Pemandangan di kaki gunung Ciremai |
Setiap kali ke Kuningan, aku dan
suamiku si Akang, tak pernah melewatkan kesempatan mengunjungi desa Setianegara,
tempat asal kakek dan ayah mertuaku. Di kesempatan touring ke Kuningan kali
ini, kami tak punya banyak waktu menikmati suasana desa cantik di kaki gunung Ciremai tersebut. Setelah
nyekar ke makam kakek, kami memanfaatkan waktu yang sedikit sebelum melanjutkan perjalanan ke Baturraden untuk mengunjungi
Wak Eno dan istrinya, Wak Eroh.
Aku dan Akang |
Wak Eno adalah saudara ayah mertuaku.
Meskipun bukan saudara kandung tapi hubungan mereka sangat dekat. Wak Eno dan
istrinya baik, ramah dan tulus. Pertama kali aku dikenalkan pada mereka saat
Akang mengajakku ke Kuningan di masa bulan madu kami tahun 1998.
Beberapa tahun yang lalu Wak Eno
pernah datang ke Bogor. Ayah mertuaku
mengabari lewat telepon kalau Wak Eno
akan tiba sekitar jam 14.00- 15.00 di terminal Baranangsiang . Aku diminta
menunggu telpon Wak Eno mengabarkan kedatangannya, lalu aku akan menjemputnya di terminal itu.
Hingga lewat pukul 15.00 aku menanti,
tak juga ada kabar dari Wak Eno. Aku tak punya nomor telpon Wak Eno. Saat
bingung memutuskan langsung berangkat ke terminal atau menunggu saja, terdengar
suara ketukan di pintu rumahku. Ternyata yang mengetuk adalah satpam cluster.
“Ibu, itu ada tamu katanya saudara
Bapak. Apa betul, Bu?” Kata satpam sambil menunjuk keluar.
Diluar pagar kulihat Wak Eno dengan susah payah turun dari
ojeg. Yang membuat dia susah turun adalah barang bawaannya yang berjibun. Dia
berselempang tas berisi pakaian, sementara kedua tangannya dipenuhi kantung
plastik super besar berisi kaleng persegi
yang penuh rempeyek, kardus-kardus yang membungkus kripik pisang dan satu ember
hitam besar berisi tape ketan khas Kuningan.
“Iya, betul itu saudara Bapak . Wak eno. “ Sahutku. Aku langsung berlari
menyambutnya. Satpam pun kembali ke pos jaga setelah membantu mengangkut
barang-barang bawaan Wak Eno.
“Wak Eno, kenapa tidak telepon? Wak sudah punya nomor ponsel Dewi kan? Kalo Wak
telpon pasti dijemput ke terminal. Nggak perlu repot naik ojeg, Wak. ” Seruku.
Wak Eno terkekeh, menunjukkan deretan
gigi yang sudah jarang-jarang.
“Wak nggak bisa nelpon, Wi. “
Sahutnya.
“Kenapa tidak bisa? Batrai ponselnya
habis atau tidak ada pulsa, Wak?” Tanyaku.
Wak Eno mengeluarkan sebuah ponsel
dari kantungnya.
“Ini ponsel anak Wak. Kalau terima
telpon Wak bisa. Tapi kalau menelpon, Wak nggak ngerti caranya. Pencet yang
mana ya?” Tanyanya lugu.
Oalah Wak....
Setiap kali berkunjung ke Kuningan,
aku dan Akang tak pernah absen mampir ke rumah Wak Eno. Sering dia menawari kami menginap di
rumahnya, tapi karena takut merepotkan kami memilih menginap di hotel.
Bagaimana tak merepotkan, bila tahu kami akan berkunjung Wak Eroh selalu
memasak untuk kami. Saat kami tiba dirumahnya sudah tersedia berbagai makanan.
Wak Eroh, Wak Eno, Tety dan Opi |
Biasanya Wak Eroh berpesan
agar kami makan siang atau makan malam di rumahnya. Jadi meskipun menginap di
hotel, kami wara-wiri ke rumah Wak Eno. Kalau tidak, dia akan kecewa,
masakannya tak disantap.
Bukan hanya itu, ketika kami akan
pulang, Wak Eroh telah siap dengan bungkusan-bungkusan besar berisi keripik
pisang, rempeyek, dan kue-kue tradisional
lainnya untuk dibawa sebagai oleh-oleh.
Aku sering merasa tak enak hati merepotkan mereka. Kalau kami berkunjung
membawa kendaraan mobil tentu tak masalah membawa bungkusan besar itu. Tapi
kalau kami naik motor, mau ditaruh dimana oleh-oleh sebanyak itu? Di box motor
tak akan muat karena sudah dijejali pakaian dan perlengkapan touring. Kalau
kami menolak oleh-oleh pemberiannya Wak Eno dan Wak Eroh kecewa, jadi serba
salah. Hehehe..
Karena itu sekarang tiap ke Kuningan
kami sengaja tak mengabari dulu, sehingga Wak Eroh tak perlu repot-repot bikin
keripik pisang, rempeyek dan kue-kue tradisional. Paling-paling Wak Eroh mengomel.
“Kenapa nggak kasih kabar dulu kalau
mau ke sini. Wak kan bisa masak dulu kalau tahu kalian mau ke sini.” Ujarnya.
Kami cengengesan.
Wak Eno seorang pekerja keras. Dia membiayai
keluarga dengan menjadi buruh bangunan dan tukang kayu. Dia mengerjakan pesanan
kusen pintu dan jendela kayu. Wak Eroh sering membantu dengan berjualan
makanan.
Apa bedanya buruh bangunan di desa
dengan buruh bangunan di kota ? Kalau di kota, pendapatan buruh bangunan sering
kali kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari. Biaya untuk makan tinggi. Beda
dengan buruh di desa. Sesulit-sulitnya, mereka masih cukup makan dan minum. Alam
subur seperti desa Setianegara tampaknya
masih ramah menunjang kehidupan
warganya.
Ada yang berbeda dari kunjungan kami
ke rumah Wak Eno kali ini. Dan hal itu membuatku sangat senang dan bersyukur.
Sebuah mobil baru mungil tampak
terparkir disamping rumah, berdampingan dengan motor bebek yang kinclong.
Wak Eno dan Wak Eroh tampak gembira
melihat kami turun dari motor. Dia sibuk memintaku tak usah membuka sepatu boot
untuk masuk ke rumahnya. Tentu saja sepatu itu tetap kubuka.
Tety dan Opi, putri sulung dan
bungsunya ikut menyambut kami dengan senyum lebar. Kami berbincang-bincang
melepas rindu dan bertukar kabar.
Seperti biasa Wak Eno menanyakan
kabar ayah dan ibu mertuaku, juga anak-anak kami. Senyum di wajahnya mengembang
kala mendengar semua baik dan sehat.
Tak lama Opi menghampiri kami dengan
membawa baki berisi dua cangkir white coffe, dan toples-toples berisi keripik
pisang dan rempeyek. Nikmat sekali rasanya. Keripik pisang buatan Wak Eroh
renyah dan gurih, membuat aku ingin
terus mengunyah.
Kripik pisang dan rempeyek ala Wak Eroh |
“Bagaimana perkembangan usaha
warungnya, Tety? Tambah maju ya?” Tanya Akang pada Tety.
Wajah Wak Eroh, Wak Eno dan Tety berseri-seri.
“Alhamdulillah. Perputaran uangnya
cepat. Jadi Tety harus setiap hari belanja sembako. Puncaknya bulan puasa dan lebaran.
Beras saja bisa berton-ton habis dibeli orang. Itu si Abah sudah dibelikan
motor baru. Dia yang bertugas mengantar pesanan pembeli. “ Sahut Tety riang.
Wak Eno terkekeh-kekeh.
“Dan mobil baru juga ya?
Alhamdulillah.” Tukasku.
“Iya.” Tety tersipu-sipu.
“Itu mobil salah beli. Sudah kebelet punya mobil, jadi beli mobil kecil. Belinya mencicil. Padahal kalau sabar sedikit
bisa beli yang agak besar.” Tety berkata dengan wajah sumringah.
Beberapa tahun yang lalu Tety bekerja
menjaga warung tetangganya. Dia tabah bekerja seharian penuh setiap hari dengan
gaji Rp. 300.000,-. Warung itu maju karena usaha Tety, tapi Tety tak kunjung
memperoleh kenaikan gaji hingga akhirnya dia berhenti bekerja. Usaha kerasnya
tak sebanding dengan gaji yang diperoleh.
Tak ada yang sia-sia. Beberapa tahun bekerja mengurus warung dilalui Tety dengan usaha keras dan belajar. Tety jadi mengerti cara mengelola warung
sembako. Dengan modal pinjaman sebesar 5 juta dari koperasi, Tety akhirnya membuka
usaha warung sendiri di sebuah ruang di samping rumah Wak Eno.
Usahanya berjalan mulus. Tety menemukan
bahwa pelayanan ramah, harga yang lebih murah dan layanan mengantar belanjaan kepada
pelanggan merupakan kunci sukses usahanya. Warung pun bertambah besar, demikian
juga dengan omzet penjualan.
“Tety sudah 3 kali diberi pinjaman
sama koperasi, karena bayarnya lancar. Tapi sekarang sudah tidak pinjam lagi.
Alhamdulillah..” Ucapnya.
Perbincangan mengalir.
“Opi sudah kuliah ya? Kuliah dimana? ”
Tanya Akang pada anak bungsu Wak Eno.
“Iya,Ak. Opi kuliah. “ Sahut Opi sambil menyebut nama sebuah Universitas Negri.
“Jurusan Teknik Informatika. Sekarang
lagi libur kuliah. “ Lanjut Opi.
“Opi dibiayai orang Jepang, Dja. Wak Eroh dan Wak Eno tak mampu membiayai Opi. Biaya kuliah kan mahal. Uang
dari mana?“ Wak Eroh menutup kalimatnya
dengan pertanyaan retoris.
“Wah hebat.. Kok bisa begitu, Wak? “ Tanyaku
penasaran.
“Orang Jepang itu majikan Wak Eroh
dulu. Dulu kan Wak kerja membantu di rumah mereka waktu tinggal di Indonesia. Entah
kenapa mereka bisa sangat baik. Wak Eroh juga heran. Waktu bekerja dulu Wak
memang sayang sama mereka. Wak sabar menghadapi keinginan mereka. Orang Jepang
kan punya standar kebersihan dan kerapian yang tinggi. Ya,Wak jalani saja. Wak kan harus bersikap baik pada
semua orang, apalagi orang yang memberi pekerjaan. Mereka juga akhirnya
menganggap Wak Eroh seperti saudara. Meski sudah kembali ke Jepang bertahun-tahun
yang lalu, tapi setiap ke Indonesia
mereka selalu mampir ke sini. Mereka memberi Wak uang, lalu minta dibuatkan
masakan. Tidak susah. Semua masakan Wak Eroh dimakan. Mereka suka makanan kampung. Hahaha... “ Wak Eroh
tergelak.
“Dua tahun lalu anak mereka menikah.
Wak ditelpon, disuruh datang ke Jepang. Sepertinya kehadiran Wak sangat
penting, karena Wak yang dulu mengasuh anaknya. Mereka mau membelikan tiket ke
Jepang supaya Wak bisa berangkat. Tapi Wak terpaksa tidak berangkat.” Sambung
Wak Eroh sambil melirik Wak Eno.
“Kenapa Wak tidak berangkat? Asyik
kan Wak Eroh bisa jalan-jalan ke Jepang.” Tanyaku sambil mengunyah keripik
pisang.
“Tidak boleh pergi sama Wak Eno.
Takut Wak Eroh tidak kembali lagi ke sini.” Sahut Wak Eroh.
Aku, Akang dan Wak Eno tertawa
tergelak-gelak mendengar ucapan Wak
Eroh.
“Mereka sering mengirim uang untuk
Wak Eroh. Padahal Wak tidak pernah meminta. Kiriman mereka seperti rezeki yang
tak terduga. Tahu-tahu sudah masuk rekening tabungan. Suatu hari mereka
menelpon menanyakan kabar. Wak Eroh cerita panjang lebar, termasuk tentang Opi
yang baru tamat SMA. Lalu mereka menawarkan untuk membiayai kuliah Opi.” Wak
Eroh berhenti sejenak, berusaha menata perasaan haru, lalu melanjutkan
kisahnya.
“Wak ragu, rasanya tak enak hati.
Biaya kuliah kan mahal. Tapi ternyata mereka tak main-main. Tiba-tiba uangnya
sudah masuk rekening tabungan. Jumlahnya, Masya Allah.... Wak sangat terharu
dan bersyukur pada Allah. Lalu mereka telpon lagi, katanya kalau uang itu
kurang, Wak harus katakan pada mereka.”
Mata Wak Eroh berkaca-kaca.
Bersama Wak Eno, Wak Eroh, Tety , putra Tety dan Opi |
Aku terhenyak. Kisah Wak Eroh yang sungguh menyentuh hati. Ketulusan hati dan kebaikan
Wak Eroh ternyata menjadi investasi mengagumkan
yang kini dituai hasilnya.
Selalu ada hikmah dan kisah tersendiri dalam setiap touring yang
kami lakukan . Aku dan Akang mengucap syukur. Kami melihat betapa roda
kehidupan telah digerakkan Allah mengangkat kesejahteraan keluarga Wak Eno. Aku
yakin apa yang tengah terjadi saat ini adalah buah dari perbuatan baik mereka.
Wak Eno dan Wak Eroh adalah pasangan
suami istri yang sangat baik dalam membina hubungan dengan sesama manusia
(hablumminannas). Yang aku tahu mereka jujur, tulus, ramah, berkata lembut dan
santun, peduli pada sesama, tidak mengganggu dan menyakiti orang, dan tidak mengambil hak orang lain.
Usaha warung Tety yang kini menuai sukses adalah buah dari
kesabaran, kejujuran, dan pelayanan yang
ramah pada para pelanggannya. Lalu rezeki tak terduga berupa beasiswa untuk Opi
juga merupakan buah prilaku Wak Eroh yang baik, jujur, dan tulus tanpa memandang perbedaan suku bangsa
dan kepercayaan. Siapa sangka sikap baik itu bisa demikian mempesona hingga
keluarga Jepang itu ikhlas menggelontorkan dana yang tak sedikit untuk
membiayai kuliah putri Wak Eroh..
Aku jadi ingat sebuah kalimat bijak
yang mengatakan “Siapa menabur kebaikan, dia akan menuai kebaikan. Dan juga
sebaliknya.”
Sungguh, perbuatan baik adalah
investasi yang hasilnya bisa dinikmati baik di dunia maupun di akhirat. Mari,
jangan ragu menjadikan perbuatan baik sebagai
lifestyle yang membawa kita kedalam berkahNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar