Kala itu aku masih duduk di kelas
tiga sebuah SMP negri di Palembang. Hari
itu adalah hari pertama ujian EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional).
Aku kebagian duduk di barisan terdepan. Suasana kelas sepi, tenang. Semua siswa
sedang mengerjakan soal-soal ujian. Ada yang terlihat sangat tegang, ada yang
gelisah, ada yang tampak tak perduli , tapi ada juga yang sangat menikmati soal-soal yang tercetak di
dua lembar kertas berukuran folio itu. Dua orang guru yang bertugas mengawasi
jalannya ujian di kelas, mondar-mandir dengan wajah yang bengis dan kaku. Mereka
mengedarkan pandangan mata yang tajam ke seluruh penjuru kelas, memastikan
bahwa semua berjalan dengan tertib, tak ada siswa yang mencontek atau berbuat
curang.
Aku tenggelam dalam keasyikan mengerjakan
soal. Sekitar setengah jam sebelum waktu ujian berakhir untuk mata pelajaran
pertama, keasyikanku terusik oleh rasa tak enak di perut. Mules, seperti ada
gas yang berputar-putar, dan memberontak di dalam rongga perutku. Wah, ini
pasti gara-gara sarapan rujak buah tadi. Mamiku sudah mengingatkan untuk tidak menyantap rujak manis asam dan
pedas itu, karena bisa bikin sakit perut kalau dimakan pagi-pagi. Tapi karena
rasanya yang sedap, masih saja aku lahap
rujak itu sampe habis satu mangkuk. Kerakusan yang mengundang bencana..
Aku berusaha menahan rasa mulas
itu, dan tetap saja melanjutkan mengerjakan soal. Tapi makin ditahan, rasa itu
makin menggangguku, menyiksa sekali. Entah ketololan apa yang merasukiku, sehingga
aku tidak cepat mengambil tindakan, padahal alarm tanda bahaya sudah
meraung-raung di benakku. Seharusnya aku cepat-cepat minta izin ke luar kelas,
kemudian lari dengan kecepatan penuh ke toilet. “ Nanti juga hilang sendiri.”
Begitu pikirku. Dengan bodohnya aku membiarkan menit demi menit berlalu, hingga
akhirnya aku benar-benar tak tahan. Aku tau aku akan buang angin, dan pasti
bunyinya “dahsyat”. Untuk minta izin keluar kelas, sudah terlambat, karena
sedikit saja aku bergerak, pasti si angin langsung “ meledak”.
Ketegangan menyelimutiku, seperti
menghadapi angka-angka digital yang terpasang di bom yang siap meledak,
angka-angka yang bergerak mundur, detik demi detik menuju nol. Otakku bekerja,
tepatnya, dipaksa bekerja.
Aku punya rencana. Aku akan menjatuhkan
kotak pensilku yang besar, yang terbuat dari bahan kaleng, sehingga bunyinya
yang nyaring akan menutupi bunyi dahsyat yang akan aku ledakkan dalam waktu
bersamaan. Sudah tidak ada waktu lagi, akupun melaksanakannya. Di tengah-tengah
suasana tenang dan sepi itu, “ Klontang!!!” nyaring sekali bunyi kotak pensilku
memecah kesunyian, mengundang reaksi seantero kelas, semua mata tertuju padaku.
Lalu…” Prooot ...prot… prot.. prooot..” Astaga! Rencanaku gagal total. Bunyi
kotak pensil dan ledakan itu ternyata tidak kompak!
Oh Tuhan, jadilah aku bahan
tertawaan teman-teman dan guru pada hari itu, dan juga hari-hari selanjutnya.
Suasana kelas yang tadinya sepi dan tenang berubah riuh karena tawa. Sebagian
dari mereka sampai terpingkal-pingkal. Yang lainnya menutup mulutnya dengan
tangan, tapi tubuh mereka bergetar hebat akibat tawa yang tak tertahankan. Aku
mengkerut, menundukkan kepala. Kalau bisa, ingin rasanya menenggelamkan diri ke
perut bumi. Entah bagaimana tampangku saat itu, pasti seperti kepiting rebus,
merah dan konyol ! Hancurlah reputasiku, sebagai murid perempuan yang manis dan
santun.
Tapi rasa malu itu membakar
semangatku. Aku jadi belajar mati-matian, aku ingin menebus rasa malu ini
dengan nilai yang bagus. Tiada sedikit waktupun kusia-siakan, sejak pulang
sekolah hari itu,untuk hal lain selain belajar. Aku makan sambil membaca buku.
Aku berbaring di kamar sambil berlatih mengerjakan soal. Aku ke kamar mandi
membawa catatan pelajaran. Tiap kali peristiwa memalukan itu terbayang, aku
benamkan mataku di buku-buku pelajaran. Aku tertidur di tumpukan buku, untuk
kemudian terbangun dan belajar lagi.
Soal-soal ujian di hari-hari
berikutnya aku lalap habis, tanpa kesulitan. Semangatku semakin membara,
disulut oleh ejekan teman-temanku yang menirukan bunyi kentut tiap aku lewat di
dekat mereka.
Pada saat hasil ujian EBTANAS
diumumkan, semua murid dan guru berkumpul di lapangan. Setelah sambutan dari
kepala sekolah, tiba-tiba namaku disebut, dan aku di daulat berdiri ditengah
lapangan, disalami oleh kepala sekolah dan guru-guru karena aku menjadi juara
umum dengan NEM ( Nilai Ebtanas Murni ) tertinggi di sekolahku. Tak ada rasa
malu, tak ada lagi ejekan dari teman-temanku . Ha..ha..puas sekali rasanya,
sudah membuktikan bahwa si konyol ini bisa juga berprestasi. Itu namanya kentut
membawa nikmat!
hahahaha...kebayang gimana hebohnya satu kelas dengar suara kentut:)
BalasHapusTerdaftar!!
Terima kasih sudah berpartisipasi di GA Silly Moment, happy blogging ^^
salam
@HM Zwan. Terimakasih, Mbak
BalasHapushahahaha...pasti mukanya kayak kepiting rebus tuh Lucuu...mbak semoga menang ya
BalasHapus@Mbak Tatit : Aamiin... Terimakasih, Mbak
BalasHapusSalam kenal juga ya mbak, makasih udah berkunjung. Malu ya waktu kedengeran kentut. Aku kalau di toilet umum juga suka menahan suara supaya gak kencang terdengar yg lain
BalasHapusHehehe...kentut itu bikin malu padahal manusiawi ya..
HapusMbak harusnya latihan dulu ya biar kompak tuh. Hahhahaha
BalasHapusmbak Nunu...selain latihan harus ikut kursus juga, mbak. hihihi...
HapusJadi ingat pengalaman sendiri kala kentut di dalam bus DAMRI yang penuh sesak pada suatu senja.Bunyi dan aromanya amboi banget! Padahal perjalanan masih lama.
BalasHapusCerita lucu, Mak. Semoga menang GA-nya, ya. Salam kenal. Ini kunjungan pertama saya. :)
@Mak Rohyati Sofyan, salam kenal juga. Terimakasih kunjungannya ya. Kentut itu manusiawi tapi kalau disaat dan tempat yg salah bisa bikin malu ya...hihihi
BalasHapusWaaaah, jadi ingat cerita yang hampir sama, mbak. tapi saya ketika itu kelas empat. juga pernah kentut, tapi gak sengaja. soalnya nggak terfikirkan sebelumnya. pas pindah posisi, eh (maaf) kentut, hhaha. habis dah, malu juga :D. sehabis pelajaran dan pulang, biasanya kami pamit sambil cium tangan ibu Guru (bu Kus saat itu), tapi saya nyelonong saja, malu soalnya. hihi. *eh, curhat :D
BalasHapus@Richoku hihihi...kentut emang bikin malu ya. Terimakasih sudah berkunjung
BalasHapusHahahaha, butuh kentut dulu sebelum menorehkan prestasi.
BalasHapus