"Hai Nabi,
Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin "Hendaklah mereka mengulurkan hijab keseluruh tubuh mereka" yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.".(al ahzab:59)
Membaca ayat Al
Qur’an itu sama sekali tak membuat hatiku tentram. Aku malah galau bukan
kepalang. Bagaimana mungkin aku berhijab sedangkan aku suka menari. Aku kan
ingin jadi penari profesional, manalah mungkin menari dengan memakai hijab. Aku
bisa dapat honor yang lumayan dengan menari di acara-acara pernikahan dan
lain-lain. Aku akan terus menari kalau perlu sampai ke luar negri membawa misi
kebudayaan, mengharumkan nama Indonesia. Jadi aku tidak akan berhijab!! Tegas suara
hatiku. Tapi masalahnya, sisi lain hatiku meneriakkan protes berat. Bagaimana
mungkin kebenaran Al Qur’an ku ingkari? Memangnya siapa sih aku ini
berani-beraninya berpaling dari petunjukNya?
Kegalauan itu
timbul tenggelam, bertahun-tahun kumat dan reda bagai penyakit kronis dalam
hatiku. Hingga suatu hari saat aku sudah menjadi mahasiswi di sebuah perguruan
tinggi negri. Aku tengah berada di atas panggung dalam latihan menari tahap akhir untuk mengikuti
sebuah festival tari mahasiswa tingkat nasional. Aku seharusnya bangga sudah
terpilih dan lulus dalam audisi yang
diikuti ratusan orang. Namun tiba-tiba
di atas panggung itu penyakit galauku kumat lagi. Kali ini ke tingkat yang
paling parah, sisi lain hatiku menyerangku dengan
keji. “ Kau pikir kau hebat dengan menari meliuk-liuk seperti itu? Kau menjadi
tontonan buat laki-laki dan perempuan di
kursi penonton itu, sementara kau ingkari Tuhanmu sendiri, yang sudah memberimu
segalanya? Kalau Dia tak mau lagi mendengar doa’mu, kau mau lari kemana ?”
Sontak tubuhku
lemas. Air mata mengalir dipipiku. Aku berdiri membeku diatas panggung,
menanggungkan tatapan heran teman-teman penariku, dan bentakan marah sang
pelatih tari. Aku lari turun dari panggung dan terus berlari. Keesokan harinya
aku mengajukan pengunduran diri kepada pelatih tari dan teman-temanku. Tak ayal
lagi mereka menghujani aku pertanyaan yang berujung dengan maki-makian. Mereka
merasa dikhianati. Tapi tak ada kata
lain yang bisa kuucapkan selain kata maaf.
Hari-hari
selanjutnya penyakit galauku makin parah. Aku takut mati sebelum hatiku damai.
Aku tak mampu berkonsentrasi di ruang kuliah. Tubuhku terduduk di sana, tapi
jiwaku melayang penuh gelisah. Shalat 5 waktuku terasa hanyalah ritual saja.
Yang paling menyedihkan di saat aku berdoa, semua terasa sia-sia. Untaian doaku
membumbung tinggi, melambung-lambung di arasy-Nya, lalu dicampakkanNya ke bumi,
hancur lebur tak tersisa. Tuhanku tak sudi mendengar do’aku lagi. Sakitnya
hatiku, kemana lagi aku mengadu.
Beberapa bulan
berlalu, setiap hari sama saja, selalu terjadi peperangan antara dua sisi
hatiku. Aku tenggelam sendirian, tak bisa mengungkapkan perasaanku pada
siapapun. Aku yang biasanya ceria, penuh semangat, kini sudah berubah menjadi
kebalikannya. Tubuhku kurus kering, wajahku pucat, tak ada semangat. Nilai-nilai
ujianku terjun bebas ke tingkat paling
rendah. Lengkap sudah penderitaanku.
Hingga datangnya
Ramadhan di tahun 1992. Aku tengah berada dalam keletihan hati yang tak lagi mampu
kutanggung. Sebenarnya sederhana saja, jawabannya adalah : Aku harus mengenakan
hijab. Tinggal satu langkah saja membebaskan hatiku dari derita ini. Aku harus
berhenti mengingkariNya. Pagi itu, aku mengakhiri peperangan hatiku dengan
mengucapkan Bismillah, kukenakan hijab untuk pertama kali dalam hidupku.
Benar saja.
Seketika penyakit kronis di hatiku lenyap. Tiba-tiba saja dunia terasa begitu
indah. Meskipun aku tak bisa lagi menjalani kegiatan menari, siapa yang peduli
bila dunia jadi seindah ini? Begitu banyak kemudahan, nilai-nilai kuliahku
kembali bagus, orang-orang terasa begitu baik dan selalu mau menolongku.
Doa-doaku mohon kemudahan seolah dibayarNya kontan. Ya
Tuhan...bahagianya. Kini Engkau kembali memelukku dengan penuh cinta.
Happy ending?
Belum. Cobaan justru datang dari orang terdekatku. Mamiku yang kusayang, Mami yang
tadinya begitu bangga pada diriku, dengan prestasiku di bidang akademik dan
seni. Mami yang menaruh begitu banyak
harapan di pundakku kini menentangku habis-habisan. Hampir tiap hari dia meminta
aku untuk melepaskan hijab ini, mulai dari kata-kata sopan, halus penuh rayuan,
perintah, hingga tumpah murkanya, bahkan tangisnya. Dia sangat khawatir dengan
masa depanku.
Di tahun 1992,
belum banyak wanita muslim mengenakan jilbab. Baju-baju muslim dan jilbab yang
cantik belum ada dipasaran. Hijab dan baju yang aku kenakan saat itu sangatlah
sederhana. Hanya sebentuk bahan dari kain hero murahan sebagai hijab, dan
kemeja berlengan panjang dengan bawahan kulot. Ya, aku memang terlihat sangat
sederhana bahkan “kampungan”, begitulah julukan dari mamiku. Dia tak mampu
menanggung kenyataan kalau anak kebanggaannya kini jadi kampungan. Dengan
penampilan seperti itu, dia khawatir tak ada laki-laki keren yang mau
menjadikan aku istrinya. Lalu, kelak bila sudah selesai kuliah, kemana aku akan
bekerja? Menurut pendapat mamiku, mana ada perusahaan yang mau menerima aku
sebagai karyawan. Masa depanku akan suram, jadi orang miskin, jadi perawan tua.
Tangis mamiku pecah, tiap kali aku menolak permintaannya untuk melepas hijab
ini.
Selama beberapa
hari untuk menenangkan diri, aku menginap di tempat kos sahabatku. Galau juga
hatiku menyaksikan mami yang terus menerus menangis menyuarakan kekecewaannya.
Untunglah papiku bersikap netral. Dia mengerti aku dan juga sekaligus mengerti
alasan mamiku. Setelah mendapat bimbingan dari seorang Ustadzah, aku kembali ke
rumah. Setiap selesai shalat 5 waktu aku membacakan Al Fatihah untuk mami,
dengan harapan hatinya akan luluh. Selama berbulan-bulan mami tak sudi
menegurku. Aku dianggapnya tak ada. Tapi apapun juga tindakannya, tak
sebersitpun terpikir olehku untuk melepaskan hijab. Tak akan surut langkahku.
Aku tak ingin kembali ke masa suram seperti
ketika mengingkariNya.
Sementara itu,
sejak aku mengenakan hijab, berbagai kemudahan silih berganti datang untukku.
Kuliahku sukses. Aku mendapatkan nilai A untuk ujian sarjanaku. Aku sangat
bersyukur.
Suatu hari,
seseorang menelponku. Dia menanyakan apakah benar aku sudah mengirim surat
lamaran ke sebuah perusahaan Jepang. Dia lalu memintaku datang untuk proses
wawancara.
Singkat cerita,
aku datang ke tempat yang dimaksud. Sebuah perusahaan Jepang yang bergerak
dibidang sipil dan konstruksi, sesuai dengan latar belakang pendidikanku di
bidang teknik sipil. Ada kekhawatiran dalam diriku, bagaimanakah nantinya
orang-orang Jepang itu bila melihat diriku yang mengenakan hijab. Apakah mereka
akan menolakku karena merasa aneh melihat penampilanku yang lain daripada yang
lain. Ya, di kantor yang luas itu, pandangannku menangkap para karyawati di sana
tak ada yang mengenakan hijab.
Kekhawatiranku
sebenarnya beralasan, karna sudah beberapa kali aku lulus wawancara akhir,
namun pada tahap akhir sang pewawancara meminta kesediaan aku melepas hijabku
agar diterima bekerja. Dengan tegas aku menolak. Tidak akan kugadaikan hijabku
demi bekerja. Bila mereka tak mau menerima aku berarti di sana bukanlah tempat
terbaik untukku.
Aku dipersilakan
menemui Mr. Tsano, seorang Jepang berusia sekitar 30-an dengan wajah datar
tanpa ekspresi dan Mr. Tasaki yang kutaksir usianya sekitar 40-an dengan wajah
yang lebih ramah. Dua orang Jepang itu silih berganti menanyaiku dengan
berbagai pertanyaan seputar pengetahuan yang berhubungan dengan latar belakang
pendidikanku. Mereka juga menjelaskan apa-apa saja yang menjadi tugasku bila
aku diterima bekerja berikut jumlah gaji yang menggiurkan. Hingga akhirnya Mr. Tasaki berkata,” Dewi,
kenapa ya pakai kain(maksudnya hijab)? Tidak panaskah?”
Aku tersenyum,”
Tidak, Tasaki San. Ini karena perintah Tuhanku. Aku seorang muslimah. Apakah
ini jadi masalah?”
Mr. Tasaki
tersenyum. “ Masalahnya, kapan bisa
mulai bekerja?”
Serasa tak
percaya aku mendengarnya berkata seperti itu. Mereka yang atheis ternyata tak
mempermasalahkan hijabku selama aku dinilai mampu bekerja dengan baik. Ya
Allah... Alhamdulillah.
Sejak hari itu,
satu persatu kekhawatiran mamiku sirna, tak terbukti. Rezekiku mengalir lancar.
Di lokasi tempat bekerja, aku dipertemukan dengan seorang laki-laki shaleh yang
kemudian menjadi suamiku. Suami yang sangat baik yang mencintaiku apa adanya,
yang telah memberi aku 3 orang anak dan kebahagiaan berlimpah.
Hingga hari ini,
telah 22 tahun aku mengenakan hijab. Setiap hari aku syukuri keputusanku untuk
mentaati perintahNya. Mamiku kini sudah
menyadari betapa segalanya telah ada yang mengatur. Rezeki dan jodoh tak akan terhalang
karena mengenakan hijab. Jadi tak ada yang patut di khawatirkan. Setelah
melihat kehidupanku, mami tak pernah lagi menghalangi keinginan 4 orang adik-adikku
untuk mengenakan hijab. Skenario Tuhan begitu indah. Aku telah memetik hikmah
yang demikian indah dengan berhijab. Alhamdulillah.....
10 komentar:
alhamdulilah seneng baca postingan ini mbak, sangay inspiratif ;)
Terimakasih sudah berkunjung dan baca kisahku...
Alhamdulillah bersyukur kita termasuk orang yang diberi hidayah dengan menutup aurat
Wah kok sama, aku juga mulai pakai jilbab di tahun itu, cuma waktu itu baru kelas satu SLTA, memang masih langka banget mba yang pakai jilbab,satu kelas aja waktu itu cuma berapa orang. Dan tak semua guru - guru mengerti, ada beberapa guru yang memperlakukan dengan diskriminatif
@Mbak Nunu. Alhamdulillah
@Bunda Nafazayan . Alhamdulillah sekarang kondisinya sudah lebih baik ya..
Selamat sore mba , saya lebih dulu mengenakan jilbab sebelum saya akhirnya menyukai tari. Apa saya lanjutkan kesukaan saya? Entahlah saya sedikit bingung. Saya suka menari tapi saya jga berjilbab. Kebetulan saya sedang kuliah Semester 3 jurusan Teknik Sipil :)
Sdriku Irene Zuarnis, semoga Allah memberikan bimbinganNya & ketetapan hati, renungi kembali QS. Al Ahzab 59.
Alhamdulillah,,hidayah datang dr hamba yg mnecari bukan menunggu,,, smga keikhlasan Mbk mngenakan hijab mnjdi suritauladan baik dlm rimah tangga mbk,,
Amiin....
pengen bgt ikut jejak mbak dewi.. Amin
Posting Komentar