Laman

Rabu, 26 November 2014

Mari Sesekali Letakkan Kaki di Sepatu Orang Lain


Pagi yang sejuk. Dengan penuh semangat kuletakkan lasagna buatanku di tiga buah piring, lalu kusodorkan kehadapan  anak-anakku. 


Perbincangan di meja makan itu diwarnai wajah cemberut Anin.

"Ih.. Males banget sekolah!" Ujarnya sambil menyuap sepotong kecil lasagna. Bibir anak gadis kelas 10 SMA itu manyun.

Ucapan Anin langsung mempengaruhi adiknya, Dea. 

"Iya, ya.Bisa nggak sih kayak kemarin. Libur saja." Anak perempuan kelas 7 SMP itu menyahut dengan wajah yang sama keruhnya.

Si bungsu Rafif  tampaknya tak mau ketinggalan. 

 "Afif juga gak mau sekolah ah!" Serunya.

Wah, bukan main. Emosi itu menular.

Kalau menuruti emosi, rasanya saat itu aku ingin ngomel panjang pendek yang bunyinya kira-kira begini,

“Kalian itu harusnya bersyukur! Kalian beruntung bisa sekolah. Banyak anak-anak lain ingin sekolah tapi tidak ada biaya, bla…bla..bla…”

Tapi itu cara primitif . Anak-anak yang sedang mengalami kondisi emosi tak memberdayakan, kalau disuapi nasehat model begitu, reaksinya biasanya malah menjadi marah, kesal, merasa tak dimengerti.

Maka aku memilih menggunakan cara menasehati yang lebih nyaman. Dengan menggunakan metafora, memainkan visualisasi, menciptakan lukisan atau gambar  berdasarkan persamaan atau perbandingan. Tujuanku adalah untuk   menanamkan belief atau keyakinan, mensyukuri nikmat yang dimiliki anak-anakku.

 "Sekarang coba kita main game. Caranya gampang. Kita berkhayal, yuk!" Dengan memasang wajah tenang aku menanggapi celoteh anak-anakku. Kuhirup teh hijau hangat sebelum melanjutkan bicara.

"Coba bayangkan.  Anin, Dea, Rafif sedang berdiri di pinggir jalan. Baju kalian kotor, lusuh, butut. Tubuh kalian bau, belum mandi, lama tidak terbasuh air dan sabun. Di tangan kalian tergenggam karung goni busuk, penuh barang-barang bekas hasil memungut di tong sampah. Perut lapar, melilit-lilit, sampai gemetaran, keluar keringat dingin. Kaki tanpa alas, belepotan tanah. Betis pegal, dan tubuh kalian lelah. "


Aku mengucapkan kalimat itu dengan nada rendah, ritme perlahan, intonasi  naik turun, dengan tujuan mengarahkan mereka menciptakan visualisasi  atau gambar di kepala anak-anakku. Ketiga buah hatiku melongo. Kurasa mereka bingung menebak-nebak apa maksudku. Aku mengedarkan pandangan ke wajah-wajah bengong itu, lalu melanjutkan pembicaraan.

"Di seberang sana kalian melihat anak-anak berpakaian seragam sekolah. Ada anak laki-laki yang bajunya putih merah, anak perempuan berbaju putih biru, dan satu lagi anak perempuan memakai seragam putih abu-abu. Baju mereka bersih dan rapi. Wajah anak-anak itu cerah, secerah masa depan mereka. Semua anak itu berjalan dengan penuh semangat . Perut mereka kenyang.  Sudah sarapan lasagna buatan Mamanya. Anak-anak itu membawa tas ransel berisi buku-buku pelajaran, melangkah  dengan gagah menuju gedung sekolah. "

 Aku diam sejenak, membiarkan imajinasi  bermain dalam benak mereka.

"Nah, bagaimana rasanya, Nak? Bagaimana rasanya melihat anak-anak yang ceria itu? Kira-kira rasanya ingin ke sekolah nggak? "

Beberapa detik berlalu. Hening.

 "Bubar..bubar... !"Seru Anin sambil beranjak meninggalkan meja makan.

" Yuk, ah!" Sahut Dea. Dia mengikuti langkah Teteh-nya.

"Lho..lho.. mau kemana??" Tatapan mataku membuntuti  dua anak gadis yang buru-buru naik ke lantai atas.

"Ya mandilah!" Ujar Anin.

"Iya , Mama ini, pakai tanya pula.Takut telat ke sekolah nih!" Suara Dea  terdengar bernada kesal.

 " Ooo... " Senyum cengengesan mengembang di wajahku. Jari-jariku iseng mencubiti pipi gembil Rafif. Anak-laki-laki itu buru-buru menyuap potongan lasagna terakhirnya, lalu kabur ke kamar mandi.

Dalam hati aku berkata,
“Alhamdulillah, mereka tidak  malas lagi ke sekolah.Cihuy.”

Kadang-kadang kita perlu mengajak anak-anak melihat dunia dari sudut pandang orang lain, istilahnya kerennya " put our feet in other people's shoes " supaya mereka sadar betapa mereka adalah orang yang beruntung .




11 komentar:

  1. Terimakasih, menginspirasi Mba...

    BalasHapus
  2. Terimakasih, menginspirasi Mba...

    BalasHapus
  3. Sukaaa banget. Bisa ditiru mbak...

    BalasHapus
  4. @irina lukitasari : Sama-sama Mbak ..

    @Qudsi Falkhi : Terimakasih apresiasinya, Mbak.

    BalasHapus
  5. Anak-anak semakin besar, menasihatinya harus pinter supaya masuk ke alam pikiran mereka ya Mbak. Happy parenting Mbak...Ada rencana touring kemana lagi?

    BalasHapus
  6. Resep jitu yang patut ditiru :)

    BalasHapus
  7. inspiratif mba :D terima kasih

    BalasHapus
  8. wahhhh sangat bermanfaat bang infonya... makasih ya...

    BalasHapus
  9. Aku bakal pake cara ini kalo suatu saat anakku males2an k sekolah mba. Ato mungkin bisa dicoba kalo lg males makan -_-. Biar dia tau kalo dia msh sangat beruntung bisa makan 3x sehari.

    BalasHapus
  10. Harus butuh ketenangan yaa mb saat penyampaiannya. Kalau asal saja dilakukan pasti akan berbeda hasilnya.

    Salam kenal.

    BalasHapus