Laman

Rabu, 21 Januari 2015

Sebuah Renungan Tentang Rezeki


Salah seorang temanku, sebut saja namanya Milla,  senang sekali belanja barang-barang branded.  Kalau dengar kabar ada “sale” di sebuah mall besar di kawasan Pondok Indah, dia pasti hadir duluan. Tas dan sepatunya banyak, demikian juga baju-bajunya. Tapi baju, tas dan sepatu mahalnya hanya dipakai sekali-sekali saja kalau ada undangan pesta atau kumpul-kumpul dengan teman. Sehari-hari sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya antar jemput anak sekolah dan les, dia pakai baju seadanya, yang itu-itu saja.


Suatu hari aku menjemputnya untuk acara arisan. Di rumahnya, kulihat Milla sedang heboh mencari-cari sepatu yang cocok dengan bajunya.

“Duuh, ntar dulu ya, say. Aku cari sepatu biru dongkerku. Di mana ya...”

Milla sibuk membongkar-bongkar kotak-kotak sepatunya. Aku juga ikut membantu membuka satu persatu kotak sepatu koleksi Milla.

Setelah beberapa saat, akhirnya Milla berseru.

“Nah.. ini dia, aku ingat merknya ini. “

Milla mengambil sebuah kotak sepatu dari sudut paling bawah. Dibukanya kotak sepatu itu lalu dia mengeluarkan sepasang sepatu kulit biru dongker.

“ Ya ampun... Kok begini?!” Teriak Milla. Tampangnya rusuh.

Sepatu biru dongker dengan merk terkenal itu tampak aneh. Kulitnya kering, keriput dan retak-retak.  Saat Milla menyentuhnya, kulit keriput sepatu itu rontok.

“Aduh...Kok begini? Sepatu ini belum pernah kupakai. Harganya mahal, aku sampai menabung 2 bulan demi beli sepatu ini. Disayang-sayang kok  malah rusak.” Milla terlihat sangat kecewa.

“Iya, sayang sekali. Sepatu mahal ini ternyata bukan rezekimu.” Sahutku.

“Lho, kok?” Milla menatapku bingung.

“Ya, iyalah. Memangnya kau mau pakai sepatu ini sekarang?” Tanyaku.

Milla menggeleng.

“Nah, terus mau diapakan? Diberikan ke orang juga siapa yang mau pakai sepatu “trondol” begini? Kalau dikasihkan ke pengrajin sepatu mungkin hak sepatunya masih bisa dipakai.” Ucapku.

Milla terduduk lesu.

“Ini bukan pertama kalinya. Kemarin aku bongkar lemari baju. Banyak baju-baju baru yang belum pernah dipakai ternyata sudah bolong-bolong dimakan rayap. Terlalu lama disimpan. “

“Aduh Milla... sayang sekali. Lagi pula kenapa tidak kau pakai baju-baju itu atau kalau tak terpakai berikan saja pada orang lain yang membutuhkan. Aku perhatikan sehari-hari kau sukanya pakai baju yang itu-itu saja. “

“Diberikan pada orang lain? Dipakai sendiri saja jarang karena sayang,  bagaimana mungkin aku berikan pada orang lain? Bajunya  mahal, lho. Anak-anakku suka makan coklat, permen, ice cream. Mereka suka manja-manjaa dipangkuanku. Kalau bajuku kena noda kotoran kan sayang...”Mila beralasan.

“Lha.. noda kan bisa dicuci. Kalau baju disimpan saja terus dimakan rayap lebih sayang lagi kan? Baju-baju itu akhirnya jadi rezeki rayap bukan rezekimu.” Sahutku.

“Mungkin  aku harus introspeksi diri ya.” Milla berkata lirih.


Perkara yang mirip dengan prilaku Milla kujumpai juga pada Abah Aep (  bukan nama aslinya).  Laki-laki sepuh itu tiap pagi rajin menyapu halaman rumahnya. Dia ramah , gemar menebar senyum lebar memamerkan gigi ompongnya.

Abah Aep dulunya bukan orang kaya. Bahkan dia pernah termasuk dalam daftar orang yang patut menerima zakat atau sedekah karena hidup di bawah garis kemiskinan. Tapi Abah Aep seorang pekerja keras. Upayanya membanting tulang  menghidupi keluarga selama puluhan tahun dan membiayai anak-anaknya sekolah kini telah terbayar lunas. Anak-anak Abah Aep   berpendidikan tinggi. Hidup mereka pun sudah mapan.  Anak sulungnya  bekerja dan menetap di Australia.  Anak keduanya bekerja di sebuah perusahaan minyak di Kalimantan. Dan si bungsu menjadi pengusaha kuliner di Surabaya.

Meskipun roda kehidupan telah bergerak  membawa Abah Aep ke posisi yang jauh lebih baik, dia tak banyak berubah. Masih tetap hidup sederhana. Rumahnya memang telah dibangun lebih nyaman, tapi penampilan Abah masih tetap seperti dulu. Masih setia mengenakan kain sarung dan singlet bututnya.
Suatu hari saat aku lewat di depan rumahnya, aku melihat Abah Aep duduk di teras dengan wajah berseri-seri. Dia tengah membongkar sebuah bungkusan, tampaknya seperti paket yang baru sampai.

“Wah, Abah kelihatan senang sekali. Baru dapat hadiah ya, Bah?” Sapaku.

“Hehehe... iya Neng. Abah dapat kiriman lagi dari anak Abah yang di Surabaya. Ini baju-baju buat Abah. Tuh.. bagus-bagus. “ Abah Aep nyengir. Dia memamerkan kemeja-kemeja, kaus dan celana kain kiriman anaknya dengan bangga.

“Iya, Bah. Bagus semuanya. Alhamdulillah ya anak-anak Abah semuanya berbakti sama orangtua.”

“Alhamdulillah, Neng.Tempo hari anak Abah yang di Australia kirim sepatu.  Lalu yang di Kalimantan juga kirim baju dari bahan kain khas Kalimantan, apa ya namanya? Saringan!” Seru si Abah antusias.

“Bukan saringan, Bah, tapi sasirangan. Itu kain khas dari Banjar.” Sahutku.

“Oh iya,iya betul Neng. Abah lupa. Hahaha....” Abah tergelak. Lucu melihat  tawa Abah dengan gigi yang ompong di sana sini.

“Kok baju-bajunya tidak dipakai, Bah? Abah malah pakai singlet butut terus. Bagaimana sih Abah..” Aku memandang singletnya yang sudah berwarna kusam dengan noktah noda di beberapa tempat.

“Sayang, Neng. Baju-bajunya kan mahal. Jadi Abah simpan saja. “ Abah melipat kemeja-kemeja yang bertebaran di hadapannya.

“Anak-anak Abah kan ingin pemberiannya dipakai. Supaya Abahnya keren, begitu lho.Kalau disimpan saja artinya baju-baju kiriman mereka jadi tak berguna.” Aku memandang Abah yang masih tersenyum-senyum.

“Nantilah, Neng. Sayang, takut bajunya cepat rusak.”

“Baju mahal kan tidak cepat rusak,Bah. Tapi ya terserah Abah deh.” Ujarku menyerah.

Beberapa tahun kemudian, di suatu sore, rumah Abah Aep mendadak ramai. Suara dari TOA masjid terdengar mengumumkan sebuah kabar duka.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Abah Aep  terkena sesak nafas dan meninggal di usia 81 tahun.

Saat aku melayat ke rumahnya, salah seorang  kerabat Abah Aep tengah menyusun bertumpuk-tumpuk baju, celana panjang, sepatu, sandal, sarung, peci, dompet peninggalan Abah Aep.

“Mau disedekahkan, Neng.. Mudah-mudahan jadi pahala buat si Abah.” Ujar kerabat Abah Aep ketika aku bertanya akan diapakan barang-barang itu.

Ternyata banyak sekali barang-barang bagus  yang menghuni lemari Abah  selama ini. Ironisnya semua barang itu tak pernah dipakai Abah. Pada akhirnya barang-barang itu seolah menjadi  rezeki yang tersia-sia.

Ah, sayang sekali. Seandainya barang-barang itu disedekahkan sendiri oleh Abah Aep semasa hidupnya, tentu pahalanya akan menjadi bekal almarhum di kehidupan abadi.

Dua kejadian itu membuat aku merenungi tentang arti rezeki. Rezeki atau ar-rizqu bisa diartikan sebagai bagian atau porsi dari pemberian Allah kepada seorang hamba berupa apa saja yang bisa dimanfaatkan sebagai bagian atau porsi yang dikhususkan untuknya. Rezeki dari Allah dapat diartikan juga  segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh makhluk-Nya.

Dalam konteks kehidupan di dunia fana,  rezeki adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan untuk memelihara kualitas hidup  yang diberikan  Allah Swt. Dalam konteks setelah kiamat, rezeki adalah surga, yaitu sesuatu yang bermanfaat bagi kita sebagai pembalasan dari perbuatan, pekerjaan, tingkah laku  dan karya kita selama hidup di dunia.



Apakah yang harus dilakukan bila memiliki barang-barang bagus yang hanya tersimpan di lemari? Disayang-sayang lalu dibiarkan  di lemari hingga rusak dan  lapuk seperti yang dilakukan Milla? Disimpan sampai ajal menjemput seperti  yang dilakukan almarhum Abah Aep? Sungguh sayang...

Idealnya rezeki itu untuk dinikmati. Di dunia fana, rezeki berupa baju, sepatu, atau barang-barang lain dinikmati dengan cara  dipakai sesuai fungsinya. Tapi manusia sering tak sadar tengah  diuji kemurahan hatinya.  Berdalih sayang pada barang baru atau barang mahal, tanpa disadari muncul sifat  pelit pada orang lain bahkan pada dirinya sendiri. 

Barang-barang yang berlebih itu sesungguhnya  bisa dijadikan investasi akhirat. Kelak pahalanya menjadi rezeki di alam baqa atau alam yang kekal. Bagaimana caranya? Ya disedekahkan pada orang yang membutuhkan. Itu jauh lebih menguntungkan daripada membiarkan barang-barang kesayangan menjadi mubazir atau sia-sia. Sejatinya, apa yang disedekahkan manusia merupakan rezeki buat dirinya sendiri kelak di kehidupan abadi. Tak ada ruginya.  Kalau ada rasa berat untuk memberikan barang-barang itu pada orang lain, disitulah letak ujianNya. 

Alangkah ruginya   bila  benda-benda yang semestinya bisa mendatangkan berkah pahala tak sempat  dimanfaatkan buat diri sendiri atau untuk disedekahkan,  karena pemiliknya  lebih dulu dijemput malaikat maut...

Mari kita renungkan, apakah harta yang kita miliki adalah   rezeki bagi  kita atau bukan...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar