kerajaan Mataram Kuno. Di kompleks ini terdapat lima bangunan candi, yaitu Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Puntadewa, Candi Srikandi  dan Candi Sembadra.

1.       Candi Arjuna

 
Candi Arjuna

Candi ini merupakan candi utama yang terbesar dan tertua. Berada pada ujung Selatan dan menghadap ke Barat, ditandai dengan adanya tangga pada sisi Barat candi. Candi  Arjuna berbentuk persegi dengan luas sekitar 4 m2. Badan candi berada pada sebuah batur setinggi 1 m. Pintu candi dilengkapi semacam bilik penampil yang menjorok keluar sekitar 1 m dari tubuh candi. Di atas ambang pintu terdapat pahatan Kalamakara. Atap candi berbentuk kubus bersusun, makin ke atas makin mengecil.  Di setiap sisi masing-masing kubus terdapat relung dan setiap sudut terdapat hiasan berbentuk mahkota bulat berujung runcing.
Keistimewaan Candi Arjuna terletak pada bak batu yang selalu terisi tetesan air embun berasal dari atap candi. Uniknya air embun itu tidak kering meski terkena panas matahari. Masyarakat menamai air embun itu “Parwito Sari” dan meyakini air itu  banyak mengandung berkah bagi yang menggunakannya.

2.       Candi Semar

Candi Semar
Candi ini letaknya bersebelahan dengan Candi Arjuna dan merupakan candi sarana. Gunanya sebagai tempat berkumpul dan menunggu para umat sebelum masuk ke candi Arjuna.  Candi ini konon dipergunaka juga untuk gudang penyimpanan senjata dan perlengkapan pemujaan. Candi Semar berbentuk persegipanjang  membujur arah Utara-Selatan. Ukurannya lebih kecil dari Candi Arjuna. Batur candi setinggi 50 cm berwujud polos tanpa hiasan. Tangga menuju pintu masuk ke ruang dalam candi terdapat di sisi Timur. Pintu masuk tidak dilengkapi bilik penampil. Atap candi berbentuk limasan tanpa hiasan. Puncak atap sudah hilang, sehingga tak diketahui bentuk aslinya.

3.       Candi Srikandi

Candi Srikandi
Letaknya di sebelah Utara dengan Candi Arjuna. Batur candi setinggi 50 cm dengan denah dasar berbentuk kubus. Di sisi Timur terdapat tangga dengan bilik penampil. Pada dinding-dindingnya tergambar pahatan Wishnu, Syiwa dan Brahma. Sebagian pahatan  dan atap  sudah rusak.

4.       Candi Puntadewa

Candi Puntadewa
Candi ini tampak lebih tinggi. Tubuh candi ini berdiri di atas batur bersusun setinggi 2,5 m. Tangga menuju pintu masuk dilengkapi pipi candi dan dibuat bersusun dua sesuai dengan batur candi. Atap candi berbentuk kubus besar. Candi ini tengah direnovasi. Terdapat papan peringatan yang melarang pengunjung mendekat ke candi ini untuk menghindari bahaya runtuhan candi.

5.       Candi Sembadra

Candi Sembadra
Candi Sembadra mirip bangunan bertingkat karena atapnya berbentuk kubus  yang ukurannya hampir sama besar dengan tubuh candi. Puncak atap sudah hancur hingga tak terlihat lagi bentuk aslinya.
Kompleks Candi Arjuna biasa digunakan  untuk tempat pelaksanaan hari raya  Galungan.



Aku dan Akang
Aku berkeliling menatap bangunan-bangunan kuno itu puas-puas.  Betapa indah mahakarya Dinasti Sanjaya warisan Hindu kuno ini, berdiri anggun dilatari pegunungan dan bukit-bukit hijau asri.  Aku dan Akang tak mampu menahan diri untuk berfoto narsis di sini. Senang rasanya bisa berada di tempat ini meski hanya sebentar.

Pemandangan Spektakuler Dataran Tinggi Dieng

Pukul 6.30 aku dan Akang meluncur di atas si Kuning menelusuri jalur pulang yang berbeda dari jalur kedatangan kami. Akang memilih melalui jalan-jalan kecil membelah pedesaan menuju Banjarnegara, bukan  melalui jalan utama.  


Kami menikmati bentang alam yang sangat indah. Bukit-bukit hijau saling bertaut, sawah berundak-undak, pepohonan, kebun sayur, tanaman-tanaman yang dibiakkan tertutup plastik,  jurang, sungai dengan bebatuan, tanah berkontur tinggi-rendah, dan  tebing. Di kejauhan  terlihat cerobong –cerobong mengepulkan asap putih membumbung ke udara. Putih, hijau, langit biru, awan putih kelabu yang bergulung-gulung dan sinar matahari keemasan,  perpaduan  kontras yang memanjakan mata.



Udara dingin, segar. Pondok kayu di tengah kebun. Lelaki-lelaki   memanggul keranjang berisi rumput, dan sayuran. Wanita berkain carik menggendong  bakul dipunggungnya. Mobil-mobil bak terbuka mengangkut buruh perkebunan.  Anak-anak berlarian. Sebidang jalan dengan batu-batu besar mencuat dari aspal. Jalan  menanjak, menurun, menikung, berkelok-kelok.



Kami tiba disebuah ruas jalan. Sebuah papan peringatan terpampang di pinggir. “Hati-hati jalan longsor.” Begitulah yang tertulis. Beberapa pria berjaga di dekat pembatas jalan darurat.  Akang memperlambat laju si Kuning. Jalan yang semestinya bisa dilalui dua arus kendaraan, kini menyempit menjadi satu jalur saja, tersita oleh pembatas jalan. Mobil bak terbuka di depan kami melaju lambat. Kami menanti giliran dengan sabar.  



Ketika tiba saatnya, si Kuning bergerak perlahan. Hatiku berdebar. Di sisi kiri jalan aspal tampak tinggal separuh. Sebagian bahu   dan badan  jalan   telah runtuh . Jantung berdesir melihat posisi roda motor begitu dekat dengan mulut jurang  menganga. Setiap detik yang berlalu terasa lambat  mendebarkan. Hatiku berlari pada kekuatan maha besar untuk bertumpu padaNya. Bismillah...

Akhirnya ketegangan berakhir. Fiuh.... Kami kembali dibuai jalan meliuk-liuk. Aku tak berhenti menjepretkan camera menangkap panorama menakjubkan di kiri-kanan jalan. 

Kami melewati beberapa ruas jalan yang berlubang dan beraspal rusak.  Tapi aku tak keberatan. Sedikit ketidaknyamanan ini tak berarti apa-apa dibanding pesona keindahan alam yang kusaksikan sepanjang jalan .


Pukul 9 hingga  menjelang tengah hari, langit terang. Matahari bertahta megah di angkasa.

“Kita makan siang nasi liwet ya, Neng. Mudah-mudahan sekitar jam 12-an kita sudah sampai di rumah makan Asep Stroberi. “ Ucap Akang.

Pukul 11.06 kami melewati perbatasan Jawa Tengah dan  Jawa Barat.  Setelah melewati Ciamis, di Jalan Raya Cikoneng langit mulai terlihat mendung. 

Makan Siang di RM Asep Stroberi


Pukul 12.15 kami tiba di rumah makan nasi liwet Asep Stroberi, di daerah Tasikmalaya.  Kami langsung masuk di area lesehan dan memesan makanan. Tersedia paket-paket makanan  untuk dua orang atau lebih, dengan macam-macam pilihan menu. Ada menu ayam, bebek, ikan , udang dan daging. 

Akang memilih paket bebek bakar untuk dua orang. Terdiri dari nasi liwet, lalapan, sambal, tahu goreng, tempe goreng tepung, bebek panggang,  ikan asin dan  es kelapa muda. Untuk paket berdua ini harganya Rp. 110.000,  ditambah minuman totalnya Rp. 132.000,-



Paket nasi liwet dengan bebek bakar
Rumah makan ini cukup nyaman. Terdapat area makan dengan meja dan kursi yang terdapat di bagian tengah. Sementara untuk area lesehan tersedia di bagian sisi kanan rumah makan dan di bagian belakang. Terdapat kolam yang mempercantik area lesehan, dilengkapi perahu untuk anak-anak. 


RM Asep Stroberi  juga menjual  makanan-makanan kecil untuk cemilan dan oleh-oleh. Selain itu  dijual juga boneka-boneka dengan tema stroberi sebagai souvenir rumah makan ini.

Setelah shalat dan istirahat sebentar, kami bersiap melanjutkan perjalanan. Melihat langit yang makin gelap, aku dan akang melepas jaket dan menggantinya dengan jas hujan.

Menembus Hujan

Tepat pukul 14.00 perjalanan berlanjut. Kami bersyukur mengambil keputusan memakai jas hujan karena tak lama kemudian hujan benar-benar turun. Cukup deras.  

Aku menikmati setiap tetes hujan yang turun menerpa kaca helm dan telapak tanganku. Meski butir hujan mendatangkan dingin, tapi melaju menerjang  rinainya membuat hatiku riang. Tirai dengan tetes air yang rapat mengantarkan aku menjelajah labirin kenangan masa kecil. 

Ketika itu derai air yang tercurah dari langit adalah peristiwa istimewa yang patut dirayakan. Mandi hujan, teriakan riang, tawa dan candaku bersama  teman-teman masa kecil  begitu lepas tanpa beban. Menengadah ke langit dan merasakan air menggelitik seluruh raut wajah sungguh menyenangkan.  Dodi, Dani, dan Rudi, kawan kecilku, akan tengkurap di genangan air lalu mulai mengerakkan  tubuh mereka menggelosor ke sana kemari tanpa peduli baju menjadi kotor. Eka, sepupu Dodi yang bertubuh subur meraup air dan menyiramkan di tubuh dan wajahku. Aku berteriak dan membalasnya. Lalu kami tertawa terbahak keras.  

Sayangnya hal ini tak pernah berlangsung lama. Mami dan Uni, begitulah aku memanggil ibu dan nenekku,  segera berteriak memanggil, menyuruhku pulang. Aku tak kuasa menolak. Kemudian mereka mengomeli aku, mengeringkan tubuhku dan membaluri dengan minyak kelapa dicampur bawang merah. Selanjutnya, aku hanya bisa menatap pedih aksi kawan-kawanku yang masih terbenam dalam keriangan hujan, dari balik jendela ruang tamu. Keesokan harinya aku demam. Selalu begitu. 

Tapi kali ini tidak, perayaan kegembiraanku tak akan berakhir kecuali aku dan Akang sendiri  mengakhirinya. Dan aku menikmati puas-puas siraman air  ini sambil berharap hujan terus menemani perjalanan kami.

Banjir di Cikijing

Tampaknya harapanku terpenuhi. Hujan terus menerus turun sepanjang perjalanan . Dan kini kami merasakan akibatnya.

Di Jalan Raya Garut- Bandung km 24 lalu lintas macet total. Aku tak mengerti ada apa di depan sana. Kendaraan benar-benar tak bergerak!

Akang berusaha mencari celah untuk terus maju. Kami menyusuri bahu jalan di sebelah kiri, menerjang genangan air berwarna coklat,  sesekali menyusuri trotoar dan kembali ke bahu jalan, terus dan terus melaju. 

Makin lama genangan  air coklat keruh  itu makin tinggi. Barulah kami sadar apa yang terjadi. Banjir! Tapi sudah terlambat. Kami tak bisa mundur atau menghindar. Dari sisi jalan yang berlawanan arah, air mengalir deras  menggenangi badan jalan  melalui celah di median jalan.   Di sana-sini terlihat pemandangan mobil pribadi maupun angkot, mogok. Wajah-wajah putus asa para penumpang, kernet dan sopir  mau tak mau ikut mempengaruhi suasana hati kami.  Belum lagi motor-motor bebek yang berjejer, mati mesin, dituntun oleh pemiliknya menerjang air yang makin tinggi. Pantas saja lalu lintas  macet total.

Akang mulai panik.

“Waduh Neng. Airnya makin tinggi dan kita nggak punya pilihan kecuali terus lewat jalan ini. Bagaimana kalau si Kuning mogok ya? Di sini mana ada bengkel moge...”

Aku tak menjawab. Ketegangan menjalari hatiku. Semoga saja si Kuning tidak ngambek. 

Air makin tinggi, kakiku yang mengenakan sepatu boot dan menapak di food  step motor mulai terendam air hingga mata kaki. Itu artinya ketinggian air sudah mencapai kira-kira 80 cm.  Ya Allah..
Benar saja, mesin si Kuning padam. Aku melihat wajah Akang tegang dan pucat.

“Ya Allah... Cari orang yang bisa mendorong motor, Neng!” Teriaknya panik.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitarku. Yang kulihat adalah wajah-wajah panik dan putus asa. Orang-orang itu sibuk sendiri-sendiri dengan kendaraannya. Ada seorang anak muda yang tengah mendorong mobil city car yang mogok. Akang berteriak memanggilnya, tapi pemuda itu memilih tetap mendorong mobil sambil membalas dengan tatapan meminta maaf.

“Neng saja yang mendorong ya, Kang.” Ucapku.

Aku tahu Akang tak tega, tapi mau bagaimana lagi? Sekarang bukan  saatnya bermanja-manja, bergaya anggun ala Barbie.  Ini darurat!

Tanpa pikir panjang aku turun dari motor. Air dengan arus deras keruh berwarna coklat terasa dingin menyerbu kaki hingga pahaku. Sepatu boot kulit kesayanganku terbenam. Hiks... 

Banjir

Aku berkonsentrasi, mengerahkan segenap tenaga mendorong si Kuning. Tapi si Kuning bergerak sangat lambat. Tentu saja. Apalah daya emak-emak dasteran seperti aku sendirian mendorong motor besar lengkap dengan barang-barang dan pengemudinya dengan bobot total lebih dari 300 kg,  melawan  arus air banjir?

Meski aku sudah berjibaku dengan seluruh kekuatanku, si Kuning tetap bergerak pelan. Akang makin panik. Sementara nafasku tersengal-sengal, mulut megap-mega mirip ikan mas koki. Halah...

Dari arah depan aku melihat  dua orang anak laki-laki berusia kira-kira 10 dan 12 tahun berlari ke arah kami. 

“Dik, bantu dorong!” Seru Akang memanggil anak-anak itu.

Dengan sigap dua anak itu mengambil alih tugasku.  Mereka hebat sekali! Segera saja si Kuning melaju deras meninggalkan aku yang masih melangkah tersengal-sengal. Air banjir menghambat langkahku. Bahkan membawa badan sendiri saja aku kesulitan! Hiks...

Entah berapa lama aku mengarungi arus banjir. Rasanya lama sekali. Akhirnya aku bisa menyusul si Kuning yang sudah parkir di pinggir jalan.

Akang meraih tas magnetik dan mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan. Dua anak laki-laki itu menerima dengan wajah sumringah. Aku mengucapkan terimakasih, mereka tersenyum dan kembali berlari menuju genangan air.

Akang termangu memandang si Kuning.  Aku tahu hatinya was-was. Bila mogok, motor besar tak bisa diperbaiki di bengkel biasa.  Harus dibawa ke bengkel khusus motor besar. Atau kalau tidak, kami harus meminta montir moge datang ke lokasi kami berada. Pilihan lain adalah mencari mobil storing, atau mobil bak terbuka dengan peralatan khusus untuk mengangkut motor besar, lalu membawa si Kuning ke bengkel di Bandung atau di Bogor. 

Akang menunduk memperhatikan busi  dan air intake si Kuning. Kulihat wajahnya sedikit cerah, seperti ada secercah harapan.

“Businya nggak basah, Neng. Mudah-mudahan tidak mogok. “ Ujarnya.

Akang menekan tombol starter si Kuning.  Mesin terbatuk batuk, sementara knalpot memuntahkan air coklat keruh. Mesin  tak menyala. Akang mengulang  menekan tombol starter. Kembali si Kuning batuk-batuk, air coklat deras mengalir keluar dari knalpot. Banyak sekali! Ketiga kalinya akang menekan tombol starer, sebuah sentakan terdengar, lalu mesin  meraung-raung, menyala garang. Horeee..! Rasanya tak pernah aku sebahagia ini mendengar raungan si Kuning. Alhamdulillah....

Terkurung Kabut

Petualangan di atas kuda besi berlanjut. Hujan benar-benar setia mengiringi perjalanan kami. Langit mulai gelap. Ketika matahari tak lagi terlihat pendar cahayanya, kami telah melewati wilayah Cianjur menuju Cipanas.  

Gelap itu  bukan saja kelam, tapi kini menjadi samar. Tiba-tiba kami seperti masuk dalam setting film horror. Mataku seperti terkena penyakit rabun. Segala benda dihadapanku terlihat buram, membentuk siluet ambigu yang menyeramkan. Sorot lampu kendaraan  redup,  seperti cahaya lampu senter dengan daya batrai sekarat. Kami terkurung kabut tebal!

 Jarak pandang menyempit dan jalan  licin, memaksa Akang memperlambat laju si Kuning. Suasana terasa mencekam di tengah tetes air hujan dan hawa dingin kawasan puncak. Kaki, telapak tangan dan pahaku dingin. Air banjir yang menyelusup ke dalam sepatu boot seolah mengalirkan dingin menusuk ke tubuh melalui syaraf-syaraf, seperti prinsip pipa-pipa kapiler. Hujan yang tadinya menyenangkan kini berbalik menyiksa.

Aku merasa dadaku nyeri. Perut mulai tak enak. Ini ciri-ciri masuk angin. Tapi aku diam saja. Mengungkapkan perasaanku pada Akang tak akan membuat keadaan menjadi baik. Aku tak ingin dia cemas. Aku berharap semoga kami cepat tiba dirumah.

Kemeriahan Malam Minggu di Puncak

Masuk  wilayah puncak, ketahanan kami masih diuji dengan lalu lintas  padat. Di kiri kanan Jalan Raya Puncak  , deretan mobil parkir menyita jalan yang memang sudah sempit. 

Rumah-rumah makan, caffe, warung,hotel, penginapan, tempat hiburan, bahkan masjid padat pengunjung.  Aroma sate nikmat menguar terbawa asap membumbung dari anglo yang dikipasi sang penjual. Anak-anak muda menikmati jagung bakar, berlalu lalang di tengah gerimis.  Pria-pria bertubuh tinggi, berhidung mancung dan bertampang Timur Tengah berkelompok di depan resto masakan Arab. Laki-laki duduk di pinggir jalan menjajakan villa yang disewakan. Kios oleh-oleh terang benderang. Factory outlet diserbu pengunjung. Sungguh meriah suasana malam Minggu di Puncak.

Seandainya aku dan Akang tak dalam kondisi basah dan kedinginan, tentu kami sudah berhenti di salah satu kedai, menikmati sop kaki kambing dan sate sambil melepas lelah. 

“Tangan Akang keram, Neng. Jangan dipeluk. “ Ucap Akang saat aku berusaha memeluknya. Aku cepat-cepat melepaskan pelukan, takut Akang kehilangan keseimbangan. Hatiku tak putus mengucapkan doa, semoga semua baik-baik saja dan kami segera tiba di rumah.

Aku mengepit telapak tanganku di bawah ketiak, berusaha menghalau dingin. Di depan telah menunggu antrian kendaraan. Lagi-lagi macet. 

Akang kembali diuji mencari celah-celah diantara mobil-mobil yang mengantri. Untung lalu lintas tak terlalu macet, masih bisa bergerak meski padat merayap.

“Mau mampir beli makanan nggak, Neng? “ Tanya Akang.

“Nggak. Kita langsung pulang saja. Sudah nggak tahan lagi Kang..” Pintaku lirih.

Lepas dari kawasan Puncak, Akang memacu si Kuning membelah jalan yang mulai lengang. Tak ada lagi macet, kini kami tiba di ujung perjalanan. 

Tepat pukul 20.40 kami tiba di rumah dengan selamat. Si Bungsu Rafif menyambut kami, rasanya senang sekali. Aku segera melepas segala atribut touring, mandi air hangat dan menyeruput teh panas ditemani semangkuk soto ayam panas mengepul. 

Alhamdulillah... Keseruan perjalanan kami hari ini meninggalkan kesan yang dalam. Setidaknya hari ini aku mendapat pengalaman baru. Ini pertama kalinya  aku menceburkan diri  ke air banjir sambil mendorong motor yang berat. Kurasa aku tak akan pernah melupakan sensasinya. Hehehe....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar