Laman

Senin, 06 April 2015

Perjalanan Solo Touring dari Bogor ke Dieng




Pemandangan Dataran Tinggi Dieng hasil jepretanku di atas motor yang melaju
Melihat foto-foto pemandangan alam Dieng Plateau  yang cantik, aku dan suamiku, si Akang, terpesona. Kawasan Dieng  terletak di antara dua kabupaten, Banjarnegara dan Wonosobo Jawa Tengah, berada pada ketinggian 2093 mdpl. Selain menawarkan eksotisme kecantikan alam dan udara dingin, Dieng juga merupakan pusat perkembangan kebudayaan Indonesia di masa lalu.  Keunggulan itulah yang membuat kami memilih Dieng sebagai tempat tujuan solo touring  (touring hanya dengan satu motor saja tanpa rombongan)  tanggal 2 hingga 4 April 2015. 

 Packing dan mantel merah

Seperti biasa sebelum berangkat acara packing diwarnai perdebatan, tawar menawar perihal barang bawaanku yang dinilai Akang terlalu banyak. 


“Kapasitas box motor kan terbatas, Neng. Mana bisa mantel tebal ini masuk. Kan sudah ada jaket, ngapain bawa mantel juga?” Sergah Akang.

“Mantel ini bikin hangat, lebih hangat dari jaket. Apalagi kalo di foto warnanya eye-chatching. Keren.” Kilahku.

“Nggak muat!” Tegasnya.

Kalau sudah begini tak ada gunanya mendebat Akang. Aku tahu adatnya. Maka dengan wajah sedih aku memisahkan mantel merah itu dari barang bawaan yang lain. 

“Neng suka banget mantel ini..” Ucapku lirih.

Masalah packing gampang-gampang susah. Kami harus bisa memilih barang yang benar-benar penting karena keterbatasan bagasi motor. Barang  bawaan  kami sebagai berikut :

1.       Pakaian untuk 3-4 hari.
Pakaian yang kami bawa berupa jaket, kaos lengan panjang, celana jeans, pakaian dalam, dan  kaus kaki. Untuk aku tentu saja dilengkapi jilbab. Yang penting dibawa adalah “long john”, yaitu pakaian dalam  yang berbulu halus, lembut, hangat  dibagian dalamnya sehingga mampu menahan panas tubuh. Long john biasanya aku bawa untuk bepergian ke negara-negara bersuhu dingin. Mengenakan  long jhon di udara dingin kawasan Dieng yang suhunya berkisar antara 6 hingga 17 derajat Celcius sangat membantu membuat nyaman tubuh. 

Long Jhon

2.       Camera, Mini Recording dan Tripod
Mengambil foto  dan video saat touring itu wajib hukumnya. Foto bisa menjadi dokumentasi, kenang-kenangan dan juga bisa menjadi pelengkap tulisanku di blog. Membawa tripod juga penting untuk membantu mengambil foto kala pencahayaan kurang sehingga memotret dengan speed rendah. Dan terutama membantu aku dan akang bila ingin berfoto berdua.

3.       Payung dan Jas hujan
Sekarang musim hujan.  Jas hujan dan payung termasuk barang yang wajib dibawa kalau tak ingin basah kuyup disiram hujan.

4.       Tool Kit
Tool Kit berisi perlengkapan obeng, tang dan sebagainya untuk jaga-jaga bila ada masalah dengan motor selama perjalanan.

5.       Obat-obatan
Obat-obatan yang dibawa berupa obat pusing, obat luka, tolak angin, balsem, multi vitamin, kapas, plester, perban, dan lain-lain

6.       Makanan
Kami selalu membawa roti gandum dan selai untuk persiapan bila sewaktu-waktu kelaparan di jalan.

7.       Air minum.
Penting membawa air minum selama perjalanan touring untuk menghindari dehidrasi. Untuk keperluan ini, Akang membawa “water bag” yang bisa diisi air sebanyak 2 liter. Water bag dibawa di punggung seperti membawa ransel. Water bag dilengkapi selang air minum yang bisa dihisap bila  haus.
Water bag dengan selang air minum

8.       Perlengkapan mandi dan sandal jepit.
Perlengkapan mandi seperti handuk, sabun, shampo, sikat gigi, odol, dan sabun muka. Barang-barang ini penting dibawa untuk berjaga-jaga seandainya di penginapan tidak disediakan perlengkapan mandi.

9.       Perlengkapan shalat.
Sebagai muslim kami selalu membawa perlengkapan shalat seperti sajadah dan mukena.

10.   GPS  Navigator
Alat ini sangat penting untuk menunjukkan arah jalan menuju tempat tujuan. 

Selain barang-barang tersebut kami memperlengkapi diri dengan “Riding Gear” atau perlengkapan yang mendukung keselamatan bermotor yaitu :

1.       Jaket.
Jaket sebaiknya yang mampu menahan angin, dan sikunya dilengkapi elbow protector.

2.       Elbow dan Knee Protector (Pelindung siku dan lutut)
Perlengkapan ini fungsinya melindungi siku dan lutut dari benturan.

Elbow and knee protector


3.       Helm
Helm minimal harus memenuhi standard SNI. Sebaiknya gunakan helm full face yang melindungi seluruh kepala dan wajah.

4.       Riding Shoes
Sepatu yang cocok untuk pengendara sepeda motor adalah yang mampu melindungi mata kaki,tidak licin,  dan nyaman dipakai. Lebih bagus lagi bila waterproof atau tak tembus air.

5.       Balaclava atau masker
Balaklava adalah masker yang menutup kepala mulut dan hidung yang mirip masker ninja. Masker ini penting untuk menahan angin dan debu jalanan.
Balaclava.( Foto dari internet)


6.       Riding Glove.
Sarung tangan ini dilengkapi pelindung punggung tangan. 

Riding Glove

Ngomong-ngomong, kalimat penutup perdebatanku dengan Akang masalah mantel merah itu ternyata manjur. Si Akang putar otak mengakali packing, hingga akhirnya mantel merah kesayanganku bisa ikut serta dalam touring kami ke Dieng. Cihuy!

Awal Perjalanan

Pukul 5.15 kami memulai perjalanan.  Udara pagi yang dingin makin dingin ketika gerimis turun di wilayah puncak. Kami ragu apakah harus berhenti untuk mengenakan jas hujan atau jalan terus. Langit gelap tertutup mendung sepanjang jalan. 

Di Cianjur kami mampir sebentar untuk menikmati sarapan bubur ayam, lalu melanjutkan perjalanan.

Sarapan bubur ayam di Cianjur
Pukul 07.53 ketika melewati Cimahi, sinar matahari muncul malu-malu menyapa kami. Tapi tak lama kemudian, pukul 8.59 di jalan Soekarno-Hatta Bandung, langit kembali redup.


Di lampu merah kami berhenti. Seorang pria dengan motor  Ninja 250 cc menjajari kami lalu menyapa. Dia membuka helmnya, menampakkan senyum lebar. Lensa mata kanan pria itu berwarna abu-abu pudar berbeda dengan mata kirinya yang normal.

“Mau ke Jogja ya? Saya besok berangkat ke Jogja.” Serunya riang. Logat Jawanya kental.

“Bukan. Kami mau ke  Dieng.  Ada acara apa di Jogja ?“ Balasku.

Pria itu menyebutkan sebuah event motor besar yang kerap diadakan setiap tahun. Kemudian dia tersenyum dan pamit dengan melambaikan tangan lalu meluncur pergi tepat ketika lampu hijau menyala.

Lalu lintas lancar sepanjang jalan yang kami lalui. Wilayah yang diperkirakan macet seolah berbaik hati tak menghambat perjalanan kami.

Macet di Jl. Raya Cipacing
 
Ketika tiba di Jl. Raya Cipacing, Cileunyi, antrian kendaraan mengular. Akang terpaksa menyusuri bahu jalan dan mencari-cari celah diantara truk-truk besar dan bus yang mengantri. Dua orang pria berdiri di pinggir jalan mengarahkan kami mengambil jalur kanan. Akhirnya kami  bebas dari kemacetan parah. Di ujung antrian kendaraan kami melihat pawai pekerja pabrik dengan seragam merah tengah mengadakan demo. Kami hanya bisa memandangi mobil-mobil yang terjebak dibelakang para pendemo itu dengan tatapan kasihan. Aku berharap semoga demo itu tidak anarkis..
Pukul 12.34 Kami memasuki gerbang wilayah Jawa Tengah. Lalu pukul 12.45 kami berhenti untuk shalat dan makan siang di rumah makan Pringsewu. 

Makan Siang di RM Pringsewu Wanareja

Sudah beberapa kali aku dan Akang makan di tempat ini di kesempatan touring yang berbeda. Tempatnya lumayan nyaman,  makanannya enak, pelayanannya cepat,  ada musholla dan fasilitas WiFi.  Di rumah makan ini ada mainan anak-anak, pertunjukan sulap dan layanan pijat elektrik.
Menu yang kami pilih kali ini adalah paket untuk dua orang. Terdiri dari 2 potong ayam bakar, 2 piring nasi, lalapan, sambal, kangkung cah tauco, irisan buah segar, es kelapa dan lemon tea.

Irisan buah, es kelapa muda dan es lemon tea

Kangkung cah tauco

Ayam  bakar, lalapan dan sambal

“Kangkung cah tauconya enak!” Komentar Akang.

Romantisme Hujan

Pukul 14.00 kami kembali meluncur di jalan.   Perjalanan lancar melewati Wanareja, Cilacap, Majenang, Lumbir, Wangon, lalu Banyumas. Di Somagede, kami disuguhi pemandangan sawah cantik di kiri-kanan jalan sementara langit terus meredup. 

Setelah melewati Banjarnegara, di Jl. Raya Merden Purwanegara hujan turun. Rintik yang mula-mula kecil kemudian berubah menjadi besar dan rapat. Jam menunjukkan pukul 16.20 ketika kami menepi di sebuah teras toko yang tutup. 

Akang menyodorkan jas hujan padaku. Kami segera membuka jaket dan menggantinya dengan jas hujan berwarna ungu terang itu. Perjalanan kami berlanjut di tengah siraman hujan.

Selalu ada sensasi tersendiri  menatap butir-butir bening yang menampar kaca helm-ku. Aku seperti terlempar jauh ke masa kecil. Gembira meluap-luap  melanda hatiku persis seperti  dulu. Betapa indah. Berlari riang terawa-tawa di tengah derai air, seolah hujan  adalah sebuah  peristiwa yang patut dirayakan. Tapi   hujan adalah nikmat Tuhan, bukan? Hujan yang mengguyurku ini   terbentuk dari siklus air yang terjadi  berulang-ulang, sama seperti  peristiwa hujan di masa kecilku. Hanya saja kini aku menikmatinya dengan cara berbeda. Dengan meluncur di atas si Kuning, motor bertenaga 650 cc bersama lelaki belahan jiwa. Senangnya!

Kami tiba di kota Wonosobo pukul 17.20. Hujan sudah reda. Kami  melewati beberapa hotel dan kawasan pertokoan.

“Neng, Akang sudah browsing di internet. Di Dieng tidak ada hotel, lho.  Apa kita menginap di sini saja?” Tanya Akang.

“Masak sih nggak ada hotel ? Dieng kan tempat wisata. “ Sahutku tak percaya.

“Ya, kita lihat sajalah.”

Nutrisi Jiwa

Jalanan terus menanjak. Senja hampir tenggelam dalam pelukan malam ketika kami memasuki kawasan wisata Dieng pukul 18.04. Dieng berasal dari bahasa Sansekerta “Di” dan “Hyang”  yang berarti tempat tinggi para Dewa atau Kahyangan. Tempat ini dulu merupakan tempat bersemedi dan berziarah raja-raja Jawa Tengah yang beragama Hindu.  

Udara dingin mengigit. Langit  temaram membuat gunung dan barisan bukit membentuk siluet gelap sambung menyambung  melatari sawah, lembah, sungai dan jurang. Kami menyusuri jalan meliuk-liuk mendaki dan terus menanjak. Alam begitu hening. 

Ketika aku menoleh ke jurang di sisi kanan,  tampak bukit yang lebih rendah di sana. Bukit itu puncaknya berselimut awan  putih bergulung-gulung, sementara kami berada di atasnya.

“Ya Allah.. Indahnya seperti berada di negeri di atas awan.” Bisikku. Tentu saja Akang tak mendengar.

Ketika kualihkan pandangan ke langit, takjub melandaku. Di atas siluet gunung dan bukit-bukit yang sambung menyambung  bertahtalah bulan anggun di langit kelam. Penampilannya hampir bulat sempurna. Cantiknya alam menggetarkan jiwa, menghempaskan aku dalam kekaguman yang mengharukan pada sang Maha Pencipta.

Sontak lantunan azan berkumandang.  Nadanya menyayat, meliuk indah memecah keheningan, terasa menusuk kalbu. Mataku basah, tanpa kutahu  sebabnya. Ya Allah... Maha Besar Engkau, tiada bandingan. Pengalaman rasa ini seperti nutrisi jiwa, yang tak tergantikan oleh apapun. 

Rezeki Home Stay Bobrok



Kata-kata Akang ternyata benar, di Dieng tak ada hotel. Yang banyak  terdapat di sini  adalah home stay. Ada beberapa yang judulnya hotel, tapi kondisinya sama saja seperti home stay. Aku tak habis pikir, kenapa tak ada orang yang mau berinvestasi membangun hotel yang layak di tempat seindah ini. 

Setelah bolak-balik mencari hotel tanpa hasil, dalam kondisi lelah akhirnya kami sembarangan saja parkir di halaman sebuah home stay. Melihat  kamar yang berdinding geribik, aku tersentuh oleh gaya etniknya. Akang langsung membayar untuk dua malam. Murah, hanya Rp. 300.000,- untuk dua malam.

Selanjutnya, kami baru sadar. Oalaah... Tempat tidur dari bambu itu sudah reyot, lalu jendelanya berlubang, sementara tirainya tipis. Orang di luar bisa melihat apa yang kami lakukan di kamar. Akang terpaksa memakai salah satu selimut yang sudah robek untuk menutup jendela kamar.  Lalu tidak ada sabun, odol, dan sikat gigi. Untung kami bawa sendiri. Handuknya lembab, cuma satu. Karpet kamar kotor dan berbau. Aku terpingkal melihat kunci kamar dari gerendel dan gembok kecil. Sudah berpuluh tahun aku tak melihat orang  mengunci pintu dengan gaya seperti ini, apalagi di penginapan. Mau pindah ke home stay lain, kami sudah tak sanggup. Lelah sudah sampai puncaknya. Akhirnya aku dan Akang tergelak menertawai nasib kami kali ini, harus terima menginap di home stay bobrok. Meskipun begitu, masih ada yang patut disyukuri. Tersedia air hangat untuk mandi dan berwudhu yang mengucur dari keran di kamar mandi sederhana dalam kamar ini. Alhamdulillah...apa jadinya bila harus mandi dengan air dingin di tengah udara sedingin ini.

Kunci kamar model jadul

 “Besok pagi kita keliling cari home stay yang lebih bagus ya, Neng.” Hibur Akang.

Kusentuh pipi hangat  Akang untuk meredakan dingin yang menyerang telapak tanganku. Selanjutnya aku tertidur pulas dalam dekapnya.

******************************************************************************
Ikuti kisah selanjutnya klik di sini

Aku, Akang dan si Kuning



Tidak ada komentar:

Posting Komentar