“Waktu
kecil, si Tedja itu paling banyak
maunya. Berbeda dengan anak Ibu yang
lain. “ Suara ibu mertuaku sedikit serak. Dia berdeham sebentar lalu
melanjutkan bicaranya.
“Kalau makan maunya yang enak-enak. Paling
suka protes dengan menu yang biasa Ibu masak. Maunya dibuatkan masakan “bule”.
Sandwich, atau apalah itu namanya. Ya mana bisalah. Ibu kan dulu harus cermat
mengatur keuangan. Kalau menuruti semua keinginannya, bisa jeblok pengeluaran.”
Tubuh Ibu terangguk-angguk seirama kursi goyang jati kesayangannya. Kursi itu
dari Jepara, hadiah dari suamiku, Sutedja Eddy Saputra, yang dipanggil Ibu dengan
sebutan kesayangan “ si Tedja”.
Duduk dan mengobrol berdua Ibu di ruang tengah rumahnya
seringkali aku lakukan kala mudik ke Palembang. Ibu paling senang menceritakan
kisah-kisah masa lalunya. Masa kecil Akang, begitulah aku memanggil suamiku,
adalah yang paling banyak diceritakannya.
“Dulu
waktu dia masih di taman kanak-kanak, hampir setiap hari Ibu buatkan terigu
goreng untuk bekal sekolahnya. Pilihan rasanya hanya dua, pake gula pasir atau
pakai garam.” Ibu terkekeh, mengenang terigu goreng buatannya dengan dua rasa,
versi manis dan versi gurih.
“Seringkali
bekalnya tidak dimakan. Ya, tahu sendiri kan bagaimana rasa terigu goreng? Tedja
protes keras. Minta dibuatkan bolu, dadar gulung, kroket atau kue lapis seperti
bekal teman-temannya. Bukannya Ibu tidak bisa membuat makanan itu, selain dana
yang terbatas, Ibu tidak punya waktu. Jam 5 subuh Ibu harus berangkat mengajar.
Ibu bangun jam 4 dini hari, lalu masak untuk sarapan dan makan siang, mencuci
piring dan bersih-bersih rumah. Mengurus rumah, suami dan 4 orang anak semua
Ibu lakukan sendiri. Ibu dan Ayah tak punya cukup uang untuk menggaji pembantu.
Gaji Ayah sebagai pekerja biasa hanya cukup untuk makan. Jadi Ibu harus bekerja
supaya anak-anak bisa sekolah. Kalau si Tedja mulai protes lagi masalah terigu
goreng itu, Ibu bilang padanya kalau Ibu mendoakannya. Mudah-mudahan di masa depannya dia bisa makan makanan enak
apa saja yang dia mau.” Ibu mertuaku terdiam sejenak. Matanya menerawang.
Dalam
hati aku mengagumi perempuan tangguh dihadapanku. Di masa lalu, sekitar tahun
1975, hidup tidaklah mudah baginya. Jam 5
dini hari Ibu sudah berangkat menempuh jarak 60 Km. Jarak itu ditempuh selama 2
jam dengan 3 kali berganti kendaraan umum. Menjelang jam 7 barulah dia sampai
di sekolah dasar tempatnya mengajar Matematika. Selesai mengajar, Ibu belanja sayuran ke
pasar. Dia tiba kembali di rumah jam 4 sore. Hanya
istirahat selama setengah jam saja, lalu pekerjaannya berlanjut. Ibu memasak
untuk makan malam, mencuci pakaian, menyeterika dan kemudian menyiapkan
bahan-bahan untuk mengajar besok. Begitulah kegiatannya setiap hari selama
bertahun-tahun.
“Ibu
terpaksa sangat ketat mengatur pengeluaran. Dewi tahu kan, gaji guru SD itu
kecil?” Ibu melontarkan pertanyaan retoris seperti meminta persetujuanku.
“Iya, Bu.”Jawabku singkat, lalu aku diam menanti Ibu melanjutkan kisahnya.
“Rupiah
demi Rupiah harus diperhitungkan hanya untuk hal-hal yang sangat penting,
seperti biaya sekolah. Itu prioritas
utama. Ibu ingin anak-anak memperoleh pendidikan terbaik, sehingga kehidupannya
jauh lebih baik dari Ibu dan Ayah . Cukuplah Ibu dan Ayah saja yang hidup susah.
Harapan Ibu, anak-anak kelak bisa memberi kehidupan yang layak buat
keluarganya.” Ibu merebahkan kepalanya di sandaran kursi goyang. Tangannya
memilin-milin ujung daster yang dikenakannya.
“Bukan Tedja namanya kalo tidak banyak
keinginan. Tidak bosan-bosannya dia merayu Ibu kalau ingin dibelikan sesuatu.
Tapi kebanyakan permintaanya Ibu tolak dengan tegas. Pokoknya kalau bukan untuk
kepentingan sekolah, jangan harap bisa terlaksana.”
Sudah bisa kubayangkan bagaimana tampang Akang bila permintaanya ditolak Ibu. Hihihi... pasti lucu sekali.
Sudah bisa kubayangkan bagaimana tampang Akang bila permintaanya ditolak Ibu. Hihihi... pasti lucu sekali.
“Hayoo... lagi ngegosip ya? Pasti Neng lagi
tanya-tanya tentang Akang kan? Memang Akang ini menggemaskan, Neng. Suka bikin
penasaran. Mengaku sajalah kalo Neng itu penggemar berat Akang!” Tiba-tiba
Akang muncul di pintu samping, menggodaku dengan seringai lebar di bibirnya.
“Ih
apaan sih! Siapa yang ngegosip? Ini kisah nyata! Ibu cerita tentang kelakuan
Akang yang antik waktu kecil. Lagian Akang tuh yang penggemar setia Neng. Neng
sih biasa saja..” Balasku sambil meleletkan lidah.
Pandanganku kembali beralih ke Ibu yang tersenyum-senyum dibuai kursi goyang.
Pandanganku kembali beralih ke Ibu yang tersenyum-senyum dibuai kursi goyang.
Sebuah
mobil sedan berwarna krem metalik memasuki halaman rumah, lalu diparkir masuk
garasi. Ayah mertuaku turun, menutup pintu garasi dan melangkah ke dalam rumah.
“Wah,
lagi ngobrol apa ini? “ Tanyanya ketika melihat kami. Babe, begitulah aku
memanggil Ayah mertuaku, menyodorkan sebuah bungkusan padaku.
“Apa
ini, Be? “ Aku mengambil bungkusan itu. Terasa hangat ketika kupegang.
“Pisang
goreng.”Jawab Babe singkat.
Aku
bergegas ke dapur, membuka bungkusan dan
meletakkan potongan-potongan pisang goreng hangat itu di sebuah piring lebar.
Piring itu kubawa ke ruang tengah..
“Ini
Bu, pisang gorengnya.” Kusodorkan piring lebar itu ke hadapan Ibu. Tangan Ibu terjulur menelusuri piring, sedikit meraba,
lalu Ibu meraih sebuah pisang goreng dan
mengigitnya pelan-pelan.
Hatiku
getir memandang wajah Ibu. Tubuh Ibu memang sehat. Gula darah, asam urat, dan
tekanan darahnya normal, tapi matanya...
Sudah beberapa tahun belakangan ini Ibu tidak mampu melihat dengan baik. Tepatnya, hampir buta. Kalau diperhitungkan dengan presentasi, penglihatan Ibu hanya tinggal 5 persen saja. Dunia bagi Ibu bagaikan siluet gelap tak ubahnya gambar klisi foto zaman dulu. Syaraf-syaraf matanya mengalami gangguan. Terasa sakit bila berhadapan dengan cahaya. Makin terang cahaya makin sakit matanya. Bukannya tak pernah diobati. Sudah tak terhitung usaha menyembuhkan penyakitnya. Tapi dokter-dokter itu angkat tangan. Menyerah.
Sudah beberapa tahun belakangan ini Ibu tidak mampu melihat dengan baik. Tepatnya, hampir buta. Kalau diperhitungkan dengan presentasi, penglihatan Ibu hanya tinggal 5 persen saja. Dunia bagi Ibu bagaikan siluet gelap tak ubahnya gambar klisi foto zaman dulu. Syaraf-syaraf matanya mengalami gangguan. Terasa sakit bila berhadapan dengan cahaya. Makin terang cahaya makin sakit matanya. Bukannya tak pernah diobati. Sudah tak terhitung usaha menyembuhkan penyakitnya. Tapi dokter-dokter itu angkat tangan. Menyerah.
“Tedja
itu paling keras kepala.” Babe menggelengkan kepalanya mengenang masa lalu.“
Dalam banyak hal dia teguh menjalankan pendiriannya, tak perduli pendapat orang.
Tapi Alhamdulillah, dia masih mau menuruti kehendak Babe, meskipun dengan
setengah hati. Coba bayangkan, tamat SMA dengan yakinnya si Tedja mau mendaftar
kerja jadi satpam, Wi!” Babe menatapku
lekat-lekat, lalu melanjutkan bicaranya.
“Entah di mana pikirannya waktu itu. Susah payah Ibu dan Babe berjuang kerja
keras membangun masa depan yang lebih cerah untuknya. Lalu dengan entengnya
dia bilang mau kerja jadi satpam. Apa jadinya kalau Babe biarkan keinginannya
itu. Bukan bermaksud merendahkan profesi satpam, tapi kenyataannya penghasilan
satpam itu jauh lebih kecil dibandingkan penghasilan Ibu dan Babe. Bukan
seperti itu masa depan yang kami harapkan buat Tedja. Babe marah besar waktu
itu.” Babe sedikit terlarut dalam kenangannya. Dia menghelas nafas sebelum
melanjutkan kisahnya.
“Lalu Babe mengurus sendiri pendaftaran Tedja untuk ikut
ujian masuk perguruan tinggi negri. Babe yang mengantri ambil formulir, mengisi data-data, memilihkan jurusan teknik
mesin serta melengkapi segala
persyaratannya. Si Tedja hanya tinggal menandatangani formulir itu dan mengikuti
ujian masuk. Hati Babe dan Ibu baru lega waktu Tedja dinyatakan lulus di
Universitas Sriwijaya, jurusan teknik mesin sesuai harapan Babe. Untunglah dia
mau membatalkan niatnya jadi satpam.”
Akang
yang selonjoran di sofa tak jauh dariku cengengesan mendengar kisah hidupnya
“di putar ulang”.
“Wi,
coba lihat di kamar itu.” Telunjuk Ibu terarah ke sebuah kamar di sisi kanan.
Ibu yang hampir tak dapat melihat sudah hafal letak-letak kamar dan
barang-barang di rumahnya. Semua akan berjalan lancar bila tak ada barang yang
diubah letaknya. Hanya di rumah ini Ibu merasa nyaman. Bila dia berada ditempat
lain, dia akan mengalami kesulitan. Berjalan harus dituntun, kalau tidak dia
bisa terjatuh atau menabrak
barang-barang.
“Itu dulu kamar Tedja. Dinding kamar itu penuh ditempelinya gambar macam-macam motor.
Motor yang besar-besar , berbagai warna dan ukuran, entah apa merknya Ibu tidak
mengerti. Ibu pernah marah karena dinding jadi kotor. Tapi Tedja berkeras,
katanya dia ingin punya motor seperti yang di gambar itu. Memang dia tidak
minta dibelikan, karna dia juga pasti
tahu kemampuan Ibu dan Ayah. Mengharapkan kami bisa membelikannya motor seperti
itu ibarat pepatah jauh panggang dari api. Siapa sangka ternyata keinginannya memiliki
motor-motor besar sekarang terwujud.” Senyum Ibu mengembang . Lalu dia mengunyah perlahan. Pisang goreng di tangannya
hampir habis.
“Tedja
itu perayu paling gigih. Dia menghasut Ibu untuk membeli motor bebek. Ya, motor
bebek adalah yang paling masuk akal bisa dibeli seorang guru SD seperti Ibu.
Alasannya untuk dipakai kuliah. Hah, pintar sekali dia berargumentasi!” Ibu
memasukkan potongan pisang goreng
terakhir ke mulutnya. Kursi goyangnya masih terangguk-angguk.
“Tuh,
Neng. Ibu saja mengakui kalau Akang ini pintar. “ Serobot Akang. Tangan
isengnya menarik-narik ujung jilbabku.
“Diam
kenapa,sih. bawel!” Balasku sebal. Ku hadiahkan cubitan kecil di punggung
tangannya hingga dia terpekik lirih, meski masih sambil cengengesan.
Ibu kembali berkata “Menurutnya motor bebek
bisa menunjang kegiatan kuliah, begitulah teori si Tedja. Lama-lama Ibu luluh
juga kena rayuannya. Akhirnya Ibu beli motor bebek tahun 1990, dengan cara
kredit, menyisihkan uang gaji Ibu.” .
“Hahaha...
Kreditnya 5 tahun, Neng. Karena Akang
yang minta belikan motor, jadi Akanglah
yang harus melakukan tugas rutin menyetor cicilan ke Bank BNI di Jl. Jendral Soedirman
sana. Setiap bulan selama 5 tahun Akang
menyambangi bank itu, sampai kenal sama petugas teller yang menerima
pembayarannya. Seorang perempuan muda, namanya Akiko.” Sambil bicara Akang
mengerling nakal ke arahku.
“Aiih,
jadi maksudnya apa? Mau bikin Neng cemburu? Sorry lah yaauu...” Balasku
tergelak.
“Lho,
jadi Neng tidak mau tahu, siapa cewek beruntung yang pertama kali dibonceng
naik motor itu?” Goda Akang.
Pluk!
Ku lemparkan bantal kursi dengan gemas ke arahnya.
Tawa
Akang makin membahana diiringi gelak tawa Ibu dan Babe.
“Si
Wati, Wi. Cewek yang beruntung itu.” Timpal Babe. Wati adalah adik iparku, adik
kandung Akang.
Ibu Mertuaku |
Kisah
pun berlanjut.
“Ibu
adalah manager keuangan yang hebat. Uang gajinya yang sedikit itu bisa
diaturnya untuk membiayai sekolah 4 anak. Sementara uang gaji Ayah untuk makan
dan biaya sehari-hari. Dia punya kiat menabung uang yang sedikit-sedikit itu sehingga bisa membiayai sekolah sampai
sarjana, bahkan untuk membangun rumah.” Ujar Babe. Mendengar pujian Babe, Ibu
mertuaku tersenyum.
“Wah,
uang yang sedikit bisa untuk membangun rumah sebesar ini ? Bagaimana caranya,
Bu?” Rasa ingin tahu menggelitikku.
Ibu
terkekeh mendengar pertanyaanku. Rumah tua milik mertuaku lumayan besar,
terdiri dari 2 lantai, 5 kamar tidur, 2 kamar mandi, 2 ruang tamu, ruang
komputer, ruang kerja di lantai 2, satu ruang keluarga dan dapur.
“Uang yang sedikit itu, bila hanya disimpan
tak akan bisa menghasilkan apa-apa. Sambil berdoa memohon rezeki dari Allah SWT,
Ibu upayakan setiap bulannya selalu menyisihkan uang buat tabungan. Uang
tabungan itu dikumpulkan, lalu Ibu belikan
emas. Waktu itu harga emas masih relatif murah. Di Palembang, emas lebih
dikenal dalam satuan suku. Biasanya bentuknya berupa emas perhiasan. Satu suku
emas beratnya setara dengan 6,7 gram. Kalau tidak salah waktu itu satu suku emas harganya Rp. 750,-” Ibu
menarik nafas. Wajahnya tampak bersemangat membagikan rahasia pengelolaan
keuangan yang brilian pada aku, sang menantu.
“Harga
emas merambat naik, lalu naik sangat drastis. Bayangkan saja, dari harga
awalnya Rp. 750,-per suku emas, lalu merambat naik hingga suatu hari mencapai Rp. 3.000,-. !
Kenaikan harga yang hebat sekali. Empat kali lipat!” Ibu berseru sambil menggelengkan kepalanya, takjub oleh peristiwa di masa lalunya .
Aku
memandang wajah Ibu tak berkedip akibat tersengat rasa kagum. Hebat sekali Ibu
sudah mengerti investasi emas sejak dulu. Dari mana datangnya ide menabung emas
kalau bukan dari petunjuk Allah. Kerja keras, kesabaran,keteguhan dan doa
tampaknya menjadi senjata Ibu menghadapi kesulitan. Dan semua telah terbayar
lunas.
“Alhamdulillah. Rumah
besar bisa dibangun, dan sekolah anak-anak bisa Ibu biayai sampai sarjana.
Empat anak sekarang sudah memberi cucu-cucu yang sehat. Hidup mereka sudah
mapan, sejahtera dan berbahagia dengan keluarga masing-masing. Ibu tak keberatan Allah mengambil penglihatan Ibu karena penyakit syaraf mata ini. Tak apa-apa. Toh sebagian besar doa Ibu sudah dikabulkanNya. Nikmat Allah sungguh berlimpah. “ Ucap Ibu penuh rasa syukur.
Ingin
rasanya aku memeluk Ibu, berterimakasih untuk semua tetes keringat, jerih payah
dan perjuangan demi masa depan anak-anaknya. Kehidupan nyaman yang sekarang aku
nikmati bersama Akang dan anak-anakku tentu saja merupakan buah dari ikhtiar
Ibu dan Ayah mertuaku. Merekalah yang
membekali Akang dengan pendidikan sebagai modal utama memperoleh
penghidupan.
Aku
memandangi Ibu sambil tersenyum. Ibu adalah seorang yang sangat teguh memegang
komitmen untuk menjaga skala prioritas nomor 1 untuk pendidikan anak-anaknya. Di
balik sosok yang sederhana, Ibu mertuaku punya pemikiran yang sama sekali tidak
sederhana. Tanpa dia sadari, dia adalah seorang perencana yang hebat. Dia mampu
membuat estimasi biaya sekolah dan kuliah untuk beberapa tahun kedepan. Dia mampu menabung dengan strategi jitu hingga
nilai tabungannya tidak merosot tergerus inflasi. Siapa sangka uang yang
sedikit bisa menjadi bukit? Matematika Allah sungguh berbeda dengan perhitungan
manusia, bahkan perhitungan seorang guru Matematika seperti Ibu. Allah Maha Besar!
Masha Allah, luar biasa ya ketebahan dan keteguhan ibu-ibu jaman dulu mba Dewi.
BalasHapus@Titi Alfa Khairia : iya Mbak ...semoga semangat ketabahan dan keteguhannya bisa kita contoh ya
Hapussalut ya dengan perjuangan orang tua zaman dulu, perjuangan yg tidak mudah, tapi mampu dilalui dengan ketabahan, kesabaran, dan ketekunan Hebat.. Luar biasa.. Karena perjuangan yg tak kenal lelah, pasti Allah akan selalu bantu (kagum). Salam kenal ya mbak.. :-)
BalasHapus@Ristin :terimakasih Mbak Ristin. Insya Allah salamnya disampaikan .
Hapus