Salah seorang temanku,
sebut saja namanya Milla, senang sekali
belanja barang-barang branded. Kalau
dengar kabar ada “sale” di sebuah mall besar di kawasan Pondok Indah, dia pasti
hadir duluan. Tas dan sepatunya banyak, demikian juga baju-bajunya. Tapi baju,
tas dan sepatu mahalnya hanya dipakai sekali-sekali saja kalau ada undangan
pesta atau kumpul-kumpul dengan teman. Sehari-hari sebagai ibu rumah tangga
yang tugasnya antar jemput anak sekolah dan les, dia pakai baju seadanya, yang
itu-itu saja.
Suatu hari aku
menjemputnya untuk acara arisan. Di rumahnya, kulihat Milla sedang heboh
mencari-cari sepatu yang cocok dengan bajunya.
“Duuh, ntar dulu
ya, say. Aku cari sepatu biru dongkerku. Di mana ya...”
Milla sibuk
membongkar-bongkar kotak-kotak sepatunya. Aku juga ikut membantu membuka satu
persatu kotak sepatu koleksi Milla.
Setelah beberapa
saat, akhirnya Milla berseru.
“Nah.. ini dia,
aku ingat merknya ini. “
Milla mengambil
sebuah kotak sepatu dari sudut paling bawah. Dibukanya kotak sepatu itu lalu
dia mengeluarkan sepasang sepatu kulit biru dongker.
“ Ya ampun...
Kok begini?!” Teriak Milla. Tampangnya rusuh.
Sepatu biru dongker
dengan merk terkenal itu tampak aneh. Kulitnya kering, keriput dan
retak-retak. Saat Milla menyentuhnya,
kulit keriput sepatu itu rontok.
“Aduh...Kok
begini? Sepatu ini belum pernah kupakai. Harganya mahal, aku sampai menabung 2
bulan demi beli sepatu ini. Disayang-sayang kok malah rusak.” Milla terlihat sangat kecewa.
“Iya, sayang
sekali. Sepatu mahal ini ternyata bukan rezekimu.” Sahutku.
“Lho, kok?”
Milla menatapku bingung.
“Ya, iyalah.
Memangnya kau mau pakai sepatu ini sekarang?” Tanyaku.
Milla
menggeleng.
“Nah, terus mau
diapakan? Diberikan ke orang juga siapa yang mau pakai sepatu “trondol” begini?
Kalau dikasihkan ke pengrajin sepatu mungkin hak sepatunya masih bisa dipakai.”
Ucapku.
Milla terduduk
lesu.
“Ini bukan pertama kalinya. Kemarin aku
bongkar lemari baju. Banyak baju-baju baru yang belum pernah dipakai ternyata
sudah bolong-bolong dimakan rayap. Terlalu lama disimpan. “
“Aduh Milla...
sayang sekali. Lagi pula kenapa tidak kau pakai baju-baju itu atau kalau tak
terpakai berikan saja pada orang lain yang membutuhkan. Aku perhatikan
sehari-hari kau sukanya pakai baju yang itu-itu saja. “
“Diberikan pada
orang lain? Dipakai sendiri saja jarang karena sayang, bagaimana mungkin aku berikan pada orang
lain? Bajunya mahal, lho. Anak-anakku
suka makan coklat, permen, ice cream. Mereka suka manja-manjaa dipangkuanku.
Kalau bajuku kena noda kotoran kan sayang...”Mila beralasan.
“Lha.. noda kan
bisa dicuci. Kalau baju disimpan saja terus dimakan rayap lebih sayang lagi
kan? Baju-baju itu akhirnya jadi rezeki rayap bukan rezekimu.” Sahutku.
“Mungkin aku harus introspeksi diri ya.” Milla berkata
lirih.
Perkara yang
mirip dengan prilaku Milla kujumpai juga pada Abah Aep ( bukan nama aslinya). Laki-laki sepuh itu tiap pagi rajin menyapu
halaman rumahnya. Dia ramah , gemar menebar senyum lebar memamerkan gigi
ompongnya.
Abah Aep dulunya
bukan orang kaya. Bahkan dia pernah termasuk dalam daftar orang yang patut
menerima zakat atau sedekah karena hidup di bawah garis kemiskinan. Tapi Abah
Aep seorang pekerja keras. Upayanya membanting tulang menghidupi keluarga selama puluhan tahun dan
membiayai anak-anaknya sekolah kini telah terbayar lunas. Anak-anak Abah
Aep berpendidikan tinggi. Hidup mereka
pun sudah mapan. Anak sulungnya bekerja dan menetap di Australia. Anak keduanya bekerja di sebuah perusahaan
minyak di Kalimantan. Dan si bungsu menjadi pengusaha kuliner di Surabaya.
Meskipun roda
kehidupan telah bergerak membawa Abah
Aep ke posisi yang jauh lebih baik, dia tak banyak berubah. Masih tetap hidup
sederhana. Rumahnya memang telah dibangun lebih nyaman, tapi penampilan Abah
masih tetap seperti dulu. Masih setia mengenakan kain sarung dan singlet
bututnya.
Suatu hari saat
aku lewat di depan rumahnya, aku melihat Abah Aep duduk di teras dengan wajah
berseri-seri. Dia tengah membongkar sebuah bungkusan, tampaknya seperti paket
yang baru sampai.
“Wah, Abah
kelihatan senang sekali. Baru dapat hadiah ya, Bah?” Sapaku.
“Hehehe... iya
Neng. Abah dapat kiriman lagi dari anak Abah yang di Surabaya. Ini baju-baju
buat Abah. Tuh.. bagus-bagus. “ Abah Aep nyengir. Dia memamerkan kemeja-kemeja,
kaus dan celana kain kiriman anaknya dengan bangga.
“Iya, Bah. Bagus
semuanya. Alhamdulillah ya anak-anak Abah semuanya berbakti sama orangtua.”
“Alhamdulillah,
Neng.Tempo hari anak Abah yang di Australia kirim sepatu. Lalu yang di Kalimantan juga kirim baju dari
bahan kain khas Kalimantan, apa ya namanya? Saringan!” Seru si Abah antusias.
“Bukan saringan,
Bah, tapi sasirangan. Itu kain khas dari Banjar.” Sahutku.
“Oh iya,iya
betul Neng. Abah lupa. Hahaha....” Abah tergelak. Lucu melihat tawa Abah dengan gigi yang ompong di sana
sini.
“Kok
baju-bajunya tidak dipakai, Bah? Abah malah pakai singlet butut terus.
Bagaimana sih Abah..” Aku memandang singletnya yang sudah berwarna kusam dengan
noktah noda di beberapa tempat.
“Sayang, Neng.
Baju-bajunya kan mahal. Jadi Abah simpan saja. “ Abah melipat kemeja-kemeja
yang bertebaran di hadapannya.
“Anak-anak Abah
kan ingin pemberiannya dipakai. Supaya Abahnya keren, begitu lho.Kalau disimpan
saja artinya baju-baju kiriman mereka jadi tak berguna.” Aku memandang Abah yang
masih tersenyum-senyum.
“Nantilah, Neng.
Sayang, takut bajunya cepat rusak.”
“Baju mahal kan
tidak cepat rusak,Bah. Tapi ya terserah Abah deh.” Ujarku menyerah.
Beberapa tahun
kemudian, di suatu sore, rumah Abah Aep mendadak ramai. Suara dari TOA masjid
terdengar mengumumkan sebuah kabar duka.
Innalillahi wa
inna ilaihi rojiun. Abah Aep terkena
sesak nafas dan meninggal di usia 81 tahun.
Saat aku melayat
ke rumahnya, salah seorang kerabat Abah
Aep tengah menyusun bertumpuk-tumpuk baju, celana panjang, sepatu, sandal,
sarung, peci, dompet peninggalan Abah Aep.
“Mau
disedekahkan, Neng.. Mudah-mudahan jadi pahala buat si Abah.” Ujar kerabat Abah
Aep ketika aku bertanya akan diapakan barang-barang itu.
Ternyata banyak
sekali barang-barang bagus yang menghuni
lemari Abah selama ini. Ironisnya semua barang
itu tak pernah dipakai Abah. Pada akhirnya barang-barang itu seolah
menjadi rezeki yang tersia-sia.
Ah, sayang
sekali. Seandainya barang-barang itu disedekahkan sendiri oleh Abah Aep semasa
hidupnya, tentu pahalanya akan menjadi bekal almarhum di kehidupan abadi.
Dua kejadian itu
membuat aku merenungi tentang arti rezeki. Rezeki atau ar-rizqu bisa diartikan sebagai bagian atau porsi dari pemberian Allah
kepada seorang hamba berupa apa saja yang bisa dimanfaatkan sebagai bagian atau
porsi yang dikhususkan untuknya. Rezeki dari Allah dapat diartikan juga segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya
oleh makhluk-Nya.
Dalam konteks
kehidupan di dunia fana, rezeki adalah
segala sesuatu yang dimanfaatkan untuk memelihara kualitas hidup yang diberikan Allah Swt. Dalam konteks setelah kiamat,
rezeki adalah surga, yaitu sesuatu yang bermanfaat bagi kita sebagai pembalasan
dari perbuatan, pekerjaan, tingkah laku dan karya kita selama hidup di dunia.
Apakah yang harus dilakukan bila memiliki barang-barang bagus yang hanya tersimpan di lemari? Disayang-sayang lalu dibiarkan di lemari hingga rusak dan lapuk seperti yang dilakukan Milla? Disimpan sampai ajal menjemput seperti yang dilakukan almarhum Abah Aep? Sungguh sayang...
Idealnya rezeki
itu untuk dinikmati. Di dunia fana, rezeki berupa baju, sepatu, atau barang-barang
lain dinikmati dengan cara dipakai
sesuai fungsinya. Tapi manusia sering tak sadar tengah diuji kemurahan hatinya. Berdalih sayang pada barang baru atau barang mahal, tanpa disadari muncul sifat pelit pada orang lain bahkan pada dirinya sendiri.
Barang-barang
yang berlebih itu sesungguhnya bisa
dijadikan investasi akhirat. Kelak pahalanya menjadi rezeki di alam baqa atau
alam yang kekal. Bagaimana caranya? Ya disedekahkan pada orang yang
membutuhkan. Itu jauh lebih menguntungkan daripada membiarkan barang-barang kesayangan menjadi mubazir atau sia-sia. Sejatinya, apa yang disedekahkan manusia merupakan rezeki buat dirinya sendiri kelak di kehidupan abadi. Tak ada ruginya. Kalau ada rasa berat untuk memberikan barang-barang itu pada orang lain, disitulah letak ujianNya.
Alangkah ruginya bila benda-benda
yang semestinya bisa mendatangkan berkah pahala tak sempat dimanfaatkan buat diri sendiri atau untuk disedekahkan, karena
pemiliknya lebih dulu dijemput malaikat
maut...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar