Bersama si Kuning |
Simak juga kisah-kisah sebelumnya : Wisata Satu Hari di Dieng Plateau
: Perjalanan Solo Touring dari Bogor ke Dieng
: Perjalanan Solo Touring dari Bogor ke Dieng
Setelah menempuh
480 Km perjalanan Bogor-Dieng dengan motor, lalu satu hari berwisata di Dieng,
hari ini aku dan suamiku, si Akang, harus kembali ke Bogor. Rasanya berat
meninggalkan Dieng, “negeri kahyangan”
indah yang terletak di sekitar Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara,
Jawa Tengah. Masih banyak objek wisata yang belum sempat kukunjungi, salah
satunya Candi Arjuna. Kemarin, hujan sejak tengah hari hingga menjelang malam
mengacaukan rencana jalan-jalanku.
Kumandang adzan
memecah kesunyian subuh yang dingin.
Kelopak mataku terasa berat.
“Bangun Neng.
Mandi, wudhu, shalat, lalu kita berkemas
dan pulang. “ Bisik Akang sambil
membelai pipiku.
“Langsung
pulang? Sempat ke candi Arjuna dulu kan? “ Sahutku.
“Nggak. Langsung
pulang saja. Nanti kalau kesiangan kita bisa terjebak macet di jalan. “ Tegas
Akang.
Dadaku
bergemuruh. Rasanya ingin melontarkan protes keras pada lelaki separuh jiwa
ini. Mengapa dia tak mengerti keinginanku?
Aku suka
bangunan-bangunan kuno, apalagi candi, meski aku tak tahu pasti apa sebabnya.
Mungkin karena bangunan-bangunan
tua membangkitkan eksotisme sejarah penuh misteri berusia ratusan hingga ribuan
tahun. Mungkin juga karena kekagumanku
akan tingginya peradaban masa lalu. Peradaban yang menghasilkan konstruksi
kokoh dari bahan sederhana tanpa teknologi canggih, namun kekuatannya mampu
bertahan ribuan tahun. Bukankah itu hebat?
Kami sudah berada
begitu dekat dengan candi peninggalan bersejarah warisan Hindu Siwa, tapi Akang
tak sudi sedikit saja meluangkan waktu hanya karena takut kena macet! Sungguh
alasan yang sulit kuterima.
Kupandangi
sekujur wajah Akang. Belasan tahun mendampinginya, aku sudah paham adat
suamiku.
“Jangan
membantah!” Begitulah makna ekspresi datar yang menghias parasnya.
Melontarkan
protes bukanlah pilihan yang tepat, hanya akan menguras emosi dan merusak
suasana.
Ah... pria
dengan egoismenya! Tetapi wanita selalu punya cara.
Aku bangkit.
Dengan patuh kulakukan sesuai perintah Akang. Mandi, wudhu, shalat dan
berkemas. Tapi aku memasang wajah sedih dan tak banyak bicara. Setelah selesai
berkemas, aku duduk lesu menanti Akang
di ruang tamu home stay.
Akang mengenakan
pelindung lutut, duduk di dekatku. Sesekali dia mencuri pandang menatapku. Aku berusaha
maksimal memasang ekspresi memelas di wajahku. Tampaknya dia menangkap “signal” yang kukirimkan.
“Kita lihat
dulu,ya. Kalau candinya sudah buka, kita ke sana. Oke, Neng ? “ Ucapnya lembut.
“Horee!!
Akhirnya....” Hatiku bersorak. Ingin aku memeluk Akang, tapi hanya seulas
senyum lebar yang kuhadiahkan padanya.
Kukatakan
padamu, Kawan. Tak perlulah mengungkapkan keinginan dengan bahasa verbal,
apalagi menantang pria dengan perdebatan frontal. Cukup tampilkan wajah
memelas. Catat ya, wajah memelas, bukan wajah cemberut! Lengkapi dengan bahasa
tubuh lesu lunglai. Maka dia akan memenuhi keinginanmu. Haha...
Ah, Akang
sayang. Dibalik sikapnya yang tegas keras kepala, tersimpan hati lembut penuh cinta. Aku tahu dia tak akan tega melihatku kecewa.
Suasana masih
sepi ketika kami tiba di depan gerbang kompleks candi Arjuna. Tampaknya kami
adalah pengunjung pertama hari ini. Sebuah toko oleh-oleh yang menjadi satu dengan warung makan telah
buka. Aku menghampiri seorang wanita yang tengah membersihkan meja.
“Bu, Candi
Arjunanya sudah buka?” Tanyaku.
Wanita itu
melambaikan tangannya memanggil seseorang di belakangku. Aku menoleh. Seorang
pria setengah tua menghampiriku.
“Sebentar
ya,Mbak. Beli karcisnya dulu. Dua orang totalnya Rp. 20.000,- “ Ujar pria itu
sambil menyodorkan dua lembar karcis tanda masuk.
“Karcis ini
sekalian bisa digunakan untuk masuk ke kawah Sikidang ya, Mbak.” Pria itu
menjelaskan.
Kami tak akan
sempat mengunjungi kawah itu.
“Masuknya lewat
mana, Pak?” Tanyaku.
Pria itu
menunjuk ke arah kanan, ke sebuah pagar besi berwarna biru.
Kiri-kanan jalan
menuju kompleks candi ditumbuhi bunga
kuning berbentuk terompet. Aku dan Akang
melangkah menuju kelompok candi Arjuna. Kami melewati beberapa reruntuhan candi
yang sudah tak berbentuk.
Kompleks Candi
Arjuna dengan luas 1 hektar terletak di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur,
Kabupaten Banjarnegara dan merupakan candi agama Hindu. Candi ini diperkirakan
dibangun pada abad 8 Masehi oleh Dinasti Sanjaya dari kerajaan Mataram Kuno. Di
kompleks ini terdapat lima bangunan candi, yaitu Candi Arjuna, Candi Semar,
Candi Puntadewa, Candi Srikandi dan
Candi Sembadra.
Candi
ini merupakan candi utama yang terbesar dan tertua. Berada pada ujung Selatan
dan menghadap ke Barat, ditandai dengan adanya tangga pada sisi Barat candi.
Candi Arjuna berbentuk persegi dengan
luas sekitar 4 m2. Badan candi berada pada sebuah batur setinggi 1 m. Pintu
candi dilengkapi semacam bilik penampil yang menjorok keluar sekitar 1 m dari
tubuh candi. Di atas ambang pintu terdapat pahatan Kalamakara. Atap candi
berbentuk kubus bersusun, makin ke atas makin mengecil. Di setiap sisi masing-masing kubus terdapat
relung dan setiap sudut terdapat hiasan berbentuk mahkota bulat berujung
runcing.
Keistimewaan
Candi Arjuna terletak pada bak batu yang selalu terisi tetesan air embun
berasal dari atap candi. Uniknya air embun itu tidak kering meski terkena panas
matahari. Masyarakat menamai air embun itu “Parwito Sari” dan meyakini air
itu banyak mengandung berkah bagi yang
menggunakannya.
Candi
ini letaknya bersebelahan dengan Candi Arjuna dan merupakan candi sarana.
Gunanya sebagai tempat berkumpul dan menunggu para umat sebelum masuk ke candi
Arjuna. Candi ini konon dipergunaka juga
untuk gudang penyimpanan senjata dan perlengkapan pemujaan. Candi Semar
berbentuk persegipanjang membujur arah
Utara-Selatan. Ukurannya lebih kecil dari Candi Arjuna. Batur candi setinggi 50
cm berwujud polos tanpa hiasan. Tangga menuju pintu masuk ke ruang dalam candi
terdapat di sisi Timur. Pintu masuk tidak dilengkapi bilik penampil. Atap candi
berbentuk limasan tanpa hiasan. Puncak atap sudah hilang, sehingga tak
diketahui bentuk aslinya.
Letaknya
di sebelah Utara dengan Candi Arjuna. Batur candi setinggi 50 cm dengan denah
dasar berbentuk kubus. Di sisi Timur terdapat tangga dengan bilik penampil.
Pada dinding-dindingnya tergambar pahatan Wishnu, Syiwa dan Brahma. Sebagian
pahatan dan atap sudah rusak.
Candi
ini tampak lebih tinggi. Tubuh candi ini berdiri di atas batur bersusun
setinggi 2,5 m. Tangga menuju pintu masuk dilengkapi pipi candi dan dibuat
bersusun dua sesuai dengan batur candi. Atap candi berbentuk kubus besar. Candi
ini tengah direnovasi. Terdapat papan peringatan yang melarang pengunjung
mendekat ke candi ini untuk menghindari bahaya runtuhan candi.
Candi
Sembadra mirip bangunan bertingkat karena atapnya berbentuk kubus yang ukurannya hampir sama besar dengan tubuh
candi. Puncak atap sudah hancur hingga tak terlihat lagi bentuk aslinya.
Aku berkeliling
menatap bangunan-bangunan kuno itu puas-puas.
Betapa indah mahakarya Dinasti Sanjaya warisan Hindu kuno ini, berdiri
anggun dilatari pegunungan dan bukit-bukit hijau asri. Aku dan Akang tak mampu menahan diri untuk
berfoto narsis di sini. Senang rasanya bisa berada di tempat ini meski hanya
sebentar.
Pemandangan Spektakuler Dataran Tinggi
Dieng
Pukul 6.30 aku
dan Akang meluncur di atas si Kuning menelusuri jalur pulang yang berbeda dari
jalur kedatangan kami. Akang memilih melalui jalan-jalan kecil membelah
pedesaan menuju Banjarnegara, bukan melalui jalan utama.
Kami menikmati
bentang alam yang sangat indah. Bukit-bukit hijau saling bertaut, sawah berundak-undak,
pepohonan, kebun sayur, tanaman-tanaman yang dibiakkan tertutup plastik, jurang, sungai dengan bebatuan, tanah
berkontur tinggi-rendah, dan tebing. Di
kejauhan terlihat cerobong –cerobong
mengepulkan asap putih membumbung ke udara. Putih, hijau, langit biru, awan putih kelabu
yang bergulung-gulung dan sinar matahari keemasan, perpaduan
kontras yang memanjakan mata.
Udara dingin, segar. Pondok kayu di tengah kebun. Lelaki-lelaki memanggul keranjang berisi rumput, dan sayuran. Wanita berkain carik menggendong bakul dipunggungnya. Mobil-mobil bak terbuka mengangkut buruh perkebunan. Anak-anak berlarian. Sebidang jalan dengan batu-batu besar mencuat dari aspal. Jalan menanjak, menurun, menikung, berkelok-kelok.
Udara dingin, segar. Pondok kayu di tengah kebun. Lelaki-lelaki memanggul keranjang berisi rumput, dan sayuran. Wanita berkain carik menggendong bakul dipunggungnya. Mobil-mobil bak terbuka mengangkut buruh perkebunan. Anak-anak berlarian. Sebidang jalan dengan batu-batu besar mencuat dari aspal. Jalan menanjak, menurun, menikung, berkelok-kelok.
Kami tiba
disebuah ruas jalan. Sebuah papan peringatan terpampang di pinggir. “Hati-hati
jalan longsor.” Begitulah yang tertulis. Beberapa pria berjaga di dekat
pembatas jalan darurat. Akang
memperlambat laju si Kuning. Jalan yang semestinya bisa dilalui dua arus
kendaraan, kini menyempit menjadi satu jalur saja, tersita oleh pembatas jalan.
Mobil bak terbuka di depan kami melaju lambat. Kami menanti giliran dengan
sabar.
Ketika tiba
saatnya, si Kuning bergerak perlahan. Hatiku berdebar. Di sisi kiri jalan aspal
tampak tinggal separuh. Sebagian bahu dan badan
jalan telah runtuh . Jantung berdesir melihat posisi
roda motor begitu dekat dengan mulut jurang menganga. Setiap detik yang berlalu terasa
lambat mendebarkan. Hatiku berlari pada
kekuatan maha besar untuk bertumpu padaNya. Bismillah...
Akhirnya
ketegangan berakhir. Fiuh.... Kami kembali dibuai jalan meliuk-liuk. Aku tak
berhenti menjepretkan camera menangkap panorama menakjubkan di kiri-kanan
jalan.
Kami melewati
beberapa ruas jalan yang berlubang dan beraspal rusak. Tapi aku tak keberatan. Sedikit
ketidaknyamanan ini tak berarti apa-apa dibanding pesona keindahan alam yang
kusaksikan sepanjang jalan .
Pukul 9
hingga menjelang tengah hari, langit
terang. Matahari bertahta megah di angkasa.
“Kita makan
siang nasi liwet ya, Neng. Mudah-mudahan sekitar jam 12-an kita sudah sampai di
rumah makan Asep Stroberi. “ Ucap Akang.
Pukul 11.06 kami
melewati perbatasan Jawa Tengah dan Jawa
Barat. Setelah melewati Ciamis, di Jalan
Raya Cikoneng langit mulai terlihat mendung.
Makan Siang di RM Asep Stroberi
Pukul 12.15 kami
tiba di rumah makan nasi liwet Asep Stroberi, di daerah Tasikmalaya. Kami langsung masuk di area lesehan dan
memesan makanan. Tersedia paket-paket makanan untuk dua orang atau lebih, dengan macam-macam pilihan menu. Ada
menu ayam, bebek, ikan , udang dan daging.
Akang memilih
paket bebek bakar untuk dua orang. Terdiri dari nasi liwet, lalapan, sambal,
tahu goreng, tempe goreng tepung, bebek panggang, ikan asin dan
es kelapa muda. Untuk paket berdua ini harganya Rp. 110.000, ditambah minuman totalnya Rp. 132.000,-
Paket nasi liwet dengan bebek bakar |
Rumah makan ini
cukup nyaman. Terdapat area makan dengan meja dan kursi yang terdapat di bagian
tengah. Sementara untuk area lesehan tersedia di bagian sisi kanan rumah makan
dan di bagian belakang. Terdapat kolam yang mempercantik area lesehan,
dilengkapi perahu untuk anak-anak.
RM Asep
Stroberi juga menjual makanan-makanan kecil untuk cemilan dan
oleh-oleh. Selain itu dijual juga
boneka-boneka dengan tema stroberi sebagai souvenir rumah makan ini.
Setelah shalat
dan istirahat sebentar, kami bersiap melanjutkan perjalanan. Melihat langit
yang makin gelap, aku dan akang melepas jaket dan menggantinya dengan jas
hujan.
Menembus Hujan
Tepat pukul
14.00 perjalanan berlanjut. Kami bersyukur mengambil keputusan memakai jas
hujan karena tak lama kemudian hujan benar-benar turun. Cukup deras.
Aku menikmati
setiap tetes hujan yang turun menerpa kaca helm dan telapak tanganku. Meski
butir hujan mendatangkan dingin, tapi melaju menerjang rinainya membuat hatiku riang. Tirai dengan
tetes air yang rapat mengantarkan aku menjelajah labirin kenangan masa kecil.
Ketika itu derai
air yang tercurah dari langit adalah peristiwa istimewa yang patut dirayakan. Mandi
hujan, teriakan riang, tawa dan candaku bersama teman-teman masa kecil begitu lepas tanpa beban. Menengadah ke langit
dan merasakan air menggelitik seluruh raut wajah sungguh menyenangkan. Dodi, Dani, dan Rudi, kawan kecilku, akan tengkurap
di genangan air lalu mulai mengerakkan tubuh mereka menggelosor ke sana kemari tanpa
peduli baju menjadi kotor. Eka, sepupu Dodi yang bertubuh subur meraup air dan
menyiramkan di tubuh dan wajahku. Aku berteriak dan membalasnya. Lalu kami
tertawa terbahak keras.
Sayangnya hal
ini tak pernah berlangsung lama. Mami dan Uni, begitulah aku memanggil ibu dan nenekku,
segera berteriak memanggil, menyuruhku
pulang. Aku tak kuasa menolak. Kemudian mereka mengomeli aku, mengeringkan
tubuhku dan membaluri dengan minyak kelapa dicampur bawang merah. Selanjutnya, aku
hanya bisa menatap pedih aksi kawan-kawanku yang masih terbenam dalam keriangan
hujan, dari balik jendela ruang tamu. Keesokan harinya aku demam. Selalu
begitu.
Tapi kali ini
tidak, perayaan kegembiraanku tak akan berakhir kecuali aku dan Akang sendiri mengakhirinya. Dan aku menikmati puas-puas
siraman air ini sambil berharap hujan
terus menemani perjalanan kami.
Banjir di Cikijing
Tampaknya
harapanku terpenuhi. Hujan terus menerus turun sepanjang perjalanan . Dan kini
kami merasakan akibatnya.
Di Jalan Raya
Garut- Bandung km 24 lalu lintas macet total. Aku tak mengerti ada apa di depan
sana. Kendaraan benar-benar tak bergerak!
Akang berusaha
mencari celah untuk terus maju. Kami menyusuri bahu jalan di sebelah kiri,
menerjang genangan air berwarna coklat, sesekali menyusuri trotoar dan kembali ke bahu
jalan, terus dan terus melaju.
Makin lama
genangan air coklat keruh itu makin tinggi. Barulah kami sadar apa yang
terjadi. Banjir! Tapi sudah terlambat. Kami tak bisa mundur atau menghindar.
Dari sisi jalan yang berlawanan arah, air mengalir deras menggenangi badan jalan melalui celah di median jalan. Di sana-sini terlihat pemandangan mobil pribadi
maupun angkot, mogok. Wajah-wajah putus asa para penumpang, kernet dan
sopir mau tak mau ikut mempengaruhi suasana
hati kami. Belum lagi motor-motor bebek
yang berjejer, mati mesin, dituntun oleh pemiliknya menerjang air yang makin
tinggi. Pantas saja lalu lintas macet
total.
Akang mulai
panik.
“Waduh Neng.
Airnya makin tinggi dan kita nggak punya pilihan kecuali terus lewat jalan ini.
Bagaimana kalau si Kuning mogok ya? Di sini mana ada bengkel moge...”
Aku tak
menjawab. Ketegangan menjalari hatiku. Semoga saja si Kuning tidak ngambek.
Air makin
tinggi, kakiku yang mengenakan sepatu boot dan menapak di food step motor mulai terendam air hingga mata
kaki. Itu artinya ketinggian air sudah mencapai kira-kira 80 cm. Ya Allah..
Benar saja,
mesin si Kuning padam. Aku melihat wajah Akang tegang dan pucat.
“Ya Allah...
Cari orang yang bisa mendorong motor, Neng!” Teriaknya panik.
Aku mengedarkan
pandangan ke sekitarku. Yang kulihat adalah wajah-wajah panik dan putus asa.
Orang-orang itu sibuk sendiri-sendiri dengan kendaraannya. Ada seorang anak
muda yang tengah mendorong mobil city car yang mogok. Akang berteriak
memanggilnya, tapi pemuda itu memilih tetap mendorong mobil sambil membalas
dengan tatapan meminta maaf.
“Neng saja yang
mendorong ya, Kang.” Ucapku.
Aku tahu Akang
tak tega, tapi mau bagaimana lagi? Sekarang bukan saatnya bermanja-manja, bergaya anggun ala Barbie.
Ini darurat!
Tanpa pikir
panjang aku turun dari motor. Air dengan arus deras keruh berwarna coklat
terasa dingin menyerbu kaki hingga pahaku. Sepatu boot kulit kesayanganku
terbenam. Hiks...
Aku
berkonsentrasi, mengerahkan segenap tenaga mendorong si Kuning. Tapi si Kuning
bergerak sangat lambat. Tentu saja. Apalah daya emak-emak dasteran seperti aku sendirian
mendorong motor besar lengkap dengan barang-barang dan pengemudinya dengan
bobot total lebih dari 300 kg, melawan
arus air banjir?
Meski aku sudah
berjibaku dengan seluruh kekuatanku, si Kuning tetap bergerak pelan. Akang
makin panik. Sementara nafasku tersengal-sengal, mulut megap-mega mirip ikan
mas koki. Halah...
Dari arah depan
aku melihat dua orang anak laki-laki
berusia kira-kira 10 dan 12 tahun berlari ke arah kami.
“Dik, bantu
dorong!” Seru Akang memanggil anak-anak itu.
Dengan sigap dua
anak itu mengambil alih tugasku. Mereka
hebat sekali! Segera saja si Kuning melaju deras meninggalkan aku yang masih
melangkah tersengal-sengal. Air banjir menghambat langkahku. Bahkan membawa
badan sendiri saja aku kesulitan! Hiks...
Entah berapa
lama aku mengarungi arus banjir. Rasanya lama sekali. Akhirnya aku bisa
menyusul si Kuning yang sudah parkir di pinggir jalan.
Akang meraih tas
magnetik dan mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan. Dua anak laki-laki
itu menerima dengan wajah sumringah. Aku mengucapkan terimakasih, mereka tersenyum
dan kembali berlari menuju genangan air.
Akang termangu
memandang si Kuning. Aku tahu hatinya was-was.
Bila mogok, motor besar tak bisa diperbaiki di bengkel biasa. Harus dibawa ke bengkel khusus motor besar. Atau
kalau tidak, kami harus meminta montir moge datang ke lokasi kami berada.
Pilihan lain adalah mencari mobil storing, atau mobil bak terbuka dengan
peralatan khusus untuk mengangkut motor besar, lalu membawa si Kuning ke
bengkel di Bandung atau di Bogor.
Akang menunduk
memperhatikan busi dan air intake si
Kuning. Kulihat wajahnya sedikit cerah, seperti ada secercah harapan.
“Businya nggak
basah, Neng. Mudah-mudahan tidak mogok. “ Ujarnya.
Akang menekan
tombol starter si Kuning. Mesin terbatuk
batuk, sementara knalpot memuntahkan air coklat keruh. Mesin tak menyala. Akang mengulang menekan tombol starter. Kembali si Kuning
batuk-batuk, air coklat deras mengalir keluar dari knalpot. Banyak sekali!
Ketiga kalinya akang menekan tombol starer, sebuah sentakan terdengar, lalu mesin
meraung-raung, menyala garang. Horeee..!
Rasanya tak pernah aku sebahagia ini mendengar raungan si Kuning.
Alhamdulillah....
Terkurung Kabut
Petualangan di
atas kuda besi berlanjut. Hujan benar-benar setia mengiringi perjalanan kami.
Langit mulai gelap. Ketika matahari tak lagi terlihat pendar cahayanya, kami
telah melewati wilayah Cianjur menuju Cipanas.
Gelap itu bukan saja kelam, tapi kini menjadi samar.
Tiba-tiba kami seperti masuk dalam setting film horror. Mataku seperti terkena
penyakit rabun. Segala benda dihadapanku terlihat buram, membentuk siluet
ambigu yang menyeramkan. Sorot lampu kendaraan redup, seperti cahaya lampu senter dengan daya batrai
sekarat. Kami terkurung kabut tebal!
Jarak pandang menyempit dan jalan licin, memaksa Akang memperlambat laju si
Kuning. Suasana terasa mencekam di tengah tetes air hujan dan hawa dingin
kawasan puncak. Kaki, telapak tangan dan pahaku dingin. Air banjir yang menyelusup
ke dalam sepatu boot seolah mengalirkan dingin menusuk ke tubuh melalui syaraf-syaraf,
seperti prinsip pipa-pipa kapiler. Hujan yang tadinya menyenangkan kini berbalik
menyiksa.
Aku merasa
dadaku nyeri. Perut mulai tak enak. Ini ciri-ciri masuk angin. Tapi aku diam
saja. Mengungkapkan perasaanku pada Akang tak akan membuat keadaan menjadi
baik. Aku tak ingin dia cemas. Aku berharap semoga kami cepat tiba dirumah.
Kemeriahan Malam Minggu di Puncak
Masuk wilayah puncak, ketahanan kami masih diuji
dengan lalu lintas padat. Di kiri kanan
Jalan Raya Puncak , deretan mobil parkir
menyita jalan yang memang sudah sempit.
Rumah-rumah
makan, caffe, warung,hotel, penginapan, tempat hiburan, bahkan masjid padat
pengunjung. Aroma sate nikmat menguar
terbawa asap membumbung dari anglo yang dikipasi sang penjual. Anak-anak muda
menikmati jagung bakar, berlalu lalang di tengah gerimis. Pria-pria bertubuh tinggi, berhidung mancung
dan bertampang Timur Tengah berkelompok di depan resto masakan Arab. Laki-laki
duduk di pinggir jalan menjajakan villa yang disewakan. Kios oleh-oleh terang
benderang. Factory outlet diserbu pengunjung. Sungguh meriah suasana malam
Minggu di Puncak.
Seandainya aku
dan Akang tak dalam kondisi basah dan kedinginan, tentu kami sudah berhenti di
salah satu kedai, menikmati sop kaki kambing dan sate sambil melepas lelah.
“Tangan Akang
keram, Neng. Jangan dipeluk. “ Ucap Akang saat aku berusaha memeluknya. Aku
cepat-cepat melepaskan pelukan, takut Akang kehilangan keseimbangan. Hatiku tak
putus mengucapkan doa, semoga semua baik-baik saja dan kami segera tiba di
rumah.
Aku mengepit
telapak tanganku di bawah ketiak, berusaha menghalau dingin. Di depan telah
menunggu antrian kendaraan. Lagi-lagi macet.
Akang kembali
diuji mencari celah-celah diantara mobil-mobil yang mengantri. Untung lalu
lintas tak terlalu macet, masih bisa bergerak meski padat merayap.
“Mau mampir beli
makanan nggak, Neng? “ Tanya Akang.
“Nggak. Kita
langsung pulang saja. Sudah nggak tahan lagi Kang..” Pintaku lirih.
Lepas dari
kawasan Puncak, Akang memacu si Kuning membelah jalan yang mulai lengang. Tak
ada lagi macet, kini kami tiba di ujung perjalanan.
Tepat pukul 20.40
kami tiba di rumah dengan selamat. Si Bungsu Rafif menyambut kami, rasanya
senang sekali. Aku segera melepas segala atribut touring, mandi air hangat dan
menyeruput teh panas ditemani semangkuk soto ayam panas mengepul.
Alhamdulillah...
Keseruan perjalanan kami hari ini meninggalkan kesan yang dalam. Setidaknya
hari ini aku mendapat pengalaman baru. Ini pertama kalinya aku menceburkan diri ke air banjir sambil mendorong motor yang
berat. Kurasa aku tak akan pernah melupakan sensasinya. Hehehe....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar