Pagi yang sejuk. Dengan penuh semangat kuletakkan lasagna
buatanku di tiga buah piring, lalu kusodorkan kehadapan
anak-anakku.
Perbincangan di meja makan itu diwarnai wajah cemberut Anin.
"Ih.. Males banget sekolah!" Ujarnya sambil menyuap
sepotong kecil lasagna. Bibir anak gadis kelas 10 SMA itu manyun.
Ucapan Anin langsung mempengaruhi adiknya, Dea.
"Iya, ya.Bisa nggak sih kayak kemarin. Libur saja."
Anak perempuan kelas 7 SMP itu menyahut dengan wajah yang sama keruhnya.
Si bungsu Rafif tampaknya tak mau ketinggalan.
"Afif juga gak mau sekolah ah!" Serunya.
Wah, bukan main. Emosi itu menular.
Kalau menuruti emosi, rasanya saat itu aku ingin ngomel
panjang pendek yang bunyinya kira-kira begini,
“Kalian itu harusnya bersyukur! Kalian beruntung bisa
sekolah. Banyak anak-anak lain ingin sekolah tapi tidak ada biaya,
bla…bla..bla…”
Tapi itu cara primitif . Anak-anak yang sedang mengalami
kondisi emosi tak memberdayakan, kalau disuapi nasehat model begitu, reaksinya
biasanya malah menjadi marah, kesal, merasa tak dimengerti.
Maka aku memilih menggunakan cara menasehati yang lebih
nyaman. Dengan menggunakan metafora, memainkan visualisasi, menciptakan lukisan
atau gambar berdasarkan persamaan atau
perbandingan. Tujuanku adalah untuk
menanamkan belief atau
keyakinan, mensyukuri nikmat yang dimiliki anak-anakku.
"Sekarang coba kita main game. Caranya gampang.
Kita berkhayal, yuk!" Dengan memasang wajah tenang aku menanggapi celoteh
anak-anakku. Kuhirup teh hijau hangat sebelum melanjutkan bicara.
"Coba bayangkan. Anin, Dea, Rafif sedang berdiri
di pinggir jalan. Baju kalian kotor, lusuh, butut. Tubuh kalian bau, belum
mandi, lama tidak terbasuh air dan sabun. Di tangan kalian tergenggam karung
goni busuk, penuh barang-barang bekas hasil memungut di tong sampah. Perut
lapar, melilit-lilit, sampai gemetaran, keluar keringat dingin. Kaki tanpa
alas, belepotan tanah. Betis pegal, dan tubuh kalian lelah. "
Aku mengucapkan kalimat itu dengan nada rendah, ritme
perlahan, intonasi naik turun, dengan
tujuan mengarahkan mereka menciptakan visualisasi atau gambar di kepala anak-anakku. Ketiga
buah hatiku melongo. Kurasa mereka bingung menebak-nebak apa maksudku. Aku
mengedarkan pandangan ke wajah-wajah bengong itu, lalu melanjutkan pembicaraan.
"Di seberang sana kalian melihat anak-anak berpakaian
seragam sekolah. Ada anak laki-laki yang bajunya putih merah, anak perempuan
berbaju putih biru, dan satu lagi anak perempuan memakai seragam putih abu-abu.
Baju mereka bersih dan rapi. Wajah anak-anak itu cerah, secerah masa depan
mereka. Semua anak itu berjalan dengan penuh semangat . Perut mereka
kenyang. Sudah sarapan lasagna buatan
Mamanya. Anak-anak itu membawa tas ransel berisi buku-buku pelajaran, melangkah
dengan gagah menuju gedung sekolah.
"
Aku diam sejenak, membiarkan imajinasi bermain
dalam benak mereka.
"Nah, bagaimana rasanya, Nak? Bagaimana rasanya melihat
anak-anak yang ceria itu? Kira-kira rasanya ingin ke sekolah nggak? "
Beberapa detik berlalu. Hening.
"Bubar..bubar... !"Seru Anin sambil beranjak
meninggalkan meja makan.
" Yuk, ah!" Sahut Dea. Dia mengikuti langkah
Teteh-nya.
"Lho..lho.. mau kemana??" Tatapan mataku membuntuti
dua anak gadis yang buru-buru naik ke lantai atas.
"Ya mandilah!" Ujar Anin.
"Iya , Mama ini, pakai tanya pula.Takut telat ke sekolah
nih!" Suara Dea terdengar bernada kesal.
" Ooo... " Senyum cengengesan mengembang di
wajahku. Jari-jariku iseng mencubiti pipi gembil Rafif. Anak-laki-laki itu
buru-buru menyuap potongan lasagna terakhirnya, lalu kabur ke kamar mandi.
Dalam hati aku berkata,
“Alhamdulillah, mereka tidak
malas lagi ke sekolah.Cihuy.”
Kadang-kadang kita perlu mengajak anak-anak melihat dunia
dari sudut pandang orang lain, istilahnya kerennya " put our feet in other
people's shoes " supaya mereka sadar betapa mereka adalah orang yang
beruntung .
Terimakasih, menginspirasi Mba...
BalasHapusTerimakasih, menginspirasi Mba...
BalasHapusSukaaa banget. Bisa ditiru mbak...
BalasHapus@irina lukitasari : Sama-sama Mbak ..
BalasHapus@Qudsi Falkhi : Terimakasih apresiasinya, Mbak.
Anak-anak semakin besar, menasihatinya harus pinter supaya masuk ke alam pikiran mereka ya Mbak. Happy parenting Mbak...Ada rencana touring kemana lagi?
BalasHapusResep jitu yang patut ditiru :)
BalasHapusinspiratif mba :D terima kasih
BalasHapuswahhhh sangat bermanfaat bang infonya... makasih ya...
BalasHapusAku bakal pake cara ini kalo suatu saat anakku males2an k sekolah mba. Ato mungkin bisa dicoba kalo lg males makan -_-. Biar dia tau kalo dia msh sangat beruntung bisa makan 3x sehari.
BalasHapusterima kasih tips nya mbak
BalasHapusHarus butuh ketenangan yaa mb saat penyampaiannya. Kalau asal saja dilakukan pasti akan berbeda hasilnya.
BalasHapusSalam kenal.