Menjejak Amerika. Itulah salah satu resolusi yang kucanangkan ketika memasuki tahun 2014 yang lalu. Mau apa disana? Kapan berangkat dan bersama siapa? Pertanyaan-pertanyaan itu pada awalnya tak terlalu menggangguku karena semuanya masih serba tak pasti.
Kutanyakan
adakah kemungkinan Akang, begitulah aku memanggil suamiku, mengizinkan aku
pergi ke Amerika. Kusodorkan
kehadapannya berlembar-lembar kertas
bertuliskan promosi tour ke Amerika lengkap dengan itinerary, hasil mencomot
dari berbagai travel agent.
Tapi nasib
pelaksanaan resolusiku itu ibarat
teka-teki. Sulit ditebak, sebagaimana
ekspresi datar dengan bibir terkatup rapat yang menghias sekujur wajah Akang.
Tumpukan kertas itu membisu, teronggok saja di atas meja, tak ditoleh
sama sekali. Ekspresi datar itu bertahan di wajahnya, tak mengiyakan, tak pula
menolak, hanya diam dengan tatapan lurus kedepan.
Baiklah, aku tak
risau. Siapa tau pria separuh jiwaku itu sudah punya rencana lain yang jauh
lebih asyik daripada membiarkan istrinya kelayapan di negri adi daya.
Ketika di bulan Maret aku mengajukan izin ke Kuala Lumpur, dia
menatapku lalu berkata.
“ Untuk apa,
Neng? Di sana tidak ada yang menarik.”
Lalu meluncurlah
argumentasiku. Bahwa traveling kali ini bukan sekedar jalan-jalan. Terselip sebuah
tujuan mulia, mengadakan bakti sosial memberi pelatihan bisnis dan menulis
untuk para TKW di kedutaan RI, bersama komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis, Komunitas
Ibu Mengajar dan Persatuan Wanita Indonesia untuk Pendidikan.
Argumentasiku makin
menyala-nyala. Kusebutkan pula bahwa aku
dan teman-teman akan bertemu dengan komunitas wanita expatriate yang tinggal di
Kuala Lumpur. Kujelaskan segala manfaat yang dapat direguk bila bergaul dengan
wanita-wanita berenergi positif dengan ide-ide cemerlang dan network yang luas.
Lalu izin
suamiku pun meluncur, lancar jaya.
Kini aku
mengerti. Akang menghendaki perjalananku ke negeri orang hendaknya membawa misi
kebaikan, bukan sekedar jalan-jalan dan bersenang-senang.
Pasal resolusiku
ke Amerika seolah pupus, selama berbulan-bulan
tak pernah tercetus kembali. Hingga suatu hari di bulan Ramadhan, pertengahan Juli
2014. Aku tengah duduk di lobby kampus pasca
sarjana universitas Ibnu Khaldun bersama sahabatku Indriya. Kami menanti sebuah
kuliah singkat kajian hadist.
Agak aneh ya, emak-emak dasteran kayak aku kok ikut kuliah? Di kampus pasca sarjana pula. Itulah untungnya bersahabat dengan mahasiswi program pasca sarjana seperti Indriya. Aku bisa kecipratan memperoleh ilmu, meskipun cuma beberapa hari menjadi mahasiswi “jadi-jadian” mencicipi duduk di ruangan khusus yang adem, mendengarkan kajian hadits dari dosen-dosen yang kompeten dengan bonus boleh bertanya sebanyak-banyaknya. Nikmat...!
Di lobby itu
telepon seluler Indriya berbunyi. Obrolan kami pun terhenti. Dia berbicara dengan seseorang di seberang sana.
Kelihatannya berunding tentang rencana
keberangkatan ke suatu tempat. Detroit dan
Los Angeles disebut-sebut dalam pembicaraan itu. Sesaat setelah telepon
di tutup, kami pun dipersilahkan masuk ruangan untuk mengikuti kuliah kajian
hadits.
Baru beberapa
menit duduk menyimak kuliah, Indriya berbisik.
“Mbak, ikut yuk
ke USA. Kita bertemu dengan komunitas muslim disana. Sekalian menghadiri
konvensi ISNA, Islamic Society of North America. Setelah itu jalan-jalan.” Mata Indriya berbinar-binar melirikku.
“Terus, aku
ngapain di sana? “ Balasku antusias.
“Mbak kan sudah lama aku tawari bergabung di InICF, Indonesia Islamic Cultural Foundation. Sekaranglah saatnya menjadi delegasi InICF menghadiri konvensi ISNA. Sebagai promotion officer. Tugas kita membawa misi budaya Islam Indonesia. Ayoklah!” Desaknya meyakinkan aku.
“Mbak kan sudah lama aku tawari bergabung di InICF, Indonesia Islamic Cultural Foundation. Sekaranglah saatnya menjadi delegasi InICF menghadiri konvensi ISNA. Sebagai promotion officer. Tugas kita membawa misi budaya Islam Indonesia. Ayoklah!” Desaknya meyakinkan aku.
Wah, menarik.
Tanganku meraih ponsel, mengetikkan rangkaian kata-kata bernada
persuasif, berbumbu argumentasi , diakhiri dengan sedikit rayuan manis berujung
permintaan izin berangkat ke USA. Pesan itu dikirim ke ponsel milik pria
separuh jiwaku yang tengah menjalankan tugas mulia mencari nafkah di Selat
Malaka sana.
Beberapa menit
aku menanti. Tak ada jawaban. Bagaimana
pun jawabannya nanti, aku akan maklum.
Izin yang kuharapkan memang bukan sekedar barisan kata,” Baiklah, Akang
mengizinkan Neng pergi.” Tapi lebih dari itu.
Mengizinkan berarti Akang bersedia mengikatkan diri pada kewajiban membiayai travelingku mulai dari transportasi, akomodasi, biaya makan hingga beli oleh-oleh. Cukupkah semua itu? Belum. Si Akang pun harus mengikatkan diri pada kewajiban menggantikan tugasku menjaga anak-anak kami selama aku pergi. Sungguh berat. Aku tahu itu.
Mengizinkan berarti Akang bersedia mengikatkan diri pada kewajiban membiayai travelingku mulai dari transportasi, akomodasi, biaya makan hingga beli oleh-oleh. Cukupkah semua itu? Belum. Si Akang pun harus mengikatkan diri pada kewajiban menggantikan tugasku menjaga anak-anak kami selama aku pergi. Sungguh berat. Aku tahu itu.
Lima belas menit
kemudian kekhusyukan mendengar
penjelasan hadits riwayat Buchori terkoyak oleh getaran ponsel yang menandakan
sebuah pesan masuk.
Dari Akang. Hanya satu kata saja yang dituliskan sebagai balasan atas pesanku yang terdiri dari berderet-deret kalimat.
“ Boleh.”
Satu kata yang
kontan membuat hatiku melonjak-lonjak gembira tak karuan.
Kusodorkan
ponselku pada Indriya hingga dia bisa membaca satu kata yang tertera di layar
itu. Lalu kami berdua tersenyum-senyum serupa gadis remaja tersipu membaca surat cinta. Tanpa sadar kami melakukan
“tos lima jari” menautkan telapak tangan kami di udara. Lalu kembali tersipu
menatap wajah dosen yang bengong melihat perilaku kami.
Usai kuliah, aku
kembali mengulas rencana ke Amerika bersama Indriya.
“Acaranya
tanggal 29 Agustus 2014, berarti kita berangkatnya tanggal 28 Agustus.” Ujar Indriya
“ Apa? Yang
benar saja. Ini sudah tanggal 15 Juli. Aku belum mengurus visa. Dirimu sih enak, sudah dapat visa Amerika untuk
5 tahun. Lha, aku? Apa masih sempat? Apalagi tanggal 28 Juli Idhul Fitri. Wah....”
Perutku tiba-tiba mules, terasa ketegangan merayapiku.
“Mudah-mudahan masih sempat. Kita harus bergerak cepat.” Suara Indriya terdengar bersemangat.
Mau tak mau aku pun tertular semangatnya, meskipun tetap saja cemas menggerayangi hatiku.
Mau tak mau aku pun tertular semangatnya, meskipun tetap saja cemas menggerayangi hatiku.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Langkah pertama
yang harus aku lakukan adalah mengurus
visa . Banyak cerita yang melemahkan semangat kala aku bertanya bagaimana
mengurus visa Amerika.
“Ribet. Teman
sekantorku sudah pernah beberapa kali bolak-balik ke Amerika, eh terakhir apply
visa malah ditolak. “
“Hah? Baru mau
mengurus visa sekarang? Mana sempat! Aku saja butuh 1 bulan untuk mendapatkan
visa Amerika.”
“Mengurus visa
Amerika itu ibarat lotre, alias untung-untungan. Nasibmu ditentukan oleh petugas
konsuler yang pongah itu. Bisa saja
pengajuan visa ditolak tanpa sebab yang
jelas. “
“Setiap petugas
konsuler akan mencurigai semua pemohon visa sebagai orang yang berminat menjadi
imigran di Amerika. Jadi pemohon visa harus bisa meyakinkan kalau dirinya tidak
bakalan menjadi imigran gelap, gelandangan atau pekerja ilegal yang mengadu
nasib di sana. “
“Pertanyaannya
njelimet. Aku seperti diinterogasi dan dicurigai habis-habisan. Diperiksa persyaratan surat-surat
pendukungnya. Ada satu surat yang salah tanggalnya, ya sudah deh... visaku ditolak.
Sial!”
Wah, benar-benae
deg-degan aku mendengar pengalaman gagal memperoleh visa Amerika . Tapi apa
boleh buat, demi terlaksananya resolusi, aku
nekat saja mengajukan permohonan visa. Kalau ditolak ya sudah nasib.
Resiko bila visa ditolak adalah uang
yang dibayarkan untuk biaya permohonan visa
tak dikembalikan.
Proses
Pengurusan Visa USA
Mula-mula aku
membuka website kedutaan Amerika di http://www.ustraveldocs.com/id_bi/id-niv-visaapply.asp
. Di sini dijelaskan cara mengajukan visa non-imigran dengan bahasa Indonesia.
Aku menentukan
dulu jenis visa mana yang sesuai dengan tujuan ke Amerika. Dalam hal ini aku
mengajukan visa bisnis/ wisatawan jenis B-1. Lalu lanjut ke langkah berikutnya
yaitu melakukan pembayaran biaya visa.
Untuk melakukan pembayaran, aku mencetak slip
deposit yang link-nya terdapat pada http://www.ustraveldocs.com/id_bi/id-niv-paymentinfo.asp
. Pembayaran dapat dilakukan di Bank
Permata dan Standard Chartered Bank.
Aku membawa slip deposit ke Bank Permata. Ternyata tak
semua bank Permata bisa melayani pembayaran visa Amerika, terutama di Bogor.
Terpaksa aku menuju Bank Permata yang terdapat di Pondok Indah.
Untuk visa jenis
B-1 biayanya adalah $160. Pembayaran dilakukan dengan rupiah sesuai dengan
nilai tukar rupiah pada saat itu. Saat aku membayar visa, $160 setara dengan
Rp. 1.920.000,- Angka tersebut tercetak
pada slip deposit. Pada slip deposit tertera tanggal kadaluwarsa slip, jadi
pembayaran harus segera dilakukan sebelum tanggal tersebut.
Ketika selesai melakukan pembayaran, petugas bank memberi slip pembayaran dari bank yang disatukan dengan slip deposit. Kedua slip ini harus di scan untuk dimasukkan datanya secara online, dan slip aslinya harus dibawa pada saat wawancara.
Kemudian untuk
memenuhi syarat pengajuan visa, aku
membuat pas foto. Teman-temanku mengusulkan untuk berfoto di Jl. Sabang
di Jakarta, tapi karena aku tak tahu tempatnya akhirnya aku berfoto di studio
foto yang ada di kotaku, Bogor. File
foto kemudian diupload secara online
untuk memenuhi syarat pengajuan visa. Satu pas foto harus dibawa ketika
wawancara.
Langkah
berikutnya adalah mengisi formulir DS-160. Petunjuk dan panduan pengisian terdapat pada link ini http://www.ustraveldocs.com/id_bi/id-niv-ds160info.asp Formulir ini harus dilengkapi secara online
dan halaman konfirmasi harus dicetak dan dibawa saat datang ke kedutaan untuk wawancara.
Mengisi formulir
DS-160 harus dilakukan dengan cepat, bila ada jeda selama lebih dari 20 menit
maka sesi akan berakhir. Pemohon harus mengulang lagi dari awal. Kecuali bila file permohonan sudah disimpan
di komputer, maka pemohon bisa melanjutkan pengisian formulir.
Proses pengisian
data ini sungguh bikin perut mules karena tegangnya. Tak lain karena tak boleh
ada kesalahan dalam pengisian data dan dilakukan dengan bahasa Inggris.
Dokumen-dokumen
yang disiapkan untuk di upload adalah :
- 1. Kartu Keluarga
- 2. KTP
- 3. Surat Nikah
- 4. Surat Keterangan kerja, menyatakan bekerja di perusahaan apa, jabatan, sudah berapa lama dan gaji/ bulan dalam bahasa Inggris.
- 5. Atau bila sebagai pengusaha tunjukkan bukti surat2 usahanya, dan berapa asset plus omsetnya.
- 6 Foto yang memenuhi syarat pengajuan visa Amerika seperti yang tertera pada link ini http://www.ustraveldocs.com/id_bi/id-niv-photoinfo.asp
1
Selain
dokumen-dokumen yang tersebut di atas, aku
juga menyiapkan dokumen-dokumen pendukung yaitu
- 1. Supporting letter dari perusahaan atau organisasi yang berada di USA
- 2. Surat dari Atase Perdagangan Kedutaan Besar Republik Indonesia karena travelingku ini untuk bertujuan menghadiri konvensi Islamic Society of North America (ISNA).
- 3. Surat penugasan dari organisasi yang menaungi aku dalam hal ini dari Indonesia Islamic Cultural Foundation ( InICF).
- 4. Bukti rekening koran/tabungan/deposito dan surat rekomendasi Bank.
- 5. Letter of Consent atau surat izin dari suami.
- 6. Supporting letter dari perusahaan tempat suamiku bekerja
- 7. SIUP perusahaan tempat suamiku bekerja.
Kenyataan yang
aku hadapi, tidaklah mudah untuk memenuhi semua persyaratan dokumen itu dalam
waktu singkat saat menjelang mudik lebaran. Aku harus berkejaran dengan
tenggat waktu pengumpulan dokumen
dan mendatangi kantor pusat tempat suami
bekerja, di Jakarta yang diwarnai macet di mana-mana. Rasanya seperti menaiki roller coaster,
membuat emosi naik turun.
Pikiranku
terbelah-belah antara mengurusi dokumen visa, urusan anak-anak, penyelesaian
pembayaran berbagai tagihan sebelum waktu mudik tiba, dan packing untuk
persiapan mudik.
Setelah selesai
mengisi formulir secara online, tahap berikutnya adalah menetukan jadwal
wawancara. Jadwal wawancara di kedutaan
Amerika di Jakarta ditentukan tanggal 31 Juli 2014 jam 7 pagi, atau 3 hari
setelah lebaran. Masalahnya, tanggal 21
Juli aku sekeluarga berangkat ke Palembang untuk mudik lebaran dan rencana
kembali tanggal 3 Agustus. Artinya aku harus ke Jakarta ditengah-tengah acara
mudikku demi melakukan wawancara.
Aku kembali
hunting tiket pesawat PP Palembang- Jakarta- Palembang untuk tanggal 30 dan 31
Juli 2014. Untung saja masih kebagian dengan harga cukup murah, jauh lebih
murah dari tiket yang aku beli berbulan-bulan yang lalu untuk mudik lebaran.
Dokumen yang
dibawa saat wawancara :
- 1. Selembar surat “Appointment Confirmation” yang di print setelah menentukan jadwal wawancara. Surat ini harus di cetak dengan printer yang berkualitas, sehingga dua barcodeyang tertera dapat terbaca jelas.
- 2. Confirmation Letter yang dikirim kedutaan ke alamat email pemohon visa. Di surat ini tertera foto, data diri pemohon dan nomor konfirmasi, berikut bar code pada sisi kanan atas dan kiri bawah. Surat ini pun harus di print dengan printer berkualitas sehingga barcode yang tertera dapat terbaca jelas.
- 3. Photo visa 1 lembar.
- 4. Paspor, bila ada paspor lama dibawa juga.
- 5. KTP.
- 6. Kartu Keluarga.
- 7. Surat rekomendasi dari bank dengan rekening koran 3 bulan terakhir dan deposito
- 8. Surat keterangan kerja dalam bahasa Inggris yang menyatakan nama, jabatan, sudah berapa lama kerja dan penghasilan per bulan.
- 8. Supporting letter dari perusahaan atau organisasi yang berada di USA.
- 9. Surat dari Atase Perdagangan Kedutaan Besar Republik Indonesia karena travelingku ini untuk bertujuan menghadiri konvensi Islamic Society of North America (ISNA).
- 1. Surat penugasan dari organisasi yang menaungi aku dalam hal ini dari Indonesia Islamic Cultural Foundation ( InICF).
- 1. Letter of Consent atau surat izin dari suami.
- 1. Supporting letter dari perusahaan tempat suamiku bekerja
- 1. SIUP perusahaan tempat suamiku bekerja.
Hari itu, dini
hari pukul 5.00 tanggal 31 Juli 2014,
aku meluncur dari Bogor menuju kedutaan Amerika dengan hati
berdebar-debar. Pak Ano, supir yang mengantarku, melajukan mobil dengan kecepatan
sedang membelah jalan yang sunyi. Ya, hari itu masih dalam suasana lebaran.
Penduduk Jakarta sebagian besar masih mudik hingga jalan-jalan di Jakarta
lengang tanpa macet.
Baik aku maupun
Pak Ano belum tahu pasti lokasi kedutaan Amerika berada. Kata orang lokasinya di Jalan Medan Merdeka
Selatan no. 5, dekat Monas. Maka berputar-putarlah kami didaerah itu, tapi tak
kami jumpai tulisan “ USA Embassy” di sepanjang jalan.
Pak Ano akhirnya
memarkir mobilnya di parkiran Monas. Lalu dia turun untuk bertanya pada seorang
anak muda berpakaian rapi dan mengepit map plastik.
“Wah, saya juga
mau ke kedutaan Amerika. Itu kantornya,
di seberang jalan sana.Saya juga parkir mobil di sini karena tidak boleh parkir kendaraan di dekat
sana.” Ujarnya menanggapi pertanyaan Pak
Ano.
Aku lalu turun
dan menghampiri anak muda berwajah oriental itu.
“Kita sama-sama
ke sana ya..” Pintaku.
“ Ayo. Lewat
sini.” Sahutnya ramah.
Sebentar saja
aku sudah terlibat percakapan yang menarik dengan anak muda itu. Namanya Bendy.
Dengan riang Bendy menceritakan pengalamannya melakukan traveling ala backpaker
bersama kawan-kawan dari komunitas backpaker. Sudah berbagai negara di
kunjunginya, mulai dari Turki, Thailand, Australia, Vietnam, Singapura,Korea Selatan, Malaysia dan Jepang. Tujuan berikutnya tentu saja Amerika, tepatnya New York.
Kami menyeberang
jalan hingga menemui sebuah bangunan
luas berpagar besi tertutup fiber hitam.
Gulungan kawat berduri melingkar-lingkar di
puncak pagar. Tak ada tulisan “ USA Embassy” seperti yang kubayangkan.
Seorang petugas keamanan meminta kami menunggu di dekat pos di bawah jembatan
di ujung sana.
Satu persatu
pemohon visa lainnya berdatangan. Ada
sepasang suami-istri membawa seorang anak balita. Lalu pria-pria berjas dan
beberapa wanita berpakaian formal.
Teman-teman yang
akan berangkat untuk menghadiri konvensi ISNA pun berdatangan. Ada 7 orang
teman yang kemudian bersama-sama berbaris di depan pintu masuk kedutaan jam
6.30.
Kami membentuk 2
barisan memanjang kebelakang. Seorang petugas keamanan memeriksa paspor
dan surat konfirmasi satu persatu.
Saat memeriksa
seorang wanita di depanku, petugas keamanan yang membawa daftar nama pemohon
visa terlihat bingung.
“ Wah, nama Ibu
tidak ada di daftar ini.” Ujarnya.
“Tapi saya sudah
dapat surat konfirmasi-nya. Ini dia” Sahut wanita itu sambil mengangsurkan
surat konfirmasi.
“ Iya. Tapi
entah kenapa data Ibu tidak ada di sini. Ibu tunggu saja dulu sampai petugas
administrasi-nya datang jam 8 nanti. Ibu tidak bisa masuk sekarang karena nama
Ibu tidak tercantum di sini. “ Tegas petugas itu.
Aku berdoa
semoga saja namaku ada dalam daftar, dan ternyata memang ada. Lega. Setelah diperiksa, sang petugas
keamanan mengusapkan sebuah ketas kecil ke map dan tasku, demikian juga kepada
pemohon visa yang lain. Aku tak tahu kertas apa itu.
Tak lama kami
dipersilahkan masuk ke sebuah ruang yang menjadi pintu masuk area kedutaan.
Seperti di bandara, terdapat conveyor belt untuk pemeriksaaan x-ray
dilengkapi layar monitor dan
sebuah “bingkai pintu” yang merupakan metal detector.
Seorang petugas
keamanan mengucapkan salam dan menjelaskan prosedur keamanan yang berlaku di
kedutaan Amerika.
“Selamat pagi
Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian. Selamat datang di kedutaan Amerika. Saya
ingin menjelaskan prosedur keamanan yang berlaku di sini. Anda tidak
diperkenankan membawa masuk barang-barang
yang dioperasikan dengan batre atau barang elektronik baik handphone, agenda
digital, jam tangan digital, camera, compact disk, USB,MP3, laptop, dan lain-lain, termasuk juga kabel laptop dan
charger. Lalu tidak boleh juga membawa berbagai jenis makanan, rokok, korek
api, senjata tajam termasuk juga gunting, pisau pulpen , dan gunting kuku. Barang-barang itu harus
dititipkan di sini, tapi khusus untuk makanan tidak bisa dititip. Anda bisa
membuangnya di tempat sampah, atau silahkan dimakan dulu sebelum masuk.”
Jelasnya panjang lebar.
“Silahkan
pisahkan barang-barang yang saya sebutkan tadi, letakkan di wadah yang
tersedia. Nanti kami akan memberi kartu untuk pengambilan barang. Kartu itu
nanti ditukarkan dengan barang-barang milik anda setelah proses wawancara selesai.” Lanjutnya.
Aku dan pemohon
visa lainnya bergegas mengeluarkan handphone dan alat elektronik lainnya dari
tas, lalu meletakkannya di wadah plastik berbentuk nampan segi empat. Kemudian
tas dan map berisi dokumen diletakkan di
conveyor belt untuk pemeriksaan x-ray.
Selanjutnya aku melewati pintu metal detector.
“Ting!”
Pintu itu menjerit ketika aku lewat.
Petugas keamanan menghampiriku, matanya tertumbuk pada jam tanganku.
“ Jamnya ada
camera-nya, Bu? “ Tanyanya.
“ Tidak ada.”
Jawabku sambil menyodorkan jam di tanganku.
Petugas itu
memandang jam tangan dengan cermat, lalu aku dipersilakan masuk setelah
mengambil tas, kartu penitipan ponsel dan map dokumen.
Bangunan yang
aku jumpai di dalam area kedutaan berupa sebuah
shelter beratap dan bertiang baja
dengan bangku-bangku memanjang terbuat dari kayu. Bangku kayu itu di cor di atas
landasan beton bercat putih. Terdapat 4 loket berjejer dengan jendela kaca yang
memiliki lubang di bagian bawahnya, untuk memasukkan dokumen.
Seorang
wanita petugas kedutaan berpakaian merah
menghampiriku. Dia meminta surat konfirmasi dan foto. Segera kusodorkan pas foto dan dokumen yang dimintanya.
“Mbak, ini
fotonya salah. Seharusnya ukuran 5 cm x 5 cm, bukan seperti ini.” Wanita itu mengembalikan foto dan dokumen ke
tanganku.
Ya, Tuhan.
Jantung berdegup kencang. Kuamati pas foto ditanganku. Benar apa yang
dikatakannya. Foto itu berukuran 4 cm x 6 cm, bukan 5 cm x 5 cm.
“Mbak harus ganti
fotonya. Cari studio foto. Di jalan Sabang ada. Nanti kembali ke sini lagi.”
Tegasnya.
Dia memberikan
selembar surat berwarna hijau, yang menjelaskan bahwa persyaratan visa-ku harus
diperbaiki. Di surat itu tertulis aku harus kembali sebelum pukul 10.30, kalau
tidak ,aku harus mengajukan
penjadwalan ulang wawancara.
Aku tertegun.
Panik dan gugup. Ini memang salahku, tak menghiraukan detail yang dijelaskan
pada persyaratan foto. Asal comot foto yang sudah ada tanpa di check lagi.
Dengan gontai
aku melangkah keluar, petugas membukakan pintu dan sekali lagi mengingatkan
bahwa aku harus cepat kembali sebelum waktu yang ditentukan.
Pintu ditutup.
Aku termangu-mangu di trotoar. Tanganku meraih tas, mencari ponsel untuk
menghubungi Pak Ano yang parkir jauh di lapangan Monas. Tapi tanganku mendadak
dingin ketika menyadari ponselku masih dititip di ruang petugas keamanan kedutaan.
“Aduh... harus
cepat, harus cepat!” Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepalaku. Tapi jalan
Sabang itu dimana? Kesana naik apa? Kalau
harus mencari Pak Ano aku takut kehilangan banyak waktu.
Sebuah taksi
berhenti di pinggir jalan, seorang wanita dengan map dan tas merah turun.
Pastilah wanita ini pemohon visa juga, pikirku. Secepat kilat aku berlari
menghampiri taksi itu, membuka pintunya dan masuk.
“ Pak, tolong
antar saya ke studio foto di Jl. Sabang. Cepat ya, Pak.” Seruku terengah-engah.
Pak sopir mengangguk. Mobil pun melaju di jalan yang
lengang. Beberapa menit kemudian kami masuk ke sebuah jalan. Beberapa studio
foto berderet-deret di kiri-kanan jalan. Tapi semua tutup! Ya Tuhan...
“Ini masih
pagi, Bu. Belum ada yang buka.” Pak Sopir mengedarkan pandangannya ke deretan
studio foto itu.
“ Ya sudah, Pak.
Saya turun di sini saja. Menunggu studio-nya buka.” Aku mengulurkan uang kepada
Pak Sopir.
“ Kembaliannya?”
“ Ambil saja,
Pak.” Seruku sambil turun dan menutup pintu.
“ Terimakasih.”
Taksi pun berlalu.
Aku berdiri
memandang deretan toko berpenampilan serupa, tertutup rolling door.
Jalanan sepi. Ku ayun langkah menapak
trotoar sambil mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan. Tak nampak tanda-tanda
deretan studio itu akan buka.
Di dekat sebuah
toko fotokopi, terlihat gerobak bubur
ayam dikerubungi pembeli. Agak lega juga
rasanya melihat ada orang-orang di sana. Setidaknya aku tak benar-benar
sendiri.
Aku melangkah
mendekati gerobak bubur ayam, menggabungkan diri dengan nenek-nenek, ibu-ibu berdaster dan pria-pria berbaju kerja
yang tampak tak sabar menanti giliran mendapatkan semangkok bubur.
“Pak, studio
foto bukanya jam berapa ya? “ Tanyaku pada penjual bubur saat dia meracik bubur
pesananku.
“ Wah, belum
pada buka, Mbak. Kan masih lebaran. ” Jawabannya tenang, tapi terasa menikamku.
Deg. Kepalaku
kontan nyut-nyutan. Kakiku lemas.
“Ya Tuhan, bisa
gagal aku mendapat visa Amerika kalau
begini. “ Pikirku merana. Aku merutuki kecerobohanku, tidak memperhatikan
detail persyaratan foto visa.
Aku mencoba
menenangkan diri sambil menyuap pelan-pelan bubur ayam panas yang terhidang di mangkok
putih.
“Harusnya studio foto itu buka, kan banyak
orang berfoto keluarga saat lebaran. Saat dimana seluruh anggota keluarga
berkumpul...” Pikirku kalut.
Menit-menit
berlalu, sudah lebih dari satu jam menunggu, dan entah sudah berapa kali aku
mondar-mandir dari pangkal ke
ujung jalan, lalu kembali lagi persis setrikaan. Berdoa dan berharap salah
satu studio foto ada yang buka. Tapi rolling door warna-warni yang membungkus
studio-studio foto itu membeku, tak menampakkan tanda-tanda kehidupan.
Mataku tertumbuk
pada sebuah warnet dengan tulisan “ Open” tertempel di pintunya. Hatiku
terlonjak melihat iklan di etalase-nya. Secercah harapan timbul.
“Cetak foto
favorit anda disini.” Begitulah kata-kata yang tertulis pada sebuah banner
bergambar pemandangan kota di waktu malam dengan lampu-lampu hias dan menara Eiffel bercahaya keemasan.
Aku melangkah masuk. Udara dingin AC membelai tubuhku, aku baru sadar kalau
sedari tadi kepanasan.
Seorang anak
muda gemuk berambut keriting berkaca
mata tebal mengalihkan pandangannya dari layar komputer lalu menyapaku ramah.
“ Ada yang bisa
dibantu, Mbak? “ Tanyanya.
“Di sini bisa
cetak pas photo nggak?” Harapanku
melambung.
Anak muda itu
menggeleng.
“Tidak bisa,
Mbak. Hanya bisa mencetak dokumen biasa. Saya tidak punya kertas foto.” Jawaban
langsung mengubur harapanku.
Kuhempaskan diri
di kursi berjok empuk di sudut ruangan.
“Saya numpang
duduk ya. Dari tadi bingung cari studio foto yang buka. Saya harus melengkapi persyaratan pengajuan
visa Amerika.”
“Wah, visa
Amerika memang ribet, Mbak. Fotonya ada aturannya. Kualitas cetak di sini tidak
bagus. Mbak memang harus ke studio foto. Tapi ini kan masih suasana lebaran.
Kalau tidak salah studio foto di sini bukanya besok. Karyawan-nya pada mudik.“ Kata-kata anak muda itu makin membuatku
terpuruk.
Tenggorokanku
kering. Aku baru sadar sedari tadi belum minum. Kubuka kulkas berpintu kaca di
dekat jendela. Sebotol teh dingin tampaknya cocok untuk mendinginkan hatiku.
Setelah mereguk teh dingin sampai habis, aku membayarnya, mengucapkan
terimakasih dan keluar dari tempat itu.
Seorang tukang
parkir berbaju biru menatapku. Tampaknya
dia kasihan melihatku wara-wiri, terlunta-lunta tak karuan. Ketika melewatinya,
dia menunjuk ke sebuah studio foto di
sisi kiri jalan.
“Studio ini
kemarin buka, Mbak. Tunggu saja, mungkin sebentar lagi buka.” Ujarnya. Rupanya
dia mendengar pertanyaanku pada tukang bubur ayam tadi.
Kata-katanya
sedikit melegakan . Aku mengucapkan terimakasih, lalu memutuskan duduk di teras warung yang tutup dekat studio itu.
Kubenamkan perhatianku pada buku novel yang kubawa, mencoba menghilangkan
resah.
Sebuah bajaj
berhenti di pinggir jalan. Aku berlari menghampiri bajaj itu.
“Pak, selain di
sini dimana lagi ada studio foto? Studio foto yang sudah buka jam segini?”
Tanyaku pada sopir bajaj.
“Mungkin di
Benhil, atau di Tanah Abang. Tapi saya nggak yakin studionya sudah buka. Ini
masih lebaran, Mbak. Disinilah pusatnya studio foto.” Si Tukang bajaj
memandangku prihatin.
Aku masih berdiri di pinggir jalan memandang bajaj itu berlalu. Rasanya ingin menangis sesegukan. Tapi tatapan tukang ojeg diseberang sana membuatku menahan diri. Aku mengerjap-ngerjapkan mata pura-pura kelilipan debu.
Tukang parkir
berbaju biru tampak bercakap-cakap dengan tukang ojeg sambil sesekali
memandangku.
Tak lama si
tukang ojeg menghampiriku.
“Mbak, setahu
saya studio ini nanti buka. Soalnya penghuninya ada di dalam. Tunggu saja.
Mungkin bukanya jam 9 . “ Katanya menenangkanku.
“Kalau jam 9
belum buka, nanti saya antar cari studio foto lain. Mungkin di Benhil atau
Tanah Abang.” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Iya, Bang. Terimakasih. Nanti kalau studio ini buka,
selesai cetak foto tolong antar saya ke kedutaan Amerika ya.” Sahutku. Rasanya
senang ada yang perduli dengan nasibku.
“ Kedutaan
Amerika? Siap, Mbak! “ Sahutnya sambil melempar senyum lebar.
Jam bergeser.
Sudah pukul 8. 30. Studio itu masih juga belum buka. Jantungku berdentam-dentam
tak karuan. Ya Allah, aku harus
bagaimana? Tak terbayangkan kesulitan yang menghadangku akibat selembar pas
foto ukuran 5 cm x 5 cm.
Seorang wanita
tampak termangu memandangi rolling door studio foto yang tertutup rapat. Lalu
dia memandangi jam di pergelangan tangannya.
Merasa ada teman
senasib, aku menghampiri wanita itu.
“ Mbak menunggu
studio-nya buka ya? Saya juga. “ Sapaku.
Wanita itu
tersenyum. “ Saya kerja di sini. “ Sahutnya. Kata-katanya membuat hatiku lega
bukan kepalang.
Sedetik kemudian,
rolling door itu berderit-derit lalu terkuak. Seorang nenek muncul, dan
tersenyum.
“Sudah buka,
ya?” Seruku riang. Inilah pertama kali dalam hidupku aku merasa
bahagia melihat sebuah rolling
door abu-abu terbuka. Rasanya ingin kupeluk
erat nenek itu.
“ Jam 9 baru
bisa mencetak foto. Mesinnya baru
dihidupkan, belum panas.” Ujar si nenek.
Oh, aku baru
tahu kalau mesin pencetak foto harus dipanasi dulu, seperti mesin mobil.
Tepat jam 9, aku
menyodorkan USB merah berisi file fotoku pada seorang editor foto bertampang
unik. Pria itu sudah tua, kepalanya hampir botak. Hanya ada beberapa helai
rambut putih panjang tergerai dari kulit kepalanya yang mengkilap. Sebuah tahi
lalat besar bertengger di dahi kirinya. Tahi lalat itu ditumbuhi beberapa
lembar uban.
“Saya harus edit
fotonya supaya sesuai dengan persyaratan foto visa Amerika. Mudah-mudahan tidak
perlu foto ulang lagi. “ Katanya sambil membuka program photoshop.
Aku terduduk
pasrah. “Semoga masih sempat kembali ke
kedutaan sebelum pukul 10.30. “ Bisikku dalam hati.
Jam 9. 30
akhirnya pas foto itu selesai. Setelah membayar aku bergegas keluar studio.
Tukang ojeg yang tadi menawari jasanya sudah menanti di pinggir jalan. Aku
cepat-cepat duduk di jok motornya, melaju menuju kedutaan Amerika.
Teman-temanku
berdiri di trotoar dekat kedutaan, memandang
aku yang turun dari ojeg dengan tatapan kasihan.
“Mbak,
kedutaannya sudah tutup, karena masih suasana lebaran.Kami semua sudah
dikabulkan visanya. Petugasnya bilang bahwa mbak dijadwal ulang untuk
wawancara besok pagi jam 7. Sekarang cepat melapor ke petugas keamanan di
sana.”
“
Hah??...”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hallo Neng.
Bagaimana wawancaranya?” Suara bariton
Akang di telepon terdengar riang di seberang sana, mengoyak pertahananku.
Bulir-bulir air mata mengalir di pipiku. Aku menangis seperti anak kecil tak kebagian mainan. Menangis menyesali kecerobohan, dan menumpahkan
segala emosi yang sejak tadi tertahan.
“Lho, kenapa?
Visanya ditolak?” Tanya Akang mendengar isakku.
“Bukan.
Wawancaranya di jadwal ulang besok pagi. Padahal Neng kan sudah beli tiket
untuk ke Palembang sore ini.” Suaraku akhirnya keluar juga meski dengan nada
tercekat.
Kejelaskan dengan
tersendat-sendat permasalahan yang
kulalui. Sudah kuduga, Akang mengomeli aku yang tak kunjung sembuh dari
penyakit bernama ceroboh. Kutelan semua omelannya bulat-bulat dengan airmata
berderai. Ini memang salahku. Lalu seperti biasa laki-laki belahan jiwa itu menutup omelan dengan
sebuah solusi. Andai saja dia ada didekatku, tentu sudah sejak tadi kusurukkan
wajah di dadanya, menumpahkan akumulasi galau dan resah yang sejak pagi
bertumpuk-tumpuk menyesakkan nafas.
“Sekarang Neng
kembali ke Bogor, langsung saja urus tiket ke maskapai penerbangan. Ubah
jadwal keberangkatan ke Palembang yang
semestinya sore ini jadi besok sore. Pasti kena biaya lagi, tapi tak apalah. Bayar
saja. Besok subuh berangkat lagi diantar Pak Ano ke kedutaan. Pastikan semua
dokumen sudah benar dan tak ada yang ketinggalan. Selesai wawancara langsung ke
bandara. “ Suara Akang terdengar menentramkan.
“
Iya, Sayang...” Bisikku. “ Doakan semoga besok lancar dan sukses ya.”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Agustus 2014,
pukul 6.30. Aku melangkah dengan mantap
memasuki kedutaan Amerika. Hari ini aku mendapat giliran pertama masuk ke
dalam, setelah melewati rangkaian prosedur seperti kemarin.
Hari ini suasana
hatiku lebih tenang. Aku sudah melalui hal paling konyol kemarin. Hari ini
harus lebih beruntung.
“Silahkan menunggu
di depan loket nomor dua.” Ucap wanita petugas kedutaan yang kemarin memintaku
mencetak foto.
Beberapa menit
menunggu, loket pun dibuka. Seorang wanita muda berhijab memanggilku.
“ Juliana Dewi
Kartikawati? “ Tanyanya sambil mencocokkan dengan daftar pemohon visa.
“ Betul.”
Jawabku sambil menyerahkan paspor dan surat konfirmasi.
“ Baik. Langsung
saja masuk lewat samping ya.” Ujarnya sambil menyerahkan sebuah kartu yang
bertanda Group A .
Aku melangkah
mantap ke arah yang ditunjuk. Ada sebuah
gerbang terbuka, lalu terdapat sebuah bangunan dengan pintu kaca yang
tertutup. Seorang wanita bermata sipit
menjajari langkahku. Kami saling bertukar senyum lalu sama-sama masuk ke ruangan itu.
Obrolan pun
mengalir. Mira, nama wanita itu. Hobinya jalan-jalan dan tampak sangat
menikmati hidup. Dia lihai merancang acara jalan-jalan bersama teman-temannya.
“Mula-mula
hunting tiket murah, lalu menetukan itinerary. Kalau bingung, biasanya aku ikut
tour lokal di negara yang di kunjungi. “ Mira menjelaskan kiat jalan-jalannya.
Mira menceritakan
pengalamannya menjelajah Jepang, ke tempat-tempat eksotis yang tidak umum
dikunjungi wisatawan. Dia bergaul dengan orang lokal yang bisa berbahasa
Indonesia. Jurus pintarnya itu membawanya mereguk pengalaman menyelami budaya
Jepang lebih dalam sebagaimana orang Jepang asli , bukan sebagai wisatawan. Dia
diajak mengunjungi resto yang digemari masyarakat lokal. Menelusuri tempat-tempat indah yang jarang
tersentuh wisatawan asing. Sungguh menarik.
Sebuah TV besar
di ruangan itu menayangkan kegiatan komunitas muslim di USA. Mataku tertegun
pada cerita di layar TV, sungguh menyejukkan apa yang dilakukan saudara-saudara
sesama muslimku disana. Mereka menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatan lil
alamin, rahmat bagi seluruh alam. Salah satu kegiatan sosial yang dilakukan adalah
menyediakan makanan bagi orang-orang
yang membutuhkan, bukan hanya bagi kaum muslim saja, tapi untuk semua yang
membutuhkan.
Beberapa nara sumber angkat bicara, mereka terdiri dari Imam, atau pemimpin kaum muslim di sana, mahasiswa, pecinta seni, pekerja, pegawai dan ibu rumah tangga. Mereka membawa misi menunjukkan kepada dunia, bahwa Islam adalah penebar kedamaian, bukan penebar teror. Hatiku makin merindukan pertemuan dengan komunitas muslim di Amerika, saudara-saudara seimanku yang tengah berjuang sebagai agen muslim terbaik.
Beberapa nara sumber angkat bicara, mereka terdiri dari Imam, atau pemimpin kaum muslim di sana, mahasiswa, pecinta seni, pekerja, pegawai dan ibu rumah tangga. Mereka membawa misi menunjukkan kepada dunia, bahwa Islam adalah penebar kedamaian, bukan penebar teror. Hatiku makin merindukan pertemuan dengan komunitas muslim di Amerika, saudara-saudara seimanku yang tengah berjuang sebagai agen muslim terbaik.
“ Aku juga nggak
percaya kalo Islam itu agama teroris.” Bisik Mira. Ucapannya itu membuatku
tersenyum.
Aku memandang Mira dengan tatapan penuh terimakasih, rasanya bahagia sekali mendengar pendapat seperti itu dari mulut seorang non-muslim.
Aku memandang Mira dengan tatapan penuh terimakasih, rasanya bahagia sekali mendengar pendapat seperti itu dari mulut seorang non-muslim.
“Betul.
Sepanjang hidupku sebagai muslimah, tak pernah aku temui ajaran Islam yang
membolehkan membunuh orang yang berbeda
keyakinan. Teroris-teroris itu bukan muslim sejati. Pikiran mereka rusak.
Mereka menungggangi Islam untuk memenuhi hawa nafsu. Sayangnya dunia Barat terlanjur menyamakan
teroris dengan Islam.” Sahutku.
Obrolan kami
terhenti ketika seorang wanita berkulit hitam di loket paling ujung berseru
dalam bahasa Indonesia dengan logat asing.
“ Group A,
silahkan ke sini. Letakkan kartunya lalu ambil sidik jari.” Ujarnya.
Aku dan Mira
beriringan menghampiri loket , meletakkan kartu di atas wadah segiempat, dan
meletakkan jari pada alat scan sidik jari. Hanya beberapa detik saja, proses ini selesai.
Kami kembali
duduk, menanti dipanggil untuk diwawancarai.
Sedikit
ketegangan merayapi hatiku. Apalagi kalau mengingat sms-sms yang kuterima tadi malam. Sms dari teman-temanku yang sudah
disetujui visanya kemarin.
“Ingat, jangan
gugup. Hafalkan alamat hotel tempat kita menginap. Jangan kelihatan bingung
kalau dia tanya kita akan tinggal di mana nanti. “
“Jangan memulai
bicara sebelum dia berkata-kata. Ikuti maunya dia. Kalau dia bicara dalam
bahasa Inggris, jawab pakai bahasa Inggris. Kalau dia pakai bahasa Indonesia,
jawab juga pakai bahasa Indonesia.”
“Harus tampil
meyakinkan. Tunjukkan bahwa dirimu kompeten. Jelaskan dengan elegan apa yang
akan kau lakukan di sana seperti seorang profesional.”
“Tak perlu
menunjukkan surat-surat pendukung dan dokumen lain kalau tidak diminta. Jangan
sok akrab, atau banyak omong. Jangan bicara kalau tidak ditanya.”
Oh, baiklah,
teman-teman.Aku menarik nafas panjang meredakan ketegangan.
Sebaris doa kuucapkan berulang-ulang dalam
hatiku.
“Rabbisy
syrahlii shadrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam millisaanii, yafqahu
qaulii.”
“Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” QS Thaahaa : 25-28
“Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” QS Thaahaa : 25-28
Loket dibuka.
Mata biru yang menghias wajah laki-laki bule berambut pirang itu menarik perhatianku. Ku coba menebak-nebak suasana hati laki-laki itu dari ekspresi wajahnya. Tampaknya
dia santai. Mudah-mudahan mood-nya sedang baik, hingga tak mempersulitku memperoleh
visa.
“ Siapa duluan? “
Tanya Mira padaku.
“ Silahkan.”
Kataku sambil mendorong dengan lembut tubuh Mira ke depanku.
Kami berbaris
dengan tertib di depan loket untuk group A.
Pertanyaan-pertanyaan
awal mengalir. Mira menjawab dengan
lancar. Aku bisa mendengar dengan jelas
wawancara yang tengah berlangsung.
“ Anda bekerja
dimana?” Tanya si bule ganteng.
“ Eh... eh...”
Mira tampak berpikir keras
Waduh,
kelihatannya dia tegang hingga lupa nama perusahaan tempatnya bekerja. Aku ikut
tegang.
Beberapa detik
kemudian..
"Sukses
Makmur Finance.” Ucap Mira. Lalu dia menghembuskan nafas, seolah baru saja
melepaskan beban berat.
Si bule ganteng
tersenyum.
“ Anda sudah
pergi ke negara mana saja?” Tanyanya.
“ Australia,
Jepang, Thailand,Vietnam, Belanda, Malaysia, Singapore, Korea Selatan, dan
Turki.” Mira lancar mengucapkan daftar nama-nama negara seperti anak SD
menyetor hafalan kali-kalian.
“ Visa anda
dikabulkan.” Si bule ganteng menyodorkan kertas putih pada Mira.
Hatiku ikut
bersorak. Mira menoleh dan melemparkan
senyum padaku. Cihuy!
Kini giliranku.
Aku memasang
wajah ramah dan percaya diri . Kutatap mata biru si ganteng itu sambil tersenyum.
“ Nama anda
siapa?’
“ Juliana Dewi
Kartikawati.”
“ Anda mau apa
ke Amerika?”
“Saya harus
menghadiri konvensi ISNA, Islamic Society of North America di Detroit.” Jawabku
mantap.
“ Apa yang anda
lakukan disana?” Si bule ganteng menatapku.
“Saya sebagai promotion
officer dari sebuah badan bernama Indonesia Islamic Cultural Foundation, organisasi
yang bertujuan memperkenalkan budaya Islam Indonesia melalui karya-karya penulis
, desainer, dan pekerja seni muslim Indonesia. Tugas saya mendokumentasikan kegiatan konvensi itu, lalu
menulis beritanya, mempromosikan di berbagai media.”
Si bule
mengangguk. Tampaknya dia puas dengan jawabanku.
Matanya melirik
layar komputer di sisi kanannya. Dugaanku, dia meneliti data-data pribadi yang sudah ku isi secara online.
“ Anda punya suami?”
“ Ya. “
“ Anda punya
anak?”
“ Tiga orang.”
Tentu si bule
ini ingin meyakinkan diri kalau aku punya ikatan kuat dengan keluargaku di
Indonesia, sehingga tak berminat menjadi imigran gelap di Amerika.
“ Kenapa suami
anda tidak ikut?”
“ Ini pekerjaan
saya, jadi suami tidak ikut.”
Dia menggangguk
lagi. Ini pertanda baik.
“ Siapa yang
akan membiayai perjalanan anda?”
“Saya sendiri.” Kumantap-mantapkan
nada bicaraku walau sedikit berbalut dusta. Aku siap menunjukkan rekening
tabungan bila diminta. Rekening atas namaku yang rutin di isi ulang oleh
Akang setiap bulan.
“Anda sudah pernah
pergi ke negara mana saja?”
Nah, keluar juga
pertanyaan yang mengingatkanku pada guru SD yang menuntut muridnya menyetor hafalan
kali-kalian.
“Italia,
Vatikan, Swiss, Austria, Germany, Liechtenstein, Belanda, Belgia, France...”
Aku menarik napas lalu melanjutkan.
“ Malaysia,
Thailand, Vietnam, Korea Selatan, dan Saudi Arabia.” Fiuh....
“ Apa yang anda
lakukan di negara-negara itu?”
“ Di Arab Saudi
menunaikan ibadah haji, di negara lain saya jalan-jalan saja.”
Mata birunya
sekali lagi meneliti layar komputer, lalu menatapku.
Wow, si bule tampak meningkat kadar kegantengannya
berlipat-lipat di mataku akibat kalimat terakhir yang diucapkannya .
Alhamdulillah. Seperti Mira, aku pun disodori
selembar kertas putih bertuliskan “
Selamat. Visa A.S. Anda telah disetujui.”
Satu gerbang
telah dibukaNya. Semoga perjalananku ke negeri Paman Sam ini membawa berkah dan
manfaat yang besar.
Amerika, I’m
coming!
Haduh saya ikutan deg degan mba bayanginnya yang foto itu. Alhamdulillah banget ya kesabaran berbuah manis ya mba. Selamatt selamatt semoga saya bisa ikutan menjejakkan kaki di sana ^^. Amin
BalasHapusTerimakasih, Mbak Shinta Ries....Aamiin semoga bisa ke Amerika ya
Hapusfiuuuhh...ikutan adem panas euy baca ceritanya mba Dewi. Keinget saya yg org desa dari sebuah kampung kecil di Kota Semarang, berangkat urus visa Schengen ke kedutaan Jerman. Padahal sekedar pergi ke Jakarta saja saya udah takutnya setengah mati hehee... meskipun cobaannya tdk seperti yg mba alami, tetep aja saya berdebar2 gak karuan. Itu pertama kalinya saya harus pergi ke negara antah berantah utk urusan pekerjaan :)
BalasHapusSelamat menunaikan tugas di Amerika ya mbaaa...sukses selalu.
Terimakasi mbak Unik Kaswarganti. Terimakasih sudah baca tulisanku.
HapusHave a safe, trip, jeng ^_^
BalasHapuswaaaaaaah senangnya bisa ke Amerika mbak....Lagian mbak sudah jalan-jalan kemana -mana sih. Jadinya di acc. Selamat ya mbak..
BalasHapusCerita nya Sangat menarik, lucu, menyedihkan karena perjuangan... Nice banget. Saya juga buat Visa Amerika dan visa di Setujui tapi cerita mbak Sangat menarik dan buat sy tertawa LOL hehheehe
BalasHapus