Laman

Selasa, 30 September 2014

Touring ke Guci Tegal


Adzan subuh belum berkumandang, tapi aku dan suamiku, si Akang, sudah mandi dan mengenakan kostum andalan. Celana jeans dan kaos lengan panjang dipadu rompi kulit hitam berhias pin logam berbagai event motor besar.

Selepas shalat subuh, kami melengkapi kostum dengan perlengkapan safety riding. Sepatu booth, pelindung siku dan lutut, balaklava hitam yang menutup wajah hingga hanya terlihat mata, sarung tangan dan terakhir  full face helm. Aku menatap bayanganku di cermin. Persis ninja. Hehe...


“Cepat Neng! Jangan lelet!” teriak Akang dari atas si kuning, motor Kawasaki Versys  berkapasitas 650 cc yang sudah dihidupkan mesinnya. “Istri muda” Akang ini lagi-lagi terpilih untuk menemani touring kami kali ini. Si Kuning kembali mengalahkan pesaingnya yang berkapasitas lebih besar dan lebih kecil. Sepertinya saat ini dialah motor enduro primadona kami yang dapat diandalkan di  berbagai kondisi jalan.

Aku meraih gelas berisi air hangat bercampur madu, mereguknya hingga tuntas, lalu berlari menghampiri Akang. Dengan satu pijakan  kaki kiri   di foot rest si kuning, aku mengangkat tubuhku.  Lalu hups! Kugerakkan kaki kanan memutar hingga akhirnya berpijak pada foot rest kanan dan aku pun terduduk dengan nyaman di jok belakang si kuning.

“Titip anak-anak ya! Hubungi ponsel saya kalau ada apa-apa.” Pesanku dibalas anggukan  si Mbak dan Pak Sopir.

Pukul 5 tepat. Sebaris doa kuucapkan saat roda si kuning mulai menggelinding menggilas aspal. Jalanan  Bogor- Bekasi mulai menunjukkan geliat aktivitas. Berbagai kendaraan melintas jalan meski belum begitu padat. Kami menuju Kalimalang. Perjalanan lancar tanpa hambatan hingga tepat pukul 6.00   tiba di tempat yang ditentukan. Sebuah resto fast food.


Pak Bambang dan Andaru sudah duduk  santai ditemani  segelas kopi. Mereka menebar senyum ketika kami menghampiri.

“ Pesan sarapan, Neng.”  Ujar Akang.

Ketika aku kembali dengan nampan berisi sarapan, sudah ada Pak Yugen  dan istrinya. Kami ngobrol sambil menikmati sarapan.

Tepat pukul 7, kami berangkat menuju Taman Wisata Guci, yang terletak di desa Guci kecamatan Bumijawa kabupaten Tegal.  Tempat wisata ini berada pada ketinggian 1.050 meter dari permukaan laut, tepatnya di kaki gunung Slamet bagian Utara. Dari Tegal, taman wisata ini berjarak 47 km ke arah Selatan, atau sekitar 30 km dari kota Slawi.

Empat motor beriringan menyusuri jalanan. Pak Yugen yang paling senior dan paling tinggi jam terbang touringnya bertindak sebagai leader. Dia melaju paling depan dengan BMW GS 1200. Selain paling senior, Pak Yugen juga paling hafal jalan menuju Guci karena sudah 4 kali beliau mengunjungi tempat itu. Di belakang Pak Yugen, Andaru melesat  dengan Ninja 650 cc, disusul Pak Bambang dengan Kymcho 500-nya. Si Kuning menutup iringan motor,  berusaha tetap berada paling belakang.

Lampu merah berubah hijau.  Pak Yugen melaju lebih dulu disusul Andaru. Tapi, upps! Sebuah motor bebek nyelonong menyerobot jalan dari arah berlawanan, hampir saja menabrak Ninja Andaru. Kalau  Andaru tak berkelit menghindar, motor bebek itu pasti sudah terpental. Hatiku berdesir. Meski kesal  melihat pengendara motor berperilaku selebor itu, aku bersyukur Andaru memiliki refleks yang bagus dalam mengantisipasi hal  tak terduga.

Ketika melintas di Cibuntu, Cibitung Bekasi, kami melihat Pak Yugen berhenti di pinggir jalan. Akang memberi isyarat agar Pak Yugen mendahului kami, tapi sampai beberapa saat motornya tak tampak menyusul kami. Akang dan Pak Bambang menepikan motor. Kami menunggu beberapa saat, hingga akhirnya memutuskan berputar balik untuk menghampiri Pak Yugen dan Andaru.
Motor Pak Yugen diparkir  dekat sebuah bengkel mobil.

“Maaf. Motor saya tidak mau start. Sepertinya ada masalah dengan accu-nya.  Tapi saya sudah telepon montir untuk memperbaikinya.“ Ujar Pak Yugen.

Akang, Andaru, Pak Bambang  dan Pak Yugen kemudian sama-sama memeriksa kondisi motor. Aku  yang tak mengerti masalah teknis memilih duduk menunggu sambil meneguk minuman dingin.

Kesal? Oh tidak. Berkali-kali ikut touring bersama rombongan telah menempa aku untuk selalu menikmati apa pun yang terjadi selama perjalanan. Sudah biasa bila dalam sebuah  rombongan ada motor yang bermasalah. Sebuah komitmen yang terbangun  bersama komunitas motor adalah kebersamaan. Jadi sudah aturan baku bahwa anggota rombongan yang lain tak akan meninggalkan teman sampai masalah motornya teratasi.

Cuma ada satu pilihan menghadapi situasi ini. Nikmati saja. Aku memilih menikmati 4 jam menunggu perbaikan motor dengan ngobrol dan menambah teman baru. Lho?

Pak Yugen menelepon temannya yang punya bengkel motor. Tak lama sang teman datang bersama istrinya, Mbak Pipit. Jadilah aku berkenalan  dan kemudian ngobrol asyik bertiga dengan Bu Yugen.

Mbak Pipit dan suaminya juga hobi touring. Jam terbang mereka  sudah banyak seperti halnya Pak Yugen. Mereka sudah menjelajah banyak tempat di Indonesia maupun di luar negeri. Berbincang dengan Mbak Pipit terasa asyik, membuatku ingin menambahkan banyak tempat menarik dalam daftar rencana touring bersama Akang.

Bu Yugen lain lagi. Ibu dengan semangat menakjubkan ini ternyata baru tujuh bulan  lalu menjalani operasi cangkok ginjal. Hari ini adalah touring pertamanya pasca operasi. Dia juga punya kisah cinta istimewa yang akan aku ceritakan dalam tulisan khusus nanti. Sungguh tak ada ruginya menghabiskan waktu 4 jam bersama mereka. Selalu ada hikmah dibalik sebuah peristiwa.

Akhirnya, selesailah sudah perbaikan motor Pak Yugen dengan cara : membeli accu baru. Kenapa bisa begitu lama perbaikannya? Karena accu yang cocok untuk motor besar ini tidak mudah didapat. Accunya harus dibeli di bengkel yang jaraknya lumayan jauh.  Apa pun itu akhirnya perjalanan bisa dilanjutkan.

Matahari sudah tinggi ketika rombongan kembali bergerak. Jam menunjukkan pukul 11.20, udara panas mulai menyengat. Di jalan raya antara Cibuntu dan Karawang kami dihadang macet. Barisan  truk, bus, trailer, angkot, mobil pribadi dan motor bercampur baur dalam antrian panjang melewati jalan  menyempit karena perbaikan jalan.


Ketika akhirnya kemacetan terurai, kami kembali melaju beriringan.  Di jalan Raya Klari Karawang, Akang mendahului Pak Bambang. Ketika akan melewati sebuah jembatan rangka baja Pak Bambang menambah kecepatan motornya, lalu dia   mendahului kami. Di pangkal jembatan itu dia melaju diantara dua motor bebek.  Di sebelah kanan Pak Bambang, seorang gadis muda terlihat kaget hingga motor bebeknya oleng. Setang motor Pak Bambang menyenggol motor bebek itu, lalu makin olenglah si gadis sebelum akhirnya terjatuh dari motornya.

 “Ya Allah!” Aku berseru kaget. Hatiku berdebar-debar. 

Kami masih melaju  beberapa saat hingga ujung jembatan, lalu cepat-cepat menepikan motor di depan sebuah bengkel. Pak Bambang pun memarkir motornya lalu cepat-cepat berlari  bersama Akang kembali ke arah jembatan baja.  Aku melihat belasan remaja berseragam olahraga berlarian menghampiri gadis yang terjatuh itu.

“Tunggu di sini, Neng!” Teriak Akang.

Aku berdiri  dengan jantung berdebar-debar. Sebuah mobil bercat silver berhenti di ujung jembatan. Pengendaranya, laki-laki  berkaos abu-abu  turun dengan wajah merah penuh amarah.

 “Saya lihat kejadiannya! Tolol!”Umpatnya geram.

Aku bingung memandang pria itu. Siapa yang tolol?

Perhatiannku kemudian  terfokus pada Pak Bambang yang kembali dengan menuntun motor bebek milik sang gadis. Gadis muda berjilbab itu ikut melangkah bersama Akang. Wajahnya pucat dan tampak agak shock. Aku cepat-cepat menuntunnya hingga sampai di bengkel.

“Bagaimana kondisinya, Dik? Mana yang sakit? “ Tanyaku.

“Sepertinya tidak apa-apa, Mbak. Hanya lecet sedikit.” Ucapnya sambil menunjukkan punggung tangan yang lecet.

“Kita ke rumah sakit ya, Dik. Biar diperiksa dokter.” Pak Bambang menatap gadis itu dengan khawatir.

“Bapak yang menyenggol dia! Saya lihat sendiri!”  Tiba-tiba pria berkaos abu-abu  telah berada di antara kami, menyalak  pada Pak Bambang dengan nada berapi-api.

Nada kerasnya kontan menyulut emosiku.

 “Bapak tak perlu marah-marah ya! Kami ini bertanggung jawab! Kalau tidak, buat apa kami di sini? Kalau kami mau lari, gampang Pak! Tinggal tancap gas. Siapa coba yang bisa mengejar kami?” Sahutku sewot.

“Bapak siapa? Saudaranya adik ini ya? “ Tanya Akang. Nadanya tak kalah keras.

“Bukan. Saya bukan saudaranya. Tapi saya lihat kejadiannya!” Sahut pria itu.

“Kalau Bapak bukan saudaranya, tak perlu ikut campur. Kami bertanggung jawab. Pulang saja sana!” Suara Akang terdengar bergetar oleh amarah.

Pria itu tak menyahut lagi. Nyalinya mulai ciut meladeni sepasang suami istri yang membalas amarahnya dengan geraman tak kalah sangar. Dia hanya diam memandang kami, lalu beranjak menjauh.

“Ayo Dik, kita berobat.” Ajakku.

Laki-laki pemilik bengkel motor menghampiri kami. “ Di sana ada klinik pengobatan. Ada dokternya. Tapi motor adik ini  bagaimana ya? Ibu bisa bawa motor ini tidak? “ Tanyanya padaku.

“Tidak bisa.” Jawabku kecut. “Kalau motornya dititip di sini boleh tidak Pak? “

“Oya, boleh. Nanti saya perbaiki motornya.” Jawaban laki-laki itu sedikit melegakan.

Aku lalu membantu si gadis duduk di boncengan Pak Bambang.  Motor segera bergerak, dari bahu jalan menanjak ke lapisan aspal yang tebal. Tapi ternyata lapisan aspal  tebal itu membuat bagian bawah motor Pak Bambang terantuk, motor menjadi oleng dan terguling. Waduh. Untung saja pak Bambang dan si gadis melompat hingga tak ikut terjatuh.

Akhirnya kami tiba di sebuah klinik 24 Jam di tepi jalan itu. Aku menuntun si gadis,  dan mendampinginya masuk ke ruang pemeriksaan.

Seorang perawat membersihkan luka lecet dengan alkohol, lalu mengolesinya dengan cairan obat luka.

“Maaf ya, Dik. Namanya siapa?” Tanyaku.

Gadis itu meringis menahan pedih luka yang diolesi obat.

“Iya, Mbak. Nggak apa-apa. Kan kejadiannya tidak disengaja. Saya Sri, Mbak.”

“Kamu mau kemana, Sri?”

“Saya baru selesai mengurus SIM motor, tadi mau kembali ke Cikampek.”

Seorang wanita berjas putih masuk ruangan. Di lehernya tergantung stetoskop.

“Tolong diperiksa adik ini, Dokter. Tadi jatuh di jalan.” Pintaku padanya.

“Baik. Ini lukanya sudah di bersihkan? “Sang dokter bertanya pada perawatnya.

“Sudah, Dok. Hanya luka lecet di punggung tangan dan sedikit di siku. Sudah diolesi obat.” Sahut sang perawat.

“Adik pusing tidak? Mual? Atau ada bagian yang tidak bisa digerakkan? “ Dokter itu bertanya sambil memeriksa siku Sri.

Semua pertanyaan dokter itu dijawab dengan gelengan kepala. Kemudian Sri mengangkat lengannya.Tangan dijulurkan ke atas lalu dia menggerakkan pergelangan tangan. Kemudian dia berdiri dan menggerakkan persendian kaki.

“Tidak ada yang sakit, Dok. “  Ucap Sri.

“ Alhamdulillah..” Bisikku.

Dokter itu menuliskan resep obat  dan salep untuk dioleskan pada luka.

“Kalau nanti dirumah ada keluhan, kembali ke sini ya. Jangan lupa minum obatnya dan oleskan salep ini supaya lukanya tidak berbekas. “ Dokter itu tersenyum, lalu memberikan kertas resep padaku.

Kami keluar ruangan pemeriksaan. Aku bergegas menyerahkan resep ke apotik di bagian depan klinik. Sambil menunggu obat, aku duduk di sebuah bangku panjang.

Di bangku depan apotik aku melihat Pak Bambang duduk di samping Sri. Mereka saling bertukar nomor telpon. Adegan selanjutnya membuat aku tersenyum-senyum sendiri. Pak Bambang memberikan  sejumlah uang pada Sri, tapi Sri menolaknya. Lalu terjadi aksi tolak menolak yang menggelikan. Selanjutnya ada tawar menawar. 

"Jangan banyak-banyak, Pak. Segini saja sudah cukup." Sri mengangsurkan sebagian uang kepada Pak Bambang.   

Beberapa saat mereka beradu argumentasi hingga akhirnya Sri mau menerima semua  pemberian Pak Bambang.

Apa yang kulihat sebenarnya adalah sesuatu yang menyejukkan. Seorang biker sejati yang bertanggung jawab, dan seorang gadis baik hati yang tidak memanfaatkan keadaan.

Kemudian kami kembali beriringan bersama Pak Yugen dan Andaru  mengantarkan  Sri kembali ke bengkel tempat motornya dititipkan.

Di bengkel itu, sekali lagi aku melihat sesuatu yang menyejukkan. Sang pemilik bengkel yang ternyata sudah memperbaiki motor Sri, menolak uang pemberian Pak Bambang. Lalu terjadi lagi aksi tolak menolak. Akhirnya pria pemilik bengkel itu menerima pemberian Pak Bambang.

Sungguh, hari ini aku melihat contoh pribadi-pribadi yang baik, berjiwa penolong dan bertanggung jawab. Meskipun aku melihat juga contoh pribadi yang menempatkan amarahnya salah kaprah. Siapa lagi kalau bukan pria berkaos abu-abu tadi. Hihihi...

Perjalanan berlanjut. Total waktu yang hilang lebih kurang 5 jam. Ditambah macet parah berkilo-kilo meter  menghadang  di tengah garangnya sengatan matahari sempat membuat Pak Yugen bertanya, apakah touring mau dilanjutkan atau pulang saja.

Saat makan siang di Sukamandi Subang, Pak Yugen kembali bertanya.

“Jadi bagaimana, kita lanjutkan perjalanan atau mau pulang saja? “

“Lanjut dong, Pak. Mau pulang juga sama saja, bakal kena macet parah juga. “ Sahut Andaru.

“Iya, lanjut saja. Mudah-mudahan ke depan sudah tak terlalu parah lagi macetnya. “ Sambungku.

Sebenarnya ada dua alasan aku ingin tetap melanjutkan perjalanan ini. Pertama karena aku ingin tahu bagaimana suasana Taman Wisata Guci itu. Alasan kedua, aku sudah terlanjur menulis status  di media sosial bahwa aku dalam perjalanan touring ke Guci. Pasti lucu jadinya kalau ternyata aku harus balik arah pulang ke Bogor sebelum mencapai Guci.  Lalu mau bilang apa aku pada teman-teman di media sosial yang minta foto dan kisah touring  ke  Guci di share?  Hahaha...

“Sebaiknya tanya Bu Yugen saja. Kalau dia kuat, kita lanjut. Tapi kalau tidak, ya kita pulang.” Usul Andaru.

“Si Sri tadi kirim sms. Katanya dia sudah selamat sampai rumah. Terus dia bilang terimakasih. “  Ujar Pak Bambang  sambil terkekeh.” Lucu anak itu. Disenggol motor kok malah bilang terimakasih.”

Kami ikut tertawa. Aku percaya, kebaikan akan berbalas kebaikan. Tentu Sri sangat menghargai prilaku bertanggung jawab yang ditunjukkan Pak Bambang.

Setelah makan siang, shalat Zuhur dan Ashar , kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Masih ada beberapa titik macet yang menghadang kami. Untungnya macet kali ini saat matahari sudah terbenam, sehingga kami tak terlalu disiksa panas. Di tengah macet panjang itu, empat bikers seolah diuji kemampuannya dalam memilih jalan. Butuh keahlian dan perhitungan yang tepat untuk melintas di sela-sela kendaraan besar seperti truk, trailer, dan bus, atau bila memutuskan melaju di bahu jalan dengan kondisi tanah yang tak rata. Mata harus benar-benar awas untuk mengantisipasi bila ada lubang menganga, batu besar, jalan menyempit, atau tumpukan pasir yang menghadang di bahu jalan. Aku yang duduk di boncengan pun menikmati adrenalin memuncak dan mereda sepanjang jalan macet itu.

Pak Yugen, yang lebih berpengalaman dan memiliki kemampuan  teruji bertindak sebagai  pembuka jalan. Akang mengikuti  jalur yang diambilnya dengan perhitungan bahwa bila motor yang lebih besar seperti milik Pak Yugen bisa lewat, sudah  pasti si Kuning pun bisa melewati jalur itu.

Setelah istirahat makan malam dengan menu  sop buntut di Tegal, kami melanjutkan perjalanan. Udara sejuk mulai memeluk kami. Jalan  yang terus menanjak seolah memberi harapan bahwa sebentar lagi kami akan sampai di tujuan. 

Pukul setengah sepuluh malam.  Langit telah hitam kelam ketika sebuah papan penunjuk arah menuju Guci terlihat di tepi jalan. Udara dingin kian menggigit seiring dengan jalan yang menanjak, berliku dan curam. Sepi. Jalan panjang itu seolah milik kami  karena sedikit sekali kendaraan lain yang melintas. Sayang bulan tak hadir, hingga pemandangan hanya gelap semata. Aku memeluk punggung Akang saat kami melaju terus di jalan menanjak.

Akhirnya, sebuah gerbang  menghadang. Tampaknya inilah gerbang masuk menuju Taman Wisata Guci. Sebuah api  unggun menyala disisi jalan. Pria-pria  penjaga gerbang menghampiri  Pak Yugen, dan memberikan karcis tanda masuk.

Memasuki kawasan ini, kami langsung disambut deretan hotel, wisma, penginapan, dan villa-villa  di kiri kanan jalan.   Kami langsung menuju hotel yang sudah dipesan Pak Yugen. Leganya.. akhirnya bisa istirahat dengan nyaman.

Sebelum tidur, ditengah kantuk yang menyerang aku berbisik pada Akang.

“Kang, jadi apa ya hikmah kejadian hari ini. Mulai dari motor  mogok 4 jam, sampai kecelakaan tadi? “

“Itu  cara Tuhan menjaga kita. Mungkin   ada musibah yang lebih besar lagi kalau perjalanan kita tak tertunda selama 5 jam.” Akang menjawab dengan mata setengah terpejam.

Oh, baiklah. Aku membelai wajah Akang yang terlelap dengan sayang. Pandai sekali lelaki separuh jiwaku ini menarik hikmah dari dua kejadian tadi.  


Aku terbangun oleh suara azan subuh dari ponsel Akang. Dinginnya udara menusuk-nusuk seolah membujukku untuk melanjutkan tidur. Tapi aku bangkit, mandi dengan air panas alami lalu melaksanakan shalat subuh. Akang pun demikian. Kami harus cepat membereskan barang-barang supaya ada waktu menikmati suasana di sini sebelum kembali pulang.

TAMAN WISATA AIR PANAS GUCI. Tulisan besar itu terpampang di dinding bukit hijau di atas sana.  Aku langsung teringat HOLLYWOOD sign yang juga terpampang di atas bukit di Los Angeles California. Sayang sekali aku tak sempat berfoto dengan latar belakang tulisan itu saat berkunjung ke sana beberapa minggu yang lalu.

Suasana hijau royo-royo dibalut udara dingin membuat hati tentram. Aku dan Akang melihat-lihat suasana di lingkungan hotel. Seperti biasa, narsis parahku kumat. Maka aku meminta Akang mengambil fotoku di beberapa tempat di lingkungan hotel.



Di sisi sebuah tangga, ada kolam buatan yang airnya beruap-uap. Aku menyentuh airnya. Terasa hangat. Air  ini berasal dari sumber mata air alami di desa Guci.

Dua buah kolam air hangat tersedia di lingkungan hotel ini. Berbeda dengan sumber air panas di tempat lain, air panas di Guci tidak berbau karena tidak mengandung Sulphur. Air panas di desa Guci ini benar-benar membawa berkah bagi warga Guci maupun pemerintah Kabupaten Tegal. Obyek wisata ini menyumbang pendapatan daerah  sekitar 2 Miliar per tahun melalui kunjungan sekitar 22.000 wisatawan.





Sebenarnya di kawasan seluas 125 hektar yang berbentuk sendok  ini terdapat air terjun dan sumber air panas yang mengalir dari beberapa anak sungai. Tapi air terjun dan sungai yang dibuka sebagai tempat pemandian umum itu sangat ramai dikunjungi orang pada saat hari libur, sehingga kami lebih memilih menikmati suasana di lingkungan hotel saja. Toh sama saja, air panas yang mengalir di kolam renang hotel pun berasal dari air panas alami. Suasana di hotel yang tidak terlalu ramai membuat kami merasa lebih nyaman.

Pak Bambang yang tengah mengalami nyeri di pinggangnya mencoba berenang dan berendam beberapa saat di kolam . Ketika selesai, dia menyampaikan testimoninya.

“Enak lho. Berenang dan berendam di kolam air hangat benar-benar bisa membantu penyembuhan. Sekarang rasanya jauh lebih baik. Sakitnya banyak berkurang. “ Ucapnya.

Kami sarapan pagi di resto dekat kolam renang. Ada nasi goreng, mie goreng, soto, telur mata sapi, dan kerupuk. Di teras samping resto aku melihat pedagang sate kelinci. Aku dan Akang memesan dua porsi sate tanpa lontong. Asyik juga makan pagi sambil ngobrol dengan pak Yugen dan istrinya di tengah suasana sejuk.

Setelah sarapan, bu Yugen mengajakku berjalan keluar hotel untuk belanja oleh-oleh. Kami berdua mendaki jalan menanjak yang membuat nafas Bu Yugen ngos-ngosan.

“Kita pelan-pelan saja ya, Bu. Kalau capek kita berhenti dulu.” Aku agak khawatir melihat Bu Yugen.

“Tidak apa-apa. Saya kuat kok. Jalan memang harus pelan-pelan kalau tidak jahitan di perut saya suka perih.” Ucapannya membuat hatiku ngilu.

“Bekas jahitan operasi cangkok ginjal ini panjang lho. Melintang perut, tidak seperti jahitan operasi caesar. “ Jelas Bu Yugen. Hatiku  makin  senut-senut.

“Ibu hebat sekali! Salut! Ibu punya semangat hidup yang kuat.” Aku memandang wanita itu dengan kagum.



Di luar hotel, ada berderet-deret pedagang oleh-oleh, makanan, sayur dan buah-buahan .  Aku dan Bu Yugen tergiur membeli strawberry yang segar dan besar-besar ukurannya. Harganya sekilo strawberry Rp. 35.000,-. Selain itu kami juga membeli manisan pepaya khas Tegal seharga Rp. 20.000,- per kilo.  Selain itu ada manisan buni,  dan manisan tomat. Manisan buni per kilo-nya Rp. 30.000,- dan manisan tomat Rp. 60.000,-. Selain makanan khas Tegal, di kios makanan ini juga terdapat dodol beraneka rupa seperti yang biasa dijual di Garut.

Beberapa anak muda menawarkan untuk jalan-jalan kompleks wisata ini dengan naik kuda. Untuk jarak dekat pengunjung bisa menikmati naik kuda dengan tarif Rp. 10.000,- sedangkan untuk keliling lokasi taman wisata ini tarif naik kuda berkisar Rp. 50.000,-








Hari beranjak siang. Pukul 9 lewat, kami menyelesaikan administrasi hotel dan bersiap pulang. Di sepanjang jalan yang menurun dan berkelok-kelok kami disuguhi pemandangan cantik lembah, jurang, bukit dan pepohonan hijau. Cantik sekali! Seandainya waktu kami tak sempit, rasanya masih betah berlama-lama di tempat indah ini. Tapi apa boleh buat, hari Senin besok para bikers harus kembali bekerja.

Di tengah jalan pulang, saat berhenti di lampu merah,  Akang bertanya.

“Bagaimana, Neng? Apa Neng menikmati touring kita ini?”

 “Ya tentu saja, Kang. Asyik banget! Terimakasih ya, Sayang..” Pertanyaannya langsung kujawab dengan antusias.

Dalam setiap perjalanan  touring  selalu saja  ada hikmah yang bisa dipetik. Hikmah yang indah sebagai pelajaran untuk menjalani hidup.  Lagi pula, manalah  mungkin aku jawab pertanyaan Akang dengan tanggapan negatif, bisa-bisa tak diajaknya lagi aku bertualang di atas kuda besinya. Gawat kan?!

Note : Kisah touring ini  menjadi kenangan manis bersama istri Pak Yugen, Ibu Sri Widayati. Beliau telah meninggal dunia tanggal 27 Oktober 2015. Innalilahi wa inna ilaihi rojiun... Semoga Ibu Sri Widayati khusnul hotimah, diampuni semua dosa dan diberi tempat yang indah di sisi Allah SWT. Aamiin..







10 komentar:

  1. short gate away tapi maknyus, rupanya. salam ah untuk Akangnya ^_^

    BalasHapus
  2. Hehe...seru banget kisahnya :)

    Beruntung sekali obyek wisata Guci dikunjungi oleh Mbak Dewi yg bloger, jadi diliput dn tambah terkenal!

    BalasHapus
    Balasan
    1. @sri komarudin : Aamiin...semoga tulisan ini bisa menambah referensi buat yang ingin jalan2 ke tempat indah..

      Hapus
  3. Asyik banget touringnya maak...

    BalasHapus
  4. wahh keren euy! mupeng jalan-jalan naik motor!

    BalasHapus
  5. Seruuu, menegangkan tapi asyik ya mbak.

    BalasHapus