Setelah libur touring selama beberapa bulan menunggu kondisi
kesehatan suami pulih pasca operasi tulang belakang di bulan November 2014 lalu, akhirnya aku dan suamiku, si Akang, bisa
touring lagi.Yihaa! Alhamdulillah...
Mungkin bagi orang lain, touring bukan sesuatu yang berarti. Tapi aku mengerti bagaimana perasaan Akang yang sangat
menggemari kegiatan ini. Lama tak touring membuat perasaannya hampa. Touring menjadi sebuah ajang penyegaran atau
refreshing bagi Akang, dan juga salah satu sarana merekatkan kedekatan kami sebagai pasangan suami istri.
Tujuan touring kali ini adalah Kuningan dan Baturraden. Hari Sabtu 7 Februari 2015, kami memulai
perjalanan pukul 5.09 WIB. Meluncur
diatas Kawasaki Versys, kuda besi berkapasitas 650 CC, kami membelah udara pagi
yang dingin. Desain tempat duduk yang mencapai tinggi 33 Inchi membuat
pengendara dan “boncenger” motor mampu
menjangkau pandangan luas. Bentuk
ramping berdesain futuristik, setang lebar dan
posisi riding yang tegak membuat Akang merasa nyaman mengendarai motor
ini di segala kondisi jalan.
Kami melaju menuju puncak. Udara
dingin menampar wajah saat kubuka penutup helm. Dingin terpaksa kutahan demi melihat lebih dekat
jurang hijau, lereng berlapis pohon teh bertaut bukit-bukit yang tampak samar
tertutup kabut. Indah. Aku tak pernah bosan menikmati kecantikan yang tercipta dari perpaduan bentang alam
berupa gunung, bukit, lembah, lereng, dan pepohonan hijau. Ada rasa tersendiri
yang timbul setiap kali menatap pemandangan hijau asri seperti itu. Segar.
Terasa tumbuh semangat baru menghadapi
hari.
Kami terus menelusuri jalan, melewati
Cianjur, dan Padalarang. Jalan yang lumayan mulus dan masih lengang membuat
laju si Kuning lancar. Kami berbagi jalan dengan para pengendara motor lainnya.
Diantara mereka ada yang membawa motor
sarat dengan kardus-kardus makanan kecil. Di sisi jalan, sesekali tampak truk
yang sedang dimuati pasir, warung yang baru dibuka, dan pedagang sayuran memacu sepedanya. Sungguh terasa denyut nadi
kehidupan telah dimulai pagi ini.
Aku berusaha sebanyak mungkin
mengabadikan perjalanan kami lewat foto. Sungguh tak mudah memotret di atas
motor yang melaju kencang. Kadang aku harus setengah berdiri menahan berat
tubuh pada pijakan kaki untuk bisa memotret angle yang diinginkan. Kadangkala
hasilnya kabur karena laju motor tak
kompak dengan camera yang lambat menetapkan
fokus. Atau hasil foto terlihat “miring” searah
posisi motor yang tengah menikung
di kelokan jalan.
Langit berwarna biru cantik menghias
angkasa. Di depan sana aku melihat sebuah bukit hijau menyembul indah. Hijau
bukit dan biru langit, perpaduan yang nyaman dipandang mata.
Pukul 8.23 kami melewati gapura
Indung Rahayu, Purwakarta. Kami berjanji dengan Pak Yugen dan istrinya untuk
bertemu di Purwakarta. Titik pertemuan yang dijanjikan adalah di dekat sebuah
mall yang terletak di jalan menuju Subang.
Setelah bertanya pada beberapa
pengendara motor, kami tiba disebuah perempatan jalan di mana mall yang menjadi
titik temu terletak di sudut jalan. Kami mencari-cari beberapa saat sambil menghubungi
Pak Yugen lewat ponsel. Aku sempat makan nasi dan minum teh panas di sebuah
warung kecil, sementara Akang sibuk mencari-cari Pak Yugen. Belum selesai
makanan kuhabiskan, Akang buru-buru mengajakku pergi.
“Ayo, Neng cepat. Kita salah arah,
ternyata bukan di sini arah menuju Subang. Pak Yugen sudah menunggu di
sana.”Seru Akang.
Setelah membayar makanan yang
ternyata murah sekali, hanya 10 ribu rupian dengan dua macam lauk dan sayur,
aku cepat-cepat menyusul Akang yang sudah siap di motornya. Kami berbalik arah
lalu belok kiri. Di depan sebuah rumah makan Padang, Pak Yugen, istrinya dan
seorang pria teman Pak Yugen, sudah
menanti kami.
Pak Yugen memperkenalkan temannya.
Pria bertubuh langsing itu bernama Pak Anton. Dia membawa motor Harley Davidson
tipe softails yang kinclong dan mulus. Motor ini berbentuk cukup unik, terlihat
“kaku” seperti model motor pegunungan. Meskipun demikian bentuk motor tetap
cantik, dengan shockbreaker yang tersembunyi di bagian belakang untuk menjamin
kenyamanan pengendaranya. Motor ini berbobot lebih ringan dibandingkan Harley Davidson type cruiser dan touring
yang memang berukuran lebih besar.
Senang bisa kembali touring bersama
Pak Yugen dan istrinya. Terakhir kami touring bersama di bulan September 2014
ke Guci Tegal. Seperti touring yang lalu, Pak Yugen membawa motor BMW GS
1200-nya. Tampaknya sama seperti Akang, dia lebih suka membawa motor bertipe adventure untuk touring
berjarak jauh, dibandingkan membawa Harley Davidson. Motor adventure lebih bisa
diandalkan menghadapi kondisi jalan di Indonesia yang tak selalu mulus.
Perjalanan berlanjut. Kami menyusun barisan. Pak Yugen yang paling
senior menjadi leader, disusul Pak Anton dan
Akang paling belakang. Touring paling ideal adalah dengan rombongan kecil antara 2-5 motor.
Dengan rombongan yang tak terlalu banyak, lebih mudah mengatur kecepatan dan
kekompakan saat berkendara di jalan. Rombongan yang besar berpotensi mengganggu
pengguna jalan lain, dan lebih rawan
terjadi kecelakaan.
Pukul 9.10 WIB kami melaju menuju
arah Subang melewati pasar yang ramai
dengan jalan penuh kendaraan. Lalu lintas padat merayap. Sesaat setelah
melewati pasar, lalu lintas kembali lancar. Kami melewati jalan yang dinaungi
pohon-pohon hijau dan rimbun. Geliat aktivitas warga makin kental terasa ketika
kami berbagi jalan dengan rombongan sapi yang digiring penggembala, pengendara motor yang memadati
jok belakangnya dengan rumput gajah untuk pakan ternak, serta pedagang
buah-buahan yang mengangkut rambutan dan durian di bak belakang motornya.
Pemandangan berganti menjadi sawah yang tampak seperti hamparan karpet hijau. Sementara jalan aspal
pun berganti menjadi jalan beton. Setelah melewati jembatan yang terbentang di atas sungai berair coklat keruh, kami menghadapi jalan becek dan licin karena aspal yang mulai
rusak. Kemudian jalan kembali mulus.
Kami istirahat shalat zuhur di sebuah
SPBU di Indramayu. Rasanya lega bisa sejenak melepaskan pelindung siku dan
lutut, sepatu boot, helm, masker dan jaket lalu membasuh wajah dengan air yang
sejuk. Rasanya tentram bersujud mengungkapkan
segenap syukur dihadapanNya. Beberapa saat aku duduk santai di bawah
pohon, mengobrol sambil makan tahu sumedang dan minum air putih yang banyak.
Sangat penting mengkonsumsi air yang
cukup karena tubuh kehilangan banyak cairan lewat keringat saat touring.
Cara Paling Asyik Menikmati Hujan
Setelah melepas lelah, kami
melanjutkan perjalanan. Memasuki Majalengka, langit berangsur kelabu. Matahari tertutup mendung
yang menggulung di langit. Menyaksikan sawah hijau dengan bukit yang membayang
samar dan langit buram kelabu menimbulkan perasaan yang sulit kuungkapkan. Antara
romantis, syahdu, sendu, tapi juga nyaman.
Aku suka mendung. Cuaca ini membawa kesejukan.
Matahari tak mampu menyorot dengan sinar garangnya karena terbelenggu awan
kelabu. Dengan pakaian tertutup, bermasker dan full face helm, lebih nyaman
rasanya melaju di jalan bernaung langit
mendung dibandingkan bertualang di bawah langit terang dengan sinar matahari yang
mencorong panasnya. Setidaknya aku tak perlu resah apakah krim tabir surya yang
kuoleskan sudah cukup melindungi kulit
dari terjangan matahari. Hehehe... sebagai cewek tetap harus memperhatikan perawatan kulit.
Langit mendung berarti tak lama lagi
hujan turun. Dan dugaanku benar. Kami
menghentikan motor di kawasan pasar Talaga, Majalengka. Butir-butir hujan
berukuran besar menghantam bumi bagai tercurah dari langit. Aku berlari ke
sebuah emperan toko, berteduh sambil duduk di bangku kayu. Akang terpaksa hujan-hujanan membuka box motornya. Box itu dilengkapi kunci di dua
sisinya hingga tak bisa cepat dibuka. Tak lama kemudian dengan baju basah dia
berlari menghampiriku.
Akang mengangsurkan jas hujan ungu
dan sepatu boot karet padaku. Kami cepat-cepat mengenakan jas hujan itu. Agak
repot , karena aku harus melepas sepatu boot kulit terlebih dahulu dan
menggantinya dengan sepatu boot karet. Pelindung lutut harus dibuka lalu
dipasang lagi dengan posisi sebagian masuk kedalam boot karet. Ukuran jas hujan
sengaja dipilih yang agak besar sehingga pelindung siku dan lutut muat dikenakan di dalam jas hujan. Aku tak
memakai masker karena debu jalanan tak
akan mengganggu kala hujan seperti ini.
Pak Yugen, istrinya dan Pak Anton
tampak berteduh di sebuah warung tenda. Mereka juga mengganti jaketnya dengan
jas hujan. Ketika semuanya telah siap, kami melanjutkan perjalanan menerjang
hujan.
Butir-butir hujan makin menderas.
Jarak pandang menjadi terbatas sehingga kami mengendarai motor lebih lambat.
Tahukah, kawan? Ada banyak cara
menikmati hujan. Aku sudah mencoba berbagai cara menikmati romantisnya derai bening hujan yang berjatuhan menyerbu
bumi.
Di masa kecil, aku sering
berlari-lari merayakan kegembiraan turunnya rahmat Tuhan berupa curahan air
dari langit bersama anak-anak kampung di sekitar rumah kakekku di Bandar Lampung.
Tapi cara itu seringkali berakhir lara, karena Mami, Nenek dan Kakekku marah.
Mereka bilang aku akan demam bila main hujan-hujanan, dan kata-kata mereka
terbukti benar. Tak heran, tubuh kecilku
lemah dan mudah sakit. Salah satu penyebabnya karena aku dulu susah makan,
hingga daya tahan tubuhku pun lemah. Akhirnya aku lebih sering mengintip ulah
teman-temanku mandi hujan dari balik jendela dengan perasaan tak berdaya.
Cara menikmati hujan yang lebih damai
adalah berkumpul di kamar, uyel-uyelan di tempat tidur bersama Mami, alm. Papi
dan adik-adikku. Hujan deras disertai
petir dan geledek sekali pun tak membuat hatiku ciut karena aku bisa “nyungsep”
dalam pelukan Papi yang hangat. Sedih bila mengenang saat itu, karena Papi kini
sudah berada dalam pelukan Penciptanya.. Semoga Papi bahagia di sana, Aamiin..
Ketika menginjak remaja, aku sering
menikmati suasana hujan sambil mendengarkan lagu lama yang romatis “You’re my everything “ –nya Santa Esmeralda
sambil membayangkan seperti apa jodoh dan cinta sejatiku kelak.
Cara menikmati hujan yang standar
juga sudah pernah aku lakukan. Memandang keluar jendela, mengawasi rintik hujan
yang membasahi tanaman sambil minum teh panas dan ngemil makanan kecil
lalu membiarkan lamunan melayang jauh.
Setelah bertemu jodoh, tentu berbeda
lagi cara menikmati hujan. Di awal masa pernikahan, kami masih tinggal
terpisah karena aku dan Akang bekerja di
perusahaan yang berbeda. Kami mengerjakan proyek pembangunan Asamera Corridor
Block Gas di tengah hutan Sumatera. Tempat tinggalku di mess perusahaan yang
terletak di pinggir jalan lintas Sumatera, sementara Akang tinggal di mess
perusahaannya yang berada di tengah hutan. Akang biasanya datang ke mess-ku
dengan mengendarai motor, menjemputku. Lalu kami melewati malam romantis di
sebuah penginapan di Simpang Tungkal. Pagi-pagi akang mengantar aku ke mess dan dia kembali ke kantornya.
Hujan adalah peristiwa yang sangat
menyedihkan bagi kami saat itu. Turunnya derai hujan menghapus kesempatan kami
bertemu. Tumpahan air dari langit membuat jalan tanah merah yang terbentang dari mess Akang di tengah
hutan menuju jalan raya berubah menjadi becek, lengket, licin dan bonyok melebihi bumbu pecel atau
gado-gado. Kondisi jalan seperti itu tak bisa dilalui motor atau mobil biasa. Hanya jenis mobil yang
dilengkapi double gardan yang bisa terus melewati jalan. Itu pun masih beresiko
mengalami terbalik karena licinnya jalan. Dan Akang tak punya mobil seperti
itu. Jadi,ya begitulah. Bila hujan turun,
ada sepasang hati pengantin baru yang pedih dan pilu menatap hujan,
tersiksa rindu tanpa daya menuntaskannya. Hehehe...
Tapi dari semua cara menikmati hujan,
yang paling terasa spektakuler adalah yang
kini aku alami. Tubuhku terbalut pakaian berlapis jas hujan. Sepatu karet sempurna
melindungi dan menghangatkan kaki
sementara kepala terlindung full face helm. Hatiku terasa melayang dibuai laju
si Kuning yang tak kencang. Aku terduduk nyaman diboncengan pria separuh jiwa,
menerjang rintik yang derasnya tak
tanggung-tanggung. Meski bulir air menghujam ke arah wajah tapi butir-butir
dingin itu tak mampu menyentuhku. Butiran bening silih berganti pecah di lapis transparan penutup helm,
kemudian mengalir dan tumpah ke bawah. Bunyi rintik yang mengetuk-ngetuk helm,
dan sepatu karetku terdengar seperti ritme yang menentramkan jiwa. Aku merasa
“masuk” ke dalam hujan, menikmatinya secara maksimal tanpa tersiksa dingin. Terpaan air dari
genangan yang tergilas roda mobil dari arah yang berlawanan pun tak
menggangguku, malah rasanya seperti kejutan-kejutan yang menyenangkan. Sungguh
aku sangat menikmati touring dalam suasana hujan.
Aku tersenyum-senyum menatap hujan.
Seandainya saat kecil dulu aku punya jas hujan, helm dan sepatu karet, tentu
aku bisa selalu bergabung bersuka ria bersama anak-anak kampung teman masa
kecilku. Menikmati setiap tetes hujan dengan keriangan tiada tara. Aku tak akan terserang demam, meskipun dengan
segala perlengkapan ini penampilanku paling aneh sendiri.
Kueratkan pelukan ke pinggang Akang. Ada
perasaan hangat yang mengaliri hatiku. Menatap
gulungan awan kelabu tebal, hatiku
bersyukur atas segala romantisme yang tercipta dari peristiwa alam ini. Betapa hujan telah membawaku mengenang
masa lalu yang berkesan, dan membuatku
merasa jatuh cinta lebih dalam lagi pada jodoh pilihanNya, Akang.
Melintas di Cikijing, hujan belum
juga reda. Tampaknya hujan seperti ini akan terus berlangsung hingga malam,
bahkan hingga berganti hari.
Tiba-tiba sebuah genangan air yang
luas terpampang di depan kami. Jalanan banjir! Akang makin memperlambat laju si
Kuning. Perlahan Pak Yugen melaju, dia memilih melewati bagian tengah jalan.
Kami menunggu dengan hati berdebar. Jalan banjir seperti ini menyimpan potensi
bahaya. Air menutup semua permukaan
jalan hingga tak terlihat apakah jalan
mulus, berlubang atau berbatu. Tak tampak pula batas parit di pinggir jalan, karena itulah
Pak Yugen memilih jalan dibagian tengah untuk menghindari motor terperosok ke
parit.
Pak Yugen berhasil melewati genangan dengan mulus. Sekarang giliran Pak Anton. Kami
sedikit khawatir karena motornyalah yang paling rendah dibandingkan BMW dan
Versys. Kami takut air yang lumayan tinggi membuat mesin motor padam.
Mesin motor menggeram-geram, lalu Pak Anton bergerak
perlahan melewati setiap inchi genangan
dengan hati-hati. Alhamdulillah motornya bisa lewat. Dan kami pun lewat tanpa
masalah.
Akhirnya, diiringi hujan
rintik-rintik kami tiba di Kuningan. Kami sempat salah jalan ketika bermaksud
menuju kawasan Sangkanhurip. Setelah bertanya pada penduduk, kami berbalik arah
dan akhirnya menemukan jalan yang tepat.
Di Kuningan, ada sebuah desa bernama
Sangkanhurip yang menjadi lokasi berbagai tempat penginapan, mulai dari hotel
berbintang, hotel melati hingga
penginapan sederhana. Desa Sangkanhurip memiliki sumber mata air panas alami.
Ada tempat pemandian air panas untuk
umum, seperti kolam renang Cipanas. Tapi ada juga beberapa hotel berbintang
yang memiliki fasilitas spa dan kolam
air panas alami, misalnya hotel Grage dan Hotel Tirta Sanita.
Resort Prima Sangkanhurip
Kali ini kami memilih menginap di
Resort Prima. Resort ini terletak di kaki gunung Ciremai tepatnya di Jl. Panawuan no 121 Sangkanhurip, Kuningan.
Hotel ini menyediakan kamar deluxe, standard, superior, new superior dan bungalow yang berbentuk rumah kayu tradisional. Di bagian belakang hotel, deretan bungalow ditata seperti sebuah perkampungan dengan setting tahun 1928.
Areal resort ini sangat luas, dilengkapi convention hall, lapangan tenis, kolam renang, masjid, areal bermain anak-anak, restaurant, tempat perkemahan, jogging track, fasilitas outbond, fishing dan taman yang luas.
Ternyata kamar yang tersedia hanya ada satu bungalow
yang terdiri dari dua kamar, dan satu kamar deluxe. Pas sekali. Bungalow untuk
Pak Yugen, istrinya, aku dan Akang. Sedangkan Pak Anton mendapat kamar Deluxe .
Jam menunjukkan pukul 14.53 ketika
kami memasuki bungalow yang berbentuk rumah kayu tradisional. Ada dua kamar,
satu kamar mandi, satu dapur, dan ruang
tamu yang menjadi satu dengan ruang
makan.
Rasanya lega bisa melepas jas hujan,
lalu mandi dan istirahat.
“Malam ini kita ke rumah Wak Eno
yuk.”
Ajakan Akang itu kubalas dengan
anggukan.
Almarhum kakek-nenek Akang dan ayah
mertuaku berasal dari desa Setianegara yang letaknya di kaki gunung Ciremai tak
jauh dari Sangkanhurip. Wak Eno adalah salah satu kerabat yang paling dekat
dengan ayah mertuaku.
Tujuan kami touring ke Kuningan
sebenarnya ingin berziarah ke kubur
almarhum kakek. Dimasa hidupnya, kakek dan nenek yang dipanggil Abah dan Emak sangat dekat dengan Akang . Desa Setianegara
pun menyimpan banyak kenangan manis saat
Akang berkunjung ke rumah Abah dan Emak.
Sayang sekali hingga malam, hujan tak
kunjung berhenti. Kami akhirnya mengurungkan niat pergi ke Setianegara sambil
berharap esok pagi cuaca akan cerah.
Tempat Pemakaman Terindah
Tampaknya awan mendung yang kemarin menggantung tebal di langit telah tuntas dicurahkan
seluruhnya ke bumi. Pagi yang cerah menyapa kami. Aku dan Akang siap berangkat
menuju desa Setianegara.
Si Kuning melesat menelusuri jalan
yang menanjak ke arah gunung Ciremai. Kami melewati gedung bersejarah tempat
diselenggarakan perjanjian antara Republik Indonesia dengan pemerintahan
Belanda tanggal 11-12 November 1946 yang disebut gedung perjanjian Linggarjati.
Rumah model Belanda itu pada tahun
1918 hanyalah sebuah gubuk sederhana milik seorang wanita bernama Jasitem.
Kemudian di tahun 1921 gubuk tersebut dirombak menjadi bangunan semi permanen
oleh seorang Belanda. Tahun 1930 rumah itu dirombak lagi menjadi bangunan
permanen dan menjadi rumah tinggal
keluarga Van Os. Banguan itu pernah dijadikan hotel Rustoord, hotel
Hokay Ryokan, dan hotel Merdeka pada
tahun 1945. Lalu pada tahun 1946 menjadi saksi sejarah dilaksanakanya
perjanjian Linggarjati yang menghasilkan naskah Linggarjati. Sejak tahun 1976
bangunan ini ditetapkan sebagai museum memorial.
Kami tiba disebuah areal persawahan
di mana ditengahnya terdapat pemakaman
penduduk. Beberapa pohon kamboja tumbuh di kiri-kanan jalan masuk seolah
menjadi pintu gerbang. Di sinilah terdapat makam Abah.
Alhamdulillah hujan deras yang
mengguyur hingga malam ternyata tak membuat tanah pemakaman becek.
Aku dan Akang segera menelusuri
deretan batu nisan yang tersusun rapi, menuju makam Abah. Kami menemukan makam
Abah terletak di undakan yang lebih rendah, tapi masih berada lebih tinggi dari
persawahan. Makam Abah terlihat bersih dan terawat.
Aku dan Akang kemudian mendoakan
Abah. Aku tak sempat mengenal sosok
Abah, karena Abah meninggal saat aku baru mengenal Akang. Tapi aku kenal Abah
dari kisah-kisah yang mengalir dari mulut Akang, juga dari kedua mertua dan
ipar-iparku. Lelaki bertubuh tinggi besar itu telah berjasa membuka jalan bagi
anak cucunya meraih kehidupan yang baik. Kalau saja dia tak punya pikiran untuk
pergi merantau sampai ke Palembang, mungkin kehidupan anak cucunya tak akan
jauh berbeda dari penduduk desa Setianegara, menjadi petani yang menggarap
kebun dan sawah.
Abah yang tak pernah mengenyam bangku
sekolah ternyata memiliki pemikiran yang maju. Dia sangat mementingkan
pendidikan anak satu-satunya yaitu ayah mertuaku. Dia bekerja keras membiayai
ayah mertuaku sekolah. Harapannya, ayah mertua bisa menjadi seorang insiyur.
Tapi sayang sekali harapan itu pupus. Karena keterbatasan biaya, ayah mertuaku
tak bisa kuliah di ITB meskipun sudah dinyatakan lulus ujian masuk perguruan
tinggi teknik tersohor itu. Abah menangis pilu karena biaya masuk ITB seharga motor
vespa zaman itu tak mampu dipenuhinya.
Harapan Abah untuk memiliki keturunan
yang menjadi insinyur terwujud ketika Akang menjadi sarjana teknik mesin.
Betapa bangga Abah pada cucunya.
Bila mengenang kisah itu aku pun
larut dalam haru. Di dalam hati aku berterimakasih
pada Abah. Tak lepas dari perjuangannya Abah juga, kami bisa memperoleh
penghidupan yang jauh lebih baik.
Sepanjang hidup sudah lumayan banyak
aku mengunjungi komplek pemakaman. Kebanyakan area pemakaman di Lampung, Palembang dan Bogor terlihat semrawut.
Apalagi di Palembang. Seringkali sulit menemukan lokasi makam tempat saudara
atau kerabat dikuburkan, karena letak nisan seolah tumpang tindih tak
beraturan. Belum lagi aura yang melingkupi area pemakaman membuat perasaan tak
nyaman.
Berbeda dengan kompleks pemakaman
yang lain, lokasi makam Abah adalah kuburan paling indah yang pernah aku
kunjungi. Deretan nisan tersusun rapi tak semrawut. Lingkungan bersih terawat,
ditambah lagi latar belakang gunung dan sawah yang cantik. Udara segar dan
pemandangan indah membuat tak ada rasa ngeri atau perasaan tak enak. Semoga
Abah tenang di alam sana. Aamiin..
Kemudian kami kembali meluncur,
menyisir jalan mendaki ke arah gunung Ciremai hingga sampai di desa
Setianegara. Kami mampir ke rumah Wak Eno.
Wak Eno dan istrinya, Wak Eroh tengah duduk santai. Anak-anaknya,
Tety dan Opi juga ada disana. Kami disuguhi white coffe dan makanan kecil
tradisional, rempeyek dan keripik pisang.
Wak Eno dan Wak Eroh membagi kisah
hidupnya yang sangat menarik. Ketika kebaikan menjadi investasi, seorang buruh bangunan dan tukang kayu seperti Wak Eno pun bisa meraih kesejahteraan hidup. Kisahnya ada di sini
Kami tak bisa terlalu lama ngobrol,
karena sudah berjanji pada Pak Yugen dan Pak Anton, pukul 9 akan melanjutkan
perjalanan ke Baturraden – Purwokerto.
Kami kembali ke bungalow, menikmati
makan pagi di warung kopi 1928 bersama Pak Yugen, istrinya dan Pak Anton.
Pukul 9.08 WIB, setelah packing dan
selesai mengurus administrasi hotel, kami berangkat menuju Baturraden.