Aku dalam gendongan Nenek, bersama Om Yadi dan Tante Wita |
Pengalaman
masa kecilku tinggal di Bandar Lampung di sebuah rumah tua yang besar bersama
kakek dan nenekku sungguh tak dapat kulupakan. Rumah tua itu panjang, bagian depannya berada di Jl. Padjajaran
(sekarang Jl. HOS Cokroaminoto) dan bagian belakangnya tembus ke sebuah jalan
kecil di dekat rel kereta api. Ada 5 kamar dan satu loteng atau kamar yang
sangat luas di lantai 2. Di masa kecilku,
penghuni rumah tua kakek semuanya ada 25 orang. Mereka adalah kakek dan nenekku, 11 orang anak-anaknya, para menantu,
adik-adik menantu,cucu-cucu, keponakan-keponakan kakek, bahkan teman-teman
akrab om-omku juga ikut tinggal di rumah itu.
Karena
ramainya penghuni rumah, terasa kehangatan dan kebersamaan yang sangat
berkesan. Tidak ada pembantu di rumah kakekku, jadi semua pekerjaan rumah
dikerjakan bersama . Ada Tante Cong, yang pintar masak dan bertindak sebagai “chef”
untuk makanan berat, dan ada tante Yati yang khusus bertugas bikin kue dan cemilan. Tante Ana dan Tante Iyah bertugas
bersih-bersih rumah, mengisi belasan botol kaca bekas botol sirup dengan air
putih lalu disimpan di lemari es. Om
Picon kebagian tugas mencuci piring.
Sedangkan Om Ukang bertugas sebagai
“tukang” yang keahliannya memperbaiki jaringan listrik, alat-alat elektronik
yang rusak, sampai menambal panci yang bocorpun bisa dilakukannya. Tante Nung
yang pintar menjahit seringkali membuatkan aku baju, dia juga sering menjahit
taplak meja untuk meja tamu dan meja makan. Bagaimana dengan aku? Meskipun
masih kecil aku punya tugas juga. Dengan
sepeda miniku aku meluncur ke warung
membawa secarik kertas dari tanteku, yang
berisi daftar belanjaan seperti
bumbu-bumbu dan sayur yang harus dibeli. Tapi tugasku itu hanya
sekali-sekali saja kulakukan, bila nenekku berhalangan pergi ke pasar.
Unik-unik
sekali nama tante dan omku ya. Singkat dan lucu... Sebenarnya itu hanya nama
panggilan saja.
Untuk
urusan makan, kami tidak pernah kekurangan. Kakekku punya sawah dan ladang yang
hasilnya lumayan.Kakek juga punya kebun cengkeh dan tanah yang luas. Setiap
hari tante-tanteku memasak menyiapkan sedandang besar nasi, sekuali
sambal, dan sepanci besar sayuran.
Lauknya bagaimana? Tentu saja ada. Tapi khusus untuk lauk, buah dan cemilan, ditangani oleh mamiku. Ya,
mami adalah anak tertua kakek. Dia bertugas membagi dengan adil lauk pauk, buah
dan cemilan. Jadi setiap hari ada nampan-nampan besar berisi 23 tumpuk makanan.
Hal ini harus dilakukan supaya semua anggota keluarga kebagian makanan. Kalau hari itu menunya ikan goreng, maka akan
ada 23 potong ikan goreng di nampan. Setiap orang berhak mengambil satu potong.
Demikian juga dengan kue dan
buah-buahan. Bila kakek membeli
buah duku satu karung, maka mamiku akan membagi-bagi menjadi 23 tumpuk duku yang diletakkan di
nampan-nampan besar. Kenapa hanya 23 tumpuk? Ya karena 2 bagian lagi dengan
porsi istimewa sudah dipisahkan lebih dulu untuk kakek dan nenekku sebagai
pemimpin keluarga besar.
Uniknya,
memilih tumpukan makanan atau buah kadangkala bukanlah urusan mudah. Kami akan
melihat, menimbang dan mengira-ngira tumpukan mana yang paling banyak isinya,
padahal mamiku sudah membagi sama rata.
Aku
ingat salah satu omku yang suka iseng. Namanya om Yadi. Bila ada pembagian kue atau roti, dia akan
menyimpan dulu jatahnya. Bila semua orang sudah memakan bagiannya, termasuk
juga aku, maka dia akan mengeluarkan kue simpanannya dan memakannya
sedikit-sedikit sambil mencium-ciumkan wangi kue itu di depan hidungku supaya
aku ngiler kepingin makan kuenya. Tapi biar aku menangis keras sekalipun, dia
takkan sudi membagi kue jatahnya padaku. Sebaliknya dia akan tertawa-tawa puas
melihat aku merengek dan menangis.
Hahaha..
Tanteku
yang paling bungsu bernama Tante Wita. Usianya 3 tahun lebih tua dari aku. Dia
punya kebiasaan unik yang dilakukannya setiap pagi setelah bangun tidur, yaitu
menangis tersedu-sedu tanpa sebab yang jelas. Aku seringkali duduk menemani
aktivitas rutinnya itu sambil bengong memandanginya. Tangisnya akan berhenti sendiri setelah dia
lelah dan merasa lega.
Di
saat tanggal muda tiba, Om Keren yang
sudah bekerja akan memanggil mang Kumis, tukang bakso yang sering lewat di
depan rumah. Wajah mang Kumis berseri-seri, melayani permintaan tante-tante dan om-omku yang cerewet, minta
sambel yang banyak, tidak pakai mie kuning, ataupun minta tambah sayur dan kuah
baksonya. Hatinya girang bukan kepalang karena sudah pasti 25 mangkuk baksonya
diborong untuk seluruh anggota keluarga besarku.
Tukang
mie tek-tek dan kue putupun kerap kali kecipratan rezeki bila tante Yati
gajian. Setiap tanggal muda jam 9 malam,
mamang mie tek-tek dan kue putu akan mangkal di depan rumah, menunggu serbuan
kami.
Kalau
malam tiba, teras belakang rumah kakekku akan ramai oleh anggota keluarga yang duduk
di kursi rotan, berkumpul sambil
mengobrol dan bercanda. Dari main tebak-tebakan, berbagi cerita keseharian,
sampai menikmati “live music” persembahan om Jendol dan Om Yanto, adik-adik
papiku, yang lihai bermain gitar. Dan penyanyinya siapa lagi kalau bukan aku...
hehehe..
Bila
ada acara TV yang menarik, kami akan berkumpul di ruang keluarga yang besar
sambil menonton TV hitam-putih berukuran 20 Inchi. Waktu itu TV adalah barang
mewah yang masih jarang dimiliki orang.
Yang
paling seru adalah ketika bulan Ramadhan tiba. Hanya di bulan istimewa inilah
seluruh keluarga bisa makan bersama saat buka puasa dan sahur. Di hari-hari
biasa, karena kesibukan yang berbeda, kami jarang bisa makan bersama.
Jam 3 dini hari, tante-tante yang bertugas
memasak akan menyiapkan hidangan sahur. Setelah siap, salah satu omku, namanya
Om Acah, akan berkeliling dari kamar ke kamar membangunkan anggota
keluarga yang lain untuk makan sahur bersama. Saat itu aku
tidur bersama 6 orang tanteku di loteng atau kamar yang sangat luas di
lantai 2. Kami tidur di kasur kapuk ukuran single yang disusun berderet-deret
di lantai. Om Acah paling kesal bila harus membangunkan kami satu persatu,
karena kemudian kami tidur lagi. Hingga
dia harus mengulang 2 sampai 3 kali, barulah bisa membuat kami turun ke ruang makan.
Dia
sudah mencoba beberapa cara, misalnya dengan menggelitik telapak kaki kami,
atau mencipratkan air di wajah kami, tapi masih saja tidak mempan membuat
pekerjaannya sukses. Om Acah lalu memutar otak mencari cara cepat membangunkan
kami. Suatu kali dia berteriak,” Kebakaran! Kebakaran! Banguuun!” Mendengar teriakannya kami bangun dengan
panik lalu lari tunggang- langgang turun ke ruang makan,
sementara om Acah terpingkal-pingkal. Sayangnya hanya satu kali saja cara itu
berhasil. Kedua kalinya, kami sudah tahu bahwa teriakannya hanya bohong belaka.
Tak
habis akal, om Acah menemukan cara jitu lain untuk membangunkan kami. Dengan
mengendap-endap dia masuk ke kamar, menarik napas dalam-dalam, mengerahkan
segenap tenaganya, lalu “ Priiiittt!!!!” bunyi
nyaring bukan kepalang memekik dari peluit pramuka yang ditiupnya
kuat-kuat. Tujuh orang yang sedang tidur dengan lelapnya serempak terduduk kaget sambil menutup telinga. Peluit
nyaring itu terus ditiupnya sampai kami tersuruk-suruk berlari turun ke ruang
makan. Tampaknya cara jitu itu tak pernah gagal. Om Acah akan bertolak pinggang
dengan wajah sumringah, sangat puas dengan keberhasilannya.
Suasana
hangat rumah tua kakekku selalu kurindukan.
Sayang sekali kakek dan nenekku kini telah tiada. Tapi indahnya kebersamaan di rumah itu akan selalu
hidup dalam kenanganku..
4 komentar:
aku juga pernah mengalami nonton tv hitam putih mbak dulu watu kecil di rumah kakek
hehe...zaman dulu punya tv hitam putih itu berasa keren abis ya...
wah seruu ya wi, jadi inget suasana rumah disana...rame
wah seruuu ya wi, jadi inget suasana disana...
Posting Komentar