“Dea pengen
sekolah di SMP 1 Bogor, Ma!” Ucap anak keduaku dengan riang usai pengumuman kelulusan SD dan
pembagian NEM. Dea memperoleh nilai NEM 28,35.
“Ya,
mudah-mudahan diterima. Dea harus siap
dengan segala kemungkinan ya. Sekolah itu kan
favourite, Nak. Semua anak-anak yang berprestasi dan terpandai di Bogor
rata-rata ingin masuk ke sekolah itu. Jadi saingan Dea banyak lho. “ Sahutku
tanpa bermaksud memadamkan semangatnya.
“Dea yakin bisa.
Kita coba ya, Ma!” Dea tampak begitu mantap dengan pilihannya, sehingga hari
itu juga aku langsung mengisi formulir pilihan sekolah. Pilihan pertama SMP 1,
pilihan kedua SMP 3 dan pilihan ketiga SMP 7.
Formulir itu
langsung dikumpulkan ke wali kelas Dea, karena pendaftaran dikoordinir secara
kolektif dari sekolah Dea.
Beberapa hari
kemudian, aku mendapat sms dari guru Dea yang memberitahukan nomor pendaftaran
dan password untuk melihat proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) secara
online.
Sejak hari itu,
Dea betah berlama-lama memantau proses PPDB SMP 1. Hatinya riang ketika namanya
sudah masuk dalam daftar “Diterima Sementara” di sekolah itu. Dalam sehari, dia bisa login berkali-kali di
website PPDB Online. Tiap kali membuka website itu dia selalu melaporkan
perkembangannya.
“Ma, Dea tadinya
di urutan 84, sekarangn turun di urutan 94 dari jumlah quota 256. Masih aman,
Ma.. Tenaaang...!” Seru Dea.
Aku hanya
terseyum-senyum saja melihat tingkahnya.
Keesokan harinya
dia menunjukkan layar laptop yang tengah menampilan daftar dengan formasi yang telah berubah.
“Waduh, Ma.
Saingan Dea berat banget. Coba lihat. Ini ada yang jumlah nilainya sampai
41-an!” Teriaknya.
Aku kaget, kok
bisa sampai segitu tinggi nilainya? Bukankah hanya 3 mata pelajaran yang diujikan
di ujian nasional. Kalau semua soal dapat dijawab dengan benar, berarti nilai maksimal
yang dapat dicapai adalah 30, atau masing-masing bernilai 10 untuk mata
pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA.
Ternyata pendaftar
dengan nilai total 41-an itu selain NEM-nya tinggi, yaitu 29-an, ditambah
dengan nilai prestasi yang mencapai belasan sehingga totalnya mencapai 41-an.
Jumlah pendaftar
yang memiliki prestasi ternyata sangat banyak. Meskipun ada yang NEM-nya 26-an
tapi karena memiliki nilai prestasi maka
sukses mendongkrak rangking total
perolehan nilai.
Posisi Dea makin
turun, ke urutan 107 lalu ke 122. Aku melihat wajah Dea mulai cemas, apalagi
dia melihat beberapa teman sekolahnya mulai tersingkir dari daftar.
Hari berlalu,
masa pendaftaran mendekati penutupan. Drama yang berlangsung makin seru dan
mendebarkan. Dea tampak cemas melihat posisinya makin melorot.
“Katanya sudah
penutupan, tapi kok masih berubah terus posisinya? Dea sudah di urutan 144 nih,
Ma. Gimana dong...” Ujarnya cemas. Mau tak mau kecemasannya pun mempengaruhi
aku. Sebagai Ibu aku bisa merasakan kepanikannya.
“Dea, sabar
saja. Kalau memang sekolah itu rezeki Dea, pasti Dea bisa masuk.” Aku berusaha
setenang mungkin mengucapkannya, padahal cemasku pun memuncak.
Sebenarnya
bagiku tak masalah kalau Dea tak sekolah di SMP 1, karena sebenarnya aku lebih
suka Dea sekolah di SMP swasta Islam. Tapi melihat tekad dan keinginannya yang
besar, aku jadi tak tega dan ikut terbawa perasaan galau Dea.
Pagi itu Dea lagi-lagi menghampiriku dengan laporan
terbarunya.
“ Ma, coba lihat.
Ada kabar buruk. Beredar berita ada orang yang membeli jalur prestasi supaya
bisa masuk sekolah pilihannya. Gawat, Ma! Yang jujur bisa tersingkir dong kalau
begitu. “ Kata Dea berapi-api.
“Ya, biar saja kalau ada orang yang menempuh jalur itu, Nak. Tidak akan berkah buat dia. “
Kataku menenangkan.
“Tapi kan gak
adil, Ma. Aduh, Dea menyesal. Kenapalah dulu tidak mau ikut macam-macam lomba.
Jadi Dea nggak ada nilai prestasinya, hanya mengandalkan NEM saja. “ Wajah Dea
tampak tegang.
“ Kita lihat
saja prosesnya, sambil berdoa ya, Nak. Kalau tidak masuk juga kan bisa ke
sekolah pilihan kedua. “
“Tapi Dea mau
sekolah di SMP 1. Bagaimana supaya masuk, Ma?” Bibir Dea mengerucut, tampangnya
terlihat rusuh.
“Satu-satunya
yang bisa dilakukan cuma berdoa. Yang rajin ya shalat tahajjudnya, dan ditambah
shalat dhuha. Telpon Nenek dan Kakek, minta bantu di doakan. “ Usulku.
“ Iya, Ma.” Dea
pun beranjak ke kamar mandi untuk wudhu dan shalat dhuha.
---------------------
Sore itu , setelah berbelanja kebutuhan untuk
buka puasa, aku melangkah masuk ke rumah. Di sofa ruang keluarga aku melihat
Dea terduduk lemas, wajahnya pucat.
“Dea sakit?”
Tanyaku sambil memegang dahinya. Tidak terasa panas.
“Mama, posisi
Dea makin melorot. Sekarang di urutan 232. Dea takut tersingkir, Ma. “ Suara
Dea terdengar lirih.
Hatiku ikut sedih melihat kecemasan Dea.
“Sabarlah,
Nak. Memang yang berminat menjadi siswa sekolah itu adalah mereka yang
terbaik dan berprestasi. Dea harus siap terima kalau kalah bersaing, tapi juga
sebelum ada keputusan akhir harus tetap yakin. Kalau itu rezeki Dea, tak akan
ada yang bisa menghalangi. “ Aku berkata perlahan, mencoba menentramkan
hatinya.
Selama dua hari, posisi Dea berubah-ubah. Kadang naik
menjadi 230, lalu turun kembali ke 232.
Puncak ketegangan terjadi dua hari sebelum pengumuman akhir.
“ Ya Allah,
Ma...posisi Dea melorot lagi ke 244. Kawan-kawan Dea makin banyak yang
tersingkir. Dea mesti bagaimana? “ Dea makin uring-uringan.
Kali ini aku tak
bicara apa-apa, hanya membelai rambutnya sambil menyembunyikan kecemasanku
yang kian membuncah.
Dua hari
kemudian, tanggal 5 Juli, website itu tak dapat diakses. Dea panik. Berkali-kali dia
mencoba tapi tak bisa.
“ Harusnya jam
14 sudah ada hasil akhirnya, Ma. Dea pengen tahu hasilnya.”
“Mungkin masih
di update, Nak. Nanti malam saja kita lihat lagi. Sekarang kita bikin makanan
untuk buka puasa, yuk!” Ujarku. Aku pikir, kalau Dea punya kesibukan,
pikirannya bisa beralih sehingga tak terus menerus merasa cemas.
Malam itu, usai shalat tarawih, Dea langsung membuka website PPDB
online.
“Mama, sudah ada
pengumumannya. Dea berhasil! Dea sekarang murid SMP 1! Horeee! Alhamdulillah...”
Serunya. Wajah Dea berseri-seri. Sirnalah sudah semua ketegangan yang
berhari-hari membuatnya galau.
“Syukurlah, Dea.
Ingat ya, Dea harus rajin belajar. Kalau perlu lebih rajin dari teman-teman
Dea. Dea tahu kan, teman-teman Dea di sekolah itu anak-anak unggulan. Kalau Dea
malas belajar, Dea pasti ketinggalan jauh dari mereka. Mama mendukung dan mendoakan, mudah-mudahan
ini sekolah yang terbaik buat Dea. Dan semoga sukses ya, Nak..” Hatiku pun lega
bukan kepalang.
Senangnya
melihat anakku berhasil mencapai keinginanya. Alhamdulillah..
Senang rasanya melihat antusias adik kelas untuk masuk sekolah dengan pendaftaran online yang memang cukup menyulitkan dan membuat berdebar-debar. Banyak adik kelas yang mau masuk SMP rasanya pengin cepet-cepet pendaftaran ditutup, takut kalau-kalau dia malah tersingkir. Hehe, selamat ya Dea bisa jadi anak putih biru :D
BalasHapus@Asy-syifaa halimatu Sadiah. Terimakasih ucapan dan supportnya...Sebenarnya proses secara on-line ini tidak menyulitkan, malah lebih transparan karena bisa diakses semua pendaftar
BalasHapusCuma jadinya seru, emosi turun naik dan bikin uring2an berhari-hari menunggu hasilnya. Hehehe...Terimakasih sudah mampir ya
Mungkin bagi beberapa orangtua yang *maaf* kurang melek teknologi, mereka menganggapnya sulit, setahu saya ketika ada orangtua siswa yang mau daftar ke SMA. Apalagi, kalau pihak sekolah asalnya nggak pakai sistem kolektif, jadilah orangtua harus bingung sendiri mengisi form online.
BalasHapusNah itu Mak, adik-adik saya yang mau daftar juga jadi nggak sabaran, takut namanya nggak ada. Hihi... pasti berdebar-debar deh untuk angkatan tahun sekarang, selamat ya Mak :)