Libur telah tiba. Bagaimanapun liburan adalah momen menyenangkan
baik bagi anak-anak maupun orang tuanya. Meski anak-anakku menyimpan sedikit
kekecewaan akibat rencana liburan ke negri orang yang terpaksa ditunda karena
suatu hal, tapi kedatangan sepupu-sepupu dan kakeknya dari Palembang untuk
liburan di Bogor bisa mengobati perasaan mereka.
Ayah mertua datang bersama 3
keponakanku, Rifqi, Nathan dan Ilham. Anak-anakku
Anin, Rafif dan Dea menyambut mereka dengan gembira. Rumah mendadak lebih ramai
diwarnai celoteh, tawa, teriakan dan derai canda anak-anak.
Aku masak lebih banyak dari biasanya.
Anak-anak masih dalam masa pertumbuhan, sehingga butuh asupan makanan yang
lebih. Bukan cuma makanan pokok tapi juga cemilan.
Hampir setiap hari mereka berenang di
club house yang jaraknya hanya beberapa langkah saja dari rumah.
Rifqi, keponakanku yang paling besar
kini sudah duduk di bangku SMA kelas 3. Dia sudah bisa diandalkan untuk menjaga
sepupu-sepupunya bila mereka berenang kala aku tak bisa ikut mengawasi di kolam renang.
Rifqi, Ilham dan Nathan juga sesekali bermain
layangan. Mau tahu siapa yang memimpin rombongan itu? Tak lain anak gadisku yang tomboi, Dea. Anak perempuan kelas 7 SMP itu tak sungkan memerintah
sepupunya untuk mengulur benang panjang-panjang sementara dia berusaha
menerbangkan layang-layangnya.
Anak-anak memilih tidur beramai-ramai
dalam satu kamar. Kasur-kasur digelar di
lantai. Rafif, Ilham dan Nathan tidur dengan berpelukan. Tak jarang mereka
ngobrol dan bercanda hingga larut malam.
Di akhir minggu aku membawa mereka
nonton di mall. Lalu makan masakan Jepang kesenangan anak-anakku dan tampaknya kesukaan
itu menular pada sepupu-sepupunya. Senang melihat mereka semua makan dengan
lahapnya, termasuk Ilham, keponakanku yang paling kurus dan susah makan.
Biasanya Ilham susah disuruh makan. Dia hanya menyantap
makanan yang sangat sedikit. Tak jarang semua makanan yang kutawarkan dibalas
dengan gelengan kepala. Bahkan ketika aku tanya makanan apa yang dia mau, dia
pun tak tahu. Tapi ketika menyantap
sushi dan sashimi, dia lahap dan antusias. Baru sekali itu aku melihatnya makan
dengan penuh gairah.
Lalu, dua keponakanku Rani dan Opan,
anak adik suamiku yang bungsu ikut bergabung.
Demikian juga dengan ibunya. Lalu kakak iparku pun ikut bergabung. Seru sekali
suasana rumah di liburan kali ini.
Hari itu aku dan iparku mendampingi anak-anak berenang di
club house. Tak lama mertua dan suamiku hadir juga. Club house pun menjadi
ajang tempat berkumpul keluarga. Betapa
senang rasanya menghabiskan waktu bersama orang-orang tercinta.
Di penghujung liburan, anak-anak
kubawa ke The Jungle Waterpark. Wahana bermain air ini jaraknya hanya beberapa
ratus meter saja dari rumahku.
Wajah ceria anak-anak terlihat makin sumringah kala menikmati wahana “wave”
di The Jungle Waterpark. Di kolam itu, setiap satu jam, akan dinyalakan sebuah
alat yang bisa membuat air kolam bergelombang laksana ombak di laut yang
menghempas pantai. Aku yang duduk
memperhatikan gerak-gerik anak-anak ikut
terlarut dalam kegembiraan.
Rafif biasanya takut air, tapi kini lebih berani
karena kedekatannya dengan Rifqi. Sejak beberapa hari terakhir saat mereka
berenang di club house, dengan sabar Rifqi menggendong Rafif dipundaknya
sehingga anak bungsuku itu berani terjun
ke air.
Di kolam “wave” itu, keberanian Rafif
makin bertambah. Berdua dengan Rifqi, dia dengan riang menantang ombak. Mereka
berdua terangguk-angguk diterjang
gelombang di atas ban besar berwarna kuning. Terlihat wajah Rafif begitu ceria.
Nathan dan Opan pun demikian.
Meskipun sering terjatuh ke air, Nathan terus berusaha naik kembali ke atas
ban. Opan berusaha membantu Nathan dengan menarik tubuh sepupunya. Meskipun akibatnya mereka berdua malah terjungkal, tapi wajah anak-anak itu berhias tawa.
Dea, Rani dan Ilham menikmati deraan ombak tanpa ban. Mereka bertiga selalu berusaha berdekatan untuk saling membantu.
Terlihat anak-anaku sangat dekat
dengan sepupu-sepupunya. Tampaknya telah tumbuh ikatan batin yang kuat diantara
mereka, seperti juga ikatan batin yang saling mengikat para orang tuanya.
Kesempatan berkumpul seperti ini
termasuk langka. Rani dan Opan tak bisa setiap tahun bertemu dengan keluarga
besar dan sepupu-sepupunya. Ayahnya yang bertugas sebagai hakim seringkali
berpindah tugas ke tempat yang jauh. Saat ini ayah mereka bertugas di Nusa
Tenggara Barat, tepatnya di Sumbawa. Sangat beruntung di penghujung tahun ini
mereka bisa berkumpul dengan saudara-saudara.
Pagi itu semua bersiap-siap pulang.
Mertua, kakak ipar, Rifqi, Nathan, Ilham dan Dea akan berangkat ke Palembang.
Sementara adik iparku bersama anak-anaknya, Rani dan Opan akan kembali ke
Jakarta untuk bersiap pulang ke Sumbawa.
Canda tawa di meja makan saat sarapan
pagi itu digetarkan oleh sebuah pertanyaan.
“Kapan kita bisa berkumpul lagi?”
Suara sendu yang keluar dari mulut Rani
itu membuat sifat cengengku kumat. Keponakanku yang satu ini hatinya sangat lembut, mudah tersentuh. Dan
dia sangat penyayang. Kalau saja aku tak cepat-cepat berusaha menetralisir
perasaan, tentu air mataku sudah berlinang-linang.
Aku melihat kilat bahagia di mata
ayah mertuaku. Aku tahu dia senang melihat cucu-cucunya rukun. Tentu dalam
hatinya tumbuh sebuah harapan bahwa di
masa depan cucu-cucunya akan tetap saling sayang, saling mendukung, saling membantu
dan menguatkan dalam menjalani kehidupan.
Bagaimanapun juga benih ikatan batin itu telah ditanamkan
pada 4 bersaudara, orangtua dari anak-anak ini.
Benih itu dipupuk oleh ayah dan ibu mertuaku sejak awal, hingga sekarang telah berkembang mengikat
keturunan mereka.
Saat berkumpul bersama keluarga
merupakan masa merekam kebersamaan yang indah dalam sel-sel memori otak. Kelak
memori itu menjalin kedekatan sebagai saudara sedarah yang terikat pertalian
batin. Sungguh indah kasih sayang yang menyatukan. Meskipun jarak terbentang
memisahkan secara fisik tapi kedekatan hati tetap terbangun.
Ada satu hal yang kuyakini dalam
hati. Kerukunan antar saudara itu berkah yang tak ternilai harganya. Alhamdulillah....