Mata Reva berbinar-binar.
Senyumnya mengembang ceria seolah dialah makhluk paling bahagia di dunia. Sambil
duduk di bangku besi, tatapannya menebar memandang langit biru cerah berhias
gumpalan putih berarak bagai kapas lembut.
Deretan pepohonan hijau seolah memagari rumah- rumah cantik yang berjejer di seberang sana. Sebuah kubah
bertabur keramik biru dengan tiga menara langsing berujung lancip mencuat di atas rimbun pepohonan. Tiga angsa
yang berenang-renang di tengah danau seolah bintang utama pada layar indah yang terbentang di hadapan gadis
itu, padahal tidak demikian.
Pusat perhatian Reva bukan pada
tiga unggas cantik berbulu putih , tapi pada sebuah dermaga mini sepi membisu di
seberang sana . Dermaga kayu bercat coklat bergaya
minimalis itu berpagar batang-batang kayu yang tersusun vertikal.
Dua buah tiang berwarna senada seolah
tertancap kokoh di lantai dermaga.
“Indah sekali. Aku suka tempat
ini, Raka. Ah, aku lapar. “ Desah Reva.
Raka merasa hatinya kelu. Ucapan
Reva yang bernada riang itu justru menusuk kalbunya. Dia bangkit menghampiri
kakaknya, mengangsurkan sebuah wadah plastik segi empat berisi roti dan
kue-kue. Reva menerima wadah itu, dan memakan isinya.
Raka kembali duduk agak jauh dari sang kakak.
“Sebentar lagi dia datang, Raka.
Dia pasti datang. “ Reva berucap lirih.
“Tentu saja.” Balas Raka. Matanya
mengawasi wajah Reva dengan perasaan campuk aduk.
“Kau tahu, Raka. Dion sangat
mencintaiku. Kemarin dia menulis surat cinta yang indah sekali. Apa kau ingin
membacanya?” Tanya Reva. Jemari kurusnya bergerak merogoh-rogoh saku mantel
merah jambu lalu mengeluarkan sebentuk kertas kumal yang terlipat.
“Tidak. Kau saja.” Ucap Raka
pendek.
Reva tersenyum.
“Baiklah.”
Gadis itu membuka lipatan surat
dengan riang. Kepalanya menunduk menekuri deretan huruf yang ditulis dengan
tinta hitam.
Dion, pemuda tampan pujaan hatinya , sangat pandai merangkai kata-kata indah yang membuai hati. Surat cintanya seakan membawa Reva pada dunia bertabur bunga.
Dion, pemuda tampan pujaan hatinya , sangat pandai merangkai kata-kata indah yang membuai hati. Surat cintanya seakan membawa Reva pada dunia bertabur bunga.
Raka melihat pipi Reva bersemu
merah. Sesaat kemudian gadis itu tersenyum. Senyum yang makin mengembang kemudian berubah menjadi airmata haru.
“Aku sungguh beruntung, Raka. Dion
benar-benar mencintaiku.” Gadis itu terisak-isak, mengusap butiran hangat yang tergenang di sudut – sudut matanya. Mata bening yang sudah mulai diwarnai keriput.
Lalu dia membalik lipatan kertas, membaca
lembar kedua surat itu. Kini sang gadis terkekeh-kekeh.
“Oh, Dion... kamu lucu sekali.”
Reva berkomentar sambil meneruskan menekuri kertas kumal di tangannya.
Dada Raka bergemuruh. Dia terus menatap Kakaknya. Raka sudah hafal adegan
terakhir prosesi pembacaan surat cinta itu. Yaitu ketika Reva mendekapkan
lembaran kertas di dadanya sambil
menatap lurus ke dermaga kayu jauh di sana.
“Itu dia! Dia datang Raka! Dia
datang!” Seru Reva gembira. Gadis itu berdiri. Dia melambai-lambaikan tangan dengan penuh
semangat kepada seorang laki-laki muda bertubuh tinggi atletis yang berdiri di
dermaga kayu coklat.
Seluruh semangat hidup dan
kebahagiaan seolah merasuki sekujur tubuh Reva. Gadis itu menatap pemuda gagah
di sana dengan mata berbinar. Lalu dia kembali duduk, senyumnya terus
mengembang. Lama sekali, hingga langit meredup.
Raka menahan gejolak perasaannya.
Sudah ratusan kali hal ini dialaminya, tapi rasa itu tetap sama. Getir.
“Dia harus pulang, Raka. Kalau
tidak, semua bisa kacau. Kau tahu bagaimana ayah dan ibunya, kan?” Reva terus
menatap pemuda tinggi yang menyemai cinta dihatinya, hingga gelap menelan
bayangan pemuda itu.
“Dia sudah pulang, Raka. Tak
apalah. Aku bahagia, dia datang. Artinya dia sungguh mencintaiku.” Ucap Reva.
Raka mengangguk.
“Ayo kita pulang, Kakak. “ Raka
menghampiri Reva, membimbingnya perlahan menyusuri jalan setapak menuju mobil
yang diparkir agak jauh di pinggir jalan raya.
Jalan setapak itu gelap, tapi tak
apa.Setelah ini mereka akan berbelok ke
kiri. Raka sudah hafal di luar kepala. Sudah bertahun-tahun dia menemani Reva
ke tempat itu.
Meskipun keadaan telah banyak
berubah, tapi jalur jalan setapak menuju danau buatan masih tetap sama seperti
9 tahun lalu, ketika dia menemani Reva menemui Dion.
Cinta Dion dan Reva begitu indah,
dan Rakalah saksinya. Dengan setia, Raka
selalu menemani Reva dalam setiap kesempatan bertemu Dion. Sayang sekali orang
tua Dion membenci Reva. Mereka mendera Dion dengan keras, melarangnya menemui
Reva.
Tak heran mengapa hubungan Dion
dan Reva terhalang dinding yang tinggi, karena setinggi itu pulalah perbedaan
status ekonomi mereka.
Orang tua Dion pemilik kerajaan
kecil di seberang danau buatan itu. Kerajaan kecil mereka dimotori sebuah pabrik yang menjadi “pencetak uang” bagi keluarga Dion.
Rumah-rumah cantik yang berjejer di belakang rimbunnya pohon di tepi danau tak
lain adalah rumah-rumah karyawan yang bekerja di pabrik milik orang tua Dion.
Sementara Reva dan Raka, hanyalah
dua bersaudara yatim piatu yang berusaha berdiri tegak di kaki sendiri. Mereka
mewarisi sebuah rumah tua dan mobil sedan bobrok yang mesinnya sering ngadat.
Mereka bukan siapa-siapa. Masih untung Raka memiliki pekerjaan yang membuatnya
mampu menopang hidupnya dan Reva.
Suatu hari, 9 tahun yang lalu, Dion
tak lagi mampu menahan hasratnya . Ia
bertekad menikahi Reva meskipun harus menentang orang tuanya. Dion membawa Reva
melaju ke luar kota, menuju rumah paman Dion yang bersedia membantu proses
pernikahan mereka.
Skenario Tuhan berkehendak lain. Sebelum
tiba di tempat tujuan, sebuah truk tangki menghantam mobil Dion, menewaskannya
seketika. Sementara Reva yang duduk di sebelah Dion tidak mengalami luka berarti di tubuhnya. Tubuh Reva memang
baik-baik saja tapi luka parah justru mengoyak jiwanya, merubah warna kehidupan
gadis cantik itu menjadi gelap.
Berbulan-bulan Reva hanya diam, seperti mayat hidup. Jiwanya seolah
tercabut dari tubuh. Reva pernah menjadi penghuni sebuah rumah sakit jiwa, tapi
akhirnya Raka membawanya kembali pulang. Rumah sakit jiwa itu tak memberi
solusi apa pun untuk kesembuhan Reva.
Raka merawat kakaknya dengan
penuh cinta. Di dunia ini hanya Reva satu-satunya saudara Raka . Demi Reva, Raka rela menunda harapannya menikah dan membangun sebuah keluarga. Tak
mudah menemukan seorang wanita tulus yang mau menerima dirinya, dan merawat kakak ipar yang sakit
jiwa.
Kematian Dion seolah menjadi
pemicu kehancuran bagi banyak orang. Bukan cuma Reva, tapi orang tua Dion dan
kerajaan kecilnya pun ikut runtuh. Raka tak mengerti apa sebabnya, tak lama
setelah kematian pemuda itu, pabrik milik keluarga Dion tutup. Kabar yang tersebar di media setempat menyebutkan keluarga besar Dion terlibat sengketa
tanah. Sengketa itu berlarut-larut tak kunjung mencapai penyelesaian hingga
detik ini.
Lalu semua berubah. Pabrik yang
tutup itu merenggut denyut nadi kehidupan kompleks perumahan megah di seberang
danau. Karyawan-karyawan kehilangan pekerjaan, sekaligus tempat tinggal nyaman
yang selama ini menaungi mereka. Ayah Dion wafat, dan Ibundanya pindah dari
istana berkubah biru dengan 3 menara
berujung lancip itu, entah kemana.
Raka melihat betapa tempat indah saksi bisu kisah cinta
Reva dan Dion kini telah berubah wujud.
Tahun berganti tahun. Danau itu kini berair keruh, bau dan penuh sampah.
Pohon-pohon yang tumbuh mengitari danau tertutup semak belukar. Rumah-tumah cantik
yang berjejer berganti wajah, bobrok tak terurus. Bangunan megah berkubah biru dengan tiga menara berujung lancip kini
menyerupai istana hantu. Dermaga kayu coklat di sana, tempat biasanya Dion
berdiri menatap Reva, kini tak kalah menyedihkan. Kayu-kayunya lapuk, lantai
bolong di sana-sini, dan tiang –tiang yang dulu kokoh telah doyong, sekarat,
hampir ambruk. Dan angsa putih itu sejak bertahun lalu tak pernah tampak
berenang di sana.
Hal inilah yang menohok jiwanya.
Bagaimana hatinya tak kelu, ketika Reva berkata bahwa tempat itu indah. Salahkah
bila Raka sering membawa Reva ke tempat ini, padahal dia tahu bahwa mata, hati
dan jiwa Reva berada dalam dunianya sendiri. Dunia yang tak sama dengan
kenyataan.
Salahkah bila tujuannya membawa
kakaknya kesini karena ingin mengobati
kerinduannya pada sosok Reva yang dulu, yang ceria, ekspresif dan bahagia.
Reva hanya bisa menjadi “makhluk
hidup” beberapa jam saja saat Raka membawanya ke tempat itu. Rangkaian
adegan selalu sama dari tahun ke tahun, seperti film singkat yang diputar
berulang-ulang, ratusan kali.
Raka pun seperti terjebak
lingkaran statis yang tak berujung. Bila rindu pada Reva mendatangkan sesak
yang tak mampu lagi ditahan, dia akan melakukan hal yang sama.
Raka memakaikan mantel merah
jambu di tubuh Reva, menyelipkan surat cinta lusuh peninggalan Dion ke saku
mantel itu, lalu membawa wadah plastik berisi kue-kue dan roti kesukaan Reva.
Selanjutnya dia menuntun gadis yang mirip mayat hidup itu menuju danau buatan. Raka
seperti menyaksikan jiwa sang mayat yang
terikat di dermaga coklat kembali merasuki tubuh.
Sejenak dia melihat Reva yang hidup, yang merasa lapar, yang tersenyum,
berkata-kata, menangis, terkekeh, melonjak gembira, dan berbinar-binar menatap
pemuda pujaannya. Hanya beberapa jam saja. Setelah mentari tenggelam, sang jiwa
akan kembali meninggalkan raga.
Raka membuka pintu mobil,
menuntun Reva duduk di jok sedan tua miliknya. Gadis itu diam, menatap lurus ke
depan. Ekspresinya datar. Ketika Raka telah siap dibelakang kemudi, dia menoleh
memandang wajah kakaknya dengan sayang. Raka beringsut memeluk tubuh kurus
Reva.
“Kakak, kapan kakak sembuh? Aku
rindu Kakak...” Bisik Raka pilu.
Reva tak bereaksi. Dia telah kembali
menjadi mayat hidup, terbelenggu dalam dunianya sendiri.
Jiwanya tertinggal dan terikat erat bersama bayangan Dion di dermaga coklat yang hampir ambruk..