Laman

Minggu, 22 Februari 2015

Ketika Kebaikan Menjadi Investasi

Pemandangan di kaki gunung Ciremai

Setiap kali ke Kuningan, aku dan suamiku si Akang, tak pernah melewatkan kesempatan mengunjungi desa Setianegara,  tempat asal kakek  dan ayah mertuaku. Di kesempatan touring ke Kuningan kali ini, kami tak punya banyak waktu  menikmati suasana desa cantik  di kaki gunung Ciremai tersebut. Setelah nyekar ke makam kakek, kami memanfaatkan waktu yang sedikit sebelum melanjutkan perjalanan ke Baturraden untuk mengunjungi Wak Eno dan istrinya, Wak Eroh.


Aku dan Akang

Wak Eno adalah saudara ayah mertuaku. Meskipun bukan saudara kandung tapi hubungan mereka sangat dekat. Wak Eno dan istrinya baik, ramah dan tulus. Pertama kali aku dikenalkan pada mereka saat Akang mengajakku ke Kuningan di masa bulan madu kami tahun 1998.

Beberapa tahun yang lalu Wak Eno pernah datang ke Bogor.  Ayah mertuaku mengabari lewat telepon  kalau Wak Eno akan tiba sekitar jam 14.00- 15.00 di terminal Baranangsiang . Aku diminta menunggu telpon Wak Eno mengabarkan kedatangannya, lalu aku akan  menjemputnya di terminal itu.

Hingga lewat pukul 15.00 aku menanti, tak juga ada kabar dari Wak Eno. Aku tak punya nomor telpon Wak Eno. Saat bingung memutuskan langsung berangkat ke terminal atau menunggu saja, terdengar suara ketukan di pintu rumahku. Ternyata yang mengetuk adalah satpam cluster.

“Ibu, itu ada tamu katanya saudara Bapak. Apa betul, Bu?” Kata satpam sambil menunjuk keluar.

Diluar pagar  kulihat Wak Eno dengan susah payah turun dari ojeg. Yang membuat dia susah turun adalah barang bawaannya yang berjibun. Dia berselempang tas berisi pakaian, sementara kedua tangannya dipenuhi kantung plastik super besar berisi kaleng  persegi yang penuh rempeyek, kardus-kardus yang membungkus kripik pisang dan satu ember hitam besar berisi tape ketan khas Kuningan.

“Iya, betul itu saudara Bapak .  Wak eno. “ Sahutku. Aku langsung berlari menyambutnya. Satpam pun kembali ke pos jaga setelah membantu mengangkut barang-barang bawaan Wak Eno.

“Wak Eno, kenapa tidak telepon?  Wak sudah punya nomor ponsel Dewi kan? Kalo Wak telpon pasti dijemput ke terminal. Nggak perlu repot naik ojeg, Wak. ” Seruku.

Wak Eno terkekeh, menunjukkan deretan gigi yang sudah jarang-jarang.

“Wak nggak bisa nelpon, Wi. “ Sahutnya.

“Kenapa tidak bisa? Batrai ponselnya habis atau tidak ada pulsa, Wak?” Tanyaku.

Wak Eno mengeluarkan sebuah ponsel dari kantungnya.

“Ini ponsel anak Wak. Kalau terima telpon Wak bisa. Tapi kalau menelpon, Wak nggak ngerti caranya. Pencet yang mana ya?” Tanyanya lugu.

Oalah Wak....

Setiap kali berkunjung ke Kuningan, aku dan Akang tak pernah absen mampir ke rumah Wak Eno.  Sering dia menawari kami menginap di rumahnya, tapi karena takut merepotkan kami memilih menginap di hotel. Bagaimana tak merepotkan, bila tahu kami akan berkunjung Wak Eroh selalu memasak untuk kami. Saat kami tiba dirumahnya sudah tersedia berbagai makanan.

Wak Eroh, Wak Eno, Tety dan Opi

Biasanya Wak Eroh  berpesan agar kami makan siang atau makan malam di rumahnya. Jadi meskipun menginap di hotel, kami wara-wiri ke rumah Wak Eno. Kalau tidak, dia akan kecewa, masakannya tak disantap.

Bukan hanya itu, ketika kami akan pulang, Wak Eroh telah siap dengan bungkusan-bungkusan besar berisi keripik pisang, rempeyek,  dan kue-kue tradisional lainnya untuk dibawa sebagai oleh-oleh.  Aku sering merasa tak enak hati merepotkan mereka. Kalau kami berkunjung membawa kendaraan mobil tentu tak masalah membawa bungkusan besar itu. Tapi kalau kami naik motor, mau ditaruh dimana oleh-oleh sebanyak itu? Di box motor tak akan muat karena sudah dijejali pakaian dan perlengkapan touring. Kalau kami menolak oleh-oleh pemberiannya Wak Eno dan Wak Eroh kecewa, jadi serba salah. Hehehe..

Karena itu sekarang tiap ke Kuningan kami sengaja tak mengabari dulu, sehingga Wak Eroh tak perlu repot-repot bikin keripik pisang, rempeyek dan kue-kue tradisional. Paling-paling Wak Eroh mengomel.

“Kenapa nggak kasih kabar dulu kalau mau ke sini. Wak kan bisa masak dulu kalau tahu kalian mau ke sini.” Ujarnya.

Kami cengengesan.

Wak Eno seorang pekerja keras. Dia membiayai keluarga dengan menjadi buruh bangunan dan tukang kayu. Dia mengerjakan pesanan kusen pintu dan jendela kayu. Wak Eroh sering membantu dengan berjualan makanan.

Apa bedanya buruh bangunan di desa dengan buruh bangunan di kota ? Kalau di kota, pendapatan buruh bangunan sering kali kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari. Biaya untuk makan tinggi. Beda dengan buruh di desa. Sesulit-sulitnya, mereka masih cukup makan dan minum. Alam subur seperti desa  Setianegara tampaknya masih ramah  menunjang kehidupan warganya.

Ada yang berbeda dari kunjungan kami ke rumah Wak Eno kali ini. Dan hal itu membuatku sangat senang dan bersyukur. Sebuah  mobil baru mungil tampak terparkir disamping rumah, berdampingan dengan motor bebek yang  kinclong.

Wak Eno dan Wak Eroh tampak gembira melihat kami turun dari motor. Dia sibuk memintaku tak usah membuka sepatu boot untuk masuk ke rumahnya. Tentu saja sepatu itu tetap kubuka.

Tety dan Opi, putri sulung dan bungsunya ikut menyambut kami dengan senyum lebar. Kami berbincang-bincang melepas rindu dan bertukar kabar.

Seperti biasa Wak Eno menanyakan kabar ayah dan ibu mertuaku, juga anak-anak kami. Senyum di wajahnya mengembang kala mendengar semua baik dan sehat.

Tak lama Opi menghampiri kami dengan membawa baki berisi dua cangkir white coffe, dan toples-toples berisi keripik pisang dan rempeyek. Nikmat sekali rasanya. Keripik pisang buatan Wak Eroh renyah dan gurih,  membuat aku ingin terus mengunyah.

Kripik pisang dan rempeyek ala Wak Eroh

“Bagaimana perkembangan usaha warungnya, Tety? Tambah maju ya?” Tanya Akang pada Tety.

Wajah Wak Eroh, Wak Eno dan Tety berseri-seri.

“Alhamdulillah. Perputaran uangnya cepat. Jadi Tety harus setiap hari belanja  sembako. Puncaknya bulan puasa dan lebaran. Beras saja bisa berton-ton habis dibeli orang. Itu si Abah sudah dibelikan motor baru. Dia yang bertugas mengantar pesanan pembeli. “ Sahut Tety riang.

Wak Eno terkekeh-kekeh.

“Dan mobil baru juga ya? Alhamdulillah.” Tukasku.

“Iya.” Tety tersipu-sipu.

“Itu mobil salah beli. Sudah  kebelet punya mobil, jadi beli mobil kecil.  Belinya mencicil. Padahal kalau sabar sedikit bisa beli yang agak besar.” Tety berkata dengan wajah sumringah.

Beberapa tahun yang lalu Tety bekerja menjaga warung tetangganya. Dia tabah bekerja seharian penuh setiap hari dengan gaji Rp. 300.000,-. Warung itu maju karena usaha Tety, tapi Tety tak kunjung memperoleh kenaikan gaji hingga akhirnya dia berhenti bekerja. Usaha kerasnya tak sebanding dengan gaji yang diperoleh.

Tak  ada yang sia-sia.  Beberapa tahun bekerja mengurus warung  dilalui Tety dengan usaha keras dan belajar.  Tety jadi mengerti cara mengelola warung sembako. Dengan modal pinjaman sebesar 5 juta dari koperasi, Tety akhirnya membuka usaha warung sendiri di sebuah ruang di samping rumah Wak Eno.

Usahanya berjalan mulus. Tety menemukan bahwa pelayanan ramah, harga yang lebih murah dan layanan mengantar belanjaan kepada pelanggan merupakan kunci sukses usahanya. Warung pun bertambah besar, demikian juga dengan omzet penjualan.

“Tety sudah 3 kali diberi pinjaman sama koperasi, karena bayarnya lancar. Tapi sekarang sudah tidak pinjam lagi. Alhamdulillah..” Ucapnya.

Perbincangan mengalir.

“Opi sudah kuliah ya? Kuliah dimana? ” Tanya Akang pada anak bungsu Wak Eno.

“Iya,Ak. Opi kuliah. “ Sahut Opi  sambil menyebut nama sebuah Universitas Negri.

“Jurusan Teknik Informatika. Sekarang lagi libur kuliah. “ Lanjut Opi.

“Opi dibiayai orang Jepang, Dja.  Wak Eroh dan Wak Eno tak  mampu membiayai Opi. Biaya kuliah kan mahal. Uang dari mana?“ Wak Eroh  menutup kalimatnya dengan pertanyaan retoris.

 “Wah hebat.. Kok bisa begitu, Wak? “ Tanyaku penasaran.

“Orang Jepang itu majikan Wak Eroh dulu. Dulu kan Wak kerja membantu di rumah mereka waktu tinggal di Indonesia. Entah kenapa mereka bisa sangat baik. Wak Eroh juga heran. Waktu bekerja dulu Wak memang sayang sama mereka. Wak sabar menghadapi keinginan mereka. Orang Jepang kan punya standar kebersihan dan kerapian yang tinggi. Ya,Wak  jalani saja. Wak kan harus bersikap baik pada semua orang, apalagi orang yang memberi pekerjaan. Mereka juga akhirnya menganggap Wak Eroh seperti saudara. Meski sudah kembali ke Jepang bertahun-tahun yang lalu, tapi setiap  ke Indonesia mereka selalu mampir ke sini. Mereka memberi Wak uang, lalu minta dibuatkan masakan. Tidak susah. Semua masakan Wak Eroh dimakan. Mereka suka  makanan kampung. Hahaha... “ Wak Eroh tergelak.

“Dua tahun lalu anak mereka menikah. Wak ditelpon, disuruh datang ke Jepang. Sepertinya kehadiran Wak sangat penting, karena Wak yang dulu mengasuh anaknya. Mereka mau membelikan tiket ke Jepang supaya Wak bisa berangkat. Tapi Wak terpaksa tidak berangkat.” Sambung Wak Eroh sambil melirik Wak Eno.

“Kenapa Wak tidak berangkat? Asyik kan Wak Eroh bisa jalan-jalan ke Jepang.” Tanyaku sambil mengunyah keripik pisang.

“Tidak boleh pergi sama Wak Eno. Takut Wak Eroh tidak kembali lagi ke sini.” Sahut Wak Eroh.

Aku, Akang dan Wak Eno tertawa tergelak-gelak  mendengar ucapan Wak Eroh.

“Mereka sering mengirim uang untuk Wak Eroh. Padahal Wak tidak pernah meminta. Kiriman mereka seperti rezeki yang tak terduga. Tahu-tahu sudah masuk rekening tabungan. Suatu hari mereka menelpon menanyakan kabar. Wak Eroh cerita panjang lebar, termasuk tentang Opi yang baru tamat SMA. Lalu mereka menawarkan untuk membiayai kuliah Opi.” Wak Eroh berhenti sejenak, berusaha menata perasaan haru, lalu  melanjutkan kisahnya.

“Wak ragu, rasanya tak enak hati. Biaya kuliah kan mahal. Tapi ternyata mereka tak main-main. Tiba-tiba uangnya sudah masuk rekening tabungan. Jumlahnya, Masya Allah.... Wak sangat terharu dan bersyukur pada Allah. Lalu mereka telpon lagi, katanya kalau uang itu kurang, Wak harus katakan pada mereka.” Mata Wak Eroh berkaca-kaca.

Bersama Wak Eno, Wak Eroh, Tety , putra Tety dan Opi


Aku terhenyak. Kisah Wak Eroh yang  sungguh menyentuh hati. Ketulusan hati dan kebaikan Wak Eroh ternyata  menjadi investasi mengagumkan yang kini dituai hasilnya.

Selalu ada hikmah  dan kisah tersendiri dalam setiap touring yang kami lakukan . Aku dan Akang mengucap syukur. Kami melihat betapa roda kehidupan telah digerakkan Allah  mengangkat kesejahteraan keluarga Wak Eno. Aku yakin apa yang tengah terjadi saat ini adalah buah dari perbuatan baik mereka.

Wak Eno dan Wak Eroh adalah pasangan suami istri yang sangat baik dalam membina hubungan dengan sesama manusia (hablumminannas). Yang aku tahu mereka jujur, tulus, ramah, berkata lembut dan santun, peduli pada sesama, tidak mengganggu dan menyakiti orang,  dan tidak mengambil hak orang lain.

Usaha warung  Tety yang kini menuai sukses adalah buah dari kesabaran, kejujuran,  dan pelayanan yang ramah pada para pelanggannya. Lalu rezeki tak terduga berupa beasiswa untuk Opi juga merupakan buah prilaku Wak Eroh yang baik, jujur, dan  tulus tanpa memandang perbedaan suku bangsa dan kepercayaan. Siapa sangka sikap baik itu bisa demikian mempesona hingga keluarga Jepang itu ikhlas menggelontorkan dana yang tak sedikit untuk membiayai kuliah putri Wak Eroh..

Aku jadi ingat sebuah kalimat bijak yang mengatakan “Siapa menabur kebaikan, dia akan menuai kebaikan. Dan juga sebaliknya.”

Sungguh, perbuatan baik adalah investasi yang hasilnya bisa dinikmati baik di dunia maupun di akhirat. Mari, jangan ragu  menjadikan perbuatan baik sebagai lifestyle yang membawa kita kedalam berkahNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar