“ A couple who travel together, grow
together”
Demikianlah sebuah kutipan yang di tulis oleh A. Fuadi dalam bukunya
“ Rantau 1 Muara”. Seperti juga hal yang
aku yakini bersama suamiku, si Akang, saat
kami melakukan travelling berdua.
Melalui travelling kami bisa
mengembangkan hobi. Aku hobi menulis, dan suamiku hobi photography. Dengan
mengunjungi tempat-tempat wisata yang indah, aku bisa memperoleh ide menulis,
dan suami bisa menyalurkan hobi memotret landscape maupun foto untuk
dokumentasi pribadi.
Perjalanan yang kami lakukan di bulan November 2013 adalah
mengunjungi Korea Selatan saat musim
gugur tengah berlangsung. Mengapa ke Korea Selatan? Tak lepas dari kenyataan
bahwa Indonesia sekarang ini tengah dilanda “demam Korea”. Masyarakat Indonesia
telah terjangkiti oleh budaya musik pop Korea, produk –produk Korea seperti
kosmetika,masakan, barang elektronik sampai banjirnya film drama Korea yang
begitu di gemari di Indonesia. Kemajuan yang telah dicapai Korea Selatan
membuat kami penasaran, bagaimana sebenarnya negara yang dulu miskin dan
tertinggal di banding Indonesia, namun kini telah maju menyalip perkembangan
perekonomian Indonesia.
Perjalanan menuju Korea Selatan memakan waktu lebih kurang tujuh jam dengan
menggunakan pesawat. Setibanya di bandara Incheon, suhu dingin bertemperatur 7
derajat Celcius segera menyambut. Saat menghembuskan nafas akan terbentuk uap
putih akibat perbedaan temperatur yang
mencolok antara gas karbondioksida yang dihembuskan dengan temperatur udara.
Kabut tipis menyelimuti kota Incheon
menimbulkan kesan keheningan yang syahdu. Dari balik kaca jendela bus yang
berembun aku memandang suasana Incheon. Saat itu masih jam 8.30 waktu setempat.
Waktu di Korea Selatan lebih cepat 2 jam dibandingkan di Jakarta. Deretan
bangunan berbentuk segi empat terlihat disepanjang jalan. Aku tak tahu pasti
apakah itu kantor, toko atau rumah makan karena tulisan pada bangunan-bangunan
itu semuanya menggunakan aksara Korea berbentuk bulat dan kotak. Bangunan-bangunan
itu tutup, belum terlihat ada aktivitas,
mungkin karena masih pagi.
Kami langsung menuju ke pulau Nami.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam, akhirnya bus berhenti di suatu tempat. Kami
turun dari bus sambil membawa peralatan photography, lalu tempat pertama yang
dituju adalah : toilet! Ya, tak ayal lagi, udara yang begitu dingin membuat
kami lebih sering buang air kecil. Setelah memperoleh tiket, kami berjalan
menuju sebuah dermaga yang sudah dipadati oleh wisatawan lainnya. Disana kami menunggu kapal datang untuk menyeberangkan
kami ke pulau Nami.
Kapal ferry yang membawa kami ke
pulau Nami terdiri dari 2 lantai. Ada ruangan yang berbentuk bundar dengan
tempat duduk yang melingkar mengikuti bentuk ruangan. Tapi aku dan suamiku
tidak memilih duduk di dalam ruangan karna kami ingin menikmati pemandangan di luar.
Di sekeliling kapal dipasang bendera-bendera dari berbagai negara, misalnya
Malaysia, Singapura, Jepang, Philiphina,dll. Ada juga bendera merah putih
disana.
Kapal Penyeberangan ke Nami Island
Hanya butuh 5 menit saja untuk tiba
di pulau Nami . Begitu turun dari kapal ada sebentuk gapura bertuliskan aksara
Korea. Suasana musim gugur di pulau Nami segera menyambut.
Aku dan Akang berjalan berdampingan
menikmati suasana. Meski banyak orang di sana, tapi terasa hening. Suasananya menentramkan. Aura
romantisme pulau ini demikian kental.
Dalam hati aku bersyukur bisa datang ke sini bersama si Akang.
Sebuah areal terbuka seperti lapangan yang sangat
indah telah mempesona mataku. Bumi
tempat kaki berpijak dipenuhi oleh guguran daun-daun berwarna merah, coklat,
hijau kekuningan dan kuning. Daun-daun yang masih berada di ranting
pepohonanpun berwarna-warni. Ada pohon yang
tak lagi berdaun karena seluruh daun telah gugur ke tanah. Suasana yang
demikian terlihat sangat indah.
Pulau Nami ditumbuhi pohon-pohon
chestnut, murbai ,poplar, cemara, bunga-bungaan dan lain-lain. Di Pulau ini
juga banyak terlihat tupai, kelinci, burung unta , bebek, dan burung merak yang hidup bebas.
Sebenarnya Nami Island hanyalah pulau kecil yang luasnya 430.000 meter persegi, dan diameternya sekitar 4 Km. Menurut sejarahnya “Nami’ adalah nama seorang jendral berusia 28 tahun yang sangat setia kepada Kaisar Sejo,Kaisar ke tujuh dalam dinasti Joseon.Tapi karena fitnah keji, sang Jendral dibunuh oleh orang suruhan Kaisar. Setelah dibunuh, sang Kaisar baru mengetahui bahwa Jendral Nami bukanlah pengkhianat dan koruptor sebagaimana informasi yang diperolehnya. Atas penyesalan dan permintaan maafnya, Sang Kaisar menghadiahkan pulau kecil ini kepada keluarga Jendral Nami.
Sebenarnya Nami Island hanyalah pulau kecil yang luasnya 430.000 meter persegi, dan diameternya sekitar 4 Km. Menurut sejarahnya “Nami’ adalah nama seorang jendral berusia 28 tahun yang sangat setia kepada Kaisar Sejo,Kaisar ke tujuh dalam dinasti Joseon.Tapi karena fitnah keji, sang Jendral dibunuh oleh orang suruhan Kaisar. Setelah dibunuh, sang Kaisar baru mengetahui bahwa Jendral Nami bukanlah pengkhianat dan koruptor sebagaimana informasi yang diperolehnya. Atas penyesalan dan permintaan maafnya, Sang Kaisar menghadiahkan pulau kecil ini kepada keluarga Jendral Nami.
Aku berjalan sambil memperhatikan
deretan restoran dan coffe shop di pinggir jalan. Sekelompok wisatawan
duduk-duduk menikmati minuman panas dibangku-bangku kayu yang nyaman. Mereka
terdiri dari anak-anak muda dari berbagai ras. Ada yang berambut pirang dan bermata biru, tapi ada juga yang berwajah
melayu dan oriental.
Hawa dingin membuat kami kelaparan.
Apalagi saat itu memang sudah waktunya makan siang. Kami menuju sebuah restoran yang kabarnya
cukup terkenal dengan menu andalannya di Pulau Nami ini. Namanya resto
Seomhyanggi. Di resto ini kami menikmati menu istimewa : iga ayam bakar yang lezat. Ceritanya ada disini
Setelah menikmati makan siang kami melanjutkan jalan-jalan menikmati suasana
indah di Nami Island sambil berfoto-foto. Saat itu mataku tertumbuk pada gambar kubah berwarna
hijau bertuliskan “Musolla” yang tertempel di pintu Nami Library. Kami berdua
berseru senang. Bagi muslim seperti kami, melihat ada tempat untuk shalat di
negeri orang ibarat menemukan oase di padang pasir. Kami pun memasuki bangunan
itu lalu melaksanakan shalat.
Lega rasanya telah melaksanakan shalat. Shalat terasa istimewa karena dilakukan di
belahan bumi yang berbeda dari tempat kami biasanya. Belahan bumi dimana muslim adalah kaum
minoritas. Ada semacam sensasi rasa yang
sulit kuungkapkan, seolah ada energi baru yang menggetarkan jiwa. Suasana hening, syahdu dan dingin, rasanya
makin mendekatkan kami pada Sang Pencipta.
Nami Library di mana musholla berada adalah perpustakaan anak-anak yang ditata
sangat cantik dengan rak buku menjulang sampai ke langit-langit. Buku-buku
berwarna-warni dipajang di rak itu. Di dekat rak buku terdapat terowongan dan
jembatan kecil untuk anak-anak bermain. Selain itu, ada panggung untuk
menggelar pertunjukan boneka. Panggung itu terletak di ruangan yang bergambar
gajah-gajah berwarna cerah. Sudah dapat dibayangkan, anak-anak pasti akan
senang sekali berada disini!
Sesi pemotretan berlanjut. Rasanya
ingin merekam setiap detik, setiap sudut dan suasana pulau indah ini. Aku dan Akang bergerak kian kemari,
berseru-seru senang ketika menangkap
pemandangan yang patut diabadikan.
Di pulau ini terdapat deretan pohon
cemara yang telah menjadi sangat populer sejak dijadikan setting film drama
Korea “ Winter Sonata”. Sepertinya sudah menjadi keharusan untuk berfoto di
lokasi itu bila berkunjung ke Nami Island.
“Foto di sini, Kang! Eh di sana juga. Terus ke
sebelah sana ya... waaah... cantik semuanyaa!” Seruku kegirangan.
“Sst, jangan norak, Neng. “ Bisik
Akang. Tangannya sibuk mensetting kamera.
“Biarlah, Kang. Sekarang saatnya norak-norak
bergembira!” Teriakku.
Di satu titik dimana terdapat patung
seorang Ibu yang menyusui anaknya, aku bergaya lagi. Entah berapa kali jepretan
camera si Akang melukis gambarku. Syukurlah si Akang senang-senang saja
meladeni istrinya yang kena penyakit narsis tingkat kronis.
Seorang nenek berwajah oriental dengan sweater hijau
melemparkan senyumnya melihat kelakuanku. Dia berdiri mengawasi aku seperti
menunggu.
“Kang, nenek itu kenapa ya
memperhatikan Neng terus? Memangnya ada yang aneh?” Tanyaku.
“Bukannya aneh, Neng. Sudah selesai belum sesi fotonya. Si Nenek ini
pengen gantian berfoto disitu! Masak nggak ngerti sih?”
“Oalaah...hehehe...kenapa dia nggak
bilang, ya?” Sahutku cengengesan. Cepat-cepat aku menepi dari dekat patung
besar itu.
“Memangnya Neng bakal mengerti kalau
dia bilang? Memangnya Neng bisa bahasa dia? Sepertinya dia orang Jepang.” Akang mengangsurkan tangannya
memberi isyarat pada nenek itu.
Eh,ternyata benar . Dia langsung mengambil
posisi di tempat aku berdiri tadi. Seorang anak muda menjepret camera poketnya mengambil gambar
si Nenek.
Hehehe, maaf ya, Nek...
Hari beranjak sore. Aku dan Akang
melepas lelah duduk dibawah pohon. Ransel berisi camera dan lensa-lensa yang
beratnya 11 kg itu kami letakkan di tanah yang berlapis guguran daun-daun
kuning.
Duduk
berdua di bawah pohon berdaun warna-warni, di tengah udara dingin, dan
keheningan alam, lalu diam tanpa kata. Tak perlulah berkata, karena alam telah
mengungkapkan berjuta rasa.
Angin bertiup mengantarkan hawa
dingin menusuk, lalu sebuah daun merah lepas dari tangkainya, melenggok
gemulai, turun ke bumi dengan gerak
perlahan.
Aku memejamkan mata, menghirup udara
dalam-dalam. Jemariku dalam genggaman Akang. Hangat.
Bagaimanalah aku mengungkapkan
rasanya, ya. Pantas saja pulau Nami dijadikan setting drama Korea yang bertema
cinta dan romantis habis itu.
Maka,kukatakan padamu, Kawan! Bagi
yang berencana mengunjungi Korea Selatan dan Nami Island di musim gugur, datanglah bersama suami atau istri ! Lalu
bersiaplah jatuh cinta lagi, pada orang yang sama....
itu.. itu foto yg paling bawah bikin ngiri tingkat gunung Slamet deh.. bagus banget :)
BalasHapuswah mantap bu. semoga aja ntar aku bisa ke Jepang. ^_^
BalasHapusjangan lupa maen ya hhttp://www.ochannomonogatari.com
@Riski Fitriasari hihihihi...Gunung Slamet kabarnya cantik ya. Pengen kesana, someday.
BalasHapus@Ochan Dwinursetiadi. Aamiin
BalasHapusMbak jul ngiriiiiiiiiii.... Doakan aku busa ke sana ya mbak. Soon
BalasHapus@Mbak Nunu : Aamiin.... semoga dirimu juga bisa ke Korea, soon...
BalasHapus