Saat itu tahun 2005. Aku dan suamiku,
si Akang, menikmati pagi yang cerah sambil menatap kecantikan Pagar Alam. Pagar
Alam adalah sebuah wilayah dataran tinggi di propinsi Sumatera Selatan yang berjarak 298
km dari kota Palembang. Cantiknya Pagar Alam berwujud kebun teh hijau terbentang dengan latar gunung
Dempo yang berselaput kabut tipis. Vila-vila cantik bergaya tradisional demikian serasi dengan alam. Kecantikan yang membuai mata. Kami diam terbius indahnya alam.
“Enak ya, Neng kalau kita punya rumah
dekat gunung seperti ini. Akang suka pemandangan gunung. Tapi kapan bisa
tinggal di dekat gunung? Kalau kita tinggal di sini, ya tidak mungkin. Tempat
ini terlalu jauh dari lokasi kerja Akang. Kemungkinan lain kita bisa bangun
rumah di Kuningan Jawa Barat, di kaki gunung Ciremai kampungnya Babe. Tapi itu
juga jauh dari lokasi kerja. Repot kalau kita paksakan “
“Neng juga suka alam pegunungan.
Sejuk. Bikin hati tentram. Mungkin kita harus panjang sabar. Kemungkinan kalau
Akang sudah pensiun baru kita bisa tinggal dekat gunung. Lucu ya. Kita akan
seperti tokoh dalam cerita anak-anak.
Sepasang kakek-nenek yang tinggal di kaki gunung. “ Sahutku sambil terkekeh.
Perkiraan manusia tak
sejalan dengan skenario Tuhan. Itu karena manusia tak mampu menyibak misteri
kehendakNya.
Tahun 2007, keadaan di perusahaan
tempat suami bekerja mulai tak nyaman. Akang merasa sulit menjalankan kebijakan yang
bertentangan dengan hati nuraninya. Dia ingin suasana kerja baru yang lebih nyaman dan banyak tantangan. Hingga tahun 2008 setelah melalui rangkaian
doa dan pertimbangan panjang, dia memutuskan untuk meninggalkan perusahaan itu
di saat kariernya kian meroket. Apa
boleh buat, hati nurani tak bisa dipungkiri. Di saat genting, sebuah tawaran
untuk pindah ke perusahaan lain menghampirinya. Sungguh pertolonganNya hadir di
saat yang tepat.
Meskipun perusahaan yang lama
berusaha menahannya, tapi keputusan telah diambil. Akang hijrah ke perusahaan
baru, yang juga bergerak dibidang minyak dan gas bumi.
“Kami beri waktu satu tahun. Tahun
2009 keluarga Pak Sutedja sudah harus bertempat tinggal di Jabodetabek. Tidak
boleh diluar itu. “ Demikianlah ketentuan dari perusahaan yang baru.
Setelah menunaikan ibadah haji tahun
2008, kami harus bergegas pindah dari Palembang ke wilayah Jabodetabek.
Selanjutnya, kami seperti setrikaan.
Bolak-balik dari Palembang menelusuri Jakarta, Bintaro, Bumi Serpong Damai,
Cibubur dan wilayah lain yang kira-kira nyaman untuk ditinggali. Di saat waktu kian menyempit, penelusuran
kami tiba di Bogor.
Salah seorang teman Akang menyarankan
kami melihat sebuah perumahan di Bogor. Ketika akhirnya aku bisa mengunjungi
tempat itu, aku langsung suka. Udara Bogor sejuk dan orang-orangnya ramah. Lalu
mulailah pencarian kami berburu rumah di Bogor.
Satu hari tersisa dari batas akhir
kunjungan kami ke Bogor. Aku sudah mulai putus asa. Tak mudah mencari rumah
yang tepat. Mencari rumah ibarat mencari
jodoh. Harus ada chemistry yang
terbangun antara kami dengan rumah idaman itu.
Hingga sore menjelang maghrib, kami
tiba di depan sebuah rumah. Penampilan rumah itu membuat aku ragu. Ini masalah kemampuan kami membelinya. Jangan-jangan kami
tak sanggup membayar harga rumah ini.
“Coba saja tanya, siapa tahu harganya masuk akal.” Nada suara Akang terdengar tak yakin.
Jatuh cinta. Itulah ternyata
chemistry yang terbangun antara aku dan rumah itu. Hati nyaman dan tentram
berada di dalamnya. Harga rumah itu pun
ternyata masih masuk akal, masih
terjangkau dalam perhitunganku.
Malam itu aku tak bisa tidur.
Kelakuanku persis anak muda yang sedang
jatuh cinta. Setiap sudut rumah itu terbayang-bayang sepanjang malam. Rasanya aku akan merana bila tak bisa memilikinya.
Rencana pun disusun. Dengan uang tabunganku ditambah menjual salah
satu rumah di Palembang kami bisa membayar harga rumah idaman itu. Rumah di
Palembang sudah akan dibeli orang. Orang itu bahkan sudah membayar uang
muka sejumlah 100 juta rupiah. Tampaknya
semua akan berjalan lancar dan mudah.
Tapi perjuangan meraih rumah idaman tak
semudah itu. Tiba-tiba orang yang berniat membeli rumah di Palembang
mengurungkan niatnya. Aku dan Akang tak sampai hati memotong uang yang telah
ditransfer ke rekeningku. Kemudian kami mengembalikan semua uang muka itu.
Kini kami menghadapi masalah besar.
Tak jadi menjual rumah artinya kami kekurangan dana untuk membayar rumah
idaman. Jumlah kekurangan itu tidak sedikit. Mau bagaimana? Pinjam di bank?
Pinjam ke teman-teman? Tak semudah itu meminjam uang dalam jumlah besar. Kalau
pinjam ke bank kami bakal terkena bunga bank yang memberatkan.
Hatiku pedih. Cintaku pada rumah idaman di Bogor tampaknya harus layu sebelum berkembang. Aku
tak tega memaksa Akang meneruskan rencana membeli rumah itu. Kenyataan pahit yang harus kutelan adalah kami
tak sanggup membayar. Titik. Solusinya adalah mencari rumah lain yang harganya
lebih murah.
Siang itu setelah meeting di
kantornya, salah seorang atasan Akang menanyakan kesiapan kami pindah.
“Bagaimana, Pak? Kapan akan pindah ke
Jabodetabek? Sudah dapat rumahnya? “ Tanya sang atasan.
Mulanya Akang ragu mengutarakan
permasalahan kami, tapi sang atasan meyakinkannya. Akhirnya mengalirlah curhat
Akang.
“Oh, begitu masalahnya. Baiklah, saya
usahakan nanti Pak Sutedja mendapat pinjaman
tanpa bunga dari perusahaan melalui
program kepemilikan rumah. Saya usahakan secepatnya. “
Kata-kata sang atasan bagaikan oase
di padang tandus. Seperti sebuah
keajaiban. Bagaimana tak takjub, Akang baru saja diterima di perusahaan itu. Baru
beberapa bulan. Padahal kalau merunut dari peraturan setidaknya karyawan baru
bisa memperoleh pinjaman kepemilikan rumah setelah bekerja selama beberapa
tahun. Masya Allah...
Alhamdulillah... akhirnya semua bisa
berjalan lancar. Bulan Februari 2009, rumah itu resmi menjadi milik kami.
Mataku basah. Hatiku dibanjiri rasa syukur tiada tara kala menatap pemandangan melalui balkon rumah
idamanku. Ingatanku kembali pada untaian kata yang terucap di tahun 2005, di
kaki gunung Dempo Pagar Alam.
“Nggak nyangka ya, Neng... Ternyata ucapan
Akang diijabahNya. Empat tahun saja jarak waktunya. Dia bukan saja mengabulkan
harapan kita ingin tinggal di dekat gunung, tapi Dia juga memilihkan lokasi
yang tepat buat kita. Bukan di Pagar Alam, bukan juga di Kuningan. Tapi di
sini, di kaki gunung Salak di Bogor. Jarak yang tak terlalu jauh untuk di
jangkau dari kantor Akang di Jakarta. “
Ucap Akang penuh haru.
Ya Allah. Ternyata kata adalah doa. Dan doa itu diijabahNya. Tiada yang tak mungkin bila Dia membukakan jalan.
Sebuah kata bijak memenuhi relung
pikiranku. “ Berdoalah! Bukan hanya untuk hajat kita dipenuhi, tetapi karena
banyak yang perlu kita syukuri.”
Kata adalah doa, bisa terwujud karena kemurahanNya. Mari kita berkata-kata yang baik, sehingga yang terwujud adalah hal-hal yang baik.
Kata adalah doa, bisa terwujud karena kemurahanNya. Mari kita berkata-kata yang baik, sehingga yang terwujud adalah hal-hal yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar