Saat
jalan-jalan di Nami Island-Korea Selatan, Mr. Danny, sang tour leader yang
orang asli Korea membawa kami makan siang di resto Seomhyanggi dengan menu yang
sangat dibanggakannya. “ Menu iga ayam bakar ini paling terkenal seantero Korea
Selatan.” Katanya.
Kami langsung bertanya-tanya. “ Bagaimana
sih bentuk daging iga ayam? Ayam kok ada iga-nya?”
Mr. Danny tersenyum dan melanjutkan
penjelasannya. “ Sebenarnya ini daging ayam yang dibentuk sedemikian rupa sehingga
mirip iga. Diberi nama iga ayam untuk
membuat wisatawan penasaran ingin mencobanya.”
Seomhyanggi adalah resto yang cukup
nyaman. Bukan resto bergaya modern, tapi bergaya tradisional.
Meski angin musim gugur sesekali menerjang mengantarkan
dingin, kami memilih duduk diteras restoran agar lebih menyatu dengan suasana alam yang indah.
Sebuah meja panjang dari kayu
coklat berpernis dengan bangku yang dibuat menyatu dengan
konstruksi menyerupai konsol yang bertumpu pada kaki meja telah disiapkan untuk
kami. Di atas meja tersedia berbagai
macam sayuran khas Korea, kimchi, yaitu sayuran yang diberi bumbu lalu di fermentasi sehingga menghasilkan rasa asam
dan sedikit pedas . Selain itu ada selada segar, taugo, cabe hijau, dan botol air minum. Nasi putih yang pulen dan lengket seperti
ketan terhidang dalam mangkuk stainless tertutup, sehingga tetap hangat. Lalu
ditengah meja terdapat tungku untuk memanggang ayam.
Seorang pelayan kemudian menyalakan
tungku. Dia mengambil potongan ayam yang besar. Dengan gunting dipotongnya
daging ayam itu hingga berukuran lebih kecil dan berbentuk seperti iga.
Selanjutnya, dia menyusun potongan-potongan iga ayam berlumur bumbu
berwarna kuning itu atas tungku . Bara api menyala, proses memanggang pun
dimulai.
Asap beraroma sedap mengepul,
menyelinap dalam indra penciuman kami, sungguh menggoda. Akibatnya, perutku
makin keroncongan, air liur memenuhi rongga mulutku akibat membayangkan
rasanya... Duuuh... tak tahan lagi ingin cepat-cepat menyantap iga ayam
yang menggiurkan itu!
“Sudah matang belum, Kang? “ Aku
bertanya pada suamiku.
“Sabar. Sebentar lagi.” Ujar Akang
sambil membolak-balik potongan iga ayam dengan menggunakan pegangan berbentuk
capit.
Mr. Danny menghampiri kami sambil
tersenyum-senyum.
“ Bagaimana cara makan iga ayam bakar
ini, Mr. Danny? “ Tanyaku.
“ Begini caranya.”
Mr. Danny mengambil selembar daun
selada, lalu dengan sumpit dia mengambil sepotong iga ayam bakar yang sudah
matang. Iga ayam itu diletakkannya di tengah-tengah daun selada. Selanjutnya
dia mengambil sepotong kimchi sawi dan tauge, yang juga diletakkan di atas iga
ayam. Dengan cermat dibungkusnya iga ayam beserta sayuran dengan daun selada,
lalu memakannya.
“Waaah... repot ya!” Seruku.” Untuk perut yang sudah meronta-ronta seperti
ini, mana bisa bersabar harus bikin “prakarya” membungkus-bungkus iga ayam
dulu. Keburu kelaparan.”
Mr. Danny tergelak. “ Kalau begitu
silahkan makan, dengan cara apapun boleh.”
Iga ayam itu terasa lembut, tapi
kenyal. Meski berlumur bumbu, tapi rasa bumbunya tidak kuat. Sedang saja.
Rasanya sedikit pedas, sedikit asam dan gurih menyatu dengan sempurna di
lidahku.
Aku mengunyah perlahan, meresapi rasa lezat yang memenuhi rongga mulutku. Tak heran kenapa
masakan ini menjadi menu andalan kebanggaan Nami Island. Memang enak!
“Kunyah 30 kali, Neng!” Akang melirik
sambil mengambil potongan iga ayam. Entah sudah berapa banyak iga yang
berpindah dari tungku itu ke perutnya.
“Yaah, kalo mengunyah mesti 30 kali,
rugi dong. Keburu iga ayamnya dihabiskan semua sama Akang.” Sahutku.
“ Ya, nggak apa-apa. Neng makan sedikit
saja, jangan banyak-banyak. Nanti gendut. Yang capek membawa ransel camera
belasan kilo dari tadi kan Akang. “ Ekspresi iseng diwajah Akang membuatku
gemas.
“ Ogah!” Sergahku, lalu kuambil lagi
potongan iga ayam, 5 potong sekaligus.
Akang melongo.
“ Yaah, Neng!... Sisain dong!”
“Hihihi....”
2 komentar:
Waa, asiknya bisa hanimun lagi mba, moga ada kesmepatan juga kesana..salam kenal yaa :)
b Dewi Rieka : Salam kenal juga.... Terimakasih sudah berkunjung ke sini.
Posting Komentar