Adzan subuh belum berkumandang, tapi
aku dan suamiku, si Akang, sudah mandi dan mengenakan kostum andalan. Celana
jeans dan kaos lengan panjang dipadu rompi kulit hitam berhias pin logam
berbagai event motor besar.
Selepas shalat subuh, kami melengkapi
kostum dengan perlengkapan safety riding. Sepatu booth, pelindung siku dan
lutut, balaklava hitam yang menutup wajah hingga hanya terlihat mata, sarung
tangan dan terakhir full face helm. Aku
menatap bayanganku di cermin. Persis ninja. Hehe...
“Cepat Neng! Jangan lelet!” teriak
Akang dari atas si kuning, motor Kawasaki Versys berkapasitas 650 cc yang sudah dihidupkan
mesinnya. “Istri muda” Akang ini lagi-lagi terpilih untuk menemani touring kami
kali ini. Si Kuning kembali mengalahkan pesaingnya yang berkapasitas lebih
besar dan lebih kecil. Sepertinya saat ini dialah motor enduro primadona kami
yang dapat diandalkan di berbagai
kondisi jalan.
Aku meraih gelas berisi air hangat
bercampur madu, mereguknya hingga tuntas, lalu berlari menghampiri Akang.
Dengan satu pijakan kaki kiri di foot rest si kuning, aku mengangkat
tubuhku. Lalu hups! Kugerakkan kaki
kanan memutar hingga akhirnya berpijak pada foot rest kanan dan aku pun
terduduk dengan nyaman di jok belakang si kuning.
“Titip anak-anak ya! Hubungi ponsel
saya kalau ada apa-apa.” Pesanku dibalas anggukan si Mbak dan Pak Sopir.
Pukul 5 tepat. Sebaris doa kuucapkan
saat roda si kuning mulai menggelinding menggilas aspal. Jalanan Bogor- Bekasi mulai menunjukkan geliat aktivitas.
Berbagai kendaraan melintas jalan meski belum begitu padat. Kami menuju
Kalimalang. Perjalanan lancar tanpa hambatan hingga tepat pukul 6.00 tiba di tempat yang ditentukan. Sebuah resto
fast food.
Pak Bambang dan Andaru sudah
duduk santai ditemani segelas kopi. Mereka menebar senyum ketika
kami menghampiri.
“ Pesan sarapan, Neng.” Ujar Akang.
Ketika aku kembali dengan nampan
berisi sarapan, sudah ada Pak Yugen dan
istrinya. Kami ngobrol sambil menikmati sarapan.
Tepat pukul 7, kami berangkat menuju Taman
Wisata Guci, yang terletak di desa Guci kecamatan Bumijawa kabupaten Tegal. Tempat wisata ini berada pada ketinggian 1.050
meter dari permukaan laut, tepatnya di kaki gunung Slamet bagian Utara. Dari
Tegal, taman wisata ini berjarak 47 km ke arah Selatan, atau sekitar 30 km dari
kota Slawi.
Empat motor beriringan menyusuri
jalanan. Pak Yugen yang paling senior dan paling tinggi jam terbang touringnya
bertindak sebagai leader. Dia melaju paling depan dengan BMW GS 1200. Selain paling senior, Pak Yugen juga paling
hafal jalan menuju Guci karena sudah 4 kali beliau mengunjungi tempat itu. Di belakang
Pak Yugen, Andaru melesat dengan Ninja 650
cc, disusul Pak Bambang dengan Kymcho 500-nya. Si Kuning menutup iringan
motor, berusaha tetap berada paling
belakang.
Lampu merah berubah hijau. Pak Yugen melaju lebih dulu disusul Andaru. Tapi, upps! Sebuah motor bebek nyelonong menyerobot jalan dari arah berlawanan,
hampir saja menabrak Ninja Andaru. Kalau
Andaru tak berkelit menghindar, motor bebek itu pasti sudah terpental.
Hatiku berdesir. Meski kesal melihat
pengendara motor berperilaku selebor itu, aku bersyukur Andaru memiliki refleks
yang bagus dalam mengantisipasi hal tak
terduga.
Ketika melintas di Cibuntu, Cibitung
Bekasi, kami melihat Pak Yugen berhenti di pinggir jalan. Akang memberi isyarat
agar Pak Yugen mendahului kami, tapi sampai beberapa saat motornya tak tampak
menyusul kami. Akang dan Pak Bambang menepikan motor. Kami menunggu beberapa
saat, hingga akhirnya memutuskan berputar balik untuk menghampiri Pak Yugen dan
Andaru.
Motor Pak Yugen diparkir dekat
sebuah bengkel mobil.
“Maaf. Motor saya tidak mau start.
Sepertinya ada masalah dengan accu-nya.
Tapi saya sudah telepon montir untuk memperbaikinya.“ Ujar Pak Yugen.
Akang, Andaru, Pak Bambang dan Pak Yugen kemudian sama-sama memeriksa
kondisi motor. Aku yang tak mengerti
masalah teknis memilih duduk menunggu sambil meneguk minuman dingin.
Kesal? Oh tidak. Berkali-kali ikut touring bersama rombongan telah menempa aku untuk selalu menikmati apa pun yang terjadi selama perjalanan. Sudah biasa bila dalam sebuah rombongan ada motor yang bermasalah. Sebuah komitmen yang terbangun bersama komunitas motor adalah kebersamaan. Jadi sudah aturan baku bahwa anggota rombongan yang lain tak akan meninggalkan teman sampai masalah motornya teratasi.
Cuma ada satu pilihan menghadapi
situasi ini. Nikmati saja. Aku memilih menikmati 4 jam menunggu perbaikan motor
dengan ngobrol dan menambah teman baru. Lho?
Pak Yugen menelepon temannya yang
punya bengkel motor. Tak lama sang teman datang bersama istrinya, Mbak Pipit.
Jadilah aku berkenalan dan kemudian
ngobrol asyik bertiga dengan Bu Yugen.
Mbak Pipit dan suaminya juga hobi
touring. Jam terbang mereka sudah banyak
seperti halnya Pak Yugen. Mereka sudah menjelajah banyak tempat di Indonesia
maupun di luar negeri. Berbincang dengan Mbak Pipit terasa asyik, membuatku
ingin menambahkan banyak tempat menarik dalam daftar rencana touring bersama
Akang.
Bu Yugen lain lagi. Ibu dengan
semangat menakjubkan ini ternyata baru tujuh bulan lalu menjalani operasi cangkok ginjal. Hari
ini adalah touring pertamanya pasca operasi. Dia juga punya kisah cinta
istimewa yang akan aku ceritakan dalam tulisan khusus nanti. Sungguh tak ada
ruginya menghabiskan waktu 4 jam bersama mereka. Selalu ada hikmah dibalik
sebuah peristiwa.
Akhirnya, selesailah sudah perbaikan
motor Pak Yugen dengan cara : membeli accu baru. Kenapa bisa begitu lama
perbaikannya? Karena accu yang cocok untuk motor besar ini tidak mudah didapat.
Accunya harus dibeli di bengkel yang jaraknya lumayan jauh. Apa pun itu akhirnya perjalanan bisa
dilanjutkan.
Matahari sudah tinggi ketika
rombongan kembali bergerak. Jam menunjukkan pukul 11.20, udara panas mulai
menyengat. Di jalan raya antara Cibuntu dan Karawang kami dihadang macet.
Barisan truk, bus, trailer, angkot,
mobil pribadi dan motor bercampur baur dalam antrian panjang melewati jalan menyempit karena perbaikan jalan.
Ketika akhirnya kemacetan terurai,
kami kembali melaju beriringan. Di jalan
Raya Klari Karawang, Akang mendahului Pak Bambang. Ketika akan melewati sebuah
jembatan rangka baja Pak Bambang menambah kecepatan motornya, lalu dia mendahului kami. Di pangkal jembatan itu dia
melaju diantara dua motor bebek. Di
sebelah kanan Pak Bambang, seorang gadis muda terlihat kaget hingga motor
bebeknya oleng. Setang motor Pak Bambang menyenggol motor bebek itu, lalu makin
olenglah si gadis sebelum akhirnya terjatuh dari motornya.
“Ya Allah!” Aku berseru kaget. Hatiku
berdebar-debar.
Kami masih melaju beberapa saat hingga ujung jembatan, lalu
cepat-cepat menepikan motor di depan sebuah bengkel. Pak Bambang pun memarkir
motornya lalu cepat-cepat berlari
bersama Akang kembali ke arah jembatan baja. Aku melihat belasan remaja berseragam
olahraga berlarian menghampiri gadis yang terjatuh itu.
“Tunggu di sini, Neng!” Teriak
Akang.
Aku berdiri dengan jantung berdebar-debar. Sebuah mobil
bercat silver berhenti di ujung jembatan. Pengendaranya, laki-laki berkaos abu-abu turun dengan wajah merah penuh amarah.
“Saya lihat kejadiannya! Tolol!”Umpatnya
geram.
Aku bingung memandang pria itu. Siapa
yang tolol?
Perhatiannku kemudian terfokus pada Pak Bambang yang kembali dengan
menuntun motor bebek milik sang gadis. Gadis muda berjilbab itu ikut melangkah
bersama Akang. Wajahnya pucat dan tampak agak shock. Aku cepat-cepat
menuntunnya hingga sampai di bengkel.
“Bagaimana kondisinya, Dik? Mana yang
sakit? “ Tanyaku.
“Sepertinya tidak apa-apa, Mbak.
Hanya lecet sedikit.” Ucapnya sambil menunjukkan punggung tangan yang lecet.
“Kita ke rumah sakit ya, Dik. Biar
diperiksa dokter.” Pak Bambang menatap gadis itu dengan khawatir.
“Bapak yang menyenggol dia! Saya
lihat sendiri!” Tiba-tiba pria berkaos
abu-abu telah berada di antara kami, menyalak pada Pak Bambang dengan nada berapi-api.
Nada kerasnya kontan menyulut
emosiku.
“Bapak tak perlu marah-marah ya! Kami ini
bertanggung jawab! Kalau tidak, buat apa kami di sini? Kalau kami mau lari,
gampang Pak! Tinggal tancap gas. Siapa coba yang bisa mengejar kami?”
Sahutku sewot.
“Bapak siapa? Saudaranya adik ini ya?
“ Tanya Akang. Nadanya tak kalah keras.
“Bukan. Saya bukan saudaranya. Tapi
saya lihat kejadiannya!” Sahut pria itu.
“Kalau Bapak bukan saudaranya, tak
perlu ikut campur. Kami bertanggung jawab. Pulang saja sana!” Suara Akang
terdengar bergetar oleh amarah.
Pria itu tak menyahut lagi. Nyalinya
mulai ciut meladeni sepasang suami istri yang membalas amarahnya dengan geraman
tak kalah sangar. Dia hanya diam memandang kami, lalu beranjak menjauh.
“Ayo Dik, kita berobat.” Ajakku.
Laki-laki pemilik bengkel motor menghampiri
kami. “ Di sana ada klinik pengobatan. Ada dokternya. Tapi motor adik ini bagaimana ya? Ibu bisa bawa motor ini tidak?
“ Tanyanya padaku.
“Tidak bisa.” Jawabku kecut. “Kalau
motornya dititip di sini boleh tidak Pak? “
“Oya, boleh. Nanti saya perbaiki
motornya.” Jawaban laki-laki itu sedikit melegakan.
Aku lalu membantu si gadis duduk di boncengan
Pak Bambang. Motor segera bergerak, dari
bahu jalan menanjak ke lapisan aspal yang tebal. Tapi ternyata lapisan aspal tebal itu membuat bagian bawah motor Pak Bambang terantuk, motor menjadi
oleng dan terguling. Waduh. Untung saja pak Bambang dan si gadis melompat
hingga tak ikut terjatuh.
Akhirnya kami tiba di sebuah klinik
24 Jam di tepi jalan itu. Aku menuntun si gadis, dan mendampinginya masuk ke ruang
pemeriksaan.
Seorang perawat membersihkan luka
lecet dengan alkohol, lalu mengolesinya dengan cairan obat luka.
“Maaf ya, Dik. Namanya siapa?”
Tanyaku.
Gadis itu meringis menahan pedih luka
yang diolesi obat.
“Iya, Mbak. Nggak apa-apa. Kan kejadiannya
tidak disengaja. Saya Sri, Mbak.”
“Kamu mau kemana, Sri?”
“Saya baru selesai mengurus SIM
motor, tadi mau kembali ke Cikampek.”
Seorang wanita berjas putih masuk
ruangan. Di lehernya tergantung stetoskop.
“Tolong diperiksa adik ini, Dokter. Tadi
jatuh di jalan.” Pintaku padanya.
“Baik. Ini lukanya sudah di
bersihkan? “Sang dokter bertanya pada perawatnya.
“Sudah, Dok. Hanya luka lecet di
punggung tangan dan sedikit di siku. Sudah diolesi obat.” Sahut sang perawat.
“Adik pusing tidak? Mual? Atau ada
bagian yang tidak bisa digerakkan? “ Dokter itu bertanya sambil memeriksa siku
Sri.
Semua pertanyaan dokter itu dijawab
dengan gelengan kepala. Kemudian Sri mengangkat lengannya.Tangan dijulurkan ke
atas lalu dia menggerakkan pergelangan tangan. Kemudian dia berdiri dan
menggerakkan persendian kaki.
“Tidak ada yang sakit, Dok. “ Ucap Sri.
“ Alhamdulillah..” Bisikku.
Dokter itu menuliskan resep obat dan salep untuk dioleskan pada luka.
“Kalau nanti dirumah ada keluhan,
kembali ke sini ya. Jangan lupa minum obatnya dan oleskan salep ini supaya
lukanya tidak berbekas. “ Dokter itu tersenyum, lalu memberikan kertas resep
padaku.
Kami keluar ruangan pemeriksaan. Aku
bergegas menyerahkan resep ke apotik di bagian depan klinik. Sambil menunggu
obat, aku duduk di sebuah bangku panjang.
Di bangku depan apotik aku melihat
Pak Bambang duduk di samping Sri. Mereka saling bertukar nomor telpon. Adegan
selanjutnya membuat aku tersenyum-senyum sendiri. Pak Bambang memberikan sejumlah uang pada Sri, tapi Sri menolaknya.
Lalu terjadi aksi tolak menolak yang menggelikan. Selanjutnya ada tawar menawar.
"Jangan banyak-banyak, Pak. Segini saja sudah cukup." Sri mengangsurkan sebagian uang kepada Pak Bambang.
Beberapa saat mereka beradu argumentasi hingga akhirnya Sri mau menerima semua pemberian Pak Bambang.
"Jangan banyak-banyak, Pak. Segini saja sudah cukup." Sri mengangsurkan sebagian uang kepada Pak Bambang.
Beberapa saat mereka beradu argumentasi hingga akhirnya Sri mau menerima semua pemberian Pak Bambang.
Apa yang kulihat sebenarnya adalah
sesuatu yang menyejukkan. Seorang biker sejati yang bertanggung jawab, dan
seorang gadis baik hati yang tidak memanfaatkan keadaan.
Kemudian kami kembali beriringan
bersama Pak Yugen dan Andaru
mengantarkan Sri kembali ke
bengkel tempat motornya dititipkan.
Di bengkel itu, sekali lagi aku
melihat sesuatu yang menyejukkan. Sang pemilik bengkel yang ternyata sudah
memperbaiki motor Sri, menolak uang pemberian Pak Bambang. Lalu terjadi lagi
aksi tolak menolak. Akhirnya pria pemilik bengkel itu menerima pemberian Pak
Bambang.
Sungguh, hari ini aku melihat contoh
pribadi-pribadi yang baik, berjiwa penolong dan bertanggung jawab. Meskipun aku
melihat juga contoh pribadi yang menempatkan amarahnya salah kaprah. Siapa lagi
kalau bukan pria berkaos abu-abu tadi. Hihihi...
Perjalanan berlanjut. Total waktu
yang hilang lebih kurang 5 jam. Ditambah macet parah berkilo-kilo meter menghadang
di tengah garangnya sengatan matahari sempat membuat Pak Yugen bertanya,
apakah touring mau dilanjutkan atau pulang saja.
Saat makan siang di Sukamandi Subang,
Pak Yugen kembali bertanya.
“Jadi bagaimana, kita lanjutkan
perjalanan atau mau pulang saja? “
“Lanjut dong, Pak. Mau pulang juga
sama saja, bakal kena macet parah juga. “ Sahut Andaru.
“Iya, lanjut saja. Mudah-mudahan ke
depan sudah tak terlalu parah lagi macetnya. “ Sambungku.
Sebenarnya ada dua alasan aku ingin tetap melanjutkan perjalanan ini. Pertama karena aku ingin tahu bagaimana suasana Taman Wisata Guci itu. Alasan kedua, aku sudah terlanjur menulis status di media sosial bahwa aku dalam perjalanan touring ke Guci. Pasti lucu jadinya kalau ternyata aku harus balik arah pulang ke Bogor sebelum mencapai Guci. Lalu mau bilang apa aku pada teman-teman di media sosial yang minta foto dan kisah touring ke Guci di share? Hahaha...
Sebenarnya ada dua alasan aku ingin tetap melanjutkan perjalanan ini. Pertama karena aku ingin tahu bagaimana suasana Taman Wisata Guci itu. Alasan kedua, aku sudah terlanjur menulis status di media sosial bahwa aku dalam perjalanan touring ke Guci. Pasti lucu jadinya kalau ternyata aku harus balik arah pulang ke Bogor sebelum mencapai Guci. Lalu mau bilang apa aku pada teman-teman di media sosial yang minta foto dan kisah touring ke Guci di share? Hahaha...
“Sebaiknya tanya Bu Yugen saja. Kalau
dia kuat, kita lanjut. Tapi kalau tidak, ya kita pulang.” Usul Andaru.
“Si Sri tadi kirim sms. Katanya dia
sudah selamat sampai rumah. Terus dia bilang terimakasih. “ Ujar Pak Bambang sambil terkekeh.” Lucu anak itu. Disenggol
motor kok malah bilang terimakasih.”
Kami ikut tertawa. Aku percaya,
kebaikan akan berbalas kebaikan. Tentu Sri sangat menghargai prilaku
bertanggung jawab yang ditunjukkan Pak Bambang.
Setelah makan siang, shalat Zuhur dan
Ashar , kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Masih ada beberapa titik macet
yang menghadang kami. Untungnya macet kali ini saat matahari sudah terbenam,
sehingga kami tak terlalu disiksa panas. Di tengah macet panjang itu, empat
bikers seolah diuji kemampuannya dalam memilih jalan. Butuh keahlian dan
perhitungan yang tepat untuk melintas di sela-sela kendaraan besar seperti
truk, trailer, dan bus, atau bila memutuskan melaju di bahu jalan dengan
kondisi tanah yang tak rata. Mata harus benar-benar awas untuk mengantisipasi
bila ada lubang menganga, batu besar, jalan menyempit, atau tumpukan pasir yang
menghadang di bahu jalan. Aku yang duduk di boncengan pun menikmati adrenalin
memuncak dan mereda sepanjang jalan macet itu.
Pak Yugen, yang lebih berpengalaman
dan memiliki kemampuan teruji bertindak sebagai
pembuka jalan. Akang mengikuti
jalur yang diambilnya dengan perhitungan bahwa bila motor yang lebih
besar seperti milik Pak Yugen bisa lewat, sudah pasti si Kuning pun
bisa melewati jalur itu.
Setelah istirahat makan malam dengan
menu sop buntut di Tegal, kami
melanjutkan perjalanan. Udara sejuk mulai memeluk kami. Jalan yang terus menanjak seolah memberi harapan
bahwa sebentar lagi kami akan sampai di tujuan.
Pukul setengah sepuluh malam. Langit telah hitam kelam ketika sebuah papan
penunjuk arah menuju Guci terlihat di tepi jalan. Udara dingin kian menggigit
seiring dengan jalan yang menanjak, berliku dan curam. Sepi. Jalan panjang itu
seolah milik kami karena sedikit sekali
kendaraan lain yang melintas. Sayang bulan tak hadir, hingga pemandangan hanya
gelap semata. Aku memeluk punggung Akang saat kami melaju terus di jalan
menanjak.
Akhirnya, sebuah gerbang menghadang. Tampaknya inilah gerbang masuk
menuju Taman Wisata Guci. Sebuah api
unggun menyala disisi jalan. Pria-pria
penjaga gerbang menghampiri Pak
Yugen, dan memberikan karcis tanda masuk.
Memasuki kawasan ini, kami langsung
disambut deretan hotel, wisma, penginapan, dan villa-villa di kiri kanan jalan. Kami langsung menuju hotel yang sudah
dipesan Pak Yugen. Leganya.. akhirnya bisa istirahat dengan nyaman.
Sebelum tidur, ditengah kantuk yang
menyerang aku berbisik pada Akang.
“Kang, jadi apa ya hikmah kejadian
hari ini. Mulai dari motor mogok 4 jam, sampai kecelakaan tadi? “
“Itu
cara Tuhan menjaga kita. Mungkin
ada musibah yang lebih besar lagi kalau perjalanan kita tak tertunda
selama 5 jam.” Akang menjawab dengan mata setengah terpejam.
Oh, baiklah. Aku membelai wajah Akang yang terlelap dengan sayang. Pandai sekali lelaki
separuh jiwaku ini menarik hikmah dari dua kejadian tadi.
Aku terbangun oleh suara azan subuh
dari ponsel Akang. Dinginnya udara menusuk-nusuk seolah membujukku untuk
melanjutkan tidur. Tapi aku bangkit, mandi dengan air panas alami lalu
melaksanakan shalat subuh. Akang pun demikian. Kami harus cepat membereskan
barang-barang supaya ada waktu menikmati suasana di sini sebelum kembali
pulang.
TAMAN WISATA AIR PANAS GUCI. Tulisan
besar itu terpampang di dinding bukit hijau di atas sana. Aku langsung teringat HOLLYWOOD sign yang
juga terpampang di atas bukit di Los Angeles California. Sayang sekali aku tak
sempat berfoto dengan latar belakang tulisan itu saat berkunjung ke sana
beberapa minggu yang lalu.
Suasana hijau royo-royo dibalut udara
dingin membuat hati tentram. Aku dan Akang melihat-lihat suasana di lingkungan
hotel. Seperti biasa, narsis parahku kumat. Maka aku meminta Akang mengambil
fotoku di beberapa tempat di lingkungan hotel.
Di sisi sebuah tangga, ada kolam
buatan yang airnya beruap-uap. Aku menyentuh airnya. Terasa hangat. Air ini berasal dari sumber mata air alami di
desa Guci.
Dua buah kolam air hangat tersedia di
lingkungan hotel ini. Berbeda dengan sumber air panas di tempat lain, air panas
di Guci tidak berbau karena tidak mengandung Sulphur. Air panas di desa Guci
ini benar-benar membawa berkah bagi warga Guci maupun pemerintah Kabupaten
Tegal. Obyek wisata ini menyumbang pendapatan daerah sekitar 2 Miliar per tahun melalui kunjungan
sekitar 22.000 wisatawan.
Sebenarnya di kawasan seluas 125
hektar yang berbentuk sendok ini
terdapat air terjun dan sumber air panas yang mengalir dari beberapa anak
sungai. Tapi air terjun dan sungai yang dibuka sebagai tempat pemandian umum
itu sangat ramai dikunjungi orang pada saat hari libur, sehingga kami lebih
memilih menikmati suasana di lingkungan hotel saja. Toh sama saja, air panas
yang mengalir di kolam renang hotel pun berasal dari air panas alami. Suasana
di hotel yang tidak terlalu ramai membuat kami merasa lebih nyaman.
Pak Bambang yang tengah mengalami
nyeri di pinggangnya mencoba berenang dan berendam beberapa saat di kolam .
Ketika selesai, dia menyampaikan testimoninya.
“Enak lho. Berenang dan berendam di
kolam air hangat benar-benar bisa membantu penyembuhan. Sekarang rasanya jauh
lebih baik. Sakitnya banyak berkurang. “ Ucapnya.
Kami sarapan pagi di resto dekat
kolam renang. Ada nasi goreng, mie goreng, soto, telur mata sapi, dan kerupuk.
Di teras samping resto aku melihat pedagang sate kelinci. Aku dan Akang memesan
dua porsi sate tanpa lontong. Asyik juga makan pagi sambil ngobrol dengan pak
Yugen dan istrinya di tengah suasana sejuk.
Setelah sarapan, bu Yugen mengajakku
berjalan keluar hotel untuk belanja oleh-oleh. Kami berdua mendaki jalan
menanjak yang membuat nafas Bu Yugen ngos-ngosan.
“Kita pelan-pelan saja ya, Bu. Kalau
capek kita berhenti dulu.” Aku agak khawatir melihat Bu Yugen.
“Tidak apa-apa. Saya kuat kok. Jalan
memang harus pelan-pelan kalau tidak jahitan di perut saya suka perih.”
Ucapannya membuat hatiku ngilu.
“Bekas jahitan operasi cangkok ginjal
ini panjang lho. Melintang perut, tidak seperti jahitan operasi caesar. “ Jelas
Bu Yugen. Hatiku makin senut-senut.
“Ibu hebat sekali! Salut! Ibu punya
semangat hidup yang kuat.” Aku memandang wanita itu dengan kagum.
Di luar hotel, ada berderet-deret
pedagang oleh-oleh, makanan, sayur dan buah-buahan . Aku dan Bu Yugen tergiur membeli strawberry
yang segar dan besar-besar ukurannya. Harganya sekilo strawberry Rp. 35.000,-.
Selain itu kami juga membeli manisan pepaya khas Tegal seharga Rp. 20.000,- per
kilo. Selain itu ada manisan buni, dan manisan tomat. Manisan buni per kilo-nya
Rp. 30.000,- dan manisan tomat Rp. 60.000,-. Selain makanan khas Tegal, di kios
makanan ini juga terdapat dodol beraneka rupa seperti yang biasa dijual di
Garut.
Beberapa anak muda menawarkan untuk
jalan-jalan kompleks wisata ini dengan naik kuda. Untuk jarak dekat pengunjung
bisa menikmati naik kuda dengan tarif Rp. 10.000,- sedangkan untuk keliling
lokasi taman wisata ini tarif naik kuda berkisar Rp. 50.000,-
Hari beranjak siang. Pukul 9 lewat,
kami menyelesaikan administrasi hotel dan bersiap pulang. Di sepanjang jalan
yang menurun dan berkelok-kelok kami disuguhi pemandangan cantik lembah,
jurang, bukit dan pepohonan hijau. Cantik sekali! Seandainya waktu kami tak
sempit, rasanya masih betah berlama-lama di tempat indah ini. Tapi apa boleh
buat, hari Senin besok para bikers harus kembali bekerja.
Di tengah jalan pulang, saat berhenti
di lampu merah, Akang bertanya.
“Bagaimana, Neng? Apa Neng menikmati
touring kita ini?”
“Ya tentu saja, Kang. Asyik banget!
Terimakasih ya, Sayang..” Pertanyaannya langsung kujawab dengan antusias.
Dalam setiap perjalanan touring
selalu saja ada hikmah yang bisa
dipetik. Hikmah yang indah sebagai pelajaran untuk menjalani hidup. Lagi pula, manalah mungkin aku jawab pertanyaan Akang dengan
tanggapan negatif, bisa-bisa tak diajaknya lagi aku bertualang di atas kuda
besinya. Gawat kan?!
Note : Kisah touring ini menjadi kenangan manis bersama istri Pak Yugen, Ibu Sri Widayati. Beliau telah meninggal dunia tanggal 27 Oktober 2015. Innalilahi wa inna ilaihi rojiun... Semoga Ibu Sri Widayati khusnul hotimah, diampuni semua dosa dan diberi tempat yang indah di sisi Allah SWT. Aamiin..
Note : Kisah touring ini menjadi kenangan manis bersama istri Pak Yugen, Ibu Sri Widayati. Beliau telah meninggal dunia tanggal 27 Oktober 2015. Innalilahi wa inna ilaihi rojiun... Semoga Ibu Sri Widayati khusnul hotimah, diampuni semua dosa dan diberi tempat yang indah di sisi Allah SWT. Aamiin..
short gate away tapi maknyus, rupanya. salam ah untuk Akangnya ^_^
BalasHapus@Ratna. hehehe... Salam kembali..
HapusHehe...seru banget kisahnya :)
BalasHapusBeruntung sekali obyek wisata Guci dikunjungi oleh Mbak Dewi yg bloger, jadi diliput dn tambah terkenal!
@sri komarudin : Aamiin...semoga tulisan ini bisa menambah referensi buat yang ingin jalan2 ke tempat indah..
HapusAsyik banget touringnya maak...
BalasHapus@bukanbocahbiasa : iya maak... Seruu...
Hapuswahh keren euy! mupeng jalan-jalan naik motor!
BalasHapus@Aisha Abdullah : ayok ikutan! :)
Hapuskeren banget ceritanya mba.
BalasHapusSeruuu, menegangkan tapi asyik ya mbak.
BalasHapus