Melihat foto-foto yang diposting salah seorang sahabat yang sedang menjalankan ibadah haji dan umroh, hatiku diliputi rindu untuk kembali ke tanah suci. Tiba-tiba terlintas ingatan akan seorang sahabat masa kecil. Kenangan tentangnya membuatku hatiku sesak oleh kesedihan.
Sebut saja namanya Devika ( bukan nama asli). Pertama kali saling kenal, saat masih pakai seragam putih merah. Aku anak baru, pindahan dari Bandar Lampung. Bagiku Palembang masih asing. Asing adatnya, asing bahasanya. Aku perlu menyesuaikan diri beberapa waktu untuk bisa melebur dalam pergaulan di lingkunganku.
Sebut saja namanya Devika ( bukan nama asli). Pertama kali saling kenal, saat masih pakai seragam putih merah. Aku anak baru, pindahan dari Bandar Lampung. Bagiku Palembang masih asing. Asing adatnya, asing bahasanya. Aku perlu menyesuaikan diri beberapa waktu untuk bisa melebur dalam pergaulan di lingkunganku.
Diantara
teman-teman yang selalu berbahasa Palembang, ada satu teman yang tampak istimewa
di mataku. Dia bicara dalam bahasa Indonesia. Setidaknya aku merasa punya
kesamaan dengannya.
Di mataku Devika
istimewa. Pipinya halus, matanya bening , kulitnya putih bersih. Cantik. Saat
berbincang dengannya aku merasa nyaman karena aku bisa mengerti semua ucapannya.
Seingatku
berteman dengan Devi sangat menyenangkan. Kami bisa berbincang-bincang tentang
banyak hal. Tapi dia tak pernah
bercerita tentang keluarganya
Suatu hari dia
mengajakku main kerumahnya. Kami
berjalan berdampingan menyusuri jalan
beraspal yang makin lama makin menyempit. Lalu disebuah pertigaan, jalan
aspal itu berganti rupa menjadi jalan setapak berbatu. Aku terlarut dalam
obrolan asyik bersamanya. Entah berapa lama kami berjalan hingga sampai
di sebuah tempat yang sepi. Ilalang tinggi di sisi kiri kanan jalan dan suasana yang hening menyentakku.
“Bagaimana Devi bisa tinggal di tempat yang begitu sepi. Suasana di sini misterius.” Batinku.
“Itu rumahku.”
Serunya.
Sebuah bangunan
bergaya Belanda tampak di sisi kiri jalan. Ilalang tinggi tumbuh rapat di
halamannya. Bangunan itu berkesan dingin
dan asing. Di belakangnya tumbuh pohon bambu tinggi menjulang dengan daun-daun
yang berdesir di tiup angin. Di sekitarnya tak ada rumah lain. Rumah tetangga
terdekat berjarak beberapa ratus meter.
Seorang wanita
cantik berambut sebahu tiba-tiba muncul di teras rumahnya. Wajahnya tanpa
ekspresi menatap kami.
“Mama...” Ujar
Devi.
“Masuk!” Sahut
wanita yang dipanggilnya Mama. Wajahnya tak ramah. Dia hanya menyuruh Devi
masuk, bukan aku. Aku mulai merasa tak nyaman.
Sepertinya kehadiranku tak dikehendaki.
“Maaf, Tante. Saya
permisi pulang. “ Aku berusaha mengukir senyum di bibir, meski senyum itu tak
berbalas.
Wanita itu bersikap
dingin seperti aura rumahnya. Dia mengangguk, lalu membalikkan badan. Sekilas
aku melihat raut kecewa di wajah Devi. Dia pun kemudian menghilang masuk ke
rumah.
Keheningan
menyergapku. Aku kini sendirian di depan sebuah rumah tua membisu, dengan batang-batang bambu berdesir-desir dan
ilalang tinggi . Tiba-tiba aku panik. Secepat kilat aku berlari dan
terus berlari. Nafasku tersengal-sengal melintasi jalan sepi yang seolah tak berujung. Aku terus
berlari hingga sampai di simpang jalan berbatu. Ada beberapa orang disana, dan
aku merasa lega.
Berada di depan
rumah Devi seperti sejenak terdampar di negri antah berantah yang serba
misterius. Berbagai pertanyaan menyeruak di benakku. Mengapa rumahnya berkesan
dingin? Mengapa
sikap Mamanya tak ramah? Mengapa Devi tampak tegang dan takut?
Pertanyaan-pertanyaan
itu tak terjawab. Di perjumpaan selanjutnya Devi tak pernah mau membicarakan
rumah, mama dan apapun tentang keluarganya.
Hingga suatu
hari, salah seorang teman mengatakan Devi telah pindah. Aku agak kecewa karena
Devi sama sekali tak memberi tahu aku, atau setidaknya berpamitan. Padahal aku
merasa cukup akrab dengannya.
Kenangan tentang
Devika, teman masa kecil itu tersimpan
lama sekali, lebih dari 25 tahun. Aku bahkan hampir lupa.
Tahun 2011 lalu, saat aku mudik ke Palembang. Pandanganku menangkap sebuah wajah berpipi halus, dengan mata bening berbinar dan rambut hitam sebahu tertata modis. Pemiliknya tengah sibuk memilih baju disebuah butik. Sesekali dia menempelkan gaun di tubuh rampingnya, lalu memandang bayangan di cermin. Tak salah lagi, itu Devika. Dia makin cantik, jauh lebih cantik dibanding saat masih anak-anak dulu.
Tahun 2011 lalu, saat aku mudik ke Palembang. Pandanganku menangkap sebuah wajah berpipi halus, dengan mata bening berbinar dan rambut hitam sebahu tertata modis. Pemiliknya tengah sibuk memilih baju disebuah butik. Sesekali dia menempelkan gaun di tubuh rampingnya, lalu memandang bayangan di cermin. Tak salah lagi, itu Devika. Dia makin cantik, jauh lebih cantik dibanding saat masih anak-anak dulu.
Aku agak ragu
menegurnya. Takut dia lupa.
Tapi saat Devi
tersadar ada sepasang mata tengah memperhatikan, dia menghentikan kesibukannya.
Si cantik itu menatapku.
Sejurus
kemudian, kami menjadi pusat perhatian pengunjung butik akibat ulah kami berteriak-teriak kegirangan. Dia memelukku
melepas rindu.
Aku bersyukur
hari itu dipertemukan dengan teman masa kecil yang menyenangkan. Perbincangan
kami berlanjut di sebuah caffe cantik di
sudut mall.
“Apa kabarmu? Rasanya
tak percaya kita bisa bertemu lagi.” Seru Devika.
“Aku senang kau
masih mengenaliku meski aku sudah berhijab. Kenapa dulu kau pindah tak
bilang-bilang? Sopan sedikit kenapa sih!” Sungutku kesal.
Devika tertawa.
“Maaf...
keadaanku waktu itu ...”Devika berhenti sejenak, menghela nafas.
“Aku sebenarnya
malu. Aku punya mama tiri. Mama kandungku sudah meninggal karena kanker
payudara. Hubunganku dengan mama tiri kurang harmonis. Kami sering ribut. Aku
berusaha tahu diri, tapi tetap saja kami tak cocok. Kami pindah dulu itu juga
karena keputusan Mama. Aku tak berdaya... Ayahku jarang pulang, dia pelaut. “Ucap
Devi sendu.
Sedikit banyak ungkapan
Devi telah menjawab beberapa pertanyaanku dulu.
“Sebenarnya Mama
tiriku tidak jahat. Dia kaku, tegas dan
penuh aturan. Masih untung aku disekolahkan hingga tamat D3. “ Lanjut Devi.
“Ketidak
cocokanku dengan Mama membuat aku ingin melepaskan diri. Aku berharap bisa cepat dapat pekerjaan dan
hidup mandiri, tapi ternyata malah jodoh yang datang duluan. Hahaha...” Wajah
Devi berubah ceria. Bibirnya terus tersenyum saat kisah tentang suami dan
anak-anaknya mengalir.
“Aku beruntung
mendapat suami yang baik. Pintar cari duit. Dia juga mengajari aku berbisnis.
Dan bisnisku juga lumayan sukses. Aku tak pernah kekurangan uang sejak menikah.”
Ucapan Devika membuat hatiku turut bahagia. Lega rasanya mengetahui hidupnya
kini sangat menyenangkan.
Kami kembali terpekik girang saat mengetahui sama-sama suka travelling. Devika malah
sudah melanglang buana ke tempat-tempat yang masih dalam impianku, seperti
Afrika Selatan dan Tibet. Bertukar kisah travelling membuat kami kian larut dalam
obrolan seru.
“Kalau ke Arab
Saudi sudah pernah?” Tanya Devika padaku.
“Sudah, waktu
menunaikan ibadah haji tahun 2008. Memangnya dirimu belum pernah ke sana?” Balasku.
Devika
menggeleng.
Ada rasa heran
menggelayut di benakku. Mengapa sudah berkeliling dunia kemana-mana, tapi
menginjak rumah Allah dia belum pernah.
“Lho, kenapa
Dev? Kau tak ingin menunaikan haji, atau umroh?”
“Ah, nanti saja.
Tunggu usia 40 tahunan deh. Sekarang masih senang-senang dulu.” Devi terseyum
sambil mengerling.
Aku baru saja
akan melontarkan protes, tapi kata-kataku tercekat di tenggorokan, terkoyak dering
telepon selular Devi.
“Dari suamiku.”
Ujar Devi. Dia kemudian berbicara beberapa saat sambil melirik jam tangannnya.
Setelah menutup telepon Devi memandangku.
“Tak terasa
sudah 3 jam kita ngobrol. Sayang sekali aku harus pergi. Suamiku sudah
menunggu. Ada urusan yang harus diselesaikan. “
Setelah Devi membayar
makanan, kami menutup pertemuan dengan pelukan hangat. Hari itu sungguh
menyenangkan. Devi memberi aku kartu namanya. Sayang sungguh sayang, karena
kecerobohanku kartu nama itu hilang sebelum aku sempat mencatat alamat dan
nomor teleponnya. Dan satu hal lagi, aku bahkan lupa berfoto bersama Devika. Bodohnya
aku!
Di pertengahan
2013, aku menyambung kembali tali silaturrahmi lewat blackberry messenger
dengan salah seorang tetangga saat masih tinggal di Palembang, teman masa
kecilku juga. Setelah bertukar kabar, kami saling memberi informasi tentang
teman-teman lama.
“Masih ingat
Devika? Aku dapat kabar dari saudaranya, dia meninggal dua minggu yang lalu.
Sakit kanker payudara katanya.”
Jantungku terasa
berhenti berdetak membaca pesan BBM itu.
Innalillahi wa
inna illaihi rojiun. Rasanya tak percaya!
Tak kuasa aku menahan
air mata mengenang pertemuan dengan Devika yang ternyata adalah pertemuan
terakhir. Aku bersyukur masih sempat menuntaskan rindu selama 3 jam, berbagi kisah, tertawa bersama, dan
memeluknya. Satu hal yang sangat aku sayangkan, Devika belum sempat menunaikan
ibadah haji. Dan aku sungguh menyesal,
mengapa waktu itu tak sempat memberi nasehat agar dia menyegerakan ibadah haji.
Belum genap 40 tahun usianya kala maut menjemput. Devika
sahabat kecilku, semoga Allah SWT mencatat niatmu untuk menunaikan ibadah haji,
meski niat itu belum kesampaian. Semoga Allah menerima semua amal ibadah dan
memberimu tempat yang indah di sisiNya.
Kupetik sebuah pelajaran
berharga. Segerakan berhaji bagi yang sudah
mampu, jangan sekali-kali menunda. Kita
tak pernah tahu kapan waktu akan berakhir. Segeralah mendaftar untuk
menyempurnakan niat itu, meskipun antrian ibadah haji saat ini sangat panjang. Menunda
melakukan kewajiban saat telah diberi
kemampuan adalah sebuah kesalahan.
Jangan menunda, karena waktu bukan milik
kita...
Setujuuu jgn menunda...kita tdk pernah tau kpn ajal menjemput..... critanya bikin aku merinding
BalasHapus@nani djabar :sedih ya..hiks..
Hapusaku jadi teringat kisahku sendiri, yang setiap kali mengingatnya akan membuat air matamenggenang. Tahun 2000, aku sudah daftar haji, bayar sudah lunas, walau belum jelas kapan akan berangkat mengingat daftar tunggu tahu sendiri.
BalasHapusNamun, beberapa bulan kemudian meragu mulai merasuki pikiranku. Aku takut sekali hartaku tidak halal dan berkah, karena saat itu aku mula belajar kembali agamaku. saking takutnya, aku menarik kembali niatku naik haji dengan membatalkan pembayaran tersebut. Aku tidak tahu, apakah keputusanku tu salah atau benar. Hanya tak berhenti berharap, semoga Allah memperkenanku mengunjungi rumahnya, kali ini dnegan kayakinan biayanya datang dari yang halal dan berkah, serta ke sana bareng keluarga. Amiin. Maaf ya, jadinya ikutan curhat :)
@Rebellina Santy : Aamiin... Semoga diijabahNya. Semoga Allah memudahkan dirimu dan keluarga menunaikan ibadah haji....
HapusMasya Allah... kesempatan,rejeki,sehat, dan waktu milik Allah, sayang ya mak...bila tidak cepat kita pakai untuk berkunjung ke bait /rumah sang pemilik...
BalasHapus@mutia ohorella : betul Mak... Prioritaskan ke rumah Allah dulu bagi muslim yang sudah mampu, baru urusan yg lain. Terimakasih sudah berkunjung :-)
HapusCerita yg indah dan lgs menusuk ke hati..khas gaya iwed...thanks dear..you should share it in any wa group you have...reminding everyone..that they have five pilars to be completed in their life in order to be a good moslem..
BalasHapusCerita yg indah dan lgs menusuk ke hati..khas gaya iwed...thanks dear..you should share it in any wa group you have...reminding everyone..that they have five pilars to be completed in their life in order to be a good moslem..
BalasHapus